Dear Ghaza
Orang bilang ada dua hal yang membuat kita berumur panjang, tekad dan mimpi. Tapi bagaimana kalau misalnya... tekad dan mimpi itu mati karena kita sadar umur kita gak akan panjang?
Naif, tekad dan mimpi itu omong kosong.
Pada akhirnya, manusia itu bergantung pada takdir.
“Gue gak mau kehilangan lo, Ghaza, please just stay with me ya?”
Gadis itu ajaib, bisa merubah harapan yang pupus kembali menemukan titik terangnya menjadi harapan baru. Untuk harapan hidup entahlah tapi setidaknya, lelaki itu memaknai betul apa arti dari sebuah momentum, waktu dan juga kenangan.
Ia ingin mengukir kenangan yang banyak dengan orang terkasih.
“KENAPA LO SEMBUNYIIN PENYAKITNYA GHAZA DARI GUE, GAMA??!!”
Gama mengusap wajahnya gusar, secarik amplop coklat yang berisi hasil pemeriksaan terakhir Ghaza mengenai penyakitnya. Suasana kacau, kedua orang tua Ghaza sedang diperjalanan menuju sini sedangkan Maya tak henti menangis, dan Chelsea menatap murka suaminya yang tampak resah.
Aplastic Anemia, atau Anemia Aplastik adalah penyakit langka yang diidap Ghaza akibat kelainan pada sumsum tulang sehingga organ tersebut tidak dapat menghasilkan cukup sel darah, baik itu sel darah putih, sel darah merah, dan trombosit, atau sekaligus ketiganya. Kondisi ini bisa berbahaya apabila jumlah darah yang berkurang sangat banyak dan tidak mendapatkan pengobatan. Intinya Anemia adalah kondisi medis kekurangan darah. Aplastik Anemia bisa datang secara tiba-tiba maupun perlahan-lahan dan kebanyakan adalah anak remaja, orang dewasa usia awal 20-an tahun hingga lansia.
“Chelsea, penyakit Ghaza itu dari kecil—”
“YA GUE TAU MAKANYA KENAPA GAK BILANG SAMA GUE??!!”
“KARENA GHAZA GAK MAU LO KHAWATIR!!!”
“GUE ISTRI LO DAN GUE KAKAK IPARNYA GHAZA BUKANNYA GUE BERHAK UNTUK TAU??!!”
“YA TAPI GHAZA GAK MAU LO TAU—”
“PLEASE STOP KALIAN BERDUA!!”
Jeritan Maya dari ujung menghentikan pertikaian sepasang suami istri itu dengan suaranya yang sudah serak. Deraian air mata terus mengalir di pipinya, tak henti Maya mengucapkan nama Ghaza dalam kaitan doa... berharap lelaki kasihnya itu segera pulih.
“Kita lagi di rumah sakit, dan kalian ributin hal yang sudah terjadi apa gak kasihan sama Ghaza?!” seru Maya terisak-isak. Chelsea mengeraskan rahangnya lalu pergi meninggalkan kedua orang di sana tanpa membalas lagi kata-kata Maya, sedangkan Gama langsung duduk di sebelah Maya dan menenangkan gadis itu yang masih tak henti menangis. Hatinya hancur, melihat bagaimana sekeliling merasa runtuh dengan situasi yang dialami Ghaza.
Chelsea juga bisa sampai semurka itu Gama bisa mengerti. Ia tak bisa marah begitu saja dengan istrinya.
Tak lama kehadiran dokter dan para rekan medis dari ruangan Ghaza membuat mereka segera berdiri dari duduknya. Hati mengait harap dan cemas dalam satu rasa, akankah ada kabar baik tentang perkembangan penyakit yang diidap oleh Ghaza.
“Dokter Hazel, gi-gimana kondisi adik saya?!” decak Gama dengan terbata-bata. Dokter Hazel selaku dokter yang bertanggungjawab atas perawatan Ghaza hanya bisa menghela napas panjang.
“Seperti yang sudah kita bicarakan tempo lalu, Pak Gama, Ghaza... sudah harus ditindak operasi.”
Kedua mata Maya memencak lebar dan Gama hanya bisa menjambak rambutnya frustasi. Solusi satu-satunya yang bisa ditempuh untuk mengurangi resiko lebih lanjut penyakit Ghaza adalah transplantasi sumsum tulang. Ini merupakan solusi akhir untuk memberikan harapan lebih panjang agar Ghaza bisa beraktivitas lagi seperti semula, tapi bukan berarti Ghaza sembuh total.
“Kak... Penyakit Ghaza udah separah itu?” tanya Maya gemetar sedang Gama tak menjawab. Pertanyaan itu menggantung begitu saja.
Dokter Hazel berucap lagi, “Tapi untuk enam hari ini saya mau pantau kondisi Ghaza agar lebih stabil untuk menjalani operasi jadi semoga saja ada mukjizat, sebentar lagi Ghaza akan sadar jadi ditunggu saja ya,” wanita itu menepuk pelan bahu Gama, “Yang sabar ya, Pak, anda memang kakak yang hebat.”
Sekujur tubuh Gama tak mampu lagi bergerak, mengangkat kepalanya yang berat pun sudah tak sanggup. Dadanya nyeri luar biasa, entah ia harus bersandar kepada siapa tapi yang pasti rasanya pemuda itu ingin rubuh.
“A-Anu, Kak Gama, aku cari Chelsea dulu...” Lengan mungil Maya langsung ditahan oleh Gama.
“Gak usah, biar saya yang susul Chelsea,” lirih Gama dengan langkah tergontai-gontai ia pergi. Tak ada lagi punggung kokoh dari Gamaliel Arkananta.
Di tengah jalan ia menemukan sosok gadis mungil yang begitu familiar di luar taman rumah sakit sedang duduk sendirian. Kepalanya menunduk lemah, dadanya semakin terasa dikoyak-koyak hingga hancur lebur. Gama menuju tempat gadisnya, lalu sontak gadisnya menoleh dan memandang tatapan kosong Gama begitu dalam.
“Maaf, aku nyembunyiin semuanya dari kamu, Chel...” ucap lagi pria itu dengan sangat lemah, “Aku gak maksud jelek atau apa tapi aku juga gak mau kamu sedih, aku gak mau kamu jadi ikut khawatir karena penyakit Ghaza bagaimanapun juga dia sahabat deket kamu pasti nanti kamu—”
“Lo cuman mikirin gue, gue, dan gue kenapa gak lo pikirin diri lo sendiri?!” seru Chelsea seraya tangannya menarik pergelangan tangan Gama hingga tubuh lesunya terduduk di samping. “Gue istri lo kan? Kenapa sih lo gak mau berbagi bebannya sama gue?! Bayangin gimana beratnya beban yang lo pikul selama ini, Gama! Lo harus nanggung beban sebagai suami yang nafkahin semua keperluan gue terus juga kakak yang biayain semua keperluan adiknya, tanggung jawab di keluarga sebagai anak pertama, terus tanpa sepengetahuan gue lo juga harus telen semua fakta menyakitkan ini sendirian apa lo gak kasihan sama diri lo sendiri, hah?!”
Chelsea perlahan menyandarkan kepala Gama yang berat di bahu mungilnya.
“Kalo emang lo harus berlagak pahlawan di depan banyak orang, setidaknya jadi manusia di depan gue. Kita ini satu rumah, masing-masing diri kita ini rumah, jadiin gue rumah tempat lo melepas semua beban yang lo pikul, Gama.”
Gama meneteskan air matanya di bahu sang istri.
“Janji pernikahan kita kan selalu ada di saat suka maupun duka, jangan langgar janji itu di hadapan Tuhan.”
Tangan besarnya mulai meremat ujung kemeja di lengan Chelsea. Isakkan demi isakkan mulai ia keluarkan di hadapan gadis kasih, tak perduli lagi tentang malu ataupun figurnya sebagai seorang suami. Karena Gama merasa sangat runtuh saat ini.
“Nangis aja, keluarin semuanya,” Chelsea mengeratkan dekapan kepala suaminya itu. Detak jantung Chelsea yang berbunyi bagai lantunan melodi lembut yang menenangkan jiwa Gama. Tangannya membalas pelukan Chelsea, ia ingin terus berada di kenyamanan yang hangat ini. Gama mulai menggaungkan nama Ghaza, ia meluapkan kesedihannya yang begitu dalam karena takut akan kehilangan adiknya itu benar terjadi. Ia memutar otak sampai membanting tulang untuk mencari uang yang banyak demi kesembuhan Ghaza, semua pencapaian yang ia capai semata-mata untuk keluarganya. Ia tak mau melihat ayahnya mulai frustasi dengan pengobatan Ghaza dan ibunya menangisi nasib anak bungsunya, Gama merasa tanggung jawab akan harapan hidup adik tercinta.
“You are such a good brother, Gama.”
Gama menangis semakin kencang.
“GHAZAAAA!!!”
Maya memandang nanar wajah Ghaza yang masih terlelap di tidur panjangnya. Suara detak jantung yang melemah terdengar di mesin EKG dikaitkan dalam doa Maya agar Ghaza segera membuka matanya dalam keadaan sehat.
Ternyata ini alasan Ghaza takut aku gak bahagia di samping dia...
Air matanya sudah kering untuk menangis lagi karena itu tak merubah apapun. Orang bilang kita bisa merubah takdir dengan doa maka itu Maya tak putus untuk berdoa akan mukjizat yang terjadi untuk kekasihnya.
Ia mengusap lembut tangan Ghaza yang begitu lemah, hatinya sakit. Biasanya ia merasakan hangat dari kuatnya genggaman tangan Ghaza kini untuk menggerakkan satu dua jari saja tak bisa. Bulu matanya yang lentik tetap menawan. Warna rambut Ghaza juga sedikit pucat, entah apa alasannya tapi sekali lagi, Maya tak putus berdoa untuk sebuah mukjizat.
“Ukh...”
Erangan pelan itu membuat Maya terperanjat. Tak lama kehadiran orang tua Ghaza setelah konsultasi dengan dokter, cepat Maya menghampiri kedua orang tua Ghaza untuk mengabarkan bahwa baru saja Ghaza mengeluarkan suara.
“Om, Tante, Ghaza tadi bersuara! Dia bersuara tadi!!” decak Maya lalu Adam langsung berlari menuju meja perawat untuk meminta beberapa tim medis periksa kondisi Ghaza.
Gama dan Chelsea datang berdampingan dari arah lain ikut terbawa suasana panik. Ghaza perlahan membuka matanya setelah terlelap panjang, dokter yang bertugas masuk ke ruangan dan melakukan beberapa pemeriksaan lanjut.
“Alhamdulillah, Ghaza sudah sadar dan dilihat detak jantungnya juga stabil hanya saja masih butuh bed rest total selama 6 hari seperti yang sudah dibilang Dokter Hazel, nanti pukul 7 malam nanti akan kami berikan makan malam dan juga obat untuk Ghaza ya. Kami permisi dulu.”
Fiona berlari menghampiri putra bungsunya dan memandang sendu wajah pucat Ghaza.
“Ghaza sayang...” Fiona menitikkan satu bulir air matanya dan mengecup kening putranya itu dengan lembut, “Sakit ya nak? Tahan dulu sedikit lagi ya... Kamu anak mama yang hebat.”
Ghaza membuka mulutnya, “Mah... sa...kit....”
“Iya tahan sayang ya, sebentar lagi kan mau diobatin biar sembuh, tuh ada pacar kamu sama Bang Gama, Chelsea.”
Ghaza melirik lalu satu tetes air mata mengalir membasahi ujung matanya, “Sa...kit....”
Fiona tak kuasa menahan sedihnya lalu menempelkan keningnya ke kening sang putra. Ghaza memejam mata sejenak, kehangatan ibu yang perlahan memudarkan rasa sakit luar biasa dirasanya.
Maaf semuanya... Maaf udah bikin kalian sedih, Maya, maaf aku ini pacar yang payah... Chelsea, maaf selama ini gue bohong sama lo...
Bang Gama, maaf dan terima kasih untuk semuanya...