The Moon Is Beautiful, Isn't It? – Ghaza & Maya
Seperti yang sudah ditetapkan, bahwa hari ini adalah Hari Ghaza dan Maya sedunia. Ghaza yang memutuskan untuk mempercepat hari spesialnya, entah ada alasan apa tapi ia ingin menikmati tiap detik momennya yang sempat tertunda. Mereka saling berbagi kisah dari yang lucu sampai bahagia, menonton satu film komedi hingga tertawa terpingkal-pingkal, bermain game dan bertaruh yang kalah wajahnya akan dipoles bedak basah hingga meninggalkan bekas di kedua pipi. Ghaza dan Maya sangat bahagia hari ini. Sungguh. Bahagia.
Tak terasa sudah malam menyapa, masih bulan purnama yang menyapa keduanya. Ghaza tersenyum tipis sambil menatap dalam bulan dari kaca jendela kamarnya, lalu tak lama ia menoleh ke arah Maya yang mau tak mau harus berkutat lagi dengan laptopnya. Barusan Maya dapat e-mail terkait revisian skripsi dari dosen pembimbingnya, wajahnya tegang sampai Ghaza terkekeh geli.
“Ah aku juga pingin ngerjain bab selanjutnya,” ujar Ghaza sedikit sendu, “Nanti habis operasi aku mau langsung ngejar skripsi biar cepetan lulus, aku gak mau dibalap sama Chelsea!”
Mendengar kata-kata Ghaza yang penuh membara itu membuat Maya tergelak. “Iya dong malahan kita juga balapan tau, Ghaza.”
Ghaza menggeleng, “Kalo sama Maya mah enggak dong, apapun yang kamu capai aku ikutan bangga apalagi misalnya pas kamu wisuda terus dapet gelar terbaik beuhh aku pasti bakal teriak paling kenceng 'WOI ITU CEWEK GUA, CEWEK GUA KEREN PARAH'!!” cicirnya mencerahkan suasana. Ghaza yang ceria perlahan kembali. Maya terhenyak sambil memandang lemat senyum jumawa Ghaza yang begitu lebar.
“Maya!” panggil Ghaza lalu direspon dehaman singkat Maya. “Kita refreshing dulu yuk keluar, lihat langit malam kayaknya cerah banget deh!”
Maya mengiyakan ajakan Ghaza yang penuh semangat itu, ia menutup laptopnya dan menuntun lelaki kasihnya untuk duduk diatas kursi roda. Ghaza melempar senyum cengirnya lagi, lalu menarik tangan halus gadisnya dan mengecup punggung tangan Maya. “Maya cantiknya Ghaza.”
Wajah Maya praktis memerah bak kepiting rebus.
Kursi roda itu dibawa perlahan menyusuri lorong rumah sakit yang tenang, hanya terdengar decitan kursi roda yang dibawa Maya sepanjang jalan. Ghaza dengan ramah menyapa para perawat yang lalu lalang, dan melihat situasi sekeliling beserta dirinya yang cukup memprihatinkan.
Ghaza bersumpah, setelah ia operasi dan mampu berjalan lagi, ia akan membawa Maya pergi kemanapun yang Maya inginkan bahkan jika harus melintas langit ke tujuh sekalipun.
Dengan sabar gadis itu membawa lelaki kasihnya dari lantai 10 menuju lantai dasar, lalu mencari taman rumah sakit dimana itu tempat paling tepat untuk merelaksasikan diri. Ini tempat satu-satunya yang Ghaza suka dari hiruk-pikuk rumah sakit yang lama menjadi rutinitasnya sejak dulu.
Hembusan angin malam yang sejuk beserta gemintang nan purnama yang saling bersanding menghias langit. Tampak seperti lukisan penuh legenda yang membuat orang mendecak kagum, momentum ini juga begitu indah untuk diceritakan nanti. Mereka tidak salah memilih tempat.
“Ghaza,” panggil Maya.
“Ya?” Ghaza membalas sambil mengadah kepalanya menghadap Maya.
“The moon is beautiful, isn't it?”
Ghaza mengangguk pelan, “So are you.”
Maya mengulum senyum malunya, ia merendahkan tubuhnya dan memeluk leher Ghaza dengan hangat, mereka saling menyandarkan kepala sambil menyaksikan bulan yang perlahan hilang oleh awan. Tak apa, masih ada bintang yang menghias di atas sana dan juga kehangatan ini.
Sejak tadi Ghaza juga tak henti melukiskan senyumnya, seolah ia benar-benar menikmati tiap detik kebersamaannya dengan sang kekasih hati. Rasanya ia ingin menghentikan waktu di momen ini, dimana mereka saling berbagi kehangatan.
Sebelum esok ia menaruh nasib, antara hidup dan mati di ruang operasi.
Bohong kalau Ghaza tidak memikirkan soal itu, karena operasi kali ini berbeda dari biasanya.
Tapi bukan sebuah dosa untuk melupakan esok demi hari ini yang indah.
“Maya....” Ghaza mengeratkan genggaman tangannya, “Terima kasih sudah mau menguatkan aku dan maaf...”
Maya mengerutkan satu alisnya, “Maaf untuk?”
“Maaf kamu harus jatuh cinta sama laki-laki payah kayak aku.”
Lagi-lagi kalimat itu mengiris hati Maya. Tangan mungilnya mengeratkan pelukan di leher lelaki itu dan menenggelamkan kepalanya agar bulir air mata yang barusan lolos tak terlihat oleh Ghaza.
“Sekarang kamu paham kan, alasan kamu gak akan bahagia sama aku?” Ghaza mengukir senyum miris, “Tapi gapapa, di waktu yang singkat ini aku mau buat momen bahagia sama kamu dan seandainya... kita berpisah, aku bisa pergi dengan kenangan indah itu dan kamu bisa cepat melupakan aku.”
Maya menggertak giginya, “Apa kamu bilang? Cepet lupain kamu? Semudah itu?”
Ghaza hanya mengangguk lemah, “Iya, hubungan kita masih singkat jadi—”
“Kamu pikir aku gak sepenuh hati dengan hubungan kita yang singkat ini, Ghaza??!!” gertakan Maya sukses membuat jantung Ghaza hampir copot. Maya yang biasa sabar dan lembut tiba-tiba meninggikan suara penuh amarah, matanya yang memencak dengan air mata yang mengalir deras... Ghaza sudah menghancurkan lagi hati Maya hingga berkeping-keping.
“Bukan begitu—”
“Ghaza, kamu tahu semua hal berkesan yang gak pernah aku rasain itu semuanya aku lalauin sama kamu! Kamu lupa kata-kata aku waktu aku nyatain perasaan sama kamu?!” Maya menarik napasnya dalam-dalam, “Kamu adalah orang pertama yang bikin aku lebih berani soal percintaan, dan saat ini kamu adalah orang pertama yang bisa bikin aku bahagia dan kecewa dalam satu waktu secara bersamaan!! Kamu pikir itu semua gak ada maknanya?!”
Gadis itu mengusap wajahnya dengan gusar. Ghaza semakin merasa bersalah.
“Dan kamu juga orang pertama... yang buat aku mengerti apa itu cinta tanpa syarat, Ghaza....”
Benar. Ketulusan Maya memang sukses menyentuh hati terdalam Ghaza yang sudah penuh luka dari semua pengorbanan. Ibarat satu obat untuk seribu luka.
“Maaf, Maya, aku... gak maksud bikin kamu sakit hati....”
Maya menghela napasnya kasar, ia menumpu dua lututnya dan menatap lurus dua iris hazel Ghaza yang kini tampak berkilau dibawah sinar bulan.
“Kamu mau aku bahagia kan?” Maya menangkup kedua pipi Ghaza dan tersenyum tipis, “Aku tuh paling bahagia kalau inget momen kita, Ghaza, semua memori tentang kita... itu membahagiakan. Jadi jangan suruh aku untuk lupain semuanya ya?”
Awal mula kisah mereka yang bertajuk dari Depok ke Bandung, dari kisah biasa menjadi penuh romansa sampai ada di titik tak ingin saling kehilangan seolah Tuhan sudah menuliskan semesta bagi sepasang insan ini. Ghaza lelaki yang baik dipertemukan pula oleh perempuan tulus seperti Maya. Semesta bergerak untuk menuliskan kisah yang berakhir bahagia.
Bagi Ghaza, kisahnya bersama Maya adalah pelabuhan akhir yang membahagiakan.
“Maya aku ngantuk, nanti boleh gak nyanyiin aku nina bobo kayak anak kecil? Aku nyesel suruh mama gak kesini hehe...”
“Ghaza bobo... oh, Ghaza bobo... kalau tidak bobo, digigit nyamuk....” “Ghaza bobo... oh, Ghaza bobo... kalau tidak bobo, digigit nyamuk...”
Maya menepuk pelan bahu Ghaza yang sudah ingin tenggelam dengan bunga tidurnya, matanya terasa berat namun Ghaza masih ingin sekali lagi melihat wajah cantik kekasihnya yang melantunkan melodi lembut untuk dirinya tidur.
“Maya...” lirih Ghaza, “Ngantuk banget.”
“Tidur sayang, aku gak kemana-mana.”
“Janji ya? Aku takut sendirian.”
Maya mengangguk pelan.
“Yaudah kalo gitu, good night, Maya....”
Maya mengecup hangat kening Ghaza, “Good night, Ghaza.”
Pagi-pagi Maya sudah berjalan dengan riang sambil membawa satu jus pir kesukaan Ghaza dan juga satu bungkus nasi padang. Ia ingin memberikan makanan itu nanti ketika Ghaza sudah selesai operasi karena kekasihnya itu diminta untuk puasa sebelum operasi.
“Lho, Kak Gama sama Chelsea udah nyampe aja padahal masih pagi banget,” ujar Maya namun langkahnya terhenti ketika melihat Chelsea menangis jerit di pelukan Gama. Satu kantung plastik yang ia bawa jatuh dari genggamannya, sepasang suami istri disana praktis menoleh ke arah Maya dengan tangisan mereka yang masih menggaung.
“Ma-Maya... Mayaaa!” Chelsea berlari memeluk Maya dan menangis sejadi-jadinya, “Maya... Ghaza, May...!!”
Maya langsung bergegas ke ruangan tempat Ghaza berada...
“Halo, Ghaza, ayo lihat sini, tahan sedikit lagi ya!”
” Halo, Dokter Hazel, ini situasi darurat pasien Ghaza....!!”
“Ghazaliel Arkananta, Ghazaliel Arkananta, bisa dengar suara saya?!”
” KAMU NGAPAIN DI DEPAN PINTU JANGAN HALANGIN JALAN, MOHON TUNGGU DILUAR SEMUANYA!”
BRAK!!! Pintu tertutup rapat-rapat. Maya masih diam membeku sampai rombongan tim medis mendorong tubuh mungilnya untuk segera menjauh. Chelsea cepat menangkap tubuh Maya yang masih kaku untuk bergerak, Gama menuntun kedua perempuan itu untuk duduk di kursi tunggu dan mengusap wajahnya gusar. Tak lama, Adam dan Fiona beserta Farhan dan Ratna datang dengan tergopoh-gopoh.
“GHAZA GIMANA?! GHAZA KENAPA TIBA-TIBA—”
“Gak tahu, Mah! Tadi begitu aku dateng sama Chelsea, Ghaza udah kejang-kejang!”
“Ya Tuhan anakku... GHAZAAA!!!” Fiona langsung menjerit di pelukan suaminya sedang Adam terisak dalam diam. Farhan dan Ratna ikut mendoakan yang terbaik untuk Ghaza dalam tangisnya.
Runtuh, seisi langit kini runtuh bagi para insan yang menantikan Ghaza.
Setelah menunggu hampir satu jam lamanya, Dokter Hazel dengan para perawat datang dengan wajah yang begitu lesu.
“Mohon maaf, kami sudah berusaha semaksimal mungkin dan ananda Ghazaliel Arkananta...” Dokter Hazel meremat ujung jas putihnya, “... kini sudah tiada.”
Jantung mereka seperti disambar petir, melihat tubuh Ghaza yang sudah tertutup oleh selimut putih dan senyumnya sudah tak lagi nampak. Tubuh Maya mendadak tergerak sendiri, ia memasuki ruangan yang hampa itu dan menatap tubuh Ghaza yang sudah terbujur kaku di dalam selimutnya.
Tangannya gemetar membuka selimut yang menutupi wajah Ghaza, tidak mungkin, senyum itu tampak sangat pucat bagi seorang Ghazaliel Arkananta. Ini pasti mimpi buruk, begitu pikir Maya.
“Ghaza... bangun... aku bawain jus pir sama nasi padang kesukaan kamu....” Maya mencari-cari dimana plastik yang tadi ia bawa, kakinya sudah lemah untuk berjalan lagi. “Ghaza... bangun....”
Dari belakang Dokter Hazel memapah tubuh Maya yang kini tak berdaya untuk berdiri, rasanya hancur setengah diri Maya. Tangannya berusaha meraih kedua pipi Ghaza yang sudah dingin, warna rambut Ghaza juga sudah sangat pucat. Maya menggigit kuat-kuat bawah bibirnya, menahan tangis yang ingin meledak detik ini juga. Ia masih tak percaya dengan apa yang ia lihat.
“Ghaza sayang... ini Maya....” Suara Maya mulai bergetar, semua orang yang menyaksikan ikut merasakan pilu dari duka kehilangan. Semua kehilangan Ghaza, semuanya tak lagi bisa melihat senyum cerah Ghaza yang menjadi favorit orang-orang. Perlahan Fiona ikut menguatkan Maya, menepuk pelan ringkuh tubuhnya yang lemah.
“Maya... maafin Ghaza ya....”
Tangisan Maya pecah di pelukan Fiona. Pagi ini langit tak tampak cerah, awan hitam mendung yang tak menurunkan setitik air pun.
Bumi ikut berduka, atas perginya Ghazaliel Arkananta sahabat sekaligus kekasih terbaik yang menjadi favorit semua orang.