Tentang Buku Ghaza

Neneng Tri Rahayu Siswaty · Afgan – Untukmu Aku Bertahan

Sebelum tangan ini bergetar untuk menuliskan apa yang gue rasakan, izinkan gue untuk bercerita sedikit tentang momen indah yang sudah gue lewati bersama orang-orang terkasih...

Tahun tiap tahun berjalan maju tanpa lagi menoleh, sedangkan gue di sini terus mengharapkan waktu berhenti di tiap momen kebersamaan orang tercinta dan berharap hari berjalan lebih lambat. Karena gue tahu, hembusan napas gue di tiap waktu itu berjalan tak akan berlangsung lama.

Sejak kecil sudah mengidap penyakit aneh yang bahkan gue gak pinta hal itu sama Tuhan, awal mulanya ketika main futsal bareng Bang Gama dan gue tiba-tiba jatuh tak sadarkan diri.

Setelah gue membuka mata, semua menangis menyebut nama gue.

Papa sama Mama gak mau kasih tahu apa penyakit gue pada saat itu tapi karena Bang Gama janji gak akan menyembunyikan apapun dari gue, maka dia yang beritahu semuanya. Gak semuanya sih hanya sekilas tapi sisanya gue yang cari tahu sendiri. Penyakit ini belum ditemukan obat penyembuhnya bahkan angka kematiannya bisa dibilang tinggi, shock? pastinya apalagi gue mencari tahu hal itu di usia 9 tahun. Gue berusaha menolak takdir itu, karena jujur aja gak ada rasa sakit yang spesifik membuat gue harus divonis tak berumur panjang. Tapi dengan semua pengobatan yang harus gue jalani tanpa terputus membuat gue sadar, bahwa kehadiran gue di muka bumi ini tak akan berjalan lama.

Lucu memang, ibarat hidup gue ini cuman sebatas cerpen.

Tapi justru karena kisah hidup gue ini bagaikan cerita pendek, gue mau kisah singkat ini jadi sangat berkesan. Gue gak pernah meredupkan semangat dan mimpi-mimpi gue, dulu waktu kecil gue bercita-cita ingin menjadi presiden meskipun itu mustahil tapi hidup gue lebih berwarna karena mimpi itu. Dokter juga meyakinkan gue, kalau mimpi yang mustahil itu pasti akan bisa terwujud nanti ketika gue sudah sembuh. Semangat dalam jiwa gue semakin berkobar-kobar.

Tapi sekali lagi, setiap gue harus berhadapan ruangan beralkohol dengan tangan yang ditusuk jarum berisi kantung merah pekat ini membuat harapan gue runtuh.

Semakin gue tumbuh dewasa, semakin gue sadar kalau tekad dan mimpi itu hanya omong kosong terutama untuk gue yang tidak memiliki harapan hidup panjang.

Di usia gue yang ke 16, adalah sebuah penyesalan terbesar dalam hidup gue sekaligus titik balik dari semua rasa frustasi yang gue alami. Hari itu, Bang Gama hampir putus kuliah karena ternyata dia diam-diam kerja di Amerika untuk cari uang bukannya belajar, Papa marah besar tapi Bang Gama bilang kalau dia melakukan ini semata-mata demi gue. Rasanya langit seperti runtuh, karena lagi-lagi gue jadi beban untuk orang terkasih. Gue sayang sama Bang Gama dan dia udah banyak berkorban untuk gue, Harvard adalah mimpi dia satu-satunya yang tercapai tanpa harus dia memikirkan bagaimana gue di sini (meskipun pada akhirnya gue yang paling sedih pas dia pergi) tapi kalau mimpinya hancur lagi... lebih baik gue mati aja.

Itu memang udah niat gue dari awal, gue nekat naik gedung sekolah dan berniat untuk lompat dari situ.

“WOY!!”

Suara melengking itu yang menghentikan langkah gue.

“LU KALO MAU MATI JANGAN DISINI ANJING, INI SEKOLAH BARU GUA NTAR GUA GAK MAU DENGER CERITA HORROR ORANG BUNUH DIRI DI SINI!!!”

Gadis dengan rambut sepunggung cantik dan bertubuh mungil, air wajahnya yang sinis namun tangannya bisa dilihat ia sangat gemetar.

“Heran ya, lu gak mikir kalo lu mati disini cuman nambah beban doang?! Keluarga lu bisa malu diomongin orang kalo tahu lu mati bunuh diri! Ini sekolah bisa kena imbas terus tahun depan kekurangan peserta didik lama-lama bangkrut! Mikir dong, mati tuh bukan solusi!!”

Jujur gue gak bisa berkata-kata. Seperti ditampar bolak-balik oleh gadis itu.

“Heh anak mana lu gua tanya?! Anak sini bukan?!”

“I-Iya! Gue anak sini, justru lo anak baru ngapain disini?!”

Gadis itu mendecih, “Gue? Ngapain disini?! YA DAFTAR ULANG LAH DODOL!! Gue tuh lagi keliling lihat sekolah baru malah lihat penampakan orang mau bunuh diri di sini!”

Chelsea Audrey Wijaya, itulah pertama kali kita bertemu meskipun awal pertemuan kita bukan awal yang baik.

Apa gue marah karena kata-katanya? Enggak, justru gue jadi ingin berteman sama dia.

“Kenalan dulu lah anak baru, sekalian gue ajak tour gratis gimana?”

Begitulah pertemanan kita dimulai.

Pertemanan ini adalah satu-satunya hal yang gue jaga sepenuh hati, tak sebagaimana biasanya gue menganggap semua hubungan itu hanya fana. Keberadaan gue yang tak berlangsung lama ini membuat gue hanya memasang topeng lalu pergi dengan seorang diri. Ah, gue bukan anti-social hanya saja tak mau intens menjalin komunikasi dengan orang-orang.

Tapi bersama Chelsea,

Gue ingin dia terus ada di samping gue.

Setelah insiden itu dia dengan pengertian enggan mengungkit soal momen awal pertemuan kita, melainkan dia terus bersanding dan menemani tiap momen menyenangkan. Kita mengukir banyak cerita bahagia, entah kenapa setiap gue bersama Chelsea rasanya seperti gue punya harapan hidup yang panjang.

Dia memberikan gue alasan untuk bertahan.

Pada saat itu lo merasakan patah hati yang pertama kali, dan disitu gue melihat bagaimana rapuhnya hati lo dibalik Chelsea yang keras kepala.

Dengan lirih lo bilang, “Ghaza, terus jadi sahabat gue ya? Cinta itu bahagianya cuman sebentar tapi untuk perpisahan rasanya sakit banget, setidaknya kalau kita sahabatan selamanya gak ada kata perpisahan untuk kita.”

Gue mengangguk sambil tersenyum pahit, mengingat lagi tentang bagaimana keberadaan gue yang takkan lama dan perpisahan... gue gak kuat membayangkan Chelsea menangis ketika gue gak ada....

“Iya, Chel, gue gak akan kemana-mana. Kita sahabatan selamanya.”

Maaf, Chelsea, gue menyimpan satu kebohongan terbesar yang mungkin gak akan pernah gue ungkap sampai nanti waktunya.

Dan sekarang adalah waktunya.


Halaman selanjutnya

Gue udah gak sanggup lagi untuk nulis, mungkin gak akan banyak cerita lagi yang bisa gue tulis.

Chel, sekarang gue bisa bernapas lega...

Gue bersyukur Tuhan mendengar doa gue, dan tanpa disangka Bang Gama yang hadir di kehidupan lo. Lo tahu? Rasanya gue mau sujud syukur sekarang, lo sekarang bisa tertawa lebar tanpa harus ada gue di samping lo.

Sekarang makan lo udah terjaga.

Sekarang kalau lo sakit ada yang jaga.

Sekarang kalau lo kesepian ada yang menemani.

Sekarang... kehadiran gue yang dulu menjadi penting sudah resmi berpindah ke Bang Gama.

Gue tenang sekarang.

Maya... kita belum sempat menghabiskan waktu lebih lama, aku yakin gak memakan waktu lama untuk kamu melupakan aku.

Tapi setidaknya aku ingin mengucapkan terima kasih, kamu adalah kenangan indah terakhir aku yang terkenang.

I love you, now, tomorrow and forever, Maya.