Fallen Rose – Farewell

Đức Thịnh · Horang Suwolga

Lalu lalang orang berpakaian serba hitam dan ucapan duka yang saling menyahut dalam tangis. Semua kehilangan, deraian mata pun ikut menetes dari setiap tamu yang datang bahkan sampai meraung-raung nama Ghaza, pelukan erat agar menekan dada yang terasa nyeri.

Kini senyuman cerah Ghaza hanya terpajang sebagai memori di pigura hitam disana beserta dua lilin mendampingi. Senyum Ghaza tak bisa ditampakkan, karena sebentar lagi peti berwarna putih itu akan segera dibawa pada tempat peristirahatan terakhirnya. Semua belum bisa melepas kepergian Ghaza, semua masih menginginkan sosok Ghaza yang hangat dan ceria itu di sini bersama mereka. Kepergian ini benar-benar tak terduga.

Tapi mau bagaimana lagi, takdir menginginkan laki-laki baik itu untuk segera pulang pada Sang Maha Pencipta.

Ghaza, tidurlah dengan tenang....



Selang waktu satu jam berlalu setelah Ghaza diantar ke tempat peristirahatan terakhirnya. Masih melekat betul nama lengkap Ghaza yang terukir di batu nisan dengan doa-doa, bagaimana tubuh yang kokoh itu kini tak lagi bisa mereka peluk. Kehilangan ini masih membekas. Terutama bagi keluarga, sahabat dan Maya orang terkasih.

Chelsea terus menangis sejak awal prosesi pemakaman sampai akhir, bahkan isakkannya masih terus bunyi. Gama yang harus menjadi sosok penguat keluarganya, air matanya menetes namun ia tetap tersenyum pahit di hadapan banyak tamu yang datang. Beribu pertanyaan tentang kematian Ghaza ia jawab satu per satu sembari minta doa, setiap kali Gama mengingat bagaimana Ghaza merenggang nyawa tepat di depan matanya membuat hatinya hancur lebur. Bisakah posisi sakit itu dibagi setengah kepada Gama? Atau biar Gama saja yang rasakan itu. Adam dan Fiona pun masih terus memeluk pigura foto putra bungsunya sambil meraung-raung, Adam tak henti meremat ujung kemejanya sambil mengusap wajah gusar sedangkan Fiona menangis kencang.

Bagaimana Maya?

Gadis itu hanya terdiam dengan pikiran kosong, seluruh tubuhnya tak mampu bergerak dan di kali pertamanya ia menginjak rumah Ghaza sekaligus mengantar ke tempat pulang yang sesungguhnya. Seandainya saja Maya mengenal Ghaza lebih awal, mungkin banyak hal menyenangkan lainnya yang bisa ia temui bersama orang terkasih. Tapi sayang, semesta hanya memberi batas waktu yang sangat sedikit.

Maya berdiri dari tempat duduknya, lalu Chelsea cepat memapah tubuh sahabatnya yang lemah itu menuju tujuannya.

“Maaf, Chel, kalau aku mau istirahat dulu boleh gak?”

Chelsea mengangguk cepat, “Iya, istirahat aja gapapa.”

Berat hati untuk melihat bagaimana pintu kamar Ghaza sudah tertutup rapat yang bahkan ia belum pernah lihat. Pintu itu takkan terbuka lagi.

Maya butuh waktu, untuk melepas semua luka dan mengulas senyum untuk mengikhlaskan kekasihnya pergi selama-lamanya.



Suasana rumah yang sunyi dengan malam dingin nan menusuk. Jarum jam menunjukkan pukul 12 malam dan Chelsea masih terduduk di ruangan depan sembari membuka album foto lamanya bersama Ghaza. Ia masih belum bisa memejam mata dengan tenang, sosok lelaki pemilik senyuman manis yang selalu menjadi tempatnya bersandar sudah pergi ke tempat yang tak lagi terjangkau. Perpisahan ini begitu berat, ini sudah bukan tentang kepergian sahabat tapi Ghaza adalah keluarga tercinta. Kalau saja air matanya belum kering, Chelsea masih ingin menangis lagi menggaung nama Ghaza.

Ia menoleh ke arah pintu hitam yang penuh dengan memori. Dulu, selalu ada sosok punggung kokoh yang menyapanya di kala Chelsea berkunjung, selalu ada senyuman lebar khas yang menyambut kedatangannya, dan suara bariton yang memanggil namanya penuh gembira. Semuanya sirna.

Sekali lagi, Chelsea ingin mengenang masa-masa indah itu.

Langkahnya yang lemah perlahan menuju pintu tersebut dan membukanya pelan. Matanya memencak, di kala ranjang biru itu sudah rapih dengan beberapa tumpuk baju Ghaza yang sudah di setrika. Kira-kira siapa yang akan memakai baju itu lagi? Chelsea mengambil satu jaket hitam favorit Ghaza dan menghirup aromanya, harum coklat manis khas Ghaza masih melekat di baju ini. Chelsea memeluk jaket itu erat-erat.

Perhatiannya teralihkan pada beberapa foto kebersamaannya yang dipajang entah di pigura kecil atas meja belajarnya, tembok dan juga papan jurnalnya. Semua foto yang membuat Chelsea mengulang lagi kisah keduanya yang membahagiakan, tapi untuk saat ini hatinya semakin pilu. Masa bahagia itu terlalu singkat.

Tangannya meraih pada satu buku jurnal yang tampak tak asing bagi Chelsea. Buku ini dulunya bagaikan harta karun Ghaza yang tak boleh disentuh sama sekali.

“Awas ya buka buku ini, gue musuhin lo berabad-abad, Chel!”

Dulu Ghaza sangat mengecamnya, tapi saat ini... apa Chelsea bisa mendengar lagi omelan Ghaza? Kalau boleh, Chelsea ingin mendengarnya sekali lagi.

Begitu Chelsea membuka bukunya, tak sengaja ada satu foto yang jatuh tepat diatas kakinya dan foto itu adalah foto Maya. Chelsea terkekeh pelan.

“Dasar stalker untung aja lo berdua jadian,” gumam Chelsea lalu ia lanjut buka halaman pertama yang menuliskan nama beserta tanda tangan Ghaza. Tulisan tangan yang tampak cantik bagi seorang laki-laki memang sudah menjadi ciri khas Ghaza, bahkan Chelsea kalah cantik tulisannya. Ia membuka lagi buka halaman selanjutnya....

Chelsea Audrey Wijaya, my first love and the only, for the rest of my life.

Chelsea membulatkan kedua matanya.

Semua berawal dari tanggal 17 Juli 2016

Jantung Chelsea seolah berhenti berdetak. Dengan gemetar ia membuka lagi halaman selanjutnya.

Buku ini adalah saksi bagaimana seorang Ghazaliel Arkananta mencintai sosok gadis lucu, enerjik dan penuh semangat bernama Chelsea Audrey Wijaya yang tiap kali ia tersenyum memberikan harapan hidupku lebih panjang.

Seandainya aku punya alasan untuk bertahan, itu kamu, Chelsea.

I love you and always.

Chelsea mengatup mulutnya rapat-rapat, meskipun jantungnya seolah ditusuk tombak tapi ia tetap teruskan membaca tiap halamannya.

Chelsea, hari ini kamu keren dan aku makin jatuh cinta sama kamu. Entah kenapa, setiap harinya selalu ada alasan aku untuk jatuh cinta sama kamu, dan karena itulah yang membuat aku mau bertahan.

Chelsea, aku habis dari pernikahan sepupu aku dan aku jadi membayangkan kalau kita berada di altar pernikahan itu. Aku denger, Papa sama Mama mau ngejodohin kita dan aku berharap hal itu akan menjadi nyata. Aku jadi makin semangat untuk sembuh untuk bisa bahagiain kamu!

Chelsea, kamu habis nangis karena nangisin Adly. Kamu jadi gak percaya sama cinta dan minta aku untuk gak lewatin batas hubungan kita, aku rela kok untuk kebahagiaan kamu tapi kok dada aku sakit ya? Gapapa deh, gak harus jadi pacar untuk bisa bahagiain kamu, aku akan terus berusaha buat kamu senyum, Chel!

Chelsea maaf, aku batalin janji kita untuk nonton live music bareng di Summarecon karena kondisi aku makin parah. Aku tahu kamu marah banget sampai cuekin aku seminggu berturut-turut tapi gapapa, aku jadi bisa istirahat untuk kumpulin energi dan ngadepin ngambek kamu yang rese (maaf aku harus jujur tapi kamu kalo ngambek rese jadi harus kumpulin energi dulu)....

Air mata Chelsea sudah berderai deras.

... di titik ini, aku rasa tak ada lagi harapan soal kita dan sudah saatnya aku menyerah. Maaf, aku tak bisa berjuang lagi untuk bisa berdiri di samping kamu tapi setidaknya aku akan selalu ada di belakang kamu...

Kamu boleh tanya sama semesta, siapa laki-laki yang akan terus mencintai kamu tanpa syarat... itu aku, Chel.

“GHAZAAAAAAAAAAAAAAAAAAA!!!!!!!!!”

Chelsea menjerit keras-keras, memanggil nama Ghaza berkali-kali berharap sahabatnya itu segera menjawab sahutannya. Tangannya berkali-kali pula memukul dadanya yang nyeri luar biasa, dirinya sudah tak lagi kuasa membaca tiap halaman buku jurnal hitam itu membiarkan 4 halaman terakhirnya terbuka begitu saja.

Dengan tergopoh-gopoh Gama berlari menyusul sumber suara dan menggebrak pintu kamar Ghaza. Ia menyaksikan tubuh mungil sang istri yang terbaring lemas sambil terus meneriakkan nama Ghaza. Cepat Gama memeluk ringkuh tubuh lemah Chelsea, dengan sukarela bahu kokohnya menjadi pelampiasan rasa kecewa gadis dalam dekapannya. Gama kembali menitikkan air matanya.

“Ghazaaaa! Ghazaaaa pulaaaaang!! Jangan tinggalin Chelseaaaaaaa!!!!” Chelsea terus menjerit.

“Sayang... tenang, tenang ya, ikhlasin Ghaza ya....” dengan sabar Gama menepuk-nepuk pelan bahu Chelsea.

“GHAZA PULANGGG!!! GUE GAK IKHLASSSSSS!!! KENAPA GAK NGOMONG DARI AWAL GHAZAAAAA!!!!” Chelsea masih berteriak, “GUE JUGA SAYANG SAMA LO!!!! GUE SAYANG SAMA GHAZA!!! PLEASE PULANGGG SINI GHAZAAAA!!!!!”

Gama mengeratkan lagi pelukannya meskipun Chelsea terus memberontak, namun perlahan gadis itu mulai tenang di kehangatan suaminya. Napasnya yang tersengal-sengal perlahan temponya mulai beraturan, namun dalam sekejap Chelsea tertidur di bahu Gama.

Dari luar pintu Adam dan Fiona ikut pilu, mereka tahu pasti Chelsea merasa sangat kehilangan. Mereka adalah sepasang sahabat yang saling mengasihi, begitu tega semesta memisahkan mereka di dua tempat yang begitu jauh.

Maya dari balik tembok, tak menampakkan wajahnya hanya menunduk sambil meneteskan bulir air matanya. Hatinya sakit, melihat bagaimana eratnya tali kasih antara Ghaza dan Chelsea sampai maut memisahkan, bukan soal cemburu, tapi bagaimana skenario Tuhan tak meridhoi keduanya untuk bersatu. Maya pun merasa iba, posisi Chelsea bisa saja jauh lebih sakit ketimbang dirinya. Dan jangan lupakan posisi Gama, yang juga ikut berkorban banyak.

Ghaza, kepergianmu meninggalkan luka dalam bagi orang-orang terkasih....