Intro – Tentang Ibrahim dan Kesempurnaan
Ibra POV
“Laki-laki itu sudah di takdirkan menjadi punggung harapan banyak orang. Imam besar, pemimpin, dan juga kepala keluarga, maka itu kamu harus belajar untuk amanah dengan harapan tersebut.”
Sejak kecil gue harus mendengar kalimat itu sebagai bahan perenungan bersama angin pagi yang satu-satunya membuat gue rileks. Tak ada yang salah, hanya saja gue yang merasa kalau semesta menuntut gue untuk jadi sosok yang sempurna di muka bumi ini.
Melalui abi.
Siapa yang gak kenal Haidar El Fatih? Memang, beliau itu disebut sempurna dalam segala aspek. Harapan bagi banyak orang, pemuka agama yang di kenal luas masyarakat, bahkan pernah menjabat sebagai direktur utama perusahaan sekelas PT. Soetomo Group dengan amanah hingga akhirnya bisa terus bertahan memimpin sektor perekonomian bangsa. Gue lahir bersama gemerlapnya hak istimewa dari kedua orang tua gue,
tapi tanpa sadar karena hak istimewa itu.... memberikan gue beban.
Anaknya Haidar El Fatih ya?
Wah anaknya Haidar El Fatih, pasti bisa lah kuasain ini!
Wih anaknya ustadz, pasti anak baik-baik!
Tapi ketika gue melakukan satu kesalahan....
Ck, gimana sih padahal anak ustadz?
Lho kok anak ustadz bandel gini sih? bertingkah mulu.
Gak mungkin, padahal dari keluarga anak baik-baik kok kelakuan blangsak gini.
Padahal kesalahan itu seharusnya wajar di mata manusia, bahkan hanya ekspresi dari seorang anak usia remaja.
Hanya karena gue anak dari Haidar El Fatih....
Semua meminta gue untuk menjadi duplikat dari sosok abi, bahkan dalam rumah sekalipun. Abi cuman ngehukum gue, yang sering di rehab ke pesantren cuman gue, seolah gue ini anak bandel yang kerasukan setan dan perlu di ruqyah.
Tapi dari situ gue sadar....
Bahwa takdir yang membawa gue jadi punggung harapan orang-orang, dan gak ada pilihan lagi selain memenuhi harapan tersebut.
Hanya saja, gue membutuhkan satu hal...
Gue butuh tempat pulang.
Author POV
“Ibrahim, kamu imam shalat maghrib hari ini ya,” Ibrahim mengangguk nurut dengan perintah sang ayah seraya menyeruput kopi susunya, mulutnya aktif melahap pisang goreng yang ada di saung. Pemuda itu segera membuka jam tangannya, jarum jam sudah menunjuk angka 6 dimana sebentar lagi adzan maghrib berkumandang.
“Agil! siap-siap adzan kamu!” Ibrahim meminta santrinya itu bersiap-siap untuk mengumandangkan adzan sesuai piketnya, setelah piringnya sudah kosong ia cepat ke belakang menaruh piring pada tempatnya, lalu ia mengenakan peci hitamnya cepat. Tanpa pemuda itu sadari, sejak tadi eksistensinya sudah di perhatikan oleh para santriwati remaja. Bagaimana tidak? pesona dari Ibrahim memang tak bisa di tepik, apalagi pemuda itu juga masih lajang.
“Ganteng banget ya, Ustadz Ibrahim....”
“Hush! bilang Masha Allah kamu, Lis!”
“E-Eh, Masha Allah... ciptaan Engkau yang maha indah ini....”
“Astagfirullah jaga pandangan kita hey, kalau ketahuan di tegur ntar!”
“Susah banget nunduknya ini....”
Tak lama sosok Ibrahim keluar, dengan rambut basahnya setelah mengambil air wudhu dan telapak tangan yang mengadah mengucap doa setelah berwudhu. Sekali lagi, para gadis disana jatuh dengan pesona Ibra.
“Hey, mending cepetan ke masjid daripada ngelihatin yang bukan mahram kayak gitu!” Suara lembut dari Aminah— kakak kembar dari Ibrahim, mengejutkan keempat santriwati barusan. Mereka tertangkap basah, dan tentu Aminah hanya bisa tertawa geli melihat tingkah gadis-gadis remaja di hadapannya.
“Astagfirullah hal adzim, Kak Mina....” salah satunya terkesiap, tatapan intens Mina cukup mengintimidasi keempatnya hingga mereka lari terbirit-birit ke dalam masjid.
Ckckck... Ibra, Ibra....
Selepas shalat maghrib, Ibrahim menyudahi kegiatannya di pondok dan membereskan barang-barangnya. Langkah kakinya terhenti begitu Haidar, sang ayahanda memanggil namanya dari kejauhan.
“Ibrahim,” pria paruh baya itu menepuk bahu sang putra, “Kamu sudah pertimbangin soal tawarannya Om Jeffry?”
Jantungnya tersentak, pemuda itu merunduk dan tangannya mengepal kuat.
“Abi, bukannya Trian aja yang pegang perusahaan dibanding saya? abi bilang saya gak perlu mengemban amanah perusahaan eyang Indra?” Ibra menghela nafasnya gusar, “Saya bukannya—”
“Ini demi kebaikan keluarga, Ibrahim.”
“Lalu saya bagaimana?”
Haidar tertegun dengan kalimat terakhir putranya. Sebenarnya ia pun tak ingin memaksa kehendaknya kepada Ibrahim, tapi kalau bukan karena permintaan keluarga besar Soetomo.
“Begini saja, Ibrahim,” Haidar menepuk lagi bahu sang putra, “Kamu gak perlu ambil posisi eksekutifnya di kantor tapi setidaknya kamu ikut mendampingi Trian disana. Trian sendiri juga butuh kamu, dan dia masih menimbang-nimbang untuk mengambil posisi CEO di perusahaan.”
“Trian lebih pantas menjadi CEO, dia sekolah bisnis di Amerika.”
“Tapi faktanya, yang tahu semua tentang perusahaan itu kamu.”
“Karena abi mantan direktur utamanya.”
“Bukan, tapi kamu mau mempelajarinya, bukan semata-mata karena abi.”
Ibrahim mengepal lagi tangannya kuat-kuat, pemuda itu menegangkan rahangnya menahan kesal tapi ia harus ingat kalau memang bahunya ini di ciptakan untuk menompang beban harapan orang-orang.
Bukannya ia sudah terbiasa untuk itu?
“Ibrahim, saya tidak melarang kamu untuk memiliki cita-cita lain, tidak. hanya saja abi minta tolong satu hal ini saja, kalau semuanya sudah selesai silahkan kamu kejar mimpi kamu.”
Ibrahim tersenyum simpul dengan hati yang teriris.
“Saya coba yang terbaik, abi.”
Selalu itu yang keluar dari mulut abi, padahal faktanya... semua itu menghalangi mimpi saya....