Butterflies ; My Favorite Ambivalance
Ibra-Mina kelas 12 di MAN...
Pengumuman jam pulang sekolah berdentang, langit senja yang menjadi tanda berakhirnya kegiatan sekolah membuat sekelompok anak-anak bersorak ramai. Ibrahim, pemuda yang menempati kelas 12 IPA 2 itu cepat merapihkan bukunya dan mengambil gagang sapu yang ada di dekat pintu.
“Yang piket kok kita berdua doang, Ghe?” tanya Ibra datar, tangannya mulai menyapu ke arah sana kemari, gadis cantik yang di ajak bicara malah gelagapan.
“Ha-Harusnya Dian ikut juga... tapi dia malah kabur...” gadis bernama Ghea itu menunduk malu, karena sekarang di ruangan kelasnya cuman ada dia dengan lelaki pujaan hatinya, siapa lagi kalau bukan Ibra.
Di masa tahun terakhir SMA-nya, entah kenapa pubertas dapat mengubah sosok Ibrahim El Fatih sekejap menjadi lelaki mempesona favorit kaum hawa di sekolahnya. Berapa kali ia mendapat pengakuan cinta baik tersirat maupun tersurat. Kakaknya, Aminah pun juga heran bagaimana bisa adiknya ini sangat populer.
“Gue ada ekskul nanti abis ashar, kita beresin seadanya dulu aja ya? lanjut nanti pagi.” pinta Ibra
“I-Iya boleh...”
Begitu pekerjaannya selesai, pemuda itu cepat pergi meninggalkan kawannya itu ke tempat tujuannya. Ghea memandang punggung besar Ibra dengan nanar.
“Ya ampun... akhirnya ada momen berdua sama Ibra! Kyaa!”
“Ustadz Utsman gak dampingin kita hari ini?” Ibra membuka suara, alisnya terangkat satu heran begitu ia mendengar pesan dari guru pembimbingnya itu absen dari kegiatan mereka.
“Katanya, Kak Ibra dulu yang dampingin. Beliau lagi ngajarin kelas tambahan buat anak Agama,” jelas salah satu junior Ibra.
“Aminah mana?” tanya Ibra lagi.
“Kak Mina masih rapat MPK.”
Ibra menepuk jidatnya, “Yah jadi tanggung jawab gue dong?! Yaudah dah, lu pada hafalin aja dulu apa yang mau di setor, kita tunggu Ustadz Utsman aja kalau mau lanjut ke surat berikutnya.”
Pemuda itu menderu nafas kasar, netranya menangkap layangan daun kecil dari terpaan angin senja. Mentari sudah sembunyi dengan sempurna, melenyapkan siang yang di rindukan awan dan beristirahat bersama bulan yang sedikit demi sedikit mulai terlihat.
Langit malam hampir tiba, dan itu pertanda Ibra harus mengakhiri kegiatannya.
“Mina lama bener dah rapatnya udah kayak rapat DPR anjir!” Ibra mengumpat kesal, tak lama ponselnya berdentang singkat.
Ibraaa, Aku harus siap-siap untuk acara besok jadi kayaknya aku bakalan nginep di kosan temen aku, aku udah izin juga sama abi umi, kamu pulang duluan aja naik bus!
Sekali lagi, pemuda itu menggerutu.
Tak ada pilihan lagi selain pulang duluan seperti yang di minta oleh kakaknya, dengan langkah malas ia berjalan ke halte bus.
Kakinya terhenti begitu melihat salah seorang gadis yang ia kenal sedang celingukan di sebrang halte, tepatnya sekitar 9 meter dari jangkauannya. Gadis itu terlihat seperti menunggu seseorang, tapi kedatangannya tak bisa di harapkan.
Gadis itu adalah Ayudistya Ningrum, siswi kelas 10 yang menjadi junior bimbingan Ibra di ekskul Tahfidz-nya.
“Kamu anak tahfidz ya?” Ibra menyapanya duluan, sontak gadis itu langsung menghindar, “Saya Ibra, saya gak asing sama muka kamu.”
Mata gadis itu terbelelak, “E-Eh, iya... maaf kak soalnya malem-malem gini jadi reflek ngehindar....” wajah sendunya menatap ponselnya yang tak ada notifikasi apapun.
“Kamu dijemput?” tanya Ibra.
“Iya.”
“Udah di kabarin belum?”
“Itu dia... saya telepon gak di jawab-jawab, terus saya chat gak di jawab juga cuman centang satu.”
Ibra membuka lengan kemejanya—menampakkan arloji hitamnya yang menunjukkan pukul 18:45, “Ini udah malam, kamu hafal gak arah rumah kamu kalau naik bus?”
Yang ditanya mengangguk pelan.
“Kalau jam 7 pas mereka masih gak datang, kamu pulang naik bus aja. Cukup rawan juga kalau ada perempuan sendirian disini.”
Gadis berkerudung itu hanya mengangguk menurut, lalu Ibra ikut berdiri di sisinya dengan gagah, meninggalkan tanda tanya di benak Ayu dengan tingkah seniornya itu.
“Kakak... gak pulang?” tanyanya meyakinkan.
“Saya nungguin kamu di jemput dulu, bahaya.” jawab Ibra ringan— ia mengambil dua stick candy di sakunya, “Nih permen, biar gak bete.”
Ayu dengan kikuk menerima permen yang di tawarkan Ibra, menatap lemat-lemat dengan tatapan curiganya kepada Ibra.
Spontan lelaki itu terkekeh.
“Gak ada racun, makan aja.” Ibra membuka bungkusan permennya santai sambil jongkok, lalu mengemut permennya khidmat sambil memerhatikan lalu lalang mobil yang akan ke arah sekolah.
Lampu remang-remang di atasnya memang memudarkan penglihatan keduanya, dengan siluet hitam yang semakin mendominasi wajah tampan Ibra dari netra cantik Ayu, tapi entah kenapa hatinya berdegup tak karuan apalagi ia tak sengaja menghirup aroma shampoo mint bercampur parfum maskulin yang mencuat dari tubuh Ibra.
Kenapa dia bisa tidak memerhatikan sosok Ibra selama ini?
“Kamu kelas berapa?” Ibra membuka topik.
“Kelas 10 kak.” jawab Ayu.
“Ikut kegiatan lain gak selain Tahfidz?”
“Aku... baru daftar MPK...”
“MPK? Wah nanti kamu ketemu Mina dong?”
Ayu mengangguk mantap, “Iya, aku daftar MPK juga karena sarannya Kak Mina!”
Ibra mencibir, “Itu bukan saran, tapi rayuan. Mau aja kamu dirayu dia, jadi anak organisasi repot tahu!” “Tuh buktinya, dia sampai nginep di kosan temannya karena urusan MPK!”
Gadis tertawa geli, “Tapi... kakak kan ketua Ekskul Tahfidz? meskipun bukan anak OSIS/MPK tapi jadi ketua Ekskul juga gak gampang lho...”
“Itulah saya bilang, selama kamu terlibat lebih dalam organisasi itu cuman bikin repot. Padahal saya lebih suka jadi anggota, cuman karena Mina anak MPK jadinya saya yang dipilih ketua Ekskul.”
Gelak tawa Ayu pecah mendengar gerutu seniornya itu, memang di balik sisi tegasnya Ibra sebagai Ketua Ekskul, sifat tengil ciri khasnya itu tak pernah luput. Ustadz Zulkifil, pembina Ekskulnya juga sering di buat geleng-geleng karena tingkah Ibra tapi berhasil di patahkan karena Ibra adalah siswa berprestasi baik secara akademik dan di ekskulnya.
“Tapi katanya pengalaman organisasi itu penting untuk kebutuhan kuliah dan kerja kak.”
“Memang, tapi kalau gak penting-penting amat kayak yang dilakuin Mina sekarang juga gak akan kepake di dunia kerja. Yang ada kita jadi gampang di manfaatin karena bisa ngelakuin apa aja.” Ibra melempar stick bekas permennya sembarang, “Dunia tuh keras, bahkan kejam. Semakin kita menunjukkan apa yang kita bisa, maka semakin terbuka celah untuk orang manfaatkan kita, semakin kita baik dengan orang, maka siap-siap kita dianggap remeh orang-orang.”
Ayu tersontak dengan ucapan Ibra.
“Yah tapi balik lagi sih, Abi saya bilang, sebaik-baiknya manusia itu yang bermanfaat bagi banyak orang. Mungkin sayanya aja yang masih harus belajar banyak untuk lebih ikhlas.”
Ibra berdiri dari jongkoknya, menatap kedua netra Ayu mantap dengan senyuman jumawanya.
“Apapun pilihan kamu, jalanin aja dengan ikhlas. Gak ada yang buruk selama itu tidak menghalangi kamu ibadah.”
Butterflies...
Dada Ayu seperti di gandrungi ribuan kupu-kupu disana, ada rasa aneh yang mengganjal namun memberi rasa rindu sekaligus kagum terhadap sosok Ibra.
Inikah... yang namanya jatuh cinta?
“Ah ya, udah jam 7 lewat 5, kita pulang naik bus aja ya?”
Mata Ayu membulat sempurna, “Ki-kita?”
“Iya, kita pulang bareng naik bus.”
Entah kata-kata apa yang mampu mendeskripsikan kebahagiaan Ayu saat ini.
Di dalam bus yang ramai, Ibra memastikan bahwa gadis yang akan pulang bersamanya tetap aman dan terjaga. Di barisan depan yang harusnya menjadi prioritas wanita sudah penuh total, di belakang banyak bapak-bapak yang patut Ibra waspadai, tapi matanya langsung tertuju kepada satu buah kursi yang ada di bagian belakang.
“Dek! Kamu cepet ambil kursi di belakang itu!” titah Ibra.
“E-Eh? kenapa bukan kakak?!” jawab Ayu kikuk.
“Udah cepet kamu tandain dulu disana!”
Ayu cepat mengikuti arahan Ibra dan mengambil tempat duduk yang sudah di tunjuk. Ibra juga cepat menyusul ke tempat Ayu, dan berdiri tepat di samping Ayu agar gadisnya itu bisa ia jaga.
“E-Eh kakak aja yang duduk—”
“Gapapa, duduk aja disitu.”
Ayu tak enak hati, bagaimana bisa seniornya ini begitu menjaga dirinya sampai sejauh ini?
Suasana bus yang ramai tak memungkinkan keduanya untuk berbincang seperti tadi, hanya keheningan bersama hembusan AC yang terdengar jelas. Semuanya sibuk masing-masing, dan tak ada pilihan lagi bagi mereka juga untuk sibuk dengan kegiatan apa yang bisa mereka lakukan sendiri.
Gadis itu menatap jendela, satu persatu air hujan mulai mengetuk kacanya dan gemuruh hujan sudah turun deras membasahi bumi.
“Aduh, payungnya si Mina kebawa lagi sama gue...” Ibra bergumam sendiri, lalu sekilas ada kepala mungil yang mulai terkantuk-kantuk di kursi depan. Ibra yang menyadari hal itu langsung mengambil tindakan dengan meletakkan tas ranselnya ke samping dan mengarahkan kepala mungil gadis di sampingnya menyandar ke tas. Pemuda itu tak mungkin bisa tidur dengan posisi berdiri seperti ini, tapi ia cukup paham kalau juniornya itu sangat kelelahan.
“Memasuki halte Kebon Jeruk, sekali lagi memasuki halte Kebon Jeruk, bagi para penumpang yang akan turun atau transit. Hati-hati saat melangkah turun dan perhatikan barang bawaan Anda, terimakasih”
Ayu langsung terbangun dari tidurnya begitu mendengar halte tujuannya.
“Kak aku turun disini, kakak turun dimana?” tanya Ayu.
“Masih jauh, kamu turun aja. Hati-hati ya.” balas Ibra dengan lengkungan senyum simpulnya.
Ayu mengangguk mantap lalu melambaikan tangannya riang ke arah Ibra dan di balas seadanya. Begitu bayangan Ayu mulai hilang dari jangkauannya, pemuda itu menghela nafas panjang.
“Permisi, pak. Saya mau mutar balik berhenti di halte mana ya?”