shinelyght

Ibra-Mina kelas 12 di MAN...

Pengumuman jam pulang sekolah berdentang, langit senja yang menjadi tanda berakhirnya kegiatan sekolah membuat sekelompok anak-anak bersorak ramai. Ibrahim, pemuda yang menempati kelas 12 IPA 2 itu cepat merapihkan bukunya dan mengambil gagang sapu yang ada di dekat pintu.

“Yang piket kok kita berdua doang, Ghe?” tanya Ibra datar, tangannya mulai menyapu ke arah sana kemari, gadis cantik yang di ajak bicara malah gelagapan.

“Ha-Harusnya Dian ikut juga... tapi dia malah kabur...” gadis bernama Ghea itu menunduk malu, karena sekarang di ruangan kelasnya cuman ada dia dengan lelaki pujaan hatinya, siapa lagi kalau bukan Ibra.

Di masa tahun terakhir SMA-nya, entah kenapa pubertas dapat mengubah sosok Ibrahim El Fatih sekejap menjadi lelaki mempesona favorit kaum hawa di sekolahnya. Berapa kali ia mendapat pengakuan cinta baik tersirat maupun tersurat. Kakaknya, Aminah pun juga heran bagaimana bisa adiknya ini sangat populer.

“Gue ada ekskul nanti abis ashar, kita beresin seadanya dulu aja ya? lanjut nanti pagi.” pinta Ibra

“I-Iya boleh...”

Begitu pekerjaannya selesai, pemuda itu cepat pergi meninggalkan kawannya itu ke tempat tujuannya. Ghea memandang punggung besar Ibra dengan nanar.

“Ya ampun... akhirnya ada momen berdua sama Ibra! Kyaa!”


“Ustadz Utsman gak dampingin kita hari ini?” Ibra membuka suara, alisnya terangkat satu heran begitu ia mendengar pesan dari guru pembimbingnya itu absen dari kegiatan mereka.

“Katanya, Kak Ibra dulu yang dampingin. Beliau lagi ngajarin kelas tambahan buat anak Agama,” jelas salah satu junior Ibra.

“Aminah mana?” tanya Ibra lagi.

“Kak Mina masih rapat MPK.”

Ibra menepuk jidatnya, “Yah jadi tanggung jawab gue dong?! Yaudah dah, lu pada hafalin aja dulu apa yang mau di setor, kita tunggu Ustadz Utsman aja kalau mau lanjut ke surat berikutnya.”

Pemuda itu menderu nafas kasar, netranya menangkap layangan daun kecil dari terpaan angin senja. Mentari sudah sembunyi dengan sempurna, melenyapkan siang yang di rindukan awan dan beristirahat bersama bulan yang sedikit demi sedikit mulai terlihat.

Langit malam hampir tiba, dan itu pertanda Ibra harus mengakhiri kegiatannya.

“Mina lama bener dah rapatnya udah kayak rapat DPR anjir!” Ibra mengumpat kesal, tak lama ponselnya berdentang singkat.

Ibraaa, Aku harus siap-siap untuk acara besok jadi kayaknya aku bakalan nginep di kosan temen aku, aku udah izin juga sama abi umi, kamu pulang duluan aja naik bus!

Sekali lagi, pemuda itu menggerutu.

Tak ada pilihan lagi selain pulang duluan seperti yang di minta oleh kakaknya, dengan langkah malas ia berjalan ke halte bus.

Kakinya terhenti begitu melihat salah seorang gadis yang ia kenal sedang celingukan di sebrang halte, tepatnya sekitar 9 meter dari jangkauannya. Gadis itu terlihat seperti menunggu seseorang, tapi kedatangannya tak bisa di harapkan.

Gadis itu adalah Ayudistya Ningrum, siswi kelas 10 yang menjadi junior bimbingan Ibra di ekskul Tahfidz-nya.

“Kamu anak tahfidz ya?” Ibra menyapanya duluan, sontak gadis itu langsung menghindar, “Saya Ibra, saya gak asing sama muka kamu.”

Mata gadis itu terbelelak, “E-Eh, iya... maaf kak soalnya malem-malem gini jadi reflek ngehindar....” wajah sendunya menatap ponselnya yang tak ada notifikasi apapun.

“Kamu dijemput?” tanya Ibra.

“Iya.”

“Udah di kabarin belum?”

“Itu dia... saya telepon gak di jawab-jawab, terus saya chat gak di jawab juga cuman centang satu.”

Ibra membuka lengan kemejanya—menampakkan arloji hitamnya yang menunjukkan pukul 18:45, “Ini udah malam, kamu hafal gak arah rumah kamu kalau naik bus?”

Yang ditanya mengangguk pelan.

“Kalau jam 7 pas mereka masih gak datang, kamu pulang naik bus aja. Cukup rawan juga kalau ada perempuan sendirian disini.”

Gadis berkerudung itu hanya mengangguk menurut, lalu Ibra ikut berdiri di sisinya dengan gagah, meninggalkan tanda tanya di benak Ayu dengan tingkah seniornya itu.

“Kakak... gak pulang?” tanyanya meyakinkan.

“Saya nungguin kamu di jemput dulu, bahaya.” jawab Ibra ringan— ia mengambil dua stick candy di sakunya, “Nih permen, biar gak bete.”

Ayu dengan kikuk menerima permen yang di tawarkan Ibra, menatap lemat-lemat dengan tatapan curiganya kepada Ibra.

Spontan lelaki itu terkekeh.

“Gak ada racun, makan aja.” Ibra membuka bungkusan permennya santai sambil jongkok, lalu mengemut permennya khidmat sambil memerhatikan lalu lalang mobil yang akan ke arah sekolah.

Lampu remang-remang di atasnya memang memudarkan penglihatan keduanya, dengan siluet hitam yang semakin mendominasi wajah tampan Ibra dari netra cantik Ayu, tapi entah kenapa hatinya berdegup tak karuan apalagi ia tak sengaja menghirup aroma shampoo mint bercampur parfum maskulin yang mencuat dari tubuh Ibra.

Kenapa dia bisa tidak memerhatikan sosok Ibra selama ini?

“Kamu kelas berapa?” Ibra membuka topik.

“Kelas 10 kak.” jawab Ayu.

“Ikut kegiatan lain gak selain Tahfidz?”

“Aku... baru daftar MPK...”

“MPK? Wah nanti kamu ketemu Mina dong?”

Ayu mengangguk mantap, “Iya, aku daftar MPK juga karena sarannya Kak Mina!”

Ibra mencibir, “Itu bukan saran, tapi rayuan. Mau aja kamu dirayu dia, jadi anak organisasi repot tahu!” “Tuh buktinya, dia sampai nginep di kosan temannya karena urusan MPK!”

Gadis tertawa geli, “Tapi... kakak kan ketua Ekskul Tahfidz? meskipun bukan anak OSIS/MPK tapi jadi ketua Ekskul juga gak gampang lho...”

“Itulah saya bilang, selama kamu terlibat lebih dalam organisasi itu cuman bikin repot. Padahal saya lebih suka jadi anggota, cuman karena Mina anak MPK jadinya saya yang dipilih ketua Ekskul.”

Gelak tawa Ayu pecah mendengar gerutu seniornya itu, memang di balik sisi tegasnya Ibra sebagai Ketua Ekskul, sifat tengil ciri khasnya itu tak pernah luput. Ustadz Zulkifil, pembina Ekskulnya juga sering di buat geleng-geleng karena tingkah Ibra tapi berhasil di patahkan karena Ibra adalah siswa berprestasi baik secara akademik dan di ekskulnya.

“Tapi katanya pengalaman organisasi itu penting untuk kebutuhan kuliah dan kerja kak.”

“Memang, tapi kalau gak penting-penting amat kayak yang dilakuin Mina sekarang juga gak akan kepake di dunia kerja. Yang ada kita jadi gampang di manfaatin karena bisa ngelakuin apa aja.” Ibra melempar stick bekas permennya sembarang, “Dunia tuh keras, bahkan kejam. Semakin kita menunjukkan apa yang kita bisa, maka semakin terbuka celah untuk orang manfaatkan kita, semakin kita baik dengan orang, maka siap-siap kita dianggap remeh orang-orang.”

Ayu tersontak dengan ucapan Ibra.

“Yah tapi balik lagi sih, Abi saya bilang, sebaik-baiknya manusia itu yang bermanfaat bagi banyak orang. Mungkin sayanya aja yang masih harus belajar banyak untuk lebih ikhlas.”

Ibra berdiri dari jongkoknya, menatap kedua netra Ayu mantap dengan senyuman jumawanya.

“Apapun pilihan kamu, jalanin aja dengan ikhlas. Gak ada yang buruk selama itu tidak menghalangi kamu ibadah.”

Butterflies...

Dada Ayu seperti di gandrungi ribuan kupu-kupu disana, ada rasa aneh yang mengganjal namun memberi rasa rindu sekaligus kagum terhadap sosok Ibra.

Inikah... yang namanya jatuh cinta?

“Ah ya, udah jam 7 lewat 5, kita pulang naik bus aja ya?”

Mata Ayu membulat sempurna, “Ki-kita?”

“Iya, kita pulang bareng naik bus.”

Entah kata-kata apa yang mampu mendeskripsikan kebahagiaan Ayu saat ini.


Di dalam bus yang ramai, Ibra memastikan bahwa gadis yang akan pulang bersamanya tetap aman dan terjaga. Di barisan depan yang harusnya menjadi prioritas wanita sudah penuh total, di belakang banyak bapak-bapak yang patut Ibra waspadai, tapi matanya langsung tertuju kepada satu buah kursi yang ada di bagian belakang.

“Dek! Kamu cepet ambil kursi di belakang itu!” titah Ibra.

“E-Eh? kenapa bukan kakak?!” jawab Ayu kikuk.

“Udah cepet kamu tandain dulu disana!”

Ayu cepat mengikuti arahan Ibra dan mengambil tempat duduk yang sudah di tunjuk. Ibra juga cepat menyusul ke tempat Ayu, dan berdiri tepat di samping Ayu agar gadisnya itu bisa ia jaga.

“E-Eh kakak aja yang duduk—”

“Gapapa, duduk aja disitu.”

Ayu tak enak hati, bagaimana bisa seniornya ini begitu menjaga dirinya sampai sejauh ini?

Suasana bus yang ramai tak memungkinkan keduanya untuk berbincang seperti tadi, hanya keheningan bersama hembusan AC yang terdengar jelas. Semuanya sibuk masing-masing, dan tak ada pilihan lagi bagi mereka juga untuk sibuk dengan kegiatan apa yang bisa mereka lakukan sendiri.

Gadis itu menatap jendela, satu persatu air hujan mulai mengetuk kacanya dan gemuruh hujan sudah turun deras membasahi bumi.

“Aduh, payungnya si Mina kebawa lagi sama gue...” Ibra bergumam sendiri, lalu sekilas ada kepala mungil yang mulai terkantuk-kantuk di kursi depan. Ibra yang menyadari hal itu langsung mengambil tindakan dengan meletakkan tas ranselnya ke samping dan mengarahkan kepala mungil gadis di sampingnya menyandar ke tas. Pemuda itu tak mungkin bisa tidur dengan posisi berdiri seperti ini, tapi ia cukup paham kalau juniornya itu sangat kelelahan.

“Memasuki halte Kebon Jeruk, sekali lagi memasuki halte Kebon Jeruk, bagi para penumpang yang akan turun atau transit. Hati-hati saat melangkah turun dan perhatikan barang bawaan Anda, terimakasih”

Ayu langsung terbangun dari tidurnya begitu mendengar halte tujuannya.

“Kak aku turun disini, kakak turun dimana?” tanya Ayu.

“Masih jauh, kamu turun aja. Hati-hati ya.” balas Ibra dengan lengkungan senyum simpulnya.

Ayu mengangguk mantap lalu melambaikan tangannya riang ke arah Ibra dan di balas seadanya. Begitu bayangan Ayu mulai hilang dari jangkauannya, pemuda itu menghela nafas panjang.

“Permisi, pak. Saya mau mutar balik berhenti di halte mana ya?”

#Butterflies ; My Favorite Ambivalance

Ibra-Mina kelas 12 di MAN...

Pengumuman jam pulang sekolah berdentang, langit senja yang menjadi tanda berakhirnya kegiatan sekolah membuat sekelompok anak-anak bersorak ramai. Ibrahim, pemuda yang menempati kelas 12 IPA 2 itu cepat merapihkan bukunya dan mengambil gagang sapu yang ada di dekat pintu.

“Yang piket kok kita berdua doang, Ghe?” tanya Ibra datar, tangannya mulai menyapu ke arah sana kemari, gadis cantik yang di ajak bicara malah gelagapan.

“Ha-Harusnya Dian ikut juga... tapi dia malah kabur...” gadis bernama Ghea itu menunduk malu, karena sekarang di ruangan kelasnya cuman ada dia dengan lelaki pujaan hatinya, siapa lagi kalau bukan Ibra.

Di masa tahun terakhir SMA-nya, entah kenapa pubertas dapat mengubah sosok Ibrahim El Fatih sekejap menjadi lelaki mempesona favorit kaum hawa di sekolahnya. Berapa kali ia mendapat pengakuan cinta baik tersirat maupun tersurat. Kakaknya, Aminah pun juga heran bagaimana bisa adiknya ini sangat populer.

“Gue ada ekskul nanti abis ashar, kita beresin seadanya dulu aja ya? lanjut nanti pagi.” pinta Ibra

“I-Iya boleh...”

Begitu pekerjaannya selesai, pemuda itu cepat pergi meninggalkan kawannya itu ke tempat tujuannya. Ghea memandang punggung besar Ibra dengan nanar.

“Ya ampun... akhirnya ada momen berdua sama Ibra! Kyaa!”


“Ustadz Utsman gak dampingin kita hari ini?” Ibra membuka suara, alisnya terangkat satu heran begitu ia mendengar pesan dari guru pembimbingnya itu absen dari kegiatan mereka.

“Katanya, Kak Ibra dulu yang dampingin. Beliau lagi ngajarin kelas tambahan buat anak Agama,” jelas salah satu junior Ibra.

“Aminah mana?” tanya Ibra lagi.

“Kak Mina masih rapat MPK.”

Ibra menepuk jidatnya, “Yah jadi tanggung jawab gue dong?! Yaudah dah, lu pada hafalin aja dulu apa yang mau di setor, kita tunggu Ustadz Utsman aja kalau mau lanjut ke surat berikutnya.”

Pemuda itu menderu nafas kasar, netranya menangkap layangan daun kecil dari terpaan angin senja. Mentari sudah sembunyi dengan sempurna, melenyapkan siang yang di rindukan awan dan beristirahat bersama bulan yang sedikit demi sedikit mulai terlihat.

Langit malam hampir tiba, dan itu pertanda Ibra harus mengakhiri kegiatannya.

“Mina lama bener dah rapatnya udah kayak rapat DPR anjir!” Ibra mengumpat kesal, tak lama ponselnya berdentang singkat.

Ibraaa, Aku harus siap-siap untuk acara besok jadi kayaknya aku bakalan nginep di kosan temen aku, aku udah izin juga sama abi umi, kamu pulang duluan aja naik bus!

Sekali lagi, pemuda itu menggerutu.

Tak ada pilihan lagi selain pulang duluan seperti yang di minta oleh kakaknya, dengan langkah malas ia berjalan ke halte bus.

Kakinya terhenti begitu melihat salah seorang gadis yang ia kenal sedang celingukan di sebrang halte, tepatnya sekitar 9 meter dari jangkauannya. Gadis itu terlihat seperti menunggu seseorang, tapi kedatangannya tak bisa di harapkan.

Gadis itu adalah Ayudistya Ningrum, siswi kelas 10 yang menjadi junior bimbingan Ibra di ekskul Tahfidz-nya.

“Kamu anak tahfidz ya?” Ibra menyapanya duluan, sontak gadis itu langsung menghindar, “Saya Ibra, saya gak asing sama muka kamu.”

Mata gadis itu terbelelak, “E-Eh, iya... maaf kak soalnya malem-malem gini jadi reflek ngehindar....” wajah sendunya menatap ponselnya yang tak ada notifikasi apapun.

“Kamu dijemput?” tanya Ibra.

“Iya.”

“Udah di kabarin belum?”

“Itu dia... saya telepon gak di jawab-jawab, terus saya chat gak di jawab juga cuman centang satu.”

Ibra membuka lengan kemejanya—menampakkan arloji hitamnya yang menunjukkan pukul 18:45, “Ini udah malam, kamu hafal gak arah rumah kamu kalau naik bus?”

Yang ditanya mengangguk pelan.

“Kalau jam 7 pas mereka masih gak datang, kamu pulang naik bus aja. Cukup rawan juga kalau ada perempuan sendirian disini.”

Gadis berkerudung itu hanya mengangguk menurut, lalu Ibra ikut berdiri di sisinya dengan gagah, meninggalkan tanda tanya di benak Ayu dengan tingkah seniornya itu.

“Kakak... gak pulang?” tanyanya meyakinkan.

“Saya nungguin kamu di jemput dulu, bahaya.” jawab Ibra ringan— ia mengambil dua stick candy di sakunya, “Nih permen, biar gak bete.”

Ayu dengan kikuk menerima permen yang di tawarkan Ibra, menatap lemat-lemat dengan tatapan curiganya kepada Ibra.

Spontan lelaki itu terkekeh.

“Gak ada racun, makan aja.” Ibra membuka bungkusan permennya santai sambil jongkok, lalu mengemut permennya khidmat sambil memerhatikan lalu lalang mobil yang akan ke arah sekolah.

Lampu remang-remang di atasnya memang memudarkan penglihatan keduanya, dengan siluet hitam yang semakin mendominasi wajah tampan Ibra dari netra cantik Ayu, tapi entah kenapa hatinya berdegup tak karuan apalagi ia tak sengaja menghirup aroma shampoo mint bercampur parfum maskulin yang mencuat dari tubuh Ibra.

Kenapa dia bisa tidak memerhatikan sosok Ibra selama ini?

“Kamu kelas berapa?” Ibra membuka topik.

“Kelas 10 kak.” jawab Ayu.

“Ikut kegiatan lain gak selain Tahfidz?”

“Aku... baru daftar MPK...”

“MPK? Wah nanti kamu ketemu Mina dong?”

Ayu mengangguk mantap, “Iya, aku daftar MPK juga karena sarannya Kak Mina!”

Ibra mencibir, “Itu bukan saran, tapi rayuan. Mau aja kamu dirayu dia, jadi anak organisasi repot tahu!” “Tuh buktinya, dia sampai nginep di kosan temannya karena urusan MPK!”

Gadis tertawa geli, “Tapi... kakak kan ketua Ekskul Tahfidz? meskipun bukan anak OSIS/MPK tapi jadi ketua Ekskul juga gak gampang lho...”

“Itulah saya bilang, selama kamu terlibat lebih dalam organisasi itu cuman bikin repot. Padahal saya lebih suka jadi anggota, cuman karena Mina anak MPK jadinya saya yang dipilih ketua Ekskul.”

Gelak tawa Ayu pecah mendengar gerutu seniornya itu, memang di balik sisi tegasnya Ibra sebagai Ketua Ekskul, sifat tengil ciri khasnya itu tak pernah luput. Ustadz Zulkifil, pembina Ekskulnya juga sering di buat geleng-geleng karena tingkah Ibra tapi berhasil di patahkan karena Ibra adalah siswa berprestasi baik secara akademik dan di ekskulnya.

“Tapi katanya pengalaman organisasi itu penting untuk kebutuhan kuliah dan kerja kak.”

“Memang, tapi kalau gak penting-penting amat kayak yang dilakuin Mina sekarang juga gak akan kepake di dunia kerja. Yang ada kita jadi gampang di manfaatin karena bisa ngelakuin apa aja.” Ibra melempar stick bekas permennya sembarang, “Dunia tuh keras, bahkan kejam. Semakin kita menunjukkan apa yang kita bisa, maka semakin terbuka celah untuk orang manfaatkan kita, semakin kita baik dengan orang, maka siap-siap kita dianggap remeh orang-orang.”

Ayu tersontak dengan ucapan Ibra.

“Yah tapi balik lagi sih, Abi saya bilang, sebaik-baiknya manusia itu yang bermanfaat bagi banyak orang. Mungkin sayanya aja yang masih harus belajar banyak untuk lebih ikhlas.”

Ibra berdiri dari jongkoknya, menatap kedua netra Ayu mantap dengan senyuman jumawanya.

“Apapun pilihan kamu, jalanin aja dengan ikhlas. Gak ada yang buruk selama itu tidak menghalangi kamu ibadah.”

Butterflies...

Dada Ayu seperti di gandrungi ribuan kupu-kupu disana, ada rasa aneh yang mengganjal namun memberi rasa rindu sekaligus kagum terhadap sosok Ibra.

Inikah... yang namanya jatuh cinta?

“Ah ya, udah jam 7 lewat 5, kita pulang naik bus aja ya?”

Mata Ayu membulat sempurna, “Ki-kita?”

“Iya, kita pulang bareng naik bus.”

Entah kata-kata apa yang mampu mendeskripsikan kebahagiaan Ayu saat ini.


Di dalam bus yang ramai, Ibra memastikan bahwa gadis yang akan pulang bersamanya tetap aman dan terjaga. Di barisan depan yang harusnya menjadi prioritas wanita sudah penuh total, di belakang banyak bapak-bapak yang patut Ibra waspadai, tapi matanya langsung tertuju kepada satu buah kursi yang ada di bagian belakang.

“Dek! Kamu cepet ambil kursi di belakang itu!” titah Ibra.

“E-Eh? kenapa bukan kakak?!” jawab Ayu kikuk.

“Udah cepet kamu tandain dulu disana!”

Ayu cepat mengikuti arahan Ibra dan mengambil tempat duduk yang sudah di tunjuk. Ibra juga cepat menyusul ke tempat Ayu, dan berdiri tepat di samping Ayu agar gadisnya itu bisa ia jaga.

“E-Eh kakak aja yang duduk—”

“Gapapa, duduk aja disitu.”

Ayu tak enak hati, bagaimana bisa seniornya ini begitu menjaga dirinya sampai sejauh ini?

Suasana bus yang ramai tak memungkinkan keduanya untuk berbincang seperti tadi, hanya keheningan bersama hembusan AC yang terdengar jelas. Semuanya sibuk masing-masing, dan tak ada pilihan lagi bagi mereka juga untuk sibuk dengan kegiatan apa yang bisa mereka lakukan sendiri.

Gadis itu menatap jendela, satu persatu air hujan mulai mengetuk kacanya dan gemuruh hujan sudah turun deras membasahi bumi.

“Aduh, payungnya si Mina kebawa lagi sama gue...” Ibra bergumam sendiri, lalu sekilas ada kepala mungil yang mulai terkantuk-kantuk di kursi depan. Ibra yang menyadari hal itu langsung mengambil tindakan dengan meletakkan tas ranselnya ke samping dan mengarahkan kepala mungil gadis di sampingnya menyandar ke tas. Pemuda itu tak mungkin bisa tidur dengan posisi berdiri seperti ini, tapi ia cukup paham kalau juniornya itu sangat kelelahan.

“Memasuki halte Kebon Jeruk, sekali lagi memasuki halte Kebon Jeruk, bagi para penumpang yang akan turun atau transit. Hati-hati saat melangkah turun dan perhatikan barang bawaan Anda, terimakasih”

Ayu langsung terbangun dari tidurnya begitu mendengar halte tujuannya.

“Kak aku turun disini, kakak turun dimana?” tanya Ayu.

“Masih jauh, kamu turun aja. Hati-hati ya.” balas Ibra dengan lengkungan senyum simpulnya.

Ayu mengangguk mantap lalu melambaikan tangannya riang ke arah Ibra dan di balas seadanya. Begitu bayangan Ayu mulai hilang dari jangkauannya, pemuda itu menghela nafas panjang.

“Permisi, pak. Saya mau mutar balik berhenti di halte mana ya?”

Ibra-Mina kelas 12 di MAN...

Pengumuman jam pulang sekolah berdentang, langit senja yang menjadi tanda berakhirnya kegiatan sekolah membuat sekelompok anak-anak bersorak ramai. Ibrahim, pemuda yang menempati kelas 12 IPA 2 itu cepat merapihkan bukunya dan mengambil gagang sapu yang ada di dekat pintu.

“Yang piket kok kita berdua doang, Ghe?” tanya Ibra datar, tangannya mulai menyapu ke arah sana kemari, gadis cantik yang di ajak bicara malah gelagapan.

“Ha-Harusnya Dian ikut juga... tapi dia malah kabur...” gadis bernama Ghea itu menunduk malu, karena sekarang di ruangan kelasnya cuman ada dia dengan lelaki pujaan hatinya, siapa lagi kalau bukan Ibra.

Di masa tahun terakhir SMA-nya, entah kenapa pubertas dapat mengubah sosok Ibrahim El Fatih sekejap menjadi lelaki mempesona favorit kaum hawa di sekolahnya. Berapa kali ia mendapat pengakuan cinta baik tersirat maupun tersurat. Kakaknya, Aminah pun juga heran bagaimana bisa adiknya ini sangat populer.

“Gue ada ekskul nanti abis ashar, kita beresin seadanya dulu aja ya? lanjut nanti pagi.” pinta Ibra

“I-Iya boleh...”

Begitu pekerjaannya selesai, pemuda itu cepat pergi meninggalkan kawannya itu ke tempat tujuannya. Ghea memandang punggung besar Ibra dengan nanar.

“Ya ampun... akhirnya ada momen berdua sama Ibra! Kyaa!”


“Ustadz Utsman gak dampingin kita hari ini?” Ibra membuka suara, alisnya terangkat satu heran begitu ia mendengar pesan dari guru pembimbingnya itu absen dari kegiatan mereka.

“Katanya, Kak Ibra dulu yang dampingin. Beliau lagi ngajarin kelas tambahan buat anak Agama,” jelas salah satu junior Ibra.

“Aminah mana?” tanya Ibra lagi.

“Kak Mina masih rapat MPK.”

Ibra menepuk jidatnya, “Yah jadi tanggung jawab gue dong?! Yaudah dah, lu pada hafalin aja dulu apa yang mau di setor, kita tunggu Ustadz Utsman aja kalau mau lanjut ke surat berikutnya.”

Pemuda itu menderu nafas kasar, netranya menangkap layangan daun kecil dari terpaan angin senja. Mentari sudah sembunyi dengan sempurna, melenyapkan siang yang di rindukan awan dan beristirahat bersama bulan yang sedikit demi sedikit mulai terlihat.

Langit malam hampir tiba, dan itu pertanda Ibra harus mengakhiri kegiatannya.

“Mina lama bener dah rapatnya udah kayak rapat DPR anjir!” Ibra mengumpat kesal, tak lama ponselnya berdentang singkat.

Ibraaa, Aku harus siap-siap untuk acara besok jadi kayaknya aku bakalan nginep di kosan temen aku, aku udah izin juga sama abi umi, kamu pulang duluan aja naik bus!

Sekali lagi, pemuda itu menggerutu.

Tak ada pilihan lagi selain pulang duluan seperti yang di minta oleh kakaknya, dengan langkah malas ia berjalan ke halte bus.

Kakinya terhenti begitu melihat salah seorang gadis yang ia kenal sedang celingukan di sebrang halte, tepatnya sekitar 9 meter dari jangkauannya. Gadis itu terlihat seperti menunggu seseorang, tapi kedatangannya tak bisa di harapkan.

Gadis itu adalah Ayudistya Ningrum, siswi kelas 10 yang menjadi junior bimbingan Ibra di ekskul Tahfidz-nya.

“Kamu anak tahfidz ya?” Ibra menyapanya duluan, sontak gadis itu langsung menghindar, “Saya Ibra, saya gak asing sama muka kamu.”

Mata gadis itu terbelelak, “E-Eh, iya... maaf kak soalnya malem-malem gini jadi reflek ngehindar....” wajah sendunya menatap ponselnya yang tak ada notifikasi apapun.

“Kamu dijemput?” tanya Ibra.

“Iya.”

“Udah di kabarin belum?”

“Itu dia... saya telepon gak di jawab-jawab, terus saya chat gak di jawab juga cuman centang satu.”

Ibra membuka lengan kemejanya—menampakkan arloji hitamnya yang menunjukkan pukul 18:45, “Ini udah malam, kamu hafal gak arah rumah kamu kalau naik bus?”

Yang ditanya mengangguk pelan.

“Kalau jam 7 pas mereka masih gak datang, kamu pulang naik bus aja. Cukup rawan juga kalau ada perempuan sendirian disini.”

Gadis berkerudung itu hanya mengangguk menurut, lalu Ibra ikut berdiri di sisinya dengan gagah, meninggalkan tanda tanya di benak Ayu dengan tingkah seniornya itu.

“Kakak... gak pulang?” tanyanya meyakinkan.

“Saya nungguin kamu di jemput dulu, bahaya.” jawab Ibra ringan— ia mengambil dua stick candy di sakunya, “Nih permen, biar gak bete.”

Ayu dengan kikuk menerima permen yang di tawarkan Ibra, menatap lemat-lemat dengan tatapan curiganya kepada Ibra.

Spontan lelaki itu terkekeh.

“Gak ada racun, makan aja.” Ibra membuka bungkusan permennya santai sambil jongkok, lalu mengemut permennya khidmat sambil memerhatikan lalu lalang mobil yang akan ke arah sekolah.

Lampu remang-remang di atasnya memang memudarkan penglihatan keduanya, dengan siluet hitam yang semakin mendominasi wajah tampan Ibra dari netra cantik Ayu, tapi entah kenapa hatinya berdegup tak karuan apalagi ia tak sengaja menghirup aroma shampoo mint bercampur parfum maskulin yang mencuat dari tubuh Ibra.

Kenapa dia bisa tidak memerhatikan sosok Ibra selama ini?

“Kamu kelas berapa?” Ibra membuka topik.

“Kelas 10 kak.” jawab Ayu.

“Ikut kegiatan lain gak selain Tahfidz?”

“Aku... baru daftar MPK...”

“MPK? Wah nanti kamu ketemu Mina dong?”

Ayu mengangguk mantap, “Iya, aku daftar MPK juga karena sarannya Kak Mina!”

Ibra mencibir, “Itu bukan saran, tapi rayuan. Mau aja kamu dirayu dia, jadi anak organisasi repot tahu!” “Tuh buktinya, dia sampai nginep di kosan temannya karena urusan MPK!”

Gadis tertawa geli, “Tapi... kakak kan ketua Ekskul Tahfidz? meskipun bukan anak OSIS/MPK tapi jadi ketua Ekskul juga gak gampang lho...”

“Itulah saya bilang, selama kamu terlibat lebih dalam organisasi itu cuman bikin repot. Padahal saya lebih suka jadi anggota, cuman karena Mina anak MPK jadinya saya yang dipilih ketua Ekskul.”

Gelak tawa Ayu pecah mendengar gerutu seniornya itu, memang di balik sisi tegasnya Ibra sebagai Ketua Ekskul, sifat tengil ciri khasnya itu tak pernah luput. Ustadz Zulkifil, pembina Ekskulnya juga sering di buat geleng-geleng karena tingkah Ibra tapi berhasil di patahkan karena Ibra adalah siswa berprestasi baik secara akademik dan di ekskulnya.

“Tapi katanya pengalaman organisasi itu penting untuk kebutuhan kuliah dan kerja kak.”

“Memang, tapi kalau gak penting-penting amat kayak yang dilakuin Mina sekarang juga gak akan kepake di dunia kerja. Yang ada kita jadi gampang di manfaatin karena bisa ngelakuin apa aja.” Ibra melempar stick bekas permennya sembarang, “Dunia tuh keras, bahkan kejam. Semakin kita menunjukkan apa yang kita bisa, maka semakin terbuka celah untuk orang manfaatkan kita, semakin kita baik dengan orang, maka siap-siap kita dianggap remeh orang-orang.”

Ayu tersontak dengan ucapan Ibra.

“Yah tapi balik lagi sih, Abi saya bilang, sebaik-baiknya manusia itu yang bermanfaat bagi banyak orang. Mungkin sayanya aja yang masih harus belajar banyak untuk lebih ikhlas.”

Ibra berdiri dari jongkoknya, menatap kedua netra Ayu mantap dengan senyuman jumawanya.

“Apapun pilihan kamu, jalanin aja dengan ikhlas. Gak ada yang buruk selama itu tidak menghalangi kamu ibadah.”

Butterflies...

Dada Ayu seperti di gandrungi ribuan kupu-kupu disana, ada rasa aneh yang mengganjal namun memberi rasa rindu sekaligus kagum terhadap sosok Ibra.

Inikah... yang namanya jatuh cinta?

“Ah ya, udah jam 7 lewat 5, kita pulang naik bus aja ya?”

Mata Ayu membulat sempurna, “Ki-kita?”

“Iya, kita pulang bareng naik bus.”

Entah kata-kata apa yang mampu mendeskripsikan kebahagiaan Ayu saat ini.


Di dalam bus yang ramai, Ibra memastikan bahwa gadis yang akan pulang bersamanya tetap aman dan terjaga. Di barisan depan yang harusnya menjadi prioritas wanita sudah penuh total, di belakang banyak bapak-bapak yang patut Ibra waspadai, tapi matanya langsung tertuju kepada satu buah kursi yang ada di bagian belakang.

“Dek! Kamu cepet ambil kursi di belakang itu!” titah Ibra.

“E-Eh? kenapa bukan kakak?!” jawab Ayu kikuk.

“Udah cepet kamu tandain dulu disana!”

Ayu cepat mengikuti arahan Ibra dan mengambil tempat duduk yang sudah di tunjuk. Ibra juga cepat menyusul ke tempat Ayu, dan berdiri tepat di samping Ayu agar gadisnya itu bisa ia jaga.

“E-Eh kakak aja yang duduk—”

“Gapapa, duduk aja disitu.”

Ayu tak enak hati, bagaimana bisa seniornya ini begitu menjaga dirinya sampai sejauh ini?

Suasana bus yang ramai tak memungkinkan keduanya untuk berbincang seperti tadi, hanya keheningan bersama hembusan AC yang terdengar jelas. Semuanya sibuk masing-masing, dan tak ada pilihan lagi bagi mereka juga untuk sibuk dengan kegiatan apa yang bisa mereka lakukan sendiri.

Gadis itu menatap jendela, satu persatu air hujan mulai mengetuk kacanya dan gemuruh hujan sudah turun deras membasahi bumi.

“Aduh, payungnya si Mina kebawa lagi sama gue...” Ibra bergumam sendiri, lalu sekilas ada kepala mungil yang mulai terkantuk-kantuk di kursi depan. Ibra yang menyadari hal itu langsung mengambil tindakan dengan meletakkan tas ranselnya ke samping dan mengarahkan kepala mungil gadis di sampingnya menyandar ke tas. Pemuda itu tak mungkin bisa tidur dengan posisi berdiri seperti ini, tapi ia cukup paham kalau juniornya itu sangat kelelahan.

“Memasuki halte Kebon Jeruk, sekali lagi memasuki halte Kebon Jeruk, bagi para penumpang yang akan turun atau transit. Hati-hati saat melangkah turun dan perhatikan barang bawaan Anda, terimakasih”

Ayu langsung terbangun dari tidurnya begitu mendengar halte tujuannya.

“Kak aku turun disini, kakak turun dimana?” tanya Ayu.

“Masih jauh, kamu turun aja. Hati-hati ya.” balas Ibra dengan lengkungan senyum simpulnya.

Ayu mengangguk mantap lalu melambaikan tangannya riang ke arah Ibra dan di balas seadanya. Begitu bayangan Ayu mulai hilang dari jangkauannya, pemuda itu menghela nafas panjang.

“Permisi, pak. Saya mau mutar balik berhenti di halte mana ya?”

Mina menghentakkan beberapa bukunya, menata rapih lembaran kertas yang terselip di bukunya.

“Bu Mina!”

Sahutan gadis cilik berambut pendek bob itu mengejutkan Mina, “Iya, Caroline?”

“Kenapa Bu Mina cuman tinggal 3 bulan disini?”

Mina tersenyum henyak lalu mendekati wajah gadis mungil itu, “Nanti ibu lupa rasa rendang kalau kelamaan disini.”

Caroline menggedikan kepalanya, “Rendang? Apa itu rendang?”

“Rendang itu makanan yang paling harus kamu coba kalau di Indonesia, dan masih ada lagi makanan-makanan Indonesia yang lezat seperti nasi gudeg, pecel terus ayam penyet...” Mina mengait anak rambut hazel milik Caroline lembut, tak lupa memberi jejak colekan kecil di pipi gembul merah jambunya. Muridnya satu ini sangat mengagumi sosok gurunya ini, semua cerita dan bagaimana Mina mengajar merupakan hal favorit yang selalu ia nantikan di sekolah. Kedua orang tua Caroline yang merupakan orang Indonesia asli tentu mengerti kenapa Caroline sangat menyukai gurunya satu itu.

“Kita bisa minta Bu Mina bawakan rendang buatannya untuk kelas selanjutnya.”

Suara bariton dari ambang pintu kelas membuat Mina mendelik, apalagi dengan kalimatnya barusan. Senyuman jumawa Aaron yang di iringi tawa kecilnya, tangan besarnya langsung menepuk bahu Mina.

“Anak-anak juga harus tahu bagaimana rasanya makanan Indonesia,” lanjut pria itu.

Caroline yang mendengarnya langsung loncat kegirangan, ia tak sabar menantikan hari itu akan datang.

Sedangkan Mina...

“Waduh... Mina kan gak bisa masak...”


“Kak Aaron ih! Aku gak bisa masak seriusan, kemarin juga di ajarin masak udah lupa lagi resepnya! Kok tiba-tiba banget nyuruh bawa makanan Indonesia?!” Mina tak henti protes besar ke atasannya itu, Aaron tertawa terbahak-bahak dengan respon Mina yang menggemaskan.

“Aku asal ngomong doang lho, Mina.”

“Tapi Caroline udah exciting gitu! Kan gak enak kalo akunya gak bawain untuk mereka...”

Aaron lagi-lagi menanggapi ocehan Mina dengan kekehan geli. PUK Tangan besarnya menggapai pucuk kepala gadisnya, “Kalo gitu gak ada salahnya kan kamu belajar sambil minta penilaian anak-anak?” “Ah tapi beda ya kalau penilaian aku, takutnya gak objektif hahaha...”

Mina mengernyit dahi, “Kok gitu?!”

“Aku kan penggemar kamu, pasti masakan kamu semuanya kubilang enak.”

PUUSH! Wajah Mina sukses dibuat merah tomat oleh lontaran gombal picisan Aaron. Ia tak mengerti kenapa harus salah tingkah tapi yang jelas, jantungnya kini berdegup tak karuan.

Curang.

“Mina, kamu ada rencana kah malam minggu ini?”

Cepat gadis itu mengangguk, “Iya, aku ada makan malam.”

“Makan malam sama siapa?”

Mina mengatup bibirnya, “Sama... keluarganya Bang Husein.”

Senyuman Aaron memudar, nama yang terucap dari bibir manis Mina membuat secercah harapannya meredup.

Pria itu harus apa?

“Mina,” Aaron melangkah cepat lagi, berdiri di hadapan gadis itu dan menatap kedua netra cantiknya mantap, “Maaf tapi aku mau tanya soal ini sama kamu.”

Dengan lugu, gadis itu melontarkan senyuman manisnya, “Apa, Kak?”

“Kamu... dengan Husein, gak pacaran?”

Pertanyaan itu membuat yang di tanya mengernyit dahinya, “Ha-hah?”

“Kamu kok kayak deket banget sama Husein.”

Mina menggeleng cepat, “Enggak kok! Aku gak pacaran, bukannya aku udah bilang kita ini teman masa kecil? jadi aku sama Bang Husein gak ada hubungan spesial apa-apa!”

Jawaban itu sudah mutlak, Mina tlah memantapkan hatinya untuk menyudahi semua rasa yang usang meskipun meninggalkan luka dan kenangan. Kalimat itu keluar beriring dengan rasa sakit di dadanya, tapi ini sudah keputusan Mina.

Aaron kembali menampilkan senyuman tampannya, “Ah gitu?” suaranya menggambarkan lelaki itu lega.

“Kenapa... Kak Aaron tiba-tiba nanya gitu sama aku?” tanya Mina heran.

Aaron menunduk sejenak, “Aku hanya memastikan saja, bahwa kesempatanku masih terbuka lebar.”

Laki-laki itu jalan mendahului Mina, dan meninggalkan kalimat ambigunya sebagai tanda tanya besar di benak Mina.

Malam ini, sudah di pastikan gadis itu tidak akan bisa tidur.

Ibra dengan jaket puff hitamnya melangkah gagah menuju pintu masuk, disana sudah di sambut oleh kehadiran sosok gadis berhijab coklat milo dengan utas senyum sumringahnya, lalu Haidar dengan ayahanda Ayu yang ikut menyambut kehadiran Ibra.

“Nah ini dia, sini duduk nak,” Haidar menepuk sofa di sampingnya—memberi satu jarak dari tempat duduk Ayu, “Ayu mau minta tolong sama kamu, Bra.”

Ibra duduk dengan wajah penasarannya, “Minta tolong apa?”

Ayah Ayu mengambil alih pembicaraan, “Ini den, Ayu baru mau mulai magang dan rencananya mau coba lamar di kantor kamu... kira-kira ada lowongan yang pas untuk Ayu?”

Ibra mengangguk paham, tatapannya teralih ke wajah cantik Ayu, “Kamu lulusan Sastra Inggris ya?”

“I-Iya betul, kak,” jawab Ayu kikuk.

Ibra bergeming sejenak, “Ah ada satu! kebetulan saya butuh lulusan Satra Inggris untuk jadi penerjemah berkas-berkas sama kalau ada klien dari luar negeri. Penerjemah yang kemarin baru resign karena mau fokus sama keluarganya, jadi kita coba dulu ya 3 bulan magang kalau cocok nanti tanda tangan kontrak. Gimana?”

Haidar langsung tertawa, “Tanda tangan kontrak ngapain? nanti kalian menikah kan harus sepakatin dulu Ayu lanjut kerja atau enggak!”

OHOK!! Nafas Ibra langsung tercekat di kerongkongan, matanya membulat ke arah Abinya tapi yang di lihat cuman pasang wajah polos tak berdosa.

“A-Anu nanti Ayu pikirin kok untuk tanda tangan kontraknya!” Ayu bersuara guna menetralisir suasana canggung yang dibuat Haidar. Kedua pria baya itu cuman terkekeh geli.

“Yaudah kalo gitu, untuk nanti di kantor dan segala macemnya kita lihat pas kamu start magang. Kapan mau mulai?”

“Besok boleh gak kak?”

Ibra tersentak, “Waduh, besok saya ada janji jadi saya gabisa bimbing kamu langsung. Minggu depan aja gimana?”

Ayu mengangguk mantap, “Boleh kak!”

Tak lama di tengah percakapan, ponsel Ibra bergetar lama di sakunya, sudah sejak 15 menit yang lalu ponselnya tak berhenti bergetar.

Rose : MAS IBRAAA Rose : Besok jadi kan? ya kaann?? Rose : Aku udah reserved yaa restoran yang ada di PI awas loo gajadi😠 Rose : Besok kamu harus bagus presentasinya, kalo nggak aku gak jadi invest di tempat kamu! Rose : Deal?!

Ibra menghempas tawa kecilnya.

Ibrahim : Iya, bawel.

Notifikasi Rose membuat dada pemuda berparas tampan itu kembali menghangat, namun memberi pandangan curiga bagi Ayu.

Ponsel Mina berdering menampilkan nama Ibra di layar ponselnya. Cepat gadis itu mengangkat dan suara tenor Ibra sudah terdengar menyapa kakaknya.

“Kenapa? Husein udah cerita apa aja?” tanya Ibra di sebrang sana.

Mina terdiam sejenak, “A-Aku... tahu semuanya bukan dari Bang Husein....”

“Terus?”

“Aku tahunya dari pacarnya Bang Husein.”

Ibra terkesiap bahkan sampai tersedak-sedak, “Hu-Husein punya pacar?! Wah tuh orang gak pegang omongan, sialan!”

Mina cuman menundukkan kepalanya, “Bra... tapi beneran, Abi di penjara... gara-gara ayah kandungnya Bang Husein? yang dulu bikin kita pindah-pindah sekolah, yang dulu bikin hidup kita gak tenang karena di hantuin wartawan tuh... ayahnya Bang Husein?”

Pria muda disana menghela nafas panjang, “Dari pengakuan Husein, iya, tapi gue belum sempet tanya lagi soal itu sama Abi. Gue takut itu ngebuka luka lama kita aja...” “Kenapa? Lo kecewa sama Bang Husein?”

Mina menggeleng, “Enggak, bukan gitu... Bang Husein juga korban soalnya....”

“Lo disana baik-baik aja kan sama Husein?”

“Ba-Baik-baik aja kok, kemaren dia ngerawat aku...”

“Sekarang udah enakan?”

“Udah kok...”

“Kak, dengerin gue, apapun kenyataan soal Husein, Abi dan Ayah kandungnya Husein... itu masa lalu. Abi sendiri juga udah ngelaluin semuanya dengan baik, kita jangan kayak kejebak sama memori lama.” “Bagaimanapun juga, Husein dari dulu udah kayak abang kita sendiri. Dia sering jagain kita, Mina. Masa lalu Abi sama ayah kandungnya gak ada sangkut pautnya sama Husein.” “Husein juga menderita karena kelakuan bokap kandungnya sendiri.”

Mina menunduk lagi kepalanya, Apa karena itu... Bang Husein... gak mau nepatin janjinya....?

“Cuman soal pacarnya, gue gak ngerti kok bisa-bisanya dia lagi ngejar lo eh di belakang udah punya pacar—”

“Enggak, Bra, tentang aku sama Bang Husein... udah selesai.”

“Hah maksudnya?”

Mina menahan air matanya yang hampir jatuh, “Aku sama Bang Husein... sudah selesai, Bra. Seperti yang dia mau, kita akan mengulang hubungan kita dari awal....”

Ibra ikut terdiam sejenak disana, merasakan dada yang ikut memilu. Ia tahu betul betapa beratnya Mina mengucap kalimat terakhirnya, namun tak ada gunanya Ibra untuk ikut campur lebih jauh lagi.

“Iya, bagaimana baiknya aja buat kakak... gue dukung apapun keputusan lo....”

Mereka sama-sama mengakhiri percakapan, namun Mina malah melepas kalimat akhirnya dengan tangis raungan yang menusuk dadanya.


Flashback, tahun 2029... Ibra-Mina kecil ketika Haidar melalui masa tahanan...

“WOO IBRA SAMA MINA AYAHNYA DI PENJARA IHH!! AYAHNYA PENJAHAT!!”

“Eh jangan deket-deket sama Ibra-Mina, katanya Ayahnya penjahat udah ngebunuh orang. Ih... padahal Ayahnya ustadz....”

TAK! Satu tempelan kertas melayang di punggung Mina akibat ulah jahil teman-temannya yang terus mencemooh gadis mungil itu soal musibah Ayahnya.

Tulisannya ANAK DARI AYAH MUNAFIK!!

“Kalian kenapa jahat gini sama Mina... Abi bukan orang jahat... Abi lagi jihad....” Mina kecil cuman bisa menangis sambil berlutut lemah. Ia tak mengerti kondisi apa yang membuatnya di tindas oleh kawan-kawan sekolahnya.

BUK!!!

Ibra tak tanggung langsung melayangkan satu tinju ke para pengusik Mina, bahkan tak tanggung ia menendang kawanan laki-laki bertubuh besar yang membuat kakaknya berlutut lemah.

“HEH BADAK, JANGAN GANGGU KAKAK GUA, KALO MAU SINI ADU OTOT SAMA GUA AJA!!!” Ibra sekali lagi melayang tinjuan ke pipi sang pembuat onar, tak terima di pukul, Ibra juga terkena pukulan maut dari salah satu bocah berbadan besar disana. Pertikaian mereka berubah semakin karut-marut dengan adu fisik.

Ibra berhasil melumpuhkan musuhnya, tubuh mungilnya meniban si badan besar dengan memar-memar yang memenuhi wajah dan tubuhnya, “DENGER YE, BADAK, AYAH GUE... BUKAN PENJAHAT!!! AYAH GUE LAGI JIHAD!!! AYAH GUE LAGI BERJUANG DI JALAN ALLAH!!! SEKALI LAGI LU BILANG AYAH GUE PENJAHAT, GUE PATAHIN TULANG LO SATU-SATU!!!!” “GUE JAGOAN SILAT, MAU LU PULANG-PULANG TINGGAL NAMA, HAH????!!!!”

Ibra menoleh ke arah kakaknya yang masih duduk berlutut, tangisannya makin kencang karena ketakutan melihat adiknya yang babak belur— melindunginya dari gangguan si bocah-bocah nakal yang berhasil ia lumpuhkan. Ibra menghentak kemeja musuhnya, lalu dengan langkah tergontai dia menghampiri Mina, menarik tangannya berdiri dan melangkah pergi bersama dari keramaian.

“Ibra... badannya luka-luka gini... nanti umi khawatir lho...” ucap Mina terisak-isak.

Ibra tersenyum cengir, “Gak usah mikirin Ibra, yang penting bukan Mina yang luka.” laki-laki mungil itu menoleh ke punggung Mina, menarik kertas yang menempel sempurna disana dan merobek-robeknya hingga hancur, “Cuman Allah yang tahu gimana perjuangan Abi, gak usah dengerin apa kata orang, Mina.”

“IBRAHIM EL FATIH!!!”

Langkah si kembar terhenti begitu wanita berkerudung merah di ujung sana meneriaki nama Ibra, sang pemilik nama menoleh santai.

“Kamu, ikut saya ke ruangan kepala sekolah!”

Ibra tersenyum cengir lagi, “Mina pulang duluan gih, paling eyang udah jemput tuh. Ibra ke ruangan kepsek dulu.”

“Gak mau! Mina mau nemenin Ibra!”

“Jangan, kalau Mina ikut nanti umi beneran khawatir. Nanti bilang aja ke umi, Ibra ada remedial.”

Sang guru sudah menarik tangan Ibra kasar menuju ruangan kepala sekolah, meskipun pada akhirnya Anela juga menyusuli Ibra untuk menghadap kepala sekolah tapi ibu dari 2 anak itu tak banyak berkomentar soal perbuatan anaknya.

Karena Anela lebih tahu tentang semua anaknya, Ibra melakukan hal demikian pasti tak jauh untuk melindungi kakaknya.”

Anela bertutur kalimat yang cukup mengiris hati pada saat menghadap kepala sekolahnya, “Biarlah anda menilai anak saya bahkan keluarga saya seperti apa karena situasi suami saya tapi anda harus tahu satu hal, bahwa Allah Maha Tahu Kebenaran yang sesungguhnya. Kalau anda tidak menerima lagi sikap anak saya tidak apa-apa, biar saya bawa pulang anak saya daripada harus menanggung beban malu dari orang-orang yang termakan fitnah.” “Sebelum bapak mengeluarkan anak saya, sekarang saya yang mengajukan pengunduran diri lebih dulu dari sekolah ini.”

Ponsel Mina berdering menampilkan nama Ibra di layar ponselnya. Cepat gadis itu mengangkat dan suara tenor Ibra sudah terdengar menyapa kakaknya.

“Kenapa? Husein udah cerita apa aja?” tanya Ibra di sebrang sana.

Mina terdiam sejenak, “A-Aku... tahu semuanya bukan dari Bang Husein....”

“Terus?”

“Aku tahunya dari pacarnya Bang Husein.”

Ibra terkesiap bahkan sampai tersedak-sedak, “Hu-Husein punya pacar?! Wah tuh orang gak pegang omongan, sialan!”

Mina cuman menundukkan kepalanya, “Bra... tapi beneran, Abi di penjara... gara-gara ayah kandungnya Bang Husein? yang dulu bikin kita pindah-pindah sekolah, yang dulu bikin hidup kita gak tenang karena di hantuin wartawan tuh... ayahnya Bang Husein?”

Pria muda disana menghela nafas panjang, “Dari pengakuan Husein, iya, tapi gue belum sempet tanya lagi soal itu sama Abi. Gue takut itu ngebuka luka lama kita aja...” “Kenapa? Lo kecewa sama Bang Husein?”

Mina menggeleng, “Enggak, bukan gitu... Bang Husein juga korban soalnya....”

“Lo disana baik-baik aja kan sama Husein?”

“Ba-Baik-baik aja kok, kemaren dia ngerawat aku...”

“Sekarang udah enakan?”

“Udah kok...”

“Kak, dengerin gue, apapun kenyataan soal Husein, Abi dan Ayah kandungnya Husein... itu masa lalu. Abi sendiri juga udah ngelaluin semuanya dengan baik, kita jangan kayak kejebak sama memori lama.” “Bagaimanapun juga, Husein dari dulu udah kayak abang kita sendiri. Dia sering jagain kita, Mina. Masa lalu Abi sama ayah kandungnya gak ada sangkut pautnya sama Husein.” “Husein juga menderita karena kelakuan bokap kandungnya sendiri.”

Mina menunduk lagi kepalanya, Apa karena itu... Bang Husein... gak mau nepatin janjinya....?

“Cuman soal pacarnya, gue gak ngerti kok bisa-bisanya dia lagi ngejar lo eh di belakang udah punya pacar—”

“Enggak, Bra, tentang aku sama Bang Husein... udah selesai.”

“Hah maksudnya?”

Mina menahan air matanya yang hampir jatuh, “Aku sama Bang Husein... sudah selesai, Bra. Seperti yang dia mau, kita akan mengulang hubungan kita dari awal....”

Ibra ikut terdiam sejenak disana, merasakan dada yang ikut memilu. Ia tahu betul betapa beratnya Mina mengucap kalimat terakhirnya, namun tak ada gunanya Ibra untuk ikut campur lebih jauh lagi.

“Iya, bagaimana baiknya aja buat kakak... gue dukung apapun keputusan lo....”

Mereka sama-sama mengakhiri percakapan, namun Mina malah melepas kalimat akhirnya dengan tangis raungan yang menusuk dadanya.


Flashback, tahun 2029... Ibra-Mina kecil ketika Haidar melalui masa tahanan...

“WOO IBRA SAMA MINA AYAHNYA DI PENJARA IHH!! AYAHNYA PENJAHAT!!”

“Eh jangan deket-deket sama Ibra-Mina, katanya Ayahnya penjahat udah ngebunuh orang. Ih... padahal Ayahnya ustadz....”

TAK! Satu tempelan kertas melayang di punggung Mina akibat ulah jahil teman-temannya yang terus mencemooh gadis mungil itu soal musibah Ayahnya.

Tulisannya ANAK DARI AYAH MUNAFIK!!

“Kalian kenapa jahat gini sama Mina... Abi bukan orang jahat... Abi lagi jihad....” Mina kecil cuman bisa menangis sambil berlutut lemah. Ia tak mengerti kondisi apa yang membuatnya di tindas oleh kawan-kawan sekolahnya.

BUK!!!

Ibra tak tanggung langsung melayangkan satu tinju ke para pengusik Mina, bahkan tak tanggung ia menendang kawanan laki-laki bertubuh besar yang membuat kakaknya berlutut lemah.

“HEH BADAK, JANGAN GANGGU KAKAK GUA, KALO MAU SINI ADU OTOT SAMA GUA AJA!!!” Ibra sekali lagi melayang tinjuan ke pipi sang pembuat onar, tak terima di pukul, Ibra juga terkena pukulan maut dari salah satu bocah berbadan besar disana. Pertikaian mereka berubah semakin karut-marut dengan adu fisik.

Ibra berhasil melumpuhkan musuhnya, tubuh mungilnya meniban si badan besar dengan memar-memar yang memenuhi wajah dan tubuhnya, “DENGER YE, BADAK, AYAH GUE... BUKAN PENJAHAT!!! AYAH GUE LAGI JIHAD!!! AYAH GUE LAGI BERJUANG DI JALAN ALLAH!!! SEKALI LAGI LU BILANG AYAH GUE PENJAHAT, GUE PATAHIN TULANG LO SATU-SATU!!!!” “GUE JAGOAN SILAT, MAU LU PULANG-PULANG TINGGAL NAMA, HAH????!!!!”

Ibra menoleh ke arah kakaknya yang masih duduk berlutut, tangisannya makin kencang karena ketakutan melihat adiknya yang babak belur— melindunginya dari gangguan si bocah-bocah nakal yang berhasil ia lumpuhkan. Ibra menghentak kemeja musuhnya, lalu dengan langkah tergontai dia menghampiri Mina, menarik tangannya berdiri dan melangkah pergi bersama dari keramaian.

“Ibra... badannya luka-luka gini... nanti umi khawatir lho...” ucap Mina terisak-isak.

Ibra tersenyum cengir, “Gak usah mikirin Ibra, yang penting bukan Mina yang luka.” laki-laki mungil itu menoleh ke punggung Mina, menarik kertas yang menempel sempurna disana dan merobek-robeknya hingga hancur, “Cuman Allah yang tahu gimana perjuangan Abi, gak usah dengerin apa kata orang, Mina.”

“IBRAHIM EL FATIH!!!”

*Langkah si kembar terhenti begitu wanita berkerudung merah di ujung sana meneriaki nama Ibra, sang pemilik nama menoleh santai.

“Kamu, ikut saya ke ruangan kepala sekolah!”

Ibra tersenyum cengir lagi, “Mina pulang duluan gih, paling eyang udah jemput tuh. Ibra ke ruangan kepsek dulu.”

“Gak mau! Mina mau nemenin Ibra!”

“Jangan, kalau Mina ikut nanti umi beneran khawatir. Nanti bilang aja ke umi, Ibra ada remedial.”

Sang guru sudah menarik tangan Ibra kasar menuju ruangan kepala sekolah, meskipun pada akhirnya Anela juga menyusuli Ibra untuk menghadap kepala sekolah tapi ibu dari 2 anak itu tak banyak berkomentar soal perbuatan anaknya.

Karena Anela lebih tahu tentang semua anaknya, Ibra melakukan hal demikian pasti tak jauh untuk melindungi kakaknya.”

Anela bertutur kalimat yang cukup mengiris hati pada saat menghadap kepala sekolahnya, “Biarlah anda menilai anak saya bahkan keluarga saya seperti apa karena situasi suami saya tapi anda harus tahu satu hal, bahwa Allah Maha Tahu Kebenaran yang sesungguhnya. Kalau anda tidak menerima lagi sikap anak saya tidak apa-apa, biar saya bawa pulang anak saya daripada harus menanggung beban malu dari orang-orang yang termakan fitnah.” “Sebelum bapak mengeluarkan anak saya, sekarang saya yang mengajukan pengunduran diri lebih dulu dari sekolah ini.”

Ponsel Mina berdering menampilkan nama Ibra di layar ponselnya. Cepat gadis itu mengangkat dan suara tenor Ibra sudah terdengar menyapa kakaknya.

“Kenapa? Husein udah cerita apa aja?” tanya Ibra di sebrang sana.

Mina terdiam sejenak, “A-Aku... tahu semuanya bukan dari Bang Husein....”

“Terus?”

“Aku tahunya dari pacarnya Bang Husein.”

Ibra terkesiap bahkan sampai tersedak-sedak, “Hu-Husein punya pacar?! Wah tuh orang gak pegang omongan, sialan!”

Mina cuman menundukkan kepalanya, “Bra... tapi beneran, Abi di penjara... gara-gara ayah kandungnya Bang Husein? yang dulu bikin kita pindah-pindah sekolah, yang dulu bikin hidup kita gak tenang karena di hantuin wartawan tuh... ayahnya Bang Husein?”

Pria muda disana menghela nafas panjang, “Dari pengakuan Husein, iya, tapi gue belum sempet tanya lagi soal itu sama Abi. Gue takut itu ngebuka luka lama kita aja...” “Kenapa? Lo kecewa sama Bang Husein?”

Mina menggeleng, “Enggak, bukan gitu... Bang Husein juga korban soalnya....”

“Lo disana baik-baik aja kan sama Husein?”

“Ba-Baik-baik aja kok, kemaren dia ngerawat aku...”

“Sekarang udah enakan?”

“Udah kok...”

“Kak, dengerin gue, apapun kenyataan soal Husein, Abi dan Ayah kandungnya Husein... itu masa lalu. Abi sendiri juga udah ngelaluin semuanya dengan baik, kita jangan kayak kejebak sama memori lama.” “Bagaimanapun juga, Husein dari dulu udah kayak abang kita sendiri. Dia sering jagain kita, Mina. Masa lalu Abi sama ayah kandungnya gak ada sangkut pautnya sama Husein.” “Husein juga menderita karena kelakuan bokap kandungnya sendiri.”

Mina menunduk lagi kepalanya, Apa karena itu... Bang Husein... gak mau nepatin janjinya....?

“Cuman soal pacarnya, gue gak ngerti kok bisa-bisanya dia lagi ngejar lo eh di belakang udah punya pacar—”

“Enggak, Bra, tentang aku sama Bang Husein... udah selesai.”

“Hah maksudnya?”

Mina menahan air matanya yang hampir jatuh, “Aku sama Bang Husein... sudah selesai, Bra. Seperti yang dia mau, kita akan mengulang hubungan kita dari awal....”

Ibra ikut terdiam sejenak disana, merasakan dada yang ikut memilu. Ia tahu betul betapa beratnya Mina mengucap kalimat terakhirnya, namun tak ada gunanya Ibra untuk ikut campur lebih jauh lagi.

“Iya, bagaimana baiknya aja buat kakak... gue dukung apapun keputusan lo....”

Mereka sama-sama mengakhiri percakapan, namun Mina malah melepas kalimat akhirnya dengan tangis raungan yang menusuk dadanya.


Flashback, tahun 2029... Ibra-Mina kecil ketika Haidar melalui masa tahanan...

“WOO IBRA SAMA MINA AYAHNYA DI PENJARA IHH!! AYAHNYA PENJAHAT!!”

“Eh jangan deket-deket sama Ibra-Mina, katanya Ayahnya penjahat udah ngebunuh orang. Ih... padahal Ayahnya ustadz....”

TAK! Satu tempelan kertas melayang di punggung Mina akibat ulah jahil teman-temannya yang terus mencemooh gadis mungil itu soal musibah Ayahnya.

Tulisannya ANAK DARI AYAH MUNAFIK!!

“Kalian kenapa jahat gini sama Mina... Abi bukan orang jahat... Abi lagi jihad....” Mina kecil cuman bisa menangis sambil berlutut lemah. Ia tak mengerti kondisi apa yang membuatnya di tindas oleh kawan-kawan sekolahnya.

BUK!!!

Ibra tak tanggung langsung melayangkan satu tinju ke para pengusik Mina, bahkan tak tanggung ia menendang kawanan laki-laki bertubuh besar yang membuat kakaknya berlutut lemah.

“HEH BADAK, JANGAN GANGGU KAKAK GUA, KALO MAU SINI ADU OTOT SAMA GUA AJA!!!” Ibra sekali lagi melayang tinjuan ke pipi sang pembuat onar, tak terima di pukul, Ibra juga terkena pukulan maut dari salah satu bocah berbadan besar disana. Pertikaian mereka berubah semakin karut-marut dengan adu fisik.

*Ibra berhasil melumpuhkan musuhnya, tubuh mungilnya meniban si badan besar dengan memar-memar yang memenuhi wajah dan tubuhnya, “DENGER YE, BADAK, AYAH GUE... BUKAN PENJAHAT!!! AYAH GUE LAGI JIHAD!!! AYAH GUE LAGI BERJUANG DI JALAN ALLAH!!! SEKALI LAGI LU BILANG AYAH GUE PENJAHAT, GUE PATAHIN TULANG LO SATU-SATU!!!!” “GUE JAGOAN SILAT, MAU LU PULANG-PULANG TINGGAL NAMA, HAH????!!!!”

Ibra menoleh ke arah kakaknya yang masih duduk berlutut, tangisannya makin kencang karena ketakutan melihat adiknya yang babak belur— melindunginya dari gangguan si bocah-bocah nakal yang berhasil ia lumpuhkan. Ibra menghentak kemeja musuhnya, lalu dengan langkah tergontai dia menghampiri Mina, menarik tangannya berdiri dan melangkah pergi bersama dari keramaian.

“Ibra... badannya luka-luka gini... nanti umi khawatir lho...” ucap Mina terisak-isak.

Ibra tersenyum cengir, “Gak usah mikirin Ibra, yang penting bukan Mina yang luka.” laki-laki mungil itu menoleh ke punggung Mina, menarik kertas yang menempel sempurna disana dan merobek-robeknya hingga hancur, “Cuman Allah yang tahu gimana perjuangan Abi, gak usah dengerin apa kata orang, Mina.”

“IBRAHIM EL FATIH!!!”

*Langkah si kembar terhenti begitu wanita berkerudung merah di ujung sana meneriaki nama Ibra, sang pemilik nama menoleh santai.

“Kamu, ikut saya ke ruangan kepala sekolah!”

Ibra tersenyum cengir lagi, “Mina pulang duluan gih, paling eyang udah jemput tuh. Ibra ke ruangan kepsek dulu.”

“Gak mau! Mina mau nemenin Ibra!”

“Jangan, kalau Mina ikut nanti umi beneran khawatir. Nanti bilang aja ke umi, Ibra ada remedial.”

Sang guru sudah menarik tangan Ibra kasar menuju ruangan kepala sekolah, meskipun pada akhirnya Anela juga menyusuli Ibra untuk menghadap kepala sekolah tapi ibu dari 2 anak itu tak banyak berkomentar soal perbuatan anaknya.

Karena Anela lebih tahu tentang semua anaknya, Ibra melakukan hal demikian pasti tak jauh untuk melindungi kakaknya.”

1 kalimat Anela yang cukup mengiris hati pada saat menghadap kepala sekolahnya, “Biarlah anda menilai anak saya bahkan keluarga saya seperti apa karena situasi suami saya tapi anda harus tahu satu hal, bahwa Allah Maha Tahu Kebenaran yang sesungguhnya. Kalau anda tidak menerima lagi sikap anak saya tidak apa-apa, biar saya bawa pulang anak saya daripada harus menanggung beban malu dari orang-orang yang termakan fitnah.” “Sebelum bapak mengeluarkan anak saya, sekarang saya yang mengajukan pengunduran diri lebih dulu dari sekolah ini.”

Ibra menatap kosong lalu lalang jalanan bersama mobil Honda City hitamnya, dengan Haidar— Abi Ibra yang sedang sibuk berbicara menceritakan sosok gadis yang akan ditemuinya ini. Ibra sudah tahu kalau Abinya akan merencanakan ta'aruf untuknya dalam waktu dekat ini, dan kalau di tolak duluan, ia takut kalau itu akan berdampak buruk bagi ridho dari sang Ayahanda. Jadi setidaknya ikut pertemuan pertamanya saja dulu, bagaimana nanti itu persoalan pilihan hati.

Meskipun kini sosok Rose tak bisa lepas dari pikirannya.

“Dia hafidzah lho, Bra, dan yang saya suka adalah sifat keibuannya waktu dia ngajar di pondok. Dia juga lulusan terbaik di MAN kamu, kenal gak namanya Ayudistya Ningrum?” sejak tadi Haidar terus menceritakan sosok gadis pilihan untuk sang putra dengan antusias, Ibra membalas manggut-manggut malas.

“Heh bocah lanang, dengar gak tadi Abi nanya apa?” Haidar mulai heran dengan sikap putranya yang tak fokus, “Kamu mikirin apa sih?”

“A-Anu, ini, Bi... sebenarnya hari ini saya harus ketemu klien tapi karena Abi minta saya untuk nemenin Abi pergi jadi agak kepikiran...” Tentu saja bukan itu yang mendominasi pikiran Ibra.

Haidar menghela nafas, GYUUTT!! Justru pria paruh baya itu menarik kencang telinga putranya gemas, “Kenapa gak ngomong, Ibrahim...?! Saya kan gak maksa...!!”

“A-Adududuh! Sakit, Abi, sakit! Ibra lagi nyetir!!” Ibra merintih kencang kesakitan, kalau Anela menyaksikan adegan ini bisa-bisa telinga Haidar di balas jewer juga.

“Klien penting bukan?! Kalau penting banget kamu re-schedule lagi meetingnya! Seenaknya aja kamu batalin janji gitu mentang-mentang ada Trian!”

“Yaelah santai aja, Bi! Trian bisa handle kok!”

“Tetap aja itu amanah, kamu gak boleh seenaknya gitu!”

“Gimana sih, nanti kalau saya gak ikut nemenin, Abi ngambekin saya lagi seharian!”

“Enak aja kamu, emangnya saya umi kamu apa tukang pundungan?!”

Tapi memang iya, Haidar beberapa kali pernah ngambek sama Ibra karena pada saat itu Ibra menolak pergi menemani Abinya pergi ke suatu tempat. Akhir-akhir ini, Ayah dari dua anak itu sering kali bersikap manja dengan kedua anaknya yang sudah dewasa, terutama kepada Ibra.

Entahlah, mungkin karena sudah beranjak ke usia senja.


“Eh, Kak Ibra?!”

Gadis berkerudung mocca itu terkesiap, menutup mulutnya rapat-rapat begitu mendapati sosok Ibra di depan pintu bersama Haidar.

“Kak Ibrahim, alumni MAN 4 Jakarta kan?!”

Ibra mengangguk kikuk, “I-Iya... betul?”

“A-Ah, saya junior kakak di Ekskul Tahfidz, saya Ayu kak...! Kakak... masih ingat saya?”

Ibra menggaruk-garuk kepalanya, tentu pemuda ini kebingungan karena dia punya satu kelemahan besar yang cukup fatal. Ibra itu sangat buruk kalau mengingat nama dan wajah orang, harus ketemu beberapa kali untuk mengingatnya betul.

Suasana canggung karena Ibra diam, Haidar cepat menepuk kedua bahu Ibra, “Ah kalau gitu, boleh kita ketemu Abi dulu, nak Ayu?” ucap Haidar.

“Boleh, Pak Haidar, mari masuk dulu...”

Haidar mendahului Ibra untuk melangkah masuk ke rumah dengan modern interior bewarna kelabu, ukiran kayu yang tetap mencirikan adat Jawa yang kental, mata Ayu tak berhenti melirik sosok Ibra yang diam di samping Haidar canggung.

Hati Ayu berbunga-bunga,

Ia mengetahui kalau pertemuan ini akan menjadi awal langkah cintanya yang terpendam sejak remaja akan terwujud. Siapa sangka Allah mendengar doanya tiap tahajud yang terus dia panjatkan, menyebut nama Ibra sebagai ukiran rindu yang lama ia simpan selama 8 tahun.

Sedangkan Ibra sendiri, mencoba mengingat lagi siapa sosok Ayu yang merupakan junior satu ekskulnya, ia membuka ponsel dan album memori lamanya. Menggeser satu per satu foto kebersamaan ekskulnya.

Owalah, ini Ayu..., gumam Ibra dalam hati. Matanya kembali menoleh ke Ayu yang sedang menundukkan pandangannya, kalau di lihat-lihat, Ayu memang terlihat sebagai sosok wanita keibuan yang lembut, beda dengan sosok Rose yang sedikit ceroboh dan periang.

Ah lagi-lagi kepala Ibra masih penuh dengan sosok Rose.

“Coba nak Ibra sama nak Ayu bincang-bincang disini, tanya kabar atau apa, karena kata nak Ayu... nak Ibra ini kakak kelasnya waktu di MAN, betul?” ujar Ustadz Fadhil— kawan Haidar di Kairo.

“Ah iya...” Ibra mulai bersuara, “Kamu apa kabar? Maaf tadi saya sempat diam karena takut salah panggil nama.”

“Baik, kak... gapapa kok, kita emang sudah lama gak ketemu jadi mungkin kakak lupa-lupa dikit sama saya...” balas Ayu malu-malu.

“Sudah kerja?”

“Baru saja saya wisuda 3 bulan yang lalu, jadi sekarang saya masih menyibukkan diri dengan mengajar sukarela di beberapa pondok pesantren, salah satunya pondoknya Pak Haidar.”

“Lulusan pendidikan kah?”

“Bukan, saya lulusan Sastra Inggris di UNPAD.”

“Oh iya...”

Keduanya mulai mengalir dalam percakapan kecil sebagai awal perkenalan (lagi).

Kenapa... hati gue seperti bimbang di antara dua pilihan?


Kini giliran para bapak-bapak yang sedang asyik bercakap saling menukar kisah nostalgia di masa mereka pada saat di Kairo. Ibra membuka ponselnya lagi, menatap lekat-lekat dari wajah cantik wanita yang terus melekat di benaknya. Sedikit penyesalan bahwa pertemuan keduanya harus di undur sampai tanggal yang di janjikan, kalau boleh, Ibra mau pergi sekarang juga ke kantor berharap Rose masih ada disana.

“Kak Ibra?”

Suara lembut kemayu di belakang membuat Ibra tersontak, “E-Eh, Ayu....”

“Sebentar lagi adzan maghrib, Pak Haidar mau Kak Ibra jadi imam katanya....”

Ibra menghela nafas panjang, “Iya, saya segera ke sana.”

Di ambang pintu sudah ada sosok pria pemilik tubuh 177 cm dengan tatapan nanarnya, Mina yang sudah tak bertenaga langsung lemas dan jatuh di hadapan tamunya.

“Mina!” Husein langsung menangkap tubuh gadis di hadapannya, ia menarik sarung tangannya lalu menyentuh kening polos Mina, “Kamu panas banget, yakin udah minum obat?!” decak Husein khawatir.

Di belakang Husein ada sosok wanita paruh baya yang ikut cemas, cepat ia mengeluarkan beberapa kantung koyo yang sudah di titipkan Haidar sebelumnya untuk sang putri. Begitu Husein membopong tubuh Mina ke atas kasurnya, ia cepat menarik selimut untuk sang gadis, mengambil termometer yang tergeletak di atas nakas.

“Udah cek suhu belum?” tanya Husein.

“Udah, turun kok dari kemarin” jawab Mina dengan nada lirih.

“Berapa?”

“37,9 celcius.”

Husein mengernyit alisnya, “Yang bener aja kamu! Kemarin emang berapa suhunya?! Mana obat kamu?!” belum sempat di jawab, mata Husein ke arah satu plastik putih kecil yang ada di nakas pula, mengambil beberapa obat yang di konsumsi Mina.

“Kamu gak ada alergi obat atau sejenisnya, Mina?” tanya lagi Husein. Mina sudah mulai gerah dengan pertanyaan introgasi Husein langsung menutup wajahnya dengan selimut kesal.

“Aminah!” sahut lagi Husein.

Angel langsung menepuk bahu Husein, “Sudah, Mina pusing diomelin kamu terus. Mending kamu bikin air kompres aja atau apa yang hangat-hangat.”

“Bunda, obat yang di minum Mina harusnya ampuh untuk demam tapi kenapa dia malah lemas gini?!” Husein menderu nafasnya kasar, “Kamu pergi ke dokter sama Aaron kan? Kamu gak tahu dokternya siapa aja yang bagus disini, harusnya kamu kalau ada apa-apa tuh ngomong sama aku!”

Mina membuka lagi selimutnya, “Ada ya orang sakit di omel-omelin gini?! Kak Aaron kan atasan aku, dia yang ngejamin semua kebutuhan aku disini, ya kebetulan juga dia yang nawarin aku untuk pergi ke rumah sakit yaudah perginya sama Kak Aaron!”

“Kalau orang asing yang nawarin kamu ke rumah sakit, kamu iyain juga gitu?!” Husein menghempas nafasnya, “Kamu tuh punya aku, Mina!!”

Kalimat yang keluar dari bibir manis Husein terkesan ambigu, membuat kepala Mina berputar hebat bahkan Angel yang disana juga ikut menganga. Seketika pemuda itu sadar dengan ucapannya. Duh gue ngomong apa sih...

“Di dapur ada makanan gak?” Husein mengalihkan pembicaraan.

“Ada beberapa... telur sama sayuran...”

“Yaudah, kamu tidur dulu sana, aku buatin sup telur.”

Seolah tahu tata letak dapur Mina, Husein menyergap celemek merah yang di gantung dan memakainya, mengambil beberapa bahan sup telur yang akan dia buat untuk gadis pujangga hatinya. Jantungnya kembali berdetak tak menentu, kalimat aneh yang keluar dari bibirnya tanpa sadar itu membuatnya ingin menghentak kepalanya berkali-kali di tembok.

Sedangkan Mina, saat ini punggung polosnya sedang di tempeli koyo oleh Angel.

“Maaf, Tante... jadi ngerepotin nih...” ucap Mina kikuk.

“Ngerepotin gimana?! Enggak dong sayang... sekarang disini, Tante tuh jadi bundanya Mina...”

Mina mengulum senyum simpul, matanya sekilas melirik punggung besar Husein yang berkutat dengan masakannya. Kalau boleh jujur, hati Mina ikut menghangat, melihat bagaimana Husein mengkhawatirkannya seperti dulu pada saat mereka kecil.

Perhatiannya masih tak berubah.

Flashback...

“MINA KOK NAKAL SIH, KAN BANG HUSEIN BILANG MINA TUH GAK BOLEH OLAHRAGA BERAT, KAMU KAN ASMA!!”

Mina yang masih kelas 1 SMP dengan Husein yang masih kelas 3 SMP, di ruangan kesehatan sedang ramai oleh anak-anak yang menyaksikan Mina terbaring lemah dengan oksigen. Husein dengan tangan gemetarnya langsung meraih kepala Mina dan mengelus lembut kepala Mina.

“Bang... sakit...”

“Emang sakit! Siapa suruh kamu ikutan lari marathon?! Hah?!”

“Nanti... Mina gak... dapet nilai...”

“TERUS MENDINGAN KAMU MATI GITU?! HAH?!”

Seisi ruangan langsung terpaku mematung, Husein sekali lagi menyahut ke orang-orang yang masih mengerumuni ranjang Mina, “LU PADA NGAPAIN?! ORANG SAKIT BUKAN TONTONAN, KELUAR LU SEMUA!!”

Mina terkekeh kecil mengingat Husein kecil dulu yang bagaikan seorang ksatria yang selalu melindungi putri kecilnya.

Sekarang pun... perhatian itu tak luput dari sosok Husein.

“Kenapa ketawa? ada yang lucu?” Husein meletakkan sup telur buatannya di nakas samping Mina, ia melepas sarung tangannya dan meraih satu sendok suapan telurnya, “Aku gak tahu bumbunya pas atau enggak, coba nih makan, Aaa....”

Mata Mina terbelelak lebar, “E-Eh, Bang Husein... Mina bisa sendiri—”

“Buruan, Aaa....”

Mau tak mau, Mina melahap satu suap sup telur dari Husein.

“Enak?” Husein memastikan lagi, di balas anggukan kecil Mina. Angel dari belakang sana— kamar mandi, tersontak dengan kedekatan Husein dan Mina.

“Bang Husein, sudah biar Bunda aja yang suapin Mina.” Angel bergumam dalam hati, Kalau Mas Haidar lihat bisa-bisa anakku di geprek dadakan ini...


“Mina udah tidur nyenyak, Bun?”

“Udah, kayaknya kita pulang aja sekarang. Besok kita check lagi kondisinya.”

Husein mengambil barang-barangnya yang berserakan, menatap lemat wajah lelapnya Mina yang sedang tenggelam bersama mimpi indahnya. Refleks pemuda itu kembali mendekat, ia meletakkan punggung tangannya di kening Mina, “Oh udah mulai turun lagi panasnya, besok udah sembuh kayaknya.”

Punggung tangan Husein beralih ke pucuk kepala Mina, ia mengelus pelan kepalanya yang di balut hijab bergo hitam, namun sadar bahwa ia barusan menyentuh bukan mahram.

“Astaghfirullah, Husein, kontrol diri....” Husein mengusap wajahnya gusar, “Bun, udah belum beres-beresnya?! Ayo pulang sekarang!”

Husein sudah tak mampu menahan detak jantungnya yang hampir meledak.