Putaran Album dan Perasaan
Mina menarik nafasnya dalam-dalam begitu kakinya sudah berhenti di depan pintu kayu dari rumah klasik, di tuliskan Blok 19 dan dengan penuh keraguan, gadis itu berjalan memasuki rumah. Angel meletakkan beberapa tas dan barang-barangnya di atas sofa, “Ah ya, buku resepnya ada di atas lagi....” terlihat wanita paruh baya di hadapannya mengusap punggung rentanya.
“Tante Angel gapapa...?” ucap Mina khawatir.
“Ah biasa, penyakit orang kalo udah mau pertengahan 40 gini hahaha....” Angel berusaha melangkahkan kakinya ke tangga, namun rasa sakit yang amat sangat di punggungnya kembali menyengat, “Aduh!!”
“Aduh, ada yang bisa saya bantu, Tante?! Kayaknya sakit banget ya punggungnya?!” decak Mina panik.
“Gak usah repot-repot, sayang....”
“Gapapa! Mina bantu ambilin kalau mau, Tante mau ambil apa di atas??”
Angel tak ada pilihan lagi, “Ya sudah, bisa minta tolong ambilkan buku resep warna hijau di meja kerjanya Husein? Kemarin Husein bawa ke atas cuman lupa di taruh lagi disini.”
Mina mengangguk mantap, lalu ia mengalih kakinya naik ke tangga seperti yang di pinta Angel dan segera ia mencari dimana meja kerja Husein berada. Apakah di dalam kamarnya atau terpisah?
Sampai akhirnya ia sampai di kamar berwarna kelabu, dekornya yang masih menggambarkan jiwa semangat muda, dimana-mana ada stiker luar angkasa yang memang menjadi kesukaan Husein sejak kecil, belum lagi poster dan figura-figura Star Wars favoritnya, hal kecil yang menggambarkan sosok Husein sejak dulu... ternyata belum pudar.
Kembali ke tujuan utama, Mina mencari buku hijau yang di minta namun tak ada tanda-tanda keberadaan buku itu. Apa benar ada di meja kerja Husein? gak salah petunjuk kah? Ah mungkin terselip di suatu tempat.
DUK! Mina gak sengaja menyenggol buku coklat yang ada di meja, tumpukkan kertas dan foto yang ada di dalamnya ikut terlempar.
“Wa-waduh gak sengaja....” Mina cepat-cepat memungut buku dan beberapa foto yang ikut keluar dari selipan, matanya terbuka lebar-lebar. Di diary itu isinya adalah foto-foto kebersamaan mereka sejak bayi. Dengan tulisannya yang ada di setiap foto.
Kelahiranmu adalah karunia terindah dalam hidupku, Mina...
Mina terkesiap, ia melihat foto lainnya yaitu ketika Mina dan Ibra masuk SD pertama kali dan Husein terlihat gagah menjadi sosok kakak yang merangkul akrab adik-adiknya.
Apapun yang terjadi, kamu adalah harta yang harus aku lindungi, Mina.
Lalu ada foto Mina kecil bersama gaun cantiknya, bergandeng tangan dengan Husein yang di pakaikan jas serta dasi kupu-kupu manisnya bak tuan putri dan pangeran.
Suatu saat nanti, aku akan meminta restu Ayahmu untuk menjadikan putrinya sebagai ratu dalam kehidupanku...
“Mina, kamu di atas?”
Suara bariton mendekat membuat Mina cepat-cepat membereskan buku dan tumpukkan foto yang tercecer, sosok pria pemilik tinggi 177 cm itu kaget mendapati Mina yang ada di kamarnya.
“Lho, kamu disini? Nyari buku resep ya?” tanya Husein.
“I-Iya, katanya ada di meja kerja Bang Husein, makanya aku kesini....” jawab Mina kikuk.
Husein terkekeh, “Meja kerja aku? bukan kali, itu mah meja belajar aku. Meja kerja ayah maksudnya,” Lelaki itu langsung beranjak dari kamarnya menuju ruangan kerja yang ia sebut, dan memberikan buku resep warna hijau yang di minta, “Ini kan yang di cari?”
Mina mengangguk ragu, entah benar apa tidak tapi yang pasti dia malu karena tertangkap memasuki kamarnya Husein.
Kalau Ibra tahu, bisa-bisa Mina di ceramahi semalaman.
Gadis itu langsung mempercepat langkahnya turun ke dapur menyusul Angel di dapur. Dari belakang Husein menatap punggung mungil Mina sambil menghela nafas panjang, ia melihat buku hariannya yang terletak miring alias posisinya tidak sama seperti semula. Husein tahu, pasti Mina membaca buku hariannya itu. Entah gadis itu membacanya sampai habis atau tidak.
“Husein... sini kamu masak sama Mina, katanya kamu mau masakin kita untuk makan malam....”
Husein datang dengan celemek kelinci pink yang mengundang gelak tawa Mina pecah di tempat.
“Kok ketawa?!” desis Husein jengkel.
“Bang Husein lucu bener dah pakai itu, kayak guru TK jadinya.” ejek Mina.
Husein mendengus sebal, “Ya gak ada celemek lain! Lagian dah, bunda kenapa sih beli celemek kudu banget model gini, gak ada yang netral apa?!”
“Alah biasanya juga kamu pakai kok, karena lagi di depan Mina aja kamu malu.” balas Angel santai dengan seruputan kopi susunya, Adit di sampingnya ikut menertawakan dua anak muda dari hadapannya.
“Udah sana masak, Ayah udah laper banget.” timpal Adit di tengah percakapan, akhirnya Husein dan Mina bergerak ke dapur lalu menyiapkan bahan-bahan makanannya. Disana kedua sejoli muda itu tampak tak canggung sama sekali, mereka terbawa suasana malam yang cerah, anginnya memang dingin tapi entah kenapa kebersamaan Mina dan Husein seolah memberi kehangatan.
Senyuman lebar Mina merekah sempurna, membuat hati Husein merasa tenang. Persis seperti dulu waktu kecil, senyum itu bagai tempat aman bagi pemuda itu.
Mina... seperti tempat pulang yang sempurna untuk Husein.
“Bang Husein masukin aja bumbunya tuh udah mendidih airnya, aku yang potong cabainya,” pinta Mina dengan gerakan lincahnya, Husein mengangguk menurut. Tangan mungil Mina seolah memberi isyarat untuk meminta pisau yang letaknya jauh dari tempatnya, Husein cepat menyerahkan pisaunya tapi sekejap ia merebut lagi pisau itu.
“Bunda! Ini pisau tumpul kan ya? Pengasahnya mana?”
Angel menyahut dari ruang tengah, “Belum bunda ambil dari tempatnya Gaby, masih bisa di pakai kok!”
“Ah kalo pake ini harus sekuat tenaga masalahnya, bun!”
“Cerewet banget sih, tenaga kamu kan gede, Husein! Pakai aja yang ada!”
Husein mencibir bibirnya, “Et dah, kan bahaya kalau ampe luka... yaudah, Mina, aku bagian motong aja soalnya ini pisau susah banget, kamu yang masukin bumbunya.”
Mina mengangguk mantap, “Oke deh!” mereka langsung bertukar posisi. Husein melirik Mina yang masih telaten dengan pekerjaannya, akal jahilnya langsung muncul.
“Aduddudududduuuhhhh....!!!”
Mata Mina memencak kaget, “E-Eh, Bang Husein?! Aduduh gapapa?! kenapaaa???” gadis itu memekik panik, tangan mungilnya meraih tangan besar Husein yang ternyata tak meninggalkan bekas apapun.
Alias, Mina di kerjain.
“ISH! BANG HUSEIN RESE BANGET!!” Mina refleks melempar pukulannya bertubi-tubi di dada bidang Husein, pemuda itu tertawa puas. Gadisnya itu masih cemberut bete tapi bukannya takut, justru Husein makin gemas untuk menggoda Mina.
“Jangan cemberut gitu, jelek banget kayak kodok.”
“KO-KODOK?! SEMBARANGAN BANGETT BANG HUSEIN, AKU PUNDUNG NIH!!”
“Yaudah, kalo pundung gak usah ikut makan ya?”
“KAN AKU YANG MASAK?!”
“Aku juga.”
“Yaudah! Aku berhak makan juga lah!”
“Jangan cemberut makanya, coba senyum dulu yang lebar, mana senyumnya cantiikk...”
“Dih apa sih? cantik, cantik... belajar gombal ama siapa?!”
“Om Naresh.”
“Oh yaudah aku bales pukulan maut ya kayak Tante Aisyah?”
“Jangan dong, nanti kalau aku pingsan kamu mau tanggung jawab?”
“Ngapain tanggung jawab? telantarin aja, kan kamu dokter, bisa lah obatin sendiri.”
“Jahat banget ibu guru.... kamu kalau sama murid gini, Mina?”
“Enggak lah, kalau ama murid aku rawat ampe sembuh.”
“Hmm kayaknya aku mau daftar TK lagi deh di tempat kamu biar bisa di rawat juga, hahaaha....”
“APA SIH BANG HUSEIN, BENERAN AKU PUKUL YAAAA????”
“Hahahaahhaa....”
Dari ruangan tamu, Adit dan Angel memantau....
Tangan jahil Angel sudah siap mengabadikan momen kebersamaan kedua anak muda yang tengah di suasana asmara, “Kekuatan hengpon jadul cekrek, cekrek... Ayah! Kita udah harus pikirin nih nanti nikahan Husein sama Mina mau disini atau di Indonesia, ya??”
Adit menggelengkan kepalanya, “Udah, Bunda, jangan usil tangannya! Itu fotonya jangan di kirim ke Anela bisa berabe kalau Haidar lihat!”
“Ih gak bakal sampai ke Kak Haidar lah....”
“Gak mungkin, udah tahu mulutnya Anela ember. Pasti dia bakal cerita sama suaminya, kalau Haidar tahu yang repot aku!”
Angel malah memijit tombol send jepretannya ke Anela.