Them
Suara mobil Ibra membuat kedua anak muda yang sedang duduk di teras depan tersenyum sumringah, terutama gadis kecil berambut panjang lurus itu langsung lari mengejar sosok yang ia nantikan sejak tadi.
“BANG IBRAAA!!” sahut riang gadis pemilik nama Acha itu, Ibra tersenyum simpul sambil menepuk pucuk kepala sang gadis. di belakangnya ada Ali, pemuda berusia 17 tahun yang langsung tos dengan kakak sepupunya itu.
“Nih, croffle,” Ibra menyodorkan satu kotak berisi 4 croffle berbagai rasa. Mata Acha langsung berubah berbinar, dan Ali juga ikut menyambut oleh-oleh Ibra.
Tak lama sosok wanita berusia 40 tahunan itu muncul dengan lambaian tangannya yang semangat. Ibra bergumam dalam hatinya, tantenya itu gak pernah berubah enerjiknya. di belakang ada sosok Anela—ibunda yang membuat pemuda itu spontan lari menyusuli mereka, mencium tangan satu per satu.
“Aduh, udah sibuk kerja aja ini si bocah tengil, ponakan kesayangan tante Aisyah!” sapa Aisyah sambil mencubit pipi Ibra gemas.
“A-Aw! ya udahlah, emangnya saya bakalan kecil terus?!” cetus Ibra.
Aisyah mengernyit, “Lah, gaya ngomongnya sama persis ama bapaknya.”
Anela terkekeh, “Iya nih, makin gede, makin kelihatan cetakan abinya. padahal dulu bandelnya mirip umi.”
Ibra tertawa renyah, kakinya melangkah masuk dan menjumpai kedua pria paruh baya yang sedang asyik ngobrol di taman belakang bersama dua cangkir kopi panas. Pemuda itu langsung menyapa keduanya dengan menciumi tangan lagi, laki-laki berkacamata yang dikenal sebagai Om Naresh, mendecak kagum dengan perkembangan Ibra.
“Wih si bocah nakal udah jadi bapak CEO nih ceritanya?!” decak Naresh.
Ibra mendelik, “A-Anu, bukan, Om.... saya cuman bantu Trian aja.”
Haidar menimpal, “Dia cuman bantu ngawasin aja bareng Trian, sambil coba-coba siapa tahu tertarik kan?” dan dibalas anggukan paham Naresh.
Sekali lagi manik Ibra diperhatikan Naresh, wajah letihnya dengan lengan kemeja maroon yang ia lipat setengah lengan. Terlintas ada sesuatu yang ingin di sampaikan oleh sang paman tapi...
“Ibrahim,” panggil Naresh.
“Ya, om?” balas Ibra.
Naresh melirik ke arah Haidar, dan pria itu malah mengurung niatnya, “Ah nanti aja, kapan-kapan kita ngopi ya di luar?”
Ibra mengangguk kikuk, entah ia setuju atau tidak. Kakinya berbalik arah ke kamar, pemuda itu langsung melempar barang-barangnya ke atas kasur dan merebahkan tubuh lelahnya di atas. Matanya terpejam sebentar, meresapi semua letih dari beban punggungnya, sedikit demi sedikit mulai luruh. Ibra menarik napasnya lagi dalam-dalam, seolah hati ada kekosongan yang ingin ia isi, tapi ia tak tahu apa yang harus ia lakukan.
Jiwanya mulai terasa hampa.
“Ah, sebelum tidur ngaji dulu deh.”