Pembatas Akhir
Malam ini akan menjadi momentum paling bermakna dalam hidup sang pemuda yang baru saja menyelesaikan pidatonya di atas mimbar sana. Gemuruh tepuk tangan yang menyambut kesuksesan project Ibra beserta para tim membuat semuanya bersorak penuh sukacita. Senyuman Ibra juga terlukis lebih lebar dari biasanya, banyak orang-orang terdekat yang turut bangga dengan pencapaiannya.
“Pak Ibrahim,” Ayu menyerahkan satu box besar yang entah isinya apa untuk Ibra, “Selamat ya, Pak, ini hadiah saya... maaf kalau cuman kecil-kecilan aja.”
“Isinya apa nih?”
“Buka aja, Pak, cuman di nikmatinya nanti pas udah di rumah.”
Ibra membuka penutup dari boxnya dan matanya terbelelak begitu ia mendapati porsi besar iga bakar beserta sopnya yang terikat plastik rapih. Lucunya ikatan plastik itu di kasih pita berwarna biru.
“Hahahahaha, ya ampuun! keren nih hadiahnya, makasih ya, Ayu!!”
Ayu mengangguk mantap, “Sama-sama.”
Aku gak bisa bohong kalau sebenarnya aku belum bisa sepenuhnya melupakan kamu, Kak Ibra, tapi setidaknya... aku mau berdamai dengan diriku sendiri.
“Ibrahim.”
Suara serak Eyang mengejutkan Ibra dengan Ayu disana, pemuda itu cepat mencium punggung tangan Eyangnya di ikuti oleh Ayudia, lalu senyuman simpul Eyang terlukis dengan tangan rentanya yang menepuk pelan pucuk kepala cucunya.
“Terima kasih, untuk semua kerja kerasnya.”
Ibra mengangguk mantap, “Sama-sama, Eyang.”
Eyang mengalihkan pandangannya ke arah Trian, memberi isyarat agar pemuda itu maju mendekati Ibra.
“Kalian kemarin membicarakan soal beasiswa Ayudia sama Haidar?”
Trian dan Ibra saling beradu tatap, “U-Uh itu, beberapa minggu yang lalu, Eyang, karena saya ingin mengapresiasi Ayu selama dia bekerja sama saya. Dia tadinya mau resign karena ingin melanjutkan pendidikan S2-nya tapi—” Ibra menjawab panjang lebar tapi cepat di tepis Eyang.
“Kenapa gak ngomong sama Eyang?”
Trian menyanggah, “Sebenarnya mau bilang kok, cuman—”
“Harusnya bukan Ayudia dulu yang harus di apresiasi,” Eyang menepuk-nepuk bahu Ibra, “Tapi kamu, Ibrahim.”
Eyang mengambil amplop coklat yang di berikan oleh asistennya dan menyerahkan amplop tersebut kepada Ibra. Pemuda itu membeku sejenak, namun tangannya antusias membuka amplop coklat tersebut :
Congratulations!
Dear Ibrahim El Fatih,
We are pleased to inform you that you have been accepted as an master-degree student at Ankara University, Faculty of Architecture for the first semester...
“E-Eyang?! Ini kan...?!” Ibra tak berhenti mendecak kaget. Trian terkekeh geli melihat betapa shocknya Ibra dengan selembaran kertas yang mengumumkan dirinya dipersilahkan untuk mengejar mimpinya yang lama sudah terkubur.
“Sok-sokan kamu hapus e-mail sepenting itu ujung-ujungnya abi kamu yang di hubungi untuk minta kejelasan kamu.”
Flashback dimana beberapa lama setelah Ibra memutuskan untuk menyerah dengan mimpinya...
“Eyang....” Haidar menghadap langsung ayah mertuanya dengan tegap, “Saya ingin mengajukan satu hal kalau proyek yang di kerjakan Ibrahim dan Trian berhasil.”
Eyang berdiri dari duduknya, “Kalau mereka berhasil, semua yang saya punya pun akan saya kasih.”
SET! Haidar langsung menyerahkan selembar kertas yang bertuliskan sebuah Letter of Acceptance milik Ibra di kampus impiannya
“Ini, bantu saya untuk wujudkan mimpi Ibrahim.”
Ibra menoleh ke arah sang ayah yang sedang berbicara dengan tamu pentingnya. Seketika matanya berkaca-kaca, ingin ia segera memeluk tubuh ayahnya namun karena situasi masih ramai ia malu untuk menumpahkan harunya di bahu sang ayah.
Ia akan lakukan itu nanti di rumah.
Setelah peresmian ada pesta makan malam dengan tema outdoor yang di adakan langsung oleh keluarga besar Soetomo di kantornya. Semuanya menikmati hidangan yang tersaji, mereka saling bertukar cerita penuh sukacita, terutama kelurga Haidar yang sekalian merayakan kehamilan pertama dari putrinya, Aminah.
Sedangkan sang pemeran tokoh utama kali ini masih gelisah, menanti kehadiran tamu spesialnya yang rencananya akan datang malam ini. Ia terus menatap buket bunganya, bersama kotak cincin kelabu yang ia genggam. Membayangkan wajah bahagia dari sosok wanita pujaan hatinya yang sedang dalam perjalanan kesini. Ia segera memijit telepon di kontak wanita kekasih hatinya, menantikan suara manisnya yang setelah sekian lama tak ia dengar.
Malam ini akan menjadi malam yang sangat spesial.
Rose... akhirnya tiba juga hari ini....
Bandara Soekarno-Hatta....
Tep... tep... tep....
Langkah kaki anggun dari sosok wanita cantik berjilbab biru turki, ia melukiskan senyumannya setelah menghirup udara malam dari kota kepulangannya. Sinar bulan lebih terang dari biasanya, malam ini menjadi malam yang istimewa setelah ia melewati perjalanan spiritualnya selama 3 bulan berturut-turut.
Ada sosok yang ia jadikan tempat pulang disini.
Mas Ibrahim is calling...
“Halo, assalamualaikum?”
“Waalaikumsalam, Rose, udah sampai kamu di Jakarta?”
“Kalau aku masih di pesawat gak mungkin aku angkat teleponmu, Mas.”
“Hahaha... iya juga ya, ya sudah kalau gitu mau saya jemput atau saya minta supir—”
“Gak usah, Mas, aku naik taksi aja.”
“Lho serius? biar langsung di antar ke kantor sini.”
“Gapapa kok, Mas kan masih sibuk disana.”
”... Ya sudah kalau gitu, saya tunggu kamu disini ya, kabarin saya kalau ada apa-apa.”
“Okidoki! sampai ketemu disana, Mas Ibra!”
“Iya, assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam, Mas...”
Telepon di matikan dari pihak Ibra, nadanya masih ketus tapi lelaki itu sebenarnya juga sedang menahan rindu. Sudah 3 bulan dia uring-uringan karena berpisah dengan pujaan hatinya, kalau bukan karena mewujudkan cita-cita terakhir Rose, mungkin Ibra sudah menahannya pergi dan memintanya tetap di sisinya.
Mas Ibra... aku sudah mewujudkan mimpiku untuk masuk agama Islam dan menjalani perjalanan spiritual di tempat kelahiranku... lalu apalagi yang harus ku capai sebagai akhir dari kehidupanku ya....
Sekelibat senyuman simpul terlukis di wajah manisnya.
Tangan mungilnya memberhentikan salah satu taksi putih yang lewat, dengan cepat ia memasukkan beberapa barang dan kopernya lalu duduk menyandarkan punggung letihnya di kursi jok belakang, memejam mata sebentar sebelum sang supir memberi isyarat untuk berangkat. Rose menghela nafasnya panjang, ia mencoba rileks dengan posisinya. Ia menoleh menatap lampu tol yang meremang, jalanan terlihat sepi dari biasanya, namun tubuhnya mendelik ketika ia melihat gelagat aneh dari sang supir.
“Uhm... pak? ngantuk ya? kita ke rest area dulu aja.”
Sang supir menggeleng cepat, “Enggak, Bu, saya masih seger kok. Lagipula ada kopi ini.”
Rose mendegup, “Oh... ya sudah kalau gitu.”
Sekejap sang wanita kembali memejam matanya....
TIN TINN!! CKIIITTT!!
“ASTAGFIRULLAH HAL ADZIM!!!”
DRRTT!! CKIIITT!!!
BRUAKKKK!!!!
Semua gelap, pandangannya bertumpu kepada rasa sakit yang menjulur sekujur tubuh, suara sirine ambulans yang mendekat tapi perlahan memudar dari indra pendengaran seketika mengingatnya pada suatu hal....
Dalam pedihnya luka, tulang rusuk yang remuk...
Bibir manis Rose yang mengalirkan darah... ia sempatkan ucap kalimat suci sebelum tidur panjangnya...
“Laa... ila...ha illallah.....”
Rose tersenyum di detik ia hembuskan nafasnya.
Jarum jam menunjukkan pukul 10 malam, namun kehadiran Rose masih belum juga Ibra jumpai. Bunganya tergontai dalam genggamannya, serasa ada perasaan yang mengganggu rongga dada. Apakah Rose terjadi sesuatu disana?
Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif atau berada di luar jangkauan...
“Ini cewek bikin gue deg-degan aja!” gerutu pemuda berparas eksotis itu.
Dari belakang, ada sosok wanita berjilbab yang seolah menunggu punggung prianya disana berbalik menghadapnya. Padahal sudah lama acara selesai tapi tersisa dua insan ini yang masih ada di tempat. Ayu mendekat dengan sangat hati-hati, “Uhm... Kak Ibra?”
Ibra tersontak, “Eh, Ayu?! Kamu belum pulang?!”
“Be-belum, saya tadi... keasikan ngobrol ama temen di belakang tau-tau udah pada bubar,” ucap gadis mungil itu berbohong. Melihat raut muka masam pria pujangga hatinya membuatnya sakit, jelas-jelas Ibra sedang kalut dengan wanita lain, bisa-bisanya Ayu dengan bodohnya tetap mau menunggu pria itu.
“Ah maaf, saya lagi tunggu seseorang jadi kamu pulang duluan aja, ah apa perlu saya minta Fajri anterin kamu ke rumah ya?”
Ayu menunduk muram, “Kak Ibra.... lagi tunggu Mbak Rose?”
Ibra menghempas tawa kecilnya.
“Iya, ada sesuatu yang mau saya sampaikan dengan dia.”
Seperti dugaan Ayu, dan gadis itu sudah tak mau tahu lebih dalam lagi.
“Oh gitu, ya sudah saya pulang duluan ya, Kak....”
Kringg!! Ponsel Ibra berdering panjang, memotong tengah pembicaraan keduanya. Alisnya mengerut heran, entah darimana Ibra mendapat telepon dari nomor kantor resmi yang tak terdaftar di kontaknya.
“Halo, Assalamualaikum?”
“Waalaikumsalam, selamat malam, apa benar saya bicara dengan Pak Ibrahim, keluarga dari Roseanne Blanché?”
Hah, Rose?
“Saya... kerabat dekatnya.”
Ayu ikut menyimak pembicaraan Ibra dengan orang entah siapa yang ada di telepon.
“Kami dari Kepolisian Pusat ingin mengabarkan, mohon maaf sebelumnya...”
Raut wajah Ibra berubah gelap, bahkan Ayu gemetar ketika melihat ekspresi gelap dari sosok pria di hadapannya yang tak pernah ia lihat sebelumnya. Tanpa basa-basi lagi, Ibra mematikan ponselnya dan bergegas pergi dari tempat.
“Ka-Kak Ibra?! Ada apa?!”
“Rose....”
Ayu menegup salivanya bulat-bulat.
“Rose gak mungkin meninggal!”
“Astagfirullah hal adzim?!”
Langkah kaki pemuda itu mendadak beku, meratapi jenazah yang sudah di tutupi kain putih dengan sempurna tepat di depan matanya. Menolak takdir bahwa sosok itu adalah Roseanne Blanché, wanita yang akan ia jadikan permata hidupnya tepat di hari ini.
Apa arti dari buket bunga mawar ini dan cincin yang sudah ia beli?
Tangannya gemetar membuka kain putih yang menyelimuti senyuman cantik Rose dalam lelap panjangnya, mulut Ibra menganga gagu, berharap ini mimpi buruk yang menimpanya atau semesta yang sedang bercanda dalam takdir.
Tak mungkin takdir bisa bercanda, tapi hanya itu yang Ibra inginkan.
Pertahanan laki-laki itu runtuh, harapan dan mimpi pupus bersama takdir yang merenggut kekasihnya pergi tanpa pamit. Laut duka sudah menenggelamkan pria itu dalam perpisahan, dan ini bukan sekedar perpisahan.
Kenapa... Ibra dosa apa?
Ini hanya perasaan cinta yang suci, dan kenapa ketika ia ingin jadikan perasaannya jadi ikatan, Allah tak merestuinya?
Apa cintanya itu salah?
Beribu-ribu tanda tanya mengepung kepalanya, dan Ibra tak bisa mengungkapkannya dalam kata-kata...
Sampai akhirnya, cuman tangisan dan raungan nama Rose yang terucap dalam bibirnya.
“HUAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA ROSEEEEEEEE!!!!!!!!!”
Dan Ayu, menjadi satu sayap yang menopang duka Ibra dalam bahu mungilnya. Hatinya ikut hancur melihat pertahanan laki-lakinya yang luluh lantah bersama duka.
Kenapa... takdir bisa sedemikian jahat? atau mereka saja yang belum kuat?