Another Butterflies
Ibra lari tergopoh-gopoh menuju tempat Ayu berada sebagaimana ia prediksikan. Lampu kantor yang sudah mulai meredup, jantungnya berkecamuk karena kekhawatirannya yang luar biasa.
Seorang gadis malam-malam sendiri di gedung sebesar ini? bagaimana kalau ada hal buruk yang terjadi?
“Ayudia!” panggil Ibra dari kejauhan, matanya langsung tertuju ke arah laptop yang masih terbuka lebar di meja yang letaknya tak jauh dari lift— Ayu tak mengerjakan pekerjaannya di meja biasa melainkan ia mengambil tempat di samping jendela yang menampilkan pemandangan kota malam. Posisi Ayu saat ini sedang menelungkup wajahnya, gadis itu tertidur lelap.
Ibra menghela nafas panjang, ia melihat layar laptop Ayu.
Baru di kirim e-mail 10 menit yang lalu....
Ibra mencolek pundak mungil Ayu, membangunkan sang gadis dari tidur singkatnya.
“Astaghfirullah, Pak Ibrahim?!” decak Ayu kaget.
“Kamu ngapain disini?” nada bicara Ibra mulai tajam.
“Ini... ngerjain yang bapak minta ke saya....”
“Emang saya suruh kamu lembur disini?”
Ayu berpikir sejenak, tak ada perintah Ibra yang memintanya menetap disini.
Hanya ide konyol dari dirinya sendiri.
“Kamu mikir gak kalau gadis pulang malam-malam, terutama di kota Jakarta kayak gini tuh sangat bahaya?! Sekarang lagi marak kasus taksi penipu yang mau merampok, menculik, belum lagi naik ojek online kalau kamu ngantuk kayak sekarang, kan bahaya juga!” “Dan saya tidak pernah memberlakukan sistem lembur ya di kantor ini, kecuali SANGAT TERPAKSA! Itupun baru saya sendiri yang melakukannya!”
Ayu mengatup bibirnya rapat-rapat, ia bisa melihat bagaimana bosnya itu sangat marah.
“Sekarang apalagi yang harus kamu kerjain?!”
“Uh... gak ada, Pak....”
Ibra langsung menutup rapat laptop Ayu, merapihkan beberapa tumpukan kertas yang berantakan di atas meja lalu menyodorkan semuanya ke Ayu, “Ayo pulang, biar saya yang antar kamu!”
Aduh... salah lagi deh....
Di perjalanan yang padat, Ibra dan Ayu tak saling buka suara. Kerutan alis laki-laki itu masih tampak dengan jelas, sang gadis juga tak berani untuk gerak sedikitpun. Bernafas aja rasanya seperti sembunyi-sembunyi, takut salah lagi. Lampu hijau sudah berdentang, mobil Ibra kembali melaju kencang dan sejak tadi ia tak berhenti mengusap wajahnya gusar.
Apa... karena Ayu barusan? gadis itu jadi merasa bersalah.
“Aduh, parah nih...” gumam Ibra.
“Ke-Kenapa, Pak?” balas Ayu kikuk.
“Saya laper banget, di depan kayaknya ada tukang nasi goreng deh.”
Ayu menjawab oh ria, seraya menghela nafas lega. Mobil Ibra berhenti tepat di depan gerobak tua yang menghadirkan aroma lezat yang mengocok perut keduanya.
“Kamu mau juga kan?” tanya Ibra memastikan.
“I-Iya, Pak, boleh.”
“Pedes gak?”
“Dikit aja.”
Ibra membuka jendela samping, “Mang! nasgornya dua ya, satu pedes yang satunya lagi pedes dikit aja, kerupuknya banyakin terus yang pedes kasih bawang goreng yang banyak, taruh di pinggir ya jangan langsung di campur, acarnya juga di pisah!”
“Kak Ibra pasti milih-milih makanan....” gumam Ayu bermonolog, terdengar oleh Ibra dan di balas dengan gelak tawanya.
“Iya, emang saya pemilih. Kenapa? Mau protes?” ucap Ibra dengan nada tengil khasnya.
Ayu sekali lagi mengatup bibirnya rapat-rapat.
“Lidah saya gak bisa diajak kerjasama, kalau gak sesuai sama apa yang saya mau ya saya gak makan.”
“Kok gitu? kasihan dong makanannya.”
Ibra terkekeh lagi, “Iya emang, jahat banget lidah saya.”
Emang, lidahnya bikin jantung orang naik turun gara-gara omongannya, cibir Ayu dalam hati.
Begitu makanan yang di pesan sudah sampai di tangan keduanya, Ibra langsung mengucap bismillah sambil melahap makanannya cepat bak orang yang gak makan 3 hari. Ayu yang melihatnya tertawa geli, ia melihat sisi kekanak-kanakan dari Ibra, di balik kharismanya yang kuat nan membius banyak orang (terutama kaum hawa).
Ayu menyuap nasi gorengnya perlahan sembari matanya melirik ke arah Ibra yang masih fokus dengan makanannya. Pikirannya melayang, bagaimana nanti ia bisa menyaksikan Ibra memakan masakannya dengan selahap itu? itu pasti akan menjadi kebahagiaan paling haqiqi dalam hidup Ayu.
Boleh deh kapan-kapan aku masakin khusus buat Kak Ibra....
Begitu Ayu lengah, mata Ibra sudah tertuju ke arah tumpukan kerupuk yang menganggur di sisi piring sang puan. Ibra dengan usil mengambil hampir setengah dari kerupuk yang ada di piring Ayu, membuat sang empunya mengeluh protes.
“I-Ih, Kak Ibra curaaaang!!”
“Nanti kerupuknya mleyot kalau di biarin, mending buat saya!”
“Saya mau makan kerupuknya kok?!”
“Kelamaan, malah ngelamun, mending buat saya.”
“Kalau saya gak ikhlas sama kerupuknya gimana?! hayo?!”
Kerupuk yang dilahap Ibra langsung tersangkut di kerongkongan, “Ohk! OHOK! OHOK!”
“Eh, Astaghfirullah, Kak Ibra minum cepetan! Kok malah keselek sih??!!”
Ibra cepat meneguk teh hangatnya, “Kamu sih bilang gak ikhlas, langsung kena azab saya...”
“Makanya jangan asal comot makanan orang, izin dulu baru boleh ambil.”
Ibra memasang wajah melasnya, “Yaudah deh, itu kerupuk kamu masih banyak banget boleh gak saya bagi...?” matanya berbinar bak puppy eyes, serius, Ayu sedang melihat sisi lain dari sosok Ibrahim, dimana biasa ia lihat sebagai sosok yang galak, tegas dan berkharisma ini.
Ayu langsung meletakkan semua kerupuk yang ada di piringnya di piring Ibra, membuat lelaki itu tersenyum sumringah.
“Iya boleh,” jawaban yang sangat di harapkan Ibra akhirnya keluar dari bibir manis Ayu.
“Mantaap! Makasih ya!” Ibra langsung melahap kerupuknya dengan riang, benar-benar tampak seperti anak kecil yang gembira setelah mendapatkan banyak permen.
Momen ini begitu penting untuk Ayu tanam dalam memori indahnya.
“Terima kasih banyak, Kak Ibra... maaf udah ngerepotin sampai-sampai anterin saya ke rumah kayak gini, mana traktir saya makan malam segala...” ucap Ayu setelah ia keluar dari mobil Ibra di depan pagar rumahnya.
“Lain kali kalau ada kesulitan bilang sama saya, pertama saya bisa bantu kedua pekerjaan kamu selesainya bisa lebih cepat, bukannya nawar minta keringanan.” “Itu kesannya saya diktator sebagai bos kamu, padahal saya juga menimbang-nimbang kemampuan kamu, Ayu.”
“Iya pak, saya minta maaf... janji ini yang terakhir kalinya.”
“Saya perlu pamit juga gak ke bapak kamu? soalnya kan kamu lembur karena salah saya.”
Ayu menggeleng cepat, “E-Enggak, kak, gapapa! Bukan salah Kak Ibra kok, lagipula bapak biasanya udah tidur jam segini takut kebangun...”
Ibra memanggut kepalanya, “Oke kalau gitu, saya pamit ya. Kamu istirahat yang cukup.”
“Iya pak, bapak juga yaa istirahat yang cukup.”
“Permisi, assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam.”
Mobil Ibra langsung cepat melaju lagi menuju tempat pulangnya. Ayu mengulum senyum yang hendak mengembang lebar, karena begitu banyak momen mendebarkan yang tak ia duga setelah petaka. Beban kepalanya seketika hilang. Seribu kupu-kupu berterbangan di bawah perutnya, memberikan rasa bahagia yang memuncak.
Kayaknya malam ini aku gak bisa tidur deh... hehehehe....