Crash

Pemakaman Rose sudah selesai sejak 10 menit yang lalu tapi pemuda berparas eksotis itu tak kunjung meninggalkan tempatnya. Ia menatap muram batu nisan yang menuliskan nama Rosalina Ameera dengan dada yang sudah mati rasa.

Sakit sudah tak ia rasakan, namun semuanya hanya bagai angin yang menusuk relung dadanya yang kosong.

Hampa, namun tak sepenuhnya hampa, semuanya rumit untuk dijelaskan sekarang. Haidar menghela nafasnya panjang, ia segera menepuk bahu putranya pelan, “Ibra... mau sampai kapan disini? perlu abi tunggu kamu sampai selesai disini?”

Ibra tak sanggup membalas. Bibirnya membeku, satu kata pun ia tak bisa berucap.

Haidar pun tak mau banyak berkomentar, akhirnya meninggalkan putranya disana agar ia sendiri yang memutuskan... kapan ia berbalik pulang untuk menjalani kehidupannya lagi?

Sekarang hanya tersisa Ibra disana, hanya berdiri termenung menatap figura foto Rose yang terpampang disana. Senyumannya selalu cantik, bahkan kini fotonya tampak dengan balutan hijab, membuat hati Ibra sedikit menghangat.

Kamu cantik, dan selalu cantik bahkan dengan hijab itu...

Lututnya mulai kaku, ia beralih meringkuk kakinya sambil mengelus pusara sang wanita kasih yang sudah terpisahkan antara dimensi dan alam. Jika dibilang hubungan jarak jauh, ini sudah tak sampai jarak yang menggapainya.

Suara gemuruh badai mulai membentur langit, tanpa ampun, guyuran hujan menghujam punggung dingin Ibra dengan deras. Tak memperdulikan rasa sakit yang tak terbendung di tubuhnya, dan Ibra sendiri sudah tak sanggup untuk mengeluhkan sakitnya.

Rose... dingin... saya ingin peluk kamu....

SET!!

“Astaghfirullah, Kak Ibra...!”

Suara lembut yang memekik itu membuat Ibra menoleh lesu. Wajahnya sekarang sudah benar-benar pucat, bibirnya keabuan beku dan tubuhnya mulai lunglai.

“Kak?” Ayu menangkup bahu lemas Ibra, “Ya ampun kakak lemas banget... kakak udah gak makan berapa hari?!” punggung tangannya langsung menyentuh kening Ibra yang panas.

“Astaghfirullah ini udah demam tinggi!” Ayu membuka jaketnya namun di tahan cepat oleh tangan Ibra. Hati sang gadis tak sanggup melihat pemuda di hadapannya ini begitu menderita, ia akhirnya ikut menitikkan air mata dukanya sedangkan Ibra dengan lemah mengusap air mata Ayu yang mulai membasahi pipi.

Di detik itu, Ibra sudah terjatuh tepat di bahu mungil Ayu.



*“Radang usus, ini sudah cukup memparah dan kalau tidak di tangani cepat tadi bisa-bisa fatal akibatnya. Mungkin pasien akan di rawat intensif sampai 7 hari ke depan dengan pemantauan makanan yang intens. Untuk kesehatan mentalnya akan saya konsultasikan kepada dokter psikiater.” “Sekarang biarkan pasien istirahat total, mungkin dia juga lelah secara emosi dan kurang tidur.” “Saya permisi.”

Aroma alkohol mencuat di indra penciuman Ibra yang tengah mengumpulkan setengah dari nyawanya. Matanya masih berat, namun ia sudah lelah untuk memejam matanya lagi. Pemandangan pertama yang ia lihat di sisinya...

“A...yudia....” suara lirih Ibra membangunkan Ayu dari tidurnya. Cepat-cepat ia memanggil dokter dan susternya untuk segera memeriksa kondisi laki-laki di hadapannya yang baru siuman.

“Halo, Pak Ibra, bagaimana perasaannya sekarang? sudah enakan atau ada sesuatu yang mengganjal?” tanya sang dokter.

Ibra menggeleng pelan, sejujurnya ia tak tahu merasakan apa selain pedih karena rindu kepada sang kekasih yang baru pergi... untuk selama-lamanya.

“Baik kalau gitu, di istirahatkan dulu aja, kalau ada perlu apa-apa panggil aja ya, permisi....” “Semoga lekas sembuh, Pak Ibra.”

Ayu menjawab mewakili suara Ibra yang tak sampai, “Terima kasih, dok,” gadis itu menoleh lagi ke arah Ibra. Tampilannya yang cukup berantakan dengan tatapan kosongnya membuat dada Ayu terasa sesak.

“Minum dulu, Kak, kata dokter, kakak dehidrasinya cukup tinggi.”

Ayu memberikan gelasnya lalu di terima dengan lemah oleh Ibra. Ia meneguk dua tegukan kecil dan meletakannya lagi di nakas sampingnya. Bibirnya masih enggan mengucap apapun, matanya menatap tak terarah, selain kepalanya melayang kepada bayang-bayang wajah cantik Rose yang masih melekat di benaknya.

Ayu menatap Ibra dengan iba, biasanya laki-laki itu tampil dengan gagah namun sekarang ia menyaksikan titik terendah dari sosok Ibrahim El Fatih.

“Ini makanan dari rumah sakit kak... tolong di makan ya? radang usus kakak lumayan parah, terus ini obatnya juga sama ada vitamin.”

Ayu segera berdiri dari tempatnya, “Aku pulang dulu ya? nanti Kak Mina datang kesini.”

“Ayudia.”

Suara purau Ibra menghentikan langkah Ayu.

“Saya... mau sop iga bakar.”

Ayu mendelik, “A-Ah gitu? tapi aku gak bawa sop iga bakarnya—”

“Besok.”

Ayu mengatup bibirnya lagi.

“Bisa dibawakan besok? tolong....”

“Iya aku bawain besok, tapi bukannya yang aku kasih ke kakak masih ada?”

Ibra tiba-tiba diam lagi.

“Yaudah, besok datang lagi ya?”

Ayu hanya menggangguk nurut. Tak lama kehadiran Mina dengan sang suami turut membuat dada Ibra menjadi lebih tenang.

“Ya Allah, Ibra....” Mina tak kuasa menahan tangisnya, ia langsung memeluk erat tubuh ringkuh sang adik yang melemah. Husein ikut terbawa suasana haru keduanya, namun berusaha untuk tidak menitikkan air matanya.

“Kuat dek, kuat... ini takdir....”

Ibra tak menjawab, hanya membalas tepukan pelan di pundak kakaknya.

“Kak, jangan kemana-mana, temenin gue disini....” ucap Ibra dengan lirih.

“Iya aku disini, Bang Husein juga ikut nemenin disini.”

Ayu menahan perih yang semakin menusuk di dadanya, melihat betapa lemahnya Ibra saat ini. Ia memutuskan untuk pergi tanpa meninggalkan kata-kata.

Sedangkan Husein dari ambang pintu langsung mendekat ke sisi kanan Ibra, mengelus pelan surai coklat legam Ibra yang berantakan.

“Ibrahim, kuat ya?”

Ibra tak menjawab, melainkan tangannya menarik kedua tangan dari dua insan yang mendampinginya saat ini— membuat posisi seolah ia dipeluk oleh kedua kakaknya.

“Dingin. Dulu gue dipeluk kayak gini kalau lagi kedinginan.”

Ibra mengulang masa kecilnya, sisi manja yang ia sembunyikan seketika tumpah di masa ia merasa sangat rendah. Husein dan Mina memahami situasi adiknya itu, memeluk hangat tubuh Ibra hingga si bungsu memejam matanya perlahan.

“Tenang ya, Ibra... semua akan baik-baik aja....” Mina mengelus-elus kepala adiknya.

Dan Ibra menghayati kehangatan dari kakaknya, sampai ia tertidur lagi dengan lelap.