Antologi Rasa, Pantai
Rose sudah menunggu kehadiran Ibra di tempat yang sudah di janjikan. Pemuda itu dengan jas rapihnya berlari menyusul wanita cantik bergaun putih selututnya. Rose tersenyum lebar, “Hai, Mas!” sapanya riang.
“Saya baru tahu di dekat sini ada pantai.”
Rose menarik lengan Ibra, “Ayo kita ke pinggir sana! ombaknya lagi surut kok!”
Desiran ombak yang mendorong angin laut menerpa keduanya, Ibra mendecak kagum dengan pemandangan mentari senja yang berada di ufuk barat sana. Melihat suasana biru bersama orang terkasih, ternyata sangat membahagiakan.
Rose melepas sepatu wedges-nya dan menapak-napak pasir hingga membentuk telapak kakinya. Ia mengambil sebatang ranting kecil yang ada di pinggir pantai, menggambar berbagai macam bentuk dari bentuk hati, kupu-kupu, bunga layaknya anak kecil. Ibra terkekeh melihatnya, “Kamu ini kayak anak kecil aja.”
Gelak tawa Rose pecah, “Kan emang lagi mengenang masa kecil,” Rose meringkuk lututnya, “Tempat kelahiranku juga di pesisir pantai, dan aku sangat rindu dengan kampung halamanku, Mas.”
Ibra terhenyak melihat Rose yang sibuk mengayun-ayunkan ranting kecilnya, ia mendekati wanitanya dan mengambil ranting kecil yang ada di sebelahnya juga. Rose menoleh ke Ibra, ia tersenyum lagi lalu menuliskan kalimatnya :
The sunset is beautiful, isn't it?
Ibra membelelakkan kedua matanya, dia membalas lagi kalimat Rose.
No, the moon is prettier.
Rose tak sengaja menitikkan air matanya yang tersembunyi. Ia kembali melekukkan senyuman lebarnya, menarik telapak tangan Ibra dan menggambarkan sebuah bulatan kecil disana—membuat sang pemuda terheran-heran dengan perilaku aneh Rose.
Rose juga menggambarkan simbol matahari di telapak tangannya sendiri, dan menyatukan telapak tangan keduanya.
“Ini apalagi, Rose?” tanya Ibra sambil tertawa geli.
“Lihat deh, kan Mas Ibra ku buat bulan nah kalo di tanganku, aku buat matahari, ngerti gak maksudnya?”
Ibra menggeleng.
“Langit malam itu selalu cantik bersama bulan, tapi di balik cantiknya bulan ada matahari yang selalu memberi support dan kehangatan untuk si bulan,” Rose menyandarkan kepalanya di bahu Ibra, “Aku ingin sekali bisa menjadi sosok matahari untuk Mas Ibra, dan aku ingin Mas Ibra menjadi pelengkap hidupku, membuat semua yang kulalui ini terasa indah.”
Hati Ibra menghangat begitu kalimat sendu itu diucapkan Rose, ia menatap lemat-lemat bentuk bulan yang ada di telapak tangannya. Pemuda berparas eksotis itu langsung mengepal kuat-kuat telapak tangannya, meneguhkan lagi tiap rangkaian kata yang sudah ia siapkan untuk disampaikan kepada wanita kekasih hatinya.
“Mas Ibra, aku... juga mau ngomong sesuatu sebenarnya.”
Ibra mendegup, “O-Oh yaudah, kamu dulu aja.”
Rose menghela nafas panjangnya, “Aku sudah menemukan tujuanku.”
Jantung Ibra berdetak kencang, “Tujuan... apa?”
“Tujuan akhir hidupku, ah sebenarnya gak tahu sih ini tujuan akhir atau bukan tapi aku ingin mewujudkannya,” Rose menatap lurus mata Ibra, “Aku... mau menetap beberapa lama di kampung halamanku, Mas.”
Jantungnya terhentak seperti di sambar petir. Bibir Ibra mendadak kelu, semua yang ingin ia sampaikan seketika lenyap dari memorinya.
“Me-Menetap? Tinggal maksud kamu?”
Rose mengangguk pelan, lalu ia memberikan selembar foto kebersamaannya dengan pria baya—senyuman keduanya begitu lebar dan Ibra bisa menyaksikan betapa bahagianya senyuman Rose di foto itu.
“Ini kakekku yang sudah lama hilang, keluargaku satu-satunya yang tersisa pasca bencana alam lalu. Beliau masih ingat tentang aku dan semua memori keluargaku dulu, Mas, dan juga... beliau ingin sekali mengajarkan aku lagi tentang Islam bersama bimbingan pondok yang ada di sana.” “Aku ingin melakukan perjalanan spiritualku disana, di tempat kelahiranku dan mengucap kalimat syahadat disana.”
Ibra menepik, “Ro-Rose, soal bimbingan... kamu bisa di bimbing disini dulu nanti kalau kamu mau, kita bisa kesana sama-sama.”
Rose menggeleng, “Enggak, Mas, pasti nanti situasinya susah kalau kamu ikut aku. Enggak lama kok, paling 3 bulan aja, setelah itu aku pulang kesini... untuk kamu.”
Rose menangkup tangan Ibra yang tersembunyi di saku jasnya— dimana Rose tahu Ibra sudah menyiapkan sekotak cincin disana, sang puan menahan prianya untuk menyatakan perasaannya.
“Tolong... tunggu aku pulang, kamu mau kan, Mas?”
Ibra menundukkan kepalanya, “Rose... kenapa kamu harus pergi sih? 3 bulan itu waktu yang panjang.”
“Enggak, Mas....”
“Rose jangan tinggalin saya.”
“Aku gak ninggalin kamu kok, hanya pergi sebentar, aku janji pasti akan pulang.”
Ibra menitikkan air matanya, sejujurnya pria itu tak rela melepas kepergian wanita pujangga hatinya. Ibra harap masih ada pertimbangan lain untuk Rose menetap di sini, lebih tepatnya di sisinya. Berbahagia sama-sama, mewujudkan kisah cinta impiannya.
“Saya harus apa kalau itu sudah keputusanmu?”
“Cukup hormati keputusanku, Mas, dan tunggu aku.”
“Rose, please—”
“Tolong, Mas....” Rose ikut meneteskan bulir kristalnya, tak kuasa melihat betapa sedihnya pria yang ada di hadapannya saat ini. Ia tahu keputusannya ini tidak mudah di terima oleh Ibra tapi ini adalah keinginannya sejak lama.
“Baiklah kalau gitu,” Ibra mengepal kuat-kuat tangannya, “Saya akan terus tunggu kamu, sampai kapanpun, sampai kamu benar-benar pulang kesini... sama saya.”
Rose mengangguk semangat, “Janji yaa?!” ia menyodorkan jari kelingking mungilnya, dan Ibra mengaitkan jari kelingkingnya sebagai pengesahan ikatan janji mereka.
“Iya, saya janji.”