Keputusan Hati

Sesuai yang di janjikan, Ibra dan Ayu sudah sampai di sebuah rumah berimitasi khas jawa itu, kehadirannya di sambut oleh pria baya dengan tongkat yang memapah tubuh rentanya.

“Nak Ibrahim....” tubuh Ibra di peluk hangat.

“Assalamualaikum, Om....” Ibra mengucap salam sembari mencium punggung tangan ayah dari Ayu. Sang pemuda di persilahkan untuk masuk ke ruangan tamu dan duduk di samping ayahnya Ayu.

“Ayu, tolong buatkan teh untuk Ibra ya.”

“Ah gak usah, kamu duduk sini aja. Saya mau bicara juga sama kamu.”

Ayu menegup salivanya gugup, ia duduk di kursi jarak 2 meter dari tempat Ibra dan tatapan mata sang pemuda benar-benar membuatnya dag-dig-dug bukan main.

“Mau bicara apa, nak Ibrahim?” tanya pria baya yang mulai antusias dengan pembicaraan serius Ibra.

Ibra menarik nafasnya dalam-dalam, mengatur tempo detak jantungnya yang sejak tadi terus berpacu cepat...

“Sebelumnya mohon maaf, Pak, Ayu, ini mengenai hubungan saya dan Ayu yang sudah bapak dengan abi atur....” Ibra menunduk lesu, “Saya tidak bisa melanjutkannya.”

Mata Ayu membulat sempurna dan ayah dari Ayu hanya memanggut kepalanya.

“Ini bukan soal ketidakcocokkan sifat atau Ayu berbuat salah sama saya, tidak, Ayu adalah gadis yang sangat baik. Selama dia jadi sekretaris saya, pekerjaannya benar-benar membantu saya meskipun masih butuh bimbingan, dan ketika kami berteman pun Ayu juga teman yang sangat baik. Saya senang bisa mengenal Ayu lebih jauh tapi mohon maaf, untuk persoalan hati... saya tidak bisa melanjutkan perjodohan ini dengan Ayu.”

“Lalu siapa gadis pilihan kamu, nak Ibrahim?”

Ibrahim mengatup bibirnya rapat-rapat. Di samping Ibra, Ayu meremat ujung celananya menahan air mata yang sudah menumpuk di pelupuknya, meminta hati untuk tegar dan ikhlas menerima apapun keputusannya.

“Begini nak Ibrahim, meskipun perjodohan ini orang tua kalian yang atur... tapi tetap keputusan mutlak ada di tangan kalian. Ini bukan zaman Siti Nurbaya, pemaksaan dalam hubungan demi kepentingan orang tua bukan suatu hal yang baik. Saya dengan Haidar sudah pernah membahas soal ini, jika salah satu dari kalian memiliki pilihan lain dan enggan melanjutkan perjodohan ini, maka kami ikhlas. Saya tidak akan membenci kamu hanya karena kamu tidak ingin menikahi anak saya, tapi hanya sedikit kecewa saja. Takdir hanya Allah yang tahu, dan inshaa Allah... kami ikhlas menerima apapun keputusan kamu, sekiranya memang itu takdir untuk kita semua.”

Ayu berdiri dari duduknya, “Ma-Maaf, saya izin ke belakang,” langkah gadis itu mulai cepat—bersama air mata yang sudah tak sanggup ia tahan lagi, Ayu masuk ke kamarnya dan menumpahkan semua rasa sakit dalam dadanya. Ya Allah, sekiranya memang ini yang terbaik aku ikhlas... aku mengikhlaskan cinta yang ku pendam selama 8 tahun ini....

Sedangkan sang pemuda juga merasakan dadanya bergemuruh hebat. Ia tak tega menyakiti perasaan Ayu seperti ini, namun seperti yang di katakan oleh kedua orang tuanya.

Apapun keputusannya pasti ada resiko di baliknya.

Ibra hanya berharap akan ada takdir baik setelah ia memutuskan perihal hatinya secara mutlak, baik untuk dirinya juga Ayu.

“Saya... minta maaf sebesar-besarnya dengan keputusan ini, saya hanya tidak ingin lari dari masalah,” ucap lagi Ibra dengan lirih.

“Saya tidak bisa menyalahkan kamu, nak Ibrahim, dan terima kasih... kamu sudah mau mengatakan semuanya,” pundak Ibra di tepuk pelan, “Betapa beruntungnya gadis pilihanmu nanti, bisa memiliki seorang imam yang tegas dan bertanggung jawab seperti kamu.”

Ibra mengulum senyum tipisnya, ia menoleh ke belakang—menantikan kembali kehadiran Ayu yang mungkin tak akan ia temui lagi dalam suasana yang sama.

Ayu... kamu gadis yang baik, saya harap Allah memberikan takdir yang baik untuk kamu.



Setelah melepas kepulangan Ibrahim, sang ayah langsung bergegas menghampiri kamar putri semata wayangnya yang sunyi. Mengetuk pintu tiga kali namun tak ada jawaban, akhirnya sang ayah membuka pintu kamarnya dengan perlahan.

“Ayu....” matanya terbelelak begitu mendapati sang putri tengah menangis dalam sujudnya. Hati mana yang tidak hancur, menyaksikan putri tersayangnya menangis begitu keras, mengaduhkan semua rasa sakit dalam sujud seolah sang putri tak lagi sanggup menahannya sendiri.

“Eh, Bapak....” Ayu bangun dari sujudnya, lalu memeluk tubuh ringkuh sang ayah dengan erat, “Maaf, Ayu bikin khawatir Bapak ya?”

Bapak menggeleng, “Enggak, nak, bapak paham perasaanmu....” bibirnya mengecup pelan kening sang putri, “Ayu putri bapak... ketahuilah bahwa tak ada bapak yang sudi melihat anak gadisnya menangis karena laki-laki yang menyakitinya tapi dari rasa sakit itu kamu bisa belajar untuk menerima dan ikhlas....”

Ayu mengangguk dalam dekapan, “Iya, pak, Ayu paham....”

“Kamu tahu kan kisahnya Zulaikha dan Nabi Yusuf, nak?”

Sekali lagi Ayu mengangguk.

“Ketika Zulaikha mengejar cinta Nabi Yusuf, cintanya pun tak mendekat tapi begitu Zulaikha mengejar cintanya Allah, justru Allah datangkan Nabi Yusuf untuk Zulaikha.” “Untuk putriku, ketika kamu mengejar cinta Allah maka Allah datangkan sosok cinta sejatimu yang sesungguhnya dengan cara yang terbaik.”

Ayu mengulum senyum tipisnya, “Iya pak... semoga saja, Aamiin. Hanya sakit aja, harus mengakhiri perjuangan cinta Ayu selama 8 tahun ini....”

“8 tahun yang panjang pasti Allah berikan takdir yang terbaik untuk kamu, asalkan kamu ikhlas dengan keputusan Ibrahim saat ini.”

Ayu menghela nafas panjangnya, “Inshaa Allah, pak, Ayu berusaha ikhlas.”

Bapak mengeratkan lagi pelukannya, “Doa bapak selalu menyertaimu, putriku sayang.”