Dua Dimensi

“Angel...”

Aku menoleh, mengejar sumber suara yang kian mengecil hingga menampakkan sosok wanita bergaun putih dengan lekukan senyumnya yang menawan...

Aku gak kenal pasti tapi... dia gak asing.

Aku pernah bertemu dengannya di suatu tempat.

“Malaikat kecil Mama, gimana kabar kamu, nak?”

Mama...

Itu Mama?

“Mah?”

“Sini sayang, Mama kangen sama Angel...”

Langkah kakiku gemetar, meraih kedua tangan Mama yang kini menjulur untukku... Mama memelukku erat.

Ini pertama kali dalam hidupku, aku bisa merasakan hangatnya pelukan seorang Mama. Kehangatan ini benar-benar aku rindukan sepanjang hayatku. Ah nyamannya...

“Mah... Angel selama ini kangen banget sama Mama...”

“Iya sayang, Mama juga nak...”

“Mah... Angel ngelaluin banyak hal tanpa Mama disini... Angel bertahan sendirian, Mah...”

“Kamu sudah melalui semuanya dengan baik, nak, Mama bangga sama Angel...” “Maaf ya, kamu harus bertahan hidup sendirian, tapi... Mama bersyukur kamu bisa mendapatkan cahaya hidayah secepat ini...” “Mama senang sekali dengan pencapaian Angel sekarang...”

Aku menyandarkan kepalaku di bahu Mama, mengembalikan jiwa masa kanak-kanakku dimana aku tak bisa seperti ini bersama Mama pada saat itu, membiarkan semua rasa lelahku selama di dunia melebur menjadi rasa nyaman. Ah aku mau seperti ini selamanya...

“Angel mau kayak gini terus sama Mama...”

Mama tersenyum simpul, tangannya meraih tanganku yang dingin, “Angel sayang, takdir kita, takdir Mama dengan Angel... jelas berbeda, sayang...” “Semua kerja kerasmu selama di dunia ini, masih belum dilunaskan dengan kebahagiaan. Kamu masih bisa bahagia di dunia sana...” “Bersama malaikat kecilmu.”

Tubuhku mendelik, aku segera mengangkat kepalaku dan memandang ke belakang... bayanganku langsung mengarah kepada orang-orang yang aku cintai, dimana mereka saat ini sedang menanti kehadiranku, tangisan anakku yang seolah menyeru memanggilku...

Hatiku perih, namun... kenyamanan yang kurasakan saat ini benar-benar membuatku ingin tinggal disini lebih lama... apa tidak bisa?

“Mah... Angel mau disini sebentar lagi, apa gak bisa?”

“Malaikat kesayangannya Mama... gak kasihan lihat orang-orang dibawah sana sedang menunggumu pulang?”

Sekali lagi aku menoleh ke belakang, dan lagi-lagi yang menggerakkan tubuhku untuk bangkit adalah...

Sujudnya Mas Adit.

“Mama bisa merasakan kencangnya doa orang-orang yang menyayangi kamu, Angel... mereka belum siap untuk kepergian kamu...” “Pulanglah bersama mereka, nak, jalanmu masih panjang...”

Aku meraih lagi tangan Mama, namun kian lama rasanya tak lagi hangat...

Seperti serpihan bunga yang terbang satu per satu, meninggalkan wanginya yang begitu merindukan, Mama tersenyum lagi bersama sinar kepergiannya...

“Mama... akan selalu ada di sisi kamu, Angel...”

Set...

PET!!

Pandanganku terbuka bersama air mata, dan orang pertama yang aku lihat di sampingku...

“Mas... Adit...?”

Mas Adit langsung berdiri kaget, “A-Angel?!”

Aku tak sanggup berkata-kata lagi... hanya aroma alkohol yang mencuat tajam di indra penciumanku, dan perasaanku masih mengambang di atas ranjang.

Tergopoh-gopoh sang dokter dan rombongan susternya menghampiriku dan memeriksa keseluruhan kondisi fisikku yang bahkan tak sanggup aku rasakan lagi.

“Masha Allah, ini mukjizat, Pak, kondisi Angel saat ini sudah cukup stabil. Sekarang tinggal istirahat yang cukup saja disini sampai pulih total.“ucap sang dokter, “Bunda... Alhamdulillah anaknya lahir dengan selamat... sekarang sedang di rawat di inkubator, nanti Bunda bisa lihat ya dedeknya.. “

Ah... anakku selamat... Terima kasih, Ya Allah...

“Untuk saat ini, Angel belum bisa ketemu banyak orang ya, Pak, biarkan Angel istirahat dulu sampai benar-benar pulih.”

“Baik, Dokter.”

“Kalau begitu permisi.”

Mas Adit kembali menatapku, aku bisa melihat dengan jelas matanya itu sembab habis nangis, tangannya sedikit bergetar dan kerutan alisnya itu menggambarkan perasaan khawatirnya yang begitu besar terhadapku...

“Angel... syukurlah...”

Maafin aku ya Mas Adit...

“Angel, saya takut sekali kehilangan kamu, saya gak tahu harus apa kalau kamu pergi meninggalkan saya...”

Mas Adit...

“Terima kasih, kamu sudah mau bertahan, Angel...”

Hatiku terenyuh bersamaan satu bulir kristal itu jatuh dari pipi Mas Adit.

“Mas...”

“I-Iya?!”

“Anakku...”

“Ah, Husein? Nanti katanya mau dibawa kesini kok...”

“Hu...sein?”

Mas Adit langsung garuk-garuk kepalanya, “Ah iya, tadi sebelum kamu sadar... suster menanyakan nama dari anak itu sama saya dan yang terlintas di kepala saya itu Husein, cucu Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam. Jadi saya beri nama Husein untuk anak kamu.” “Nama lengkapnya Husein Muhammad Al Farizi, kamu...suka?”

Nama itu terdengar indah...

“Su...ka...ba...gus, Mas...”

“Alhamdulillah kalau begitu, Haidar juga bantu saya buat nyari nama lengkapnya juga tadi, hahaha...” “Sudah kalau begitu, kamu istirahat ya, nanti kamu bisa lihat bayinya kok setelah ini,” “Saya mau urus beberapa administrasi dulu sebentar, tunggu ya.”

Mas Adit beranjak dari tempatnya dan disini aku benar-benar bersyukur bisa memilih untuk pulang bersama orang-orang terkasihku...

Mama benar, sebentar lagi akan ada kebahagiaan yang sedang menantiku disini.


Sebelum Angel siuman...

“Bapak... Ayahnya bayi ini?”

Adit mendelik begitu di datangi seorang suster ketika ia masih sibuk memandangi bayi laki-laki yang masih terkurung di inkubator dari balik kaca. Adit tak sendirian, ada Haidar disana yang ikut menemani Adit.

“Ah saya—”

“Maaf, Pak, kalau boleh tahu anaknya mau diberi nama apa?”

Adit langsung gelagapan, Angel gak pernah kasih tahu nanti anaknya mau diberi apa...

“Duh, Dar, gua bingung nih...”

“Ya gue juga, kan bukan anak gue.”

“Bantuin lah.”

“Duh bentar deh bentar.”

Sekelibat ada satu nama yang terlintas di kepala Adit.

“Husein.”

Haidar tersontak, dan sang suster dengan cepat menuliskan satu kalimat nama yang terucap dari bibir Adit. Husein, cucu Rasulullah yang di kenal sebagai pemimpin yang di hormati banyak orang, sosok itu seolah menjadi doa bagi Adit untuk malaikat kecil itu.

“Husein... apa?”

Haidar langsung mencolek pundak Adit, “Al Farizi artinya bagus, Dit, ksatria yang menunggang kuda.”

“Oke, Husein Muhammad Al-Farizi.”

“Husein Muhammad Al-Farizi... oke kalau begitu, terimakasih, Pak...”

“Oh ya, saya belum sempat azankan bayinya, Sus...”

“Mohon maaf, Pak, untuk saat ini kondisi anaknya belum stabil untuk dikeluarkan dari inkubator jadi mohon bersabar dulu... nanti kalau sudah bisa dikeluarkan, baru Bapak bisa gendong anaknya nanti bersama Bundanya...” “Semoga Bundanya bisa cepat sadar dan ketemu sama anaknya, ya, Pak...” “Saya permisi...”

Haidar menepuk pundak sahabatnya itu, “Mending kita doa untuk Angel dulu, Dit, Inshaa Allah semuanya akan baik-baik aja.”

Adit mengangguk lesu, dan kembali mengaitkan harapannya agar bisa melihat wanita kasihnya itu cepat membuka mata...

Masih ada kisah yang harus mereka bangun sama-sama bersama malaikat kecilnya.