Langkah
Haidar tergopoh-gopoh lari dari mobilnya dan di sambut dengan kehadiran istrinya yang sudah duduk menyilang dada, mata yang sembab dan kerudung tak menentunya itu, pemuda berkemeja putih pucat itu menatap nanar wajah murka Anela yang sudah tak terbendung. Tangan besarnya berusaha meraih pipi basah wanita kasihnya namun dengan cepat tangan itu di tepis,
“Maryam...”
“Untuk apa saya duduk disini?”
Haidar mendelik.
“Untuk apa saya duduk disini nungguin Mas pulang? cuman untuk dengerin Mas manggil-manggil nama saya doang?!”
“Bukan, Maryam...”
“Sekarang Mas mau jelasin apalagi? alasan apalagi yang saya harus dengar hanya karena Mas terbiasa berbohong sama saya?”
“Maryam, saya belum sempat jelaskan sama kamu.”
“Selalu kalimat itu yang keluar dari mulut Mas!”
“Makanya tolong beri saya kesempatan untuk menjelaskan, Maryam!”
“Apakah penjelasan Mas bisa aku percaya sepenuhnya?!”
“Dengerin saya dulu—”
“AKU CAPEK MAS!!!”
Pekikan Anela cukup mengejutkan Haidar di tempatnya.
“Aku capek Mas, aku capek harus nahan sakit ketika tahu bahwa aku bukanlah satu-satunya yang ada di hati kamu, Mas—”
“Sebentar, omongan kamu mulai gak karuan, Maryam—”
“Lalu buku ini apa?!”
Haidar membelelakkan matanya bulat-bulat, kedua buku hariannya itu ternyata sampai di tangan istrinya itu... bisa dipastikan kalau Anela ini salah paham.
“Mas masih nyimpen buku harian Mas, dan disini masih ada foto Nafisa!!”
“Maryam, itu buku harian lama dan memang masih saya simpan.”
“Simpan untuk apa?! Untuk Mas kenang lagi masa lalu gitu?! Orang jelas-jelas buku ini masih Mas buka lagi kok!!”
“Astagfirullah hal adzim, bukan, Maryam... saya masih buka buku harian itu karena saya lagi cari bahan materi untuk buku saya!”
“Hah, alasan klise! Mas, saya bisa tahu jelas di mata Mas kalau Mas itu masih cinta sama Nafisa!!”
“Saya berani bersumpah, Maryam, kalau saya sudah tidak ada lagi perasaan sama Nafisa!”
“Kalau begitu, coba saya tanya satu hal ini sama Mas Haidar...” “Mas... Apa Mas mencintai saya?”
Haidar diam mematung, dan disitu terlihat mata Anela bergetar hebat dengan gumpalan air mata yang menumpuk di pelupuk matanya.
“Maryam, saya akan jelaskan semuanya satu per satu—”
“Jawab dulu, Mas cinta gak sama aku??!!”
Anela sudah berhasil meloloskan tiap bulir air mata pedihnya di hadapan Haidar.
“Maryam...”
“Mas... gak cinta sama aku?”
“Bukan begitu, Maryam...”
“Jadi selama ini... di hati Mas itu gak ada aku?”
“Astagfirullah, Maryam bukan begitu... tolong dengerin saya...”
“Mas, pertanyaan saya simpel... Mas Haidar cinta sama saya?”
Haidar mengepal tangannya kuat-kuat, kenapa kalimat cinta itu seolah sulit keluar dari bibir lelaki itu?
Jika kata cinta itu memang mudah keluar dari bibir, tapi bagi Haidar... yang namanya cinta itu dari hati, bukan begitu?
“Ketiga kalinya saya bertanya dan Mas tidak memberi jawaban sama sekali.” “Kalau begitu saya sudah dapat jawabannya.”
TEP! Haidar menahan lengan Anela yang hendak beranjak, genggamannya kian mengerat, sorot mata pemuda itu juga tak kalah tajam.
“Apalagi, Mas?!”
“Apakah diam itu selalu menjadi jawaban tidak? Kamu selalu menuntut saya untuk menjelaskan semuanya tapi kamu tidak pernah memberi saya kesempatan untuk bicara.”
“Karena Mas sudah sering bohong sama saya!”
“Kalau begitu kamu lebih baik diam tanpa mendengar penjelasan saya seperti ini? Kamu lebih baik kita berselisih seperti ini?”
Anela menangis lagi, cengkraman suaminya itu kian melemah sampai akhirnya turun ke punggung tangan mungilnya dan menggenggamnya erat-erat.
“Tolong... beri saya kesempatan saya untuk menjelaskan semuanya, Maryam... saya gak mau kita berselisih paham kayak gini...” “Saya minta maaf kalau sudah banyak melukai hati kamu...”
“Saya gak butuh permintaan maaf yang kesekian kalinya dari Mas, tapi yang saya butuhkan sekarang... adalah jawaban dari pertanyaan saya tadi, Mas...” “Mas Haidar... cinta sama saya?”
Haidar menatap pilu wajah istrinya, ia memeluk punggung ringkuh Anela erat dan menenggelamkan kepalanya di bahu wanita kasihnya...
“Bagaimana bisa saya tidak mencintai kamu... sedangkan sayap saya untuk pergi ke syurga-Nya ada di kamu, Maryam...” “Kamu-lah sayap saya... Anela Haliza Maryam... Tentu saja saya cinta sama kamu.”
Air mata Anela semakin berderai deras hingga tangannya menggenggam erat ujung baju suaminya. Perasaan dalam hatinya bercampur aduk, lega sekaligus perih yang berkecamuk dalam dadanya, tapi yang jelas... jarak hati antara mereka kian lama semakin menipis...
“Apakah ucapan Mas bisa aku pegang?”
“Inshaa Allah, Maryam, karena saat ini saya benar-benar mengatakan apa kata hati saya dan itu jujur perasaan saya.”
“Sekarang Mas jujur... Mas pulang malam itu ngapain aja? bahkan kemarin Mas sampai gak pulang ke rumah...?“akhirnya Anela mengeluarkan pertanyaannya lagi
Haidar menghela nafasnya panjang,
“Saya sedang sibuk menulis project buku baru saya, Maryam, dan sebagian besar materi yang saya butuhkan itu ada di pondok.” “Memang itu di luar jadwal saya di pondok, saya sengaja mengerjakan semua pekerjaan saya di pondok biar saya bisa pulang rileks dan istirahat sama kamu di rumah...” “Maaf kalau ternyata itu membuat kamu jadi sering merasa sendirian, kalau memang kamu mau saya kerja di rumah juga gapapa... saya akan usahakan itu untuk kamu.”
Anela menggeleng pelan, “Sudah, Mas, cukup. Saya juga salah karena udah mikir yang enggak-enggak soal Mas apalagi semenjak saya lihat buku harian Mas itu...”
“Saya paham, Maryam, wanita mana yang tidak gelisah begitu lihat ada foto wanita lain di buku suaminya...” “Lain kali saya lebih hati-hati, saya gak lama membutuhkan buku ini nanti setelah itu buku ini akan saya buang.”
Anela tak merespon, melainkan terus memeluk erat tubuh suaminya itu hingga sesak, pemuda itu terkekeh kecil...
“Aduh, Maryam, sa-saya sesak nafas nih...”
“Mas janji ya gak boleh lagi ada rahasia-rahasiaan lagi!” “Anggap hari ini adalah terakhir kalinya kita berantem karena permasalahan yang sama!”
“Iya... enggak lagi deh...”
“Tapi, Mas... coba bilang lagi dong, bilang kalau Mas cinta sama saya!”
Haidar mendelik, “Hah? Emang kurang jelas saya ngomongnya tadi?”
“Gapapa mau denger lagi ajaaa... please?? 🥺”
“Hah...” “Iya, Maryam, saya cinta sama kamuuuu....”
Anela melompat girang dan memeluk lagi tubuh suaminya kencang.
Semoga kejutan saya nanti bisa membuatmu jauh lebih bahagia dari ini, Maryam...