Permintaan Angel
Kini, gue dengan Angel tengah berbincang panjang mengulang histori selama kami tak bertemu berbulan-bulan. Bagaimana kondisi Angel selama di Sleman dengan kondisi gue setelah menikah, pokoknya berbagai topik deh kita omongin.
“Anela...”
“Ya?”
“Sebelum lahiran, gue boleh minta tolong sesuatu?”
“Apa?”
Angel tersenyum tunduk, “Besok sama temen-temen yang lain, temenin gue balik ke rumah ya...”
Mata gue memencak lebar, gue tahu betul bagaimana kondisi keluarga Angel. Gue khawatir kalau mereka melihat kondisi Angel sekarang...
“Angel... lo yakin? lo lagi hamil besar soalnya...”
Angel mengangguk yakin, “Iya, Nel, at least... gue mau ketemu bokap gue. Gue mau ngucapin terima kasih sama bokap karena bokap masih mau merawat gue sendirian sampai akhirnya ketemu nyokap tiri gue, dan juga sekalian ucapan minta maaf... karena gue banyak mengecewakan mereka dulu.” “Meskipun mereka sedikit keras sama gue, tapi mereka berjasa di hidup gue, Nel, seharusnya gue bisa menjadi anak yang membanggakan tapi justru malah sebaliknya... gue banyak mengecewakan mereka. apapun yang mereka lakukan sama gue nanti, gue siap menanggung semua resikonya.”
Hati gue terenyuh, gue seneng banget dengan diri Angel sekarang...
Dia benar-benar menggambarkan arti dari namanya...
Malaikat.
Hatinya benar-benar bagaikan malaikat.
“Iya dong, pasti kita akan dampingi kok.” “Oh ya, mau di hubungi sekarang gak?? Biar besok tinggal berangkat!”
“Hubungi siapa? Eliza sama Kak Indry?”
“Iya lah!”
“Besok pagi aja, Nel, udah malem banget soalnya.” “Oh ya, lo besok ada kuliah?”
“Nggak kok, lusa baru ada kelas.”
“Ohh syukur deh kalo gitu...” “By the way, gue jadi kangen kuliah deh hahaha... harus sabar tahun depan baru bisa lanjut...”
“Lo ambil cuti setahun, Ngel?”
“Iya, gue gak mau langsung drop out dari kampus. Bagaimanapun juga gue harus tetep melanjutkan pendidikan gue, demi anak gue.”
Gue mengacung dua jempol di hadapan Angel, “Gila sih, lo hebat, Angel! Keren betul sobatku ini!”
“Hahaha... sobatku yang ini juga gak kalah keren kok! Aku kan ikutan hijrah gara-gara dirimu, say!”
Kita saling bertukar rasa rindu lagi dengan balutan tawa ceria dan senda gurau.
Sekarang gue di kamar bersama Mas Haidar seperti biasanya, Mas Haidar dengan aktivitas membaca Qur'an sebelum tidur, gue yang sedang mengaplikasikan beberapa produk skincare gue dan merenungkan berbagai hal di depan kaca.
“Mas.”
“Hm?”
“Aku kepikiran sesuatu deh.”
Mas Haidar menoleh, ia menghentikan bacaannya dan meletakkan Al-Qur'an-nya di atas meja laci sampingnya.
“Kepikiran apa?”
“Soal... punya anak.”
Mas Haidar membelelakkan matanya, “Kenapa?”
“Sebentar lagi aku udah bisa ngajuin judul skripsi, jadi... kayaknya bisa dipertimbangin untuk punya momongan setelah aku sidang skripsi...”
“Berapa lama lagi itu?”
“Kurang lebih setahun lagi sih...”
Mas Haidar hanya menghela nafasnya panjang, dia melepas kacamatanya dan menepuk kasur di sampingnya meminta gue duduk disitu, “Sini, dek.”
Gue menuruti aba-aba suami gue. begitu gue duduk di sampingnya, Mas Haidar langsung merangkul lengan gue erat
“Maryam... dengar ya, saya tidak menuntut apapun dari kamu karena pertama kamu harus fokus dengan pendidikan kamu dan kedua, saya tidak ingin membuat kamu tertekan. Lakukan sebisa kamu, punya anak maunya kapan, maunya berapa, biar nanti Allah yang atur, kita sekarang cukup jalani apa yang bisa kita lakukan saja.” “Setelah sidang skripsi kamu selesai, gak cuman urusan anak aja, banyak yang harus kita lakukan tapi kita jalani itu semua pelan-pelan...” “Yang terpenting itu adalah menikmati momen kita saat ini, masa depan biarlah menjadi rahasia takdir, yang penting jangan sampai kita melewatkan tiap detik berharga kita, Maryam.”
Rasanya hangat mendengar kalimat bijak itu keluar dari bibir Mas Haidar. Gue memeluk erat tubuh Mas Haidar dan menenggelamkan wajah gue di dadanya yang terus terdengar suara desirannya...
Gue bahagia banget, bisa punya Mas Haidar dalam hidup gue.
Bahkan detak jantungnya yang kini menjadi milik gue, adalah anugrah terindah dari Allah untuk gue.
Nikmat apa yang Kau dustakan, Ya Allah?
“Iya, Mas... aku paham...”
Gue menatap sekejap kedua mata Mas Haidar, lalu kami saling terkekeh dan memejam mata membiarkan kami terlelap dengan posisi saling menghangatkan ini.
Selamanya... kita akan terus begini kan, Mas?