shinelyght

“Permisi, Bu, atas nama Bella?”

“Betul, Pak.”

“Ke Jalan Diponegoro no 15, ya? Mari bu masuk.”

Gue menyibak rambut sebahu gue ke belakang dan menggendong tubuh anak gadis gue ke dalam mobil duluan. Begitu kami sudah rapih, akhirnya mobil melaju pelan menuju arah tujuan.

Lalu lalang mobil yang melintas terlihat sama, kota ini dulunya menyimpan banyak memori untuk gue... terutama memori tentang masa muda.

Semua orang pernah melalui yang namanya masa muda. Masa muda adalah saat dimana kita sedang bebas berekspresi untuk mencari jati diri. Energi kita juga sedang di masa-masa terbaiknya.

Tapi sayangnya energi kita tak mampu mengontrol semangat kita yang menggebu-gebu.

DRRTT, Ponsel gue bergetar membuyarkan lamunan panjang gue.

“Halo, Bel? Udah jalan?”

Suara bariton ini sudah sangat familiar bagi gue, ini suami gue.

“Udah, cuman agak macet nih lagi jam pulang kantor soalnya. Kamu dari Cikarang aman?”

“Aman kok, bentar lagi ngelewatin tol Bandung. Paling setengah jam atau sejam kurang nyampe, acaranya juga masih lama kan?” “Tissa kalem? gak rewel?”

“Enggak kok, aku udah bawain semua kebutuhan dia jadi nanti dia gak akan rewel disana. Sekali-kali lah, yang, kita liburan sekeluarga.” “Kamu kok kayak terbebani gitu sih bawa anaknya liburan?”

“Ya bukan gitu, ini kan acara reuni kita gitu lho... aku takut Tissa bengong disana, kan bisa di titip sama Papih Mamih dulu.”

“Gapapa lah bawa aja, lagipula kita kan janjinya mau nginep di hotel bukan di rumah Papih Mamih ayo?”

“Ya iya sayang... maksud aku biar Tissa gak gabut disana haduh...”

“Udah deh gak usah bawel! gue yang ngurus, gue yang susuin ntar! Lo kan palingan ntar ketawa-ketiwi ama geng bobrok lo gak bakal fokus sama Tissa!” “Dah ah, fokus nyetir sana!”

“Naha kamu ngegas ih, yang—”

TUT!, gue mematikan paksa telepon.

Yah seperti yang kalian lihat tadi, suami gue juga akan ikut acara reuni sekolah hari ini. Siklus hubungan kami pun ya kayak tadi, serius, dari dulu gak pernah berubah. Bawaannya ribut mulu.

Gue dan suami gak pernah pacaran, tapi kita hanya terikat dengan ikatan batin yang pada akhirnya Tuhan satukan dalam ikatan pernikahan.

Dulu mana pernah gue kepikiran buat nikah sama dia, ngeliat dia jadi laki-laki aja gak pernah! Serius!

Hah... tapi kalo gue putar ulang lagi waktu, kayaknya dia waktu SMA jauh lebih lucu dibanding sekarang.

Jadi pengen balik lagi ke masa itu...


“HAI BELLAA!!!”

“GUSTI YA ALLAH PUTRI METROPOLITAN KITA, ISABELLAAA!!”

Kami saling menyambut gembira dan bertukar cipika-cipiki. Adisty dan Citra, mereka adalah sahabat terdekat gue di SMA.

“Ya ampun Tissa gemesnya... umurnya udah berapa sekarang?“tanya Adis sambil mencubit pipi anak gue gemas

“Mau 2 tahun, aunty...”

“Awww gemesh banget... ini teh masih nyusu, Bel?”

“Masih, nih, Dis, Tissa belum mau lepas nyusu.”

“Gapapa lah, keponakan aku juga nyusunya ampe umur 3,5 tahun! Siapa tahu ntar gedenya pinter, hihihi...” “Terus itu perut kamu kok juga rada gede...”

Gue memukul lengan Adis, “Ih, kamu ngejek?!”

“Bukan, Bel, bukan ngejek gendut tapi kayak...”

Gue terkekeh, “Iya gue lagi hamil.”

“WAH HEBAT EUY SI KAMPRET MEUNI GERCEP PISAN!!!”

Gitu ya orang-orang, yang hamil gue yang dibilang hebat malah suami gue. Sialan.

“Si geng bobrok belum dateng kesini sih, kalo tahu nih kamu udah hamil gempar mereka!“sahut Citra gak kalah heboh

Ketawa renyah gue tersekat begitu kehadiran keempat pria berjas rapih itu tiba di hadapan kita, dan itu termasuk suami gue. Mereka seolah tengah menunjukkan pesona mereka masing-masing sebagai orang sukses.

Bawaannya pengen mukul aja sih. Songong banget.

“Sayang!“sahut suami gue, gue mendecih sinis dan menatap tajam ke arahnya sebagai sinyal 'gak usah bikin ulah siah!'

“Ish ish ish, kudu pamer keuwuan gitu yah disini? Mentang-mentang bentar lagi punya 2 anak!“sewot Agus dengan nada ngegas yang selalu menjadi ciri khasnya dari dulu.

Gue melotot, “Tau darimana lo?!”

“Dari laki maneh lah, daritadi ge pamerin cincin sama foto maneh mulu!”

Gue memicing mata ke arah suami gue, “Norak lo!”

“Ya Allah, yang, masa gak boleh sih pamerin istri sama anak sendiri!”

“Gak boleh.”

“Naha gitu?!”

“Malu-maluin, norak.”

Dia malah memaut bibirnya manja sambil memeluk lengan gue. Gue menepis tangannya sambil mencubit pinggangnya keras-keras sampai dia merintih kesakitan, semua orang cuman bisa geleng-geleng lihat sikap kita.

“Mau geus kawin oge lalakinya tetep teraniaya ya ...“cicir Satria, si laki-laki berparas eksotis.

“Kasihan sih...“timpal Nathan

“Kerjaannya menegak keadilan orang, tapi menegak keadilan diri sendiri di depan bini aja gak becus...“ucap Agus

Yah inilah kisah kita setelah beberapa tahun kita melewati masa puber sama-sama dengan cerita masing-masing yang berdampingan.

Terutama tentang kisah gue dengan suami gue.

Kalian harus simak semuanya dari awal.

“Kamu hati-hati dirumah ya, kalau bisa jangan capek-capek dulu”dengan hati yang berat, hanya kalimat itu yang keluar dari bibir pria itu, “Ibra, Mina... Abi pergi dulu ya... kalau Umi kondisi fisiknya sudah baik, nanti kalian susul Abi disana ya?“tak lupa ia memberikan jejak kecupan di dahi kedua buah hatinya.

Akhirnya satu minggu yang baik itu sudah berlalu, Haidar harus pergi lagi ke kota Kairo untuk melaksanakan pekerjaan dan studinya disana, meskipun beberapa bulan lagi Anela bisa menyusul tapi tetap saja... yang namanya satu sayap tertinggal, akan terasa berat untuk terbang ke tempat yang jauh.

“Maryam, maaf kalau saya suka sibuk dan gak balas chat kamu tapi saya mohon sama kamu... apapun itu, tetap kabari saya meskipun saya lama balasnya, saya akan usahakan untuk tetap jaga komunikasi sama kamu...“ucap Haidar purau

“Iya, mas... aku paham, hati-hati disana ya?”

“Kamu juga...”

“Dah, Mas Haidar...”

“Assalamualaikum...”

“Waalaikumsalam...”

Haidar melangkah tergontai sambil tersenyum pasi, ia menyeret kopernya tak bergairah, berkali-kali ia menoleh ke belakang menatap sendu istri dan anak-anaknya.

Rasanya ia ingin lari lagi memeluk mereka...

tapi sudahlah, Haidar harus hadapi ini semua.

Satu atau dua purnama itu bukan waktu yang lama. Haidar harus bersabar sampai waktu mereka dapat berkumpul bersama itu tiba.


Beberapa tahun kemudian...

“EYAANGG KAKUNGG!! EYANG PUTRII!!”

Kedua anak kecil berusia 5 tahun itu berlari kencang memeluk kedua orang paruh baya yang sedang duduk di taman depan. Mereka saling melepas rindu setelah sekian lama terpisah antar negara jauh nan disana, momen tiap tahun inilah yang hanya bisa mereka jadikan sebagai pertemuan rutin di tanah air tercintanya.

“Wah, Hahahahaha...!! Ibra sama Mina udah makin besar aja nih, pipinya makin tembem!“sahut pria berkacamata rendah itu sambil mencubit kedua pipi cucunya.

“Kalo tuan putri kecil Eyang yang satu ini, kayaknya makin cantik nih, bulu matanya udah makin lentik!“imbuh wanita di sampingnya sambil memberi kecupan ke pipi gadis mungil yang ia peluk itu

Di belakang mereka ada sepasang kekasih yang kini tumbuh semakin dewasa setelah 5 tahun berlalu. Mereka bersimpuh lutut untuk melakukan 'sungkeman' kepada kedua orang tuanya, Haidar dan Anela di hari lebaran yang penuh momentum itu... mengucapkan kalimat terima kasih dan permintaan maaf.

“Minal aidzin wal faidzin, Pah, Mah... maaf kalau Anela ada salah selama ini... terima kasih atas semua jasa kalian selama ini...”

“Minal aidzin wal faidzin, Pah, Mah, maaf kalau saya sebagai anak menantu Papa sama Mama... masih banyak kekurangan selama ini... terima kasih sudah mau menjadikan saya sebagai bagian dari keluarga ini...”

Mereka tersenyum penuh haru, tangan keriputnya mengusap dari ujung kepala hingga pundaknya lembut sambil memanjatkan doa untuk kebahagiaan keduanya, “Sama-sama, nak... kami juga sangat bahagia memiliki kalian...” “Terima kasih juga untuk semuanya...”

Akhirnya Haidar dan Anela berdiri dari tempatnya.

“Haidar, gimana studi kamu di Kairo?“tanya Papa Anela antusias

“Alhamdulillah lancar, Pah, meskipun ada sedikit rintangan tapi ya Inshaa Allah bisa Haidar hadapi sampai dapat gelar S3 nanti.” “Terima kasih, Pah, sudah mau mewujudkan mimpi saya untuk melanjutkan sekolah disana...“jawab Haidar

Papa Anela menggeleng, “Ini semua berkat Anela, Haidar... dia yang mewujudkan mimpi kamu.”

Anela terkekeh, “Lebih tepatnya, ini semua dari Allah, Mas, aku cuman perantara aja, hahaha...”

Mereka akhirnya saling bertukar canda gurau. Tak lama kemudian mereka kedatangan Bang Jeffry bersama istri dan anaknya yang baru berusia 3 tahun, lalu mereka benar-benar memulai acara pertemuan keluarga mereka yang sakral tiap tahunnya.

Momen ini juga selalu mereka abadikan tiap tahunnya pada sebuah album foto usang berwarna abu-abu. Anggota keluarga besar dari generasi ke generasi yang terus berkembang selalu terpotret sempurna dalam album foto ini.

Dan potret hari ini menjadi akhir cerita indah kita.

Terima kasih, sudah mengikuti kisah ini dengan baik. Sampai jumpa di cerita bahagia selanjutnya.

Lagniappe, END18 Mei 2021

Di ruangan redup itu, Anela tak sanggup bernafas. Tekanan perutnya yang ia hempaskan sekuat tenaga, saat ini Anela benar-benar perang antara hidup dan mati untuk kedua buah hatinya.

“Ayo, bunda... pelan-pelan tarik nafasnya... lalu hembuskan...”

“Ughh!! Sakiitt!!! HUWAAAA!!!”

“Sedikit lagi ya, Bunda...”

“Gak kuaatt!! Huwaa!! Sakitt!!”

Di tengah perjuangannya...

“Maryam! Kamu bisa!”

Suara itu menghentikan rintihan keras Anela.

“Maryam... maaf tadi saya gak nemenin kamu sidang... maaf ya...” “Saya temenin kamu disini dari jauh... kamu bisa, Maryam...”

Suara purau Haidar menjadi kekuatan Anela, wanita itu menarik nafasnya dan kembali membulatkan tekad untuk memperjuangkan hidupnya dan kedua malaikat kecilnya hari ini.

“Istighfar, Maryam... pelan-pelan ya sayang...”

Disitu ada tangan Darren yang menggenggam erat tangan putrinya, sang suster membantu memegang ponselnya untuk memperlihatkan Haidar kondisi Anela yang tengah susah payah berjuang antara hidup dan mati, disitu satu tetes air mata lolos dari pelupuk mata Haidar. Suaranya yang bergetar terus menyemangati istrinya yang masih terus berjuang.

Hingga akhirnya...

Setelah berjam-jam waktu tlah berlalu...

Anela merasa sangat lemas tak berdaya.

“Wah... Alhamdulillah, bayinya sehat dua-duanya... yang jadi kakaknya perempuan, kalau yang jadi dedeknya laki-laki...” “Selamat ya, Pak, Ayah dan Bunda...”

Anela tak sanggup berkata-kata bahkan tenaganya saat ini sudah terkuras habis. Sang dokter menunjukkan wajah mungil kedua buah hatinya yang kini menangis kencang.

Seketika rasa sakit dan lelahnya melebur menjadi kebahagiaan yang tak terkira... kini Anela sudah resmi menjadi seorang Ibu...

Anela benar-benar bahagia...

“Ayah... mau adzanin anaknya?“pinta sang dokter kepada Haidar, dari layar ponsel itu Haidar juga tak berhenti menangis bahagia.

“I-Iya dok... boleh... Papa juga boleh ikut adzanin bareng saya ya... biar jelas...”

Darren tersenyum teduh, “Iya, Haidar.”

“Allahu Akbar, Allahu Akbar...”

Lantunan adzan dari Haidar dan Papanya menenangkan Anela hingga wanita itu memejam matanya. Hatinya sekarang benar-benar terasa damai.

Akhirnya Anela memejam matanya terlelap bersama hati yang berbunga-bunga.


Ibrahim El Fatih Aminah Haliza Azzahra

Kedua nama itu sudah di tulis rapih dalam papan keranjang, bersama kedua bayi mungil yang terlelap begitu dalam setelah lama menangis.

Anela perlahan membuka matanya, mendapati dirinya sudah tidur di ruangan VIP, ia menoleh ke samping melihat kedua malaikat kecilnya terlelap nyenyak.

“Wah... kalian juga tidur nyenyak yah...“ucap Anela sambil tersenyum henyak.

Kriet... Papa Anela hadir membawa satu kantung plastik besar entah apa isinya.

“Papa...”

“Anela udah enakan?”

“Lumayan...”

“Kamu tidur 2 hari full lho.”

Anela melotot, “Hah? 2 hari?!”

“Iya, Papa sampe takut kamu kenapa-kenapa tapi kata dokter gapapa, energi kamu emang habis terkuras”Papa Anela mengelus anak rambut putrinya itu dengan lembut, “Selamat ya, Anela, dan terima kasih sudah mau berjuang untuk anak-anak ini...”

Anela menitikkan air mata harunya, ia masih tak menyangka bahwa dirinya saat ini sudah resmi menjadi seorang Ibu.

“Maryam?!”

Anela terkejut bukan main, sosok pria bertubuh tegap dengan koper dan tas jinjingnya menatap Anela intens dari ujung pintu sana.

“Mas Haidar?! Ko-Kok kamu disini—”

GREP!! Haidar memeluk erat-erat tubuh mungil istrinya dan membiarkan air matanya jatuh membasahi bahu Anela.

“Ya Allah... Alhamdulillah, Ya Allah... kamu sudah berjuang, Maryam... terima kasih sudah mau berjuang untuk anak kita...“lirih pria itu dengan tangannya yang terus mengeratkan pelukannya

Kini kebahagiaan Anela sudah lengkap, suaminya kini datang menyaksikan langsung kedua malaikat kecilnya yang sudah lahir di dunia.

Wajah bahagia Haidar terlukis sempurna begitu ia bisa menggendong kedua buah hatinya satu per satu, lalu membacakan beberapa kalimat doa dan meniupkan ke ubun-ubun mungil bayinya. Tak lupa Haidar memberikan jejak kecupan kecil di kening buah hatinya.

“Haidar panik banget pas denger kamu gak bangun seharian, dia langsung minta Pak Romi pesankan tiket pulang dan begitu mendarat pun, dia langsung ngebut ke rumah sakit sini”cicir Papa Anela sambil tertawa geli melihat tingkah anak menantunya yang kegirangan melihat kedua bayinya yang masih terlelap.

Anela ikut terkekeh, dia pun dengan senang hati menyambut kehadiran tiga orang terkasihnya sekaligus disini.

“Mas, kerjaan kamu di Mesir gimana?“tanya Anela

“Hm?“Haidar menurunkan Ibrahim ke ranjangnya, “Tenang aja, sebagian besarnya udah beres cuman di maintain sedikit lagi. Sekarang saya lagi lowong sampai minggu depan nanti.”

“Minggu depan kamu balik lagi ke Mesir?”

Haidar mengangguk lesu, “Yah... kayaknya gitu...”

Anela menjawab oh ria seraya menundukkan kepalanya.

Pria itu langsung duduk di samping ranjang istrinya dan merangkul lengannya. Tangan besarnya menepuk-nepuk lengan Anela lembut, Anela akhirnya bisa menyandarkan lagi kepalanya di bahu sang suami setelah 2 minggu lebih mereka saling menahan rindu.

2 minggu pun rasanya seperti 2 tahun.

“Maryam...”

“Ya, Mas?”

“Terima kasih ya.”

“Untuk?”

“Semuanya, kamu sudah melakukan semuanya yang terbaik sebagai istri saya.” “Kehadiran kamu benar-benar hadiah dari Allah untuk saya, Maryam.”

Anela mengulum senyum simpul, “Begitupun kehadiran Mas Haidar dalam hidup aku... Allah menjadikan kehadiran Mas Haidar sebagai jalanku untuk menjadi manusia yang lebih baik...” “Aku bersyukur, Mas Haidar bisa menjadi bagian dari hidup aku.”

Kedua insan yang saling mencintai itu sama-sama berucap syukur satu sama lain, belum lagi kehadiran kedua malaikatnya yang akan menjadi bagian hidup baru mereka turut menambahkan suasana bahagia mereka.

5 Januari,

Sudah tercatat sebagai awal sejarah Haidar dan Anela membangun keluarga kecil barunya.

Selamat untuk Haidar dan Anela! :)

Makan malam hari ini bersama keluarga besar cukup hangat dengan berbagai cerita manis di masa lalu. Malam ini adalah malam terakhirnya Mas Haidar ada di Indonesia, sebenarnya sih agak nyesek ya harus LDR kayak gini cuman ya gue harus ikhlas. Mas Haidar kan pergi menjalankan amanah yang cukup besar dan sekaligus mewujudkan mimpinya disana.

Oh ya, kita LDR-nya gak lama kok! Pokoknya setelah gue lahiran dan selesai masa nifas gue, In Shaa Allah gue akan pergi nyusul Mas Haidar untuk tinggal disana bersama malaikat kecil kami.

“Pokoknya di momen-momen tertentu kamu harus telpon saya! Sebelum sidang kamu telpon saya, sehari sebelum lahiran kamu telpon saya pokoknya harus terus kabarin saya!“ujar Mas Haidar sambil mengemasi barang-barangnya itu, “Ah ya, setelah lahiran nanti juga kamu harus rutin minum vitaminnya, abis melahirkan itu kan capek apalagi kamu ngelahirin 2 anak sekaligus, banyak-banyak berdoa sama shalat taubat biar dipermudah proses lahirannya!”

“Iyaaa... Mas Haidaaarrr.... Mas ih, bawelnya ngalahin Mama nih...“celetuk gue sambil memeluk tubuh suami gue yang harum itu.

“Demi Allah, dek, saya benar-benar gak tega ninggalin kamu kayak gini... kenapa sih gak bisa di undur aja sampai kamu lahiran gitu? Saya juga sendirian disana...”

“Gak sendirian dong, kan sama Pak Romi...”

“Tapi kan nanti tidurnya sendiri.”

“Yaa minta Pak Romi nemenin Mas aja?”

“Yang bener aja kamu, Pak Romi kan gak bisa saya peluk kalau lagi tidur.”

Gue terkekeh geli mendengar jawaban Mas Haidar.

Mas Haidar menatap lesu ke arah perut gue, “Nak... maafin abi ya gak bisa nemenin kalian sampai tanggal 12 nanti... abi sebenarnya berat ninggalin kalian...”

Gue mencuri satu kecupan di pipi Mas Haidar, “Udah ah! Jangan galau gitu, kita baik-baik aja kok, nanti kita sering-sering vidcall-an aja atau chatting, ya kan?”

“Ya tetep dek...”

“Mas kalo sedih gitu ya kita juga jadi ikutan sedih lho, Mas...”

Mas Haidar menghela nafas panjang, ia memeluk tubuh gue erat-erat sampai dada gue terasa sesak. Dia menenggelamkan wajahnya di bahu kecil gue sambil mengelus perut gue seolah ikut berkomunikasi dengan kedua malaikat kecil kami.

Kalo boleh jujur memang berat harus terpisah di saat seperti ini, tapi gue harus yakin kalau ikatan antara kami itu jauh lebih kuat dibandingkan apapun itu! Gak selamanya kok kita LDR kayak gini, beberapa bulan itu waktu yang sebentar. Gue juga bersama orang-orang tersayang gue disini.

Go! Go! Anela!

Kita juga masih ada beberapa hal lagi untuk diperjuangkan! Semangat!

Malam-malam sekali, pukul 10 tepatnya, Anela masih terjaga dengan secangkir coklat hangat yang ia seduh. Matanya membengkak dengan sesak dalam dadanya yang masih tersisa. Hari ini terasa begitu panjang, kepergian Eyang masih belum terasa nyata. Rasanya masih seperti kemarin Eyangnya itu memeluknya hangat.

Anela membuka album foto lama, disana ada coretan dan stiker-stiker yang ia tempel bersama momentum yang di abadikan. Ia sengaja mencari halaman dimana ada sosok Eyang disitu.

Hari pertama Anela masuk sekolah! Anela udah jadi anak SD!! Eyang sama Mama nganterin Anela ke sekolah dan kasih Anela bekel nugget dinosaurus yang banyak! tapi Papa gak bisa ikut karena lagi di Jepang...

Anela terkekeh dengan coretan kekanakannya, tulisan itu terlihat sangat lugu.

Papa sama Mama harus tinggal di Amerika... Anela takut sendirian tapi Eyang ajak Anela jalan-jalan ke Kidzania! Ini pizza buatan Anela untuk Eyang!

Wanita itu semakin larut dengan memori-memori indahnya, masa kecilnya yang indah itu dapat terwujud karena sosok Eyang yang selama ini selalu menjadi pengabul permohonannya.

Bang Jeffry lulus SMP terus minta di beliin steak sama Eyang! Padahal Anela maunya sushi sama udon... tapi gapapa deh, steaknya enak banget! Eyang janji kalau nanti Anela lulus sekolah juga pesta steak kayak ginii (●♡∀♡) asiikkk!!

“Dek? Belum tidur?”

Suara purau Haidar membuyarkan lamunan panjang Anela, “Ah iya, aku gak bisa tidur...”

Haidar mengalihkan perhatiannya ke album foto yang di pegang istrinya, ia bisa melihat wanitanya sedang mengelus lembut wajah Eyang menuangkan rindu disana.

“Kangen ya sama Eyang? Padahal baru kemarin rasanya saya ngomongin soal perjodohan sama beliau”ucap Haidar dengan tatapan nanar

Anela tersenyum simpul, “Iya, aku juga masih belum percaya Eyang udah gak ada.” “Semua momen ini... rasanya masih kayak kemarin.”

Laki-laki itu mendekati istrinya dan merangkul bahunya sambil menepuk pelan, “Sayang... meskipun Eyang udah gak ada disini, tapi kamu harus yakini kalau Eyang akan selalu ada di dalam hati kamu.” “Eyang tidak akan pernah pergi dari hati kamu.”

Anela menyandar kepalanya, memejam matanya sejenak dan membiarkan rasa sakit di dadanya memulih dengan sendirinya bersama kehangatan sang suami.

“Kamu ngantuk gak?”

“Enggak sih...”

“Temenin Papa di kolam yuk?”

Anela memicing matanya, “Nemenin Papa ngapain?!”

“Papa merenung sendirian di kolam, tadinya saya mau samperin cuman... kayaknya lebih baik saya ajak kamu aja.” “Yuk?”

Hatinya masih mengganjal untuk memulai percakapan dengan Papanya. Anela masih marah dengan apa yang dilakukan Papanya, tapi karena Haidar yang memintanya, ya mau apalagi.

“Yaudah hayuk.”

Haidar menggandeng tangan istrinya menuju kolam yang redup karena langit malam. Percikkan air mancur yang terus mengusik keheningan, deruan angin malam yang menguatkan suasana rindu, belum lagi punggung ringkuh Papa Anela sedang duduk sendirian di sana.

“Papa,“Anela yang mulai memanggil Papanya, sontak Papanya menoleh dan mengusap matanya cepat lalu memasang wajah sumringah di hadapan anak dan menantunya.

“Eh, Anela, Haidar... belum tidur?“tanya Papa Anela

Anela menggeleng lesu, Haidar mempersilahkan istrinya duduk terlebih dahulu.

“Kamu sudah enakan?“Papa Anela kembali bertanya

“Hm... sedikit...“jawab Anela bernada lirih

Papa Anela menoleh ke arah menantunya, “Haidar, makasih ya sudah mendampingi Anela di saat-saat seperti ini.”

Haidar mengangguk kikuk, “Ah iya, Pah...”

“Pasti berat ya buat kamu, harus extra jagain Anela kayak gini.”

Anela menangkis, “Papa ih kok gitu ngomongnya?! aku kan gak ngerepotin Mas Haidar terus!”

“Enggak kok, Maryam, kamu gak ngerepotin saya...” “Sudah jadi tugas saya untuk menjaga kamu...”

Papa Anela terkekeh pelan, tangan besarnya meraih pucuk kepala Anela dan mengelusnya lembut dari ujung kepala hingga pundak.

“Papa minta maaf, kalau selama ini gak pernah mengerti apa yang Anela mau.”

Anela menatap nanar wajah Papanya, tangan besar yang berkeriput itu menggenggam erat tangan mungilnya yang dingin.

“Bagi Papa, kamu adalah permata yang harus Papa jaga baik-baik. Papa menganggap semua yang Papa lakukan untuk kamu itu demi kebaikan kamu, tapi ternyata... Papa melupakan satu hal itu...”

Hati Anela terenyuh, sedikit demi sedikit ia melepas semua rasa kecewanya terhadap Papanya, Anela membalas genggaman tangan Papanya erat.

“Maafin Anela juga udah bersikap buruk sama Papa kayak kemarin. Papa tahu sendiri kan, Eyang... adalah orang yang sangat berharga bagi aku, selama Papa Mama gak ada untuk Anela... Eyang yang selalu nemenin Anela.” “Yang namanya perpisahan tanpa pamit itu sakit, Pah, setidaknya aku ingin ada sedikit momen terakhir sebelum Eyang pergi...”

Papa Anela merogoh sakunya dan mengambil ponselnya, “Sebenarnya... Eyang udah nyiapin video untuk kamu sebelum koma dan berangkat ke Beijing.” “Nih videonya.”

Anela mengambil ponsel Papanya dan mendapati wajah Eyangnya yang sudah terpasang selang oksigen di hidungnya, namun senyuman hangatnya itu tidak pernah luntur sama sekali.

“Udah, Rom?”

“Sudah, Pak, monggo...”

“Halo, tuan putri kecil Eyang... lama tidak ketemu ya? Eyang tadinya mau mampir main kerumah Anela dan Haidar tapi Eyang denger kamu lagi sibuk skripsi ya? Kalau gitu Eyang tunggu sampai Anela selesai skripsi aja? Ah... kalau misalnya Anela udah selesai skripsi dan Eyang sudah sehat, kamu gak perlu lihat video ini... tapi kalau kamu lihat video ini, berarti Eyang gak bisa ketemu Anela...” “Anela sayang... melihat kamu tumbuh berkembang sampai saat ini adalah anugrah terindah dalam hidup Eyang. Meskipun kamu terkadang suka ngerengek, manja, susah di kasih tahu tapi itu semua gak membuat Eyang berhenti menyayangi kamu... Anela punya tempat sendiri di hati Eyang...” “Jadi kalau seandainya Eyang udah gak ada di samping Anela lagi... bukan berarti Eyang benar-benar pergi meninggalkan Anela, tapi justru Eyang akan selalu hidup di hati Anela...” “Eyang sayaaang banget sama Anela...”

Satu tetes air mata lolos dari mata Anela.

“Eyang titip pesan juga untuk Haidar, nak Haidar... terima kasih kamu sudah mau mewujudkan mimpi saya untuk memiliki keturunan generasi Qur'ani... seandainya Allah memberikan Eyang waktu lebih panjang lagi sampai Eyang bertemu cicit-cicit Eyang, tapi gapapa, melihat kamu yang akhirnya menjadi bagian keluarga Eyang saja... sudah cukup menjadi jaminan bahwa sebentar lagi, impian Eyang akan segera terwujud...” “Tolong jaga Anela baik-baik ya, Haidar, bimbing tuan putri kecil Eyang baik-baik sampai dia bisa menjadi sosok wanita yang di rindukan syurga.”

Dada Haidar ikut merasa sesak, Eyang... seandainya saja Eyang tahu bahwa sebentar lagi malaikat kecil kami akan segera lahir...

“Ehm, Pak Indra... untuk nak Haidar apa gak ada pesan khusus?”

“Untuk itu saya sudah buatkan surat resminya.”

“Oh... baik, Pak.”*

“Sudah saya mau pamitan sama Anela.”

“Oh boleh, Pak.”

“Dadah Anela... baik-baik sama Haidar ya... kamu harus patuh sama suami, dan terus ikuti apa kata Haidar.” “Haidar, saya titip Anela ya... Assalamualaikum...”

TEP! Video mati di akhir kalimat Eyang. Anela menyeka air matanya dan ia kembali menatap senyum di wajah Eyang untuk terakhir kalinya. Meskipun sakit, senyumannya yang menenangkan itu gak pernah sedikitpun luntur. Sedikit demi sedikit Anela mulai bisa mengikhlaskan kepergian Eyang tercintanya...

Eyang... terima kasih untuk semuanya, sampai ketemu nanti di syurganya Allah...

Kehadiran Jeffry bersama Anela sontak membuat kedua orangtuanya berdiri dari duduknya.

“Anela, kamu udah—”

“Anela capek, mau masuk kamar duluan.”

Papa Anela mengerut dahi, “Anela, ada yang mau Papa sampaikan—”

“Aku udah tahu semuanya, jauh sebelum akhirnya Eyang meninggal.” “Lihat, Anela gak nangis kan? Anela gak sedih kan? Kalau aja Papa ngomong semuanya, gak di rahasiain sama sekali dari awal, setidaknya Anela bisa ada momen perpisahan yang benar sama Eyang, bukan dadakan kayak gini.” “Papa gak pernah ngerti perasaan Anela dari dulu.”

Anela menarik tasnya ketus ke kamarnya dan menutup rapat-rapat pintu kamarnya. Selang 5 menit Anela masuk kamarnya, Haidar tergopoh-gopoh lari mencari keberadaan istrinya.

“Ma-Maryam...?!”

Papa Anela menghela nafasnya kasar, “Di kamar, tolong dampingi dia, Haidar.”

Pasangan paruh baya itu langsung masuk ke dalam kamar utamanya lesu dengan seribu perasaan menyesal. Jeffry mengerut dahi dengan kedua jari besarnya. Langkahnya ikut tergontai, sambil menepuk pundak pamit dengan Haidar.

Suasana mereka saat ini menegang. Hatinya semakin gusar begitu melihat Anela yang sudah membalik badan memejam matanya, tak terlihat sedikit pun bekas air mata di pipinya.

“Maryam... saya turut berduka... yang sabar ya, saya ada disini untuk kamu...” “Maaf tadi saya lama pulangnya, seharusnya saya nemenin kamu di saat-saat seperti ini.”

Anela tak merespon.

Hatinya kacau dan pikirannya kusut, tak tahu harus berkata apa. Anela hanya ingin tidur dan melewatkan hari besok tanpa air mata, seperti yang di harapkan orang-orang sekitarnya.


Pagi penuh duka, rintikkan hujan dengan sinar mentari terang yang menyelimuti rumah duka, keluarga Anela sibuk mengurus seluruh para pelayat sampai menuju liang lahat. Anela dengan wajah muramnya menatap kosong tubuh Eyangnya yang sudah terbujur kaku. Tubuh Eyangnya itu dulu hangat, di usia rentanya pun beliau mengukuhkan bahunya untuk menggendong tubuh Anela sampai berusia 6 tahun. Dulu lekukan senyum Eyang itu terlukis kalau Anela mengucap kalimat terima kasih dengan pemberiannya, sekarang lekukan senyum itu seolah ungkapan perpisahan yang tertinggal. Anela tak begitu menyukainya, tapi mau gak mau ia harus ikhlas.

Eyang akan terbang menuju syurga menyusul Eyang putrinya.

Tangannya semakin mencengkram kuat bajunya, entah berapa lama lagi ia bisa menahan air mata ini agar tak jatuh ke pipinya...

Ternyata menahan tangisan itu rasanya mencekik. Rasa pedihnya lebih menusuk rongga dadanya dibandingkan dia menangis meraung-raung.

Detik hingga jam terus berlalu panjang, sampai di titik Anela mengantar Eyang ke peristirahatan terakhirnya... hatinya semakin goyah. Satu tetes air mata mulai lolos dari pelupuk matanya, tapi dengan cepat Anela menghapus air mata itu dari pipinya. Tubuh ringkuh Eyangnya itu mulai terkubur dengan tanah, hatinya semakin teriris, bagaimana bisa Anela memeluk tubuh Eyangnya lagi kalau sudah tersekat oleh tanah basah itu? Kepala Anela mau pecah, rasanya dia mau gila. Anela belum siap dengan perpisahan ini...

Tubuhnya gemetar hebat, kini Eyangnya sudah benar-benar pergi bersama senyumannya...

Mereka berpisah sampai disini.

”...Eyang...“lirih Anela tak tahan

Haidar sendiri gusar dadanya, bagaimana ia harus mengantar pria yang sangat berjasa dalam hidupnya, dimana ada sosok malaikat berwujud manusia dermawan seperti Eyang yang telah mempertemukannya dengan cinta sejatinya...

Tangannya ikut gemetar saat meletakkan tubuh Eyang di peristirahatan terakhirnya.

Haidar benci perpisahan, dan ini adalah momen perpisahan yang tak kalah pahit dari sebelumnya.

Karena ini menyangkut istri tercintanya.

Haidar melirik Anela yang sedang diam menunduk, wanita kasihnya itu berusaha sekuat tenaga agar tak menampilkan wajah muramnya. Pria itu bisa lihat dengan jelas bahwa tak ada jejak air mata sedikitpun di wajah Anela, dengan cepat Haidar membiarkan istrinya menyandar di bahu besarnya.

“Nangislah, kalau memang mau menangis. Perpisahan itu gak pernah meninggalkan kebahagiaan, jadi untuk apa berusaha menutupi kesedihan?“bisik suaminya itu

Satu per satu pelayat mulai pergi dari tempat peristirahatan Eyang. Tersisa Papa dan Mama Anela, kedua anak Eyang yang lainnya, sepupu kecil Anela, Jeffry serta Haidar dan Anela.

Mereka semua tahu, orang yang paling berduka disini ialah Anela.

“Nel... ikhlasin Eyang ya... Eyang selama ini udah lama nahan sakit... sekarang Eyang udah gak sakit lagi...”

Anela diam. Tangannya masih mengelus batu nisan yang menuliskan nama Eyang.

“Anela, langit mendung... yuk pulang?“ajak Mama Anela sambil menepuk bahu putrinya, refleks Anela menepis tangan Mamanya lesu.

“Anela masih mau disini, kalian duluan aja.”

Semua menghela nafas berat, akhirnya mereka membiarkan Haidar dan Anela masih menetap disana untuk menemani Eyang lebih lama, terutama Anela yang tentu masih sangat terpukul dengan kepergian orang terkasihnya.

“Maryam...”

Anela menatap sendu wajah suaminya...

“Hiks... hiks... huwaaaaaa.......”

Akhirnya rasa perih itu keluar menjadi air mata.

“Eyang... Eyang.... Eyang maafin Anela, Eyang... Kenapa Eyang tinggalin Anela secepat ini.... Eyang janji mau lihat Anela wisuda kan... Eyang janji mau lihat cicit Eyang dari Anela kan?? Eyang kenapa harus pergi sekarang...?? Eyang kenapa gak mau sabar dikit lagii...?? 2 bulan itu waktu yang sebentar, Eyang... harusnya Eyang tunggu dulu sedikit lagi... Anela gak halangin Eyang buat ketemu Eyang Putri... tapi kan bisa tunggu sebentar lagi...” “Huwaaa.... Eyang..... Kenapa harus tinggalin Anela sekarang, Eyang......”

Rengekan itu sama persis ketika Anela kecil hendak di tinggal pergi sama Eyangnya pergi dinas keluar negeri.

“EYAAANGGG ANELA GAK MAU DITINGGAL SAMA EYANGGG!!!”

“Tuan putri kecil Eyang kok cengeng gini sih kalo Eyang pergi? Kan cuman 2 hari doang Eyang perginya...”

“Gak mau, gak mauu!! Nanti yang bacain dongeng sebelum tidurnya Anela siapaa??!! Anela gak mau dibacain sama Mbok Darmi!! Maunya sama Eyang!!”

“Kan ada Abang Jeffry...”

“GAK MAUUU NANTI DIA MALAH BACAIN CERITA HANTU HUWEEEEEE!!!!” “Eyang gak boleh pergi ninggalin Anela, gak boleh, gak boleh!!”

Eyang Indra hanya bisa tersenyum dengan helaan nafas panjangnya. Karena permintaan tuan putri kecilnya itu, akhirnya Eyang merelakan pekerjaannya itu dan membacakan dongeng sebelum tidur untuk Anela seperti biasanya...

Seandainya Anela benar-benar merengek seperti itu... akankah Tuhan mendengarnya lagi?

Tentu saja tidak...

Eyang sudah tak punya kuasa lagi untuk menunda penerbangannya...

Ini semua sudah kuasa Sang Maha Pemilik Semesta.

“Gimana dek sidangnya?”

Wajah murung Anela membuat dada laki-laki bertopi hitam itu ketar-ketir. Berita baik atau buruk memanglah ketetapan Tuhan yang terbaik tapi hati Haidar tak siap mendengar kabar buruk hari ini.

“Mas...”

“Ya?”

“Aku... lulus mas...!!!”

Wajah sumringah keduanya terlukis dan saling memberikan pelukan erat mengucap syukur sukacitanya. Sekarang masih ada sedikit tahap lagi menuju sidang akhir, semangat Anela semakin menggebu-gebu untuk menyelesaikan skripsinya.

“Nak lihat perjuangan umi kalian nih dalam menuntut ilmu, kelak kalian akan bangga punya seorang ibu kayak umi kalian!“ucap Haidar dengan jagoan-jagoan kecilnya yang ada di perut sang istri. Padahal usia kandungannya itu baru menyentuh angka 5 bulan, tapi perut Anela sudah terlihat cukup besar.

Tidak masalah bagi mereka, asalkan mereka bisa lahir dengan sehat dan menjadi permata hidupnya.

Itu sudah cukup menjadi kebahagiaan mereka.


Tumpukkan buku yang di letakkan sengaja di depan meja sudah di tata rapih untuk para audiens. Kemeja biru serta celana cino santai yang dikenakan Haidar, arloji jam peraknya, kini pemuda itu sudah tanpil gagah untuk mempromosikan novel barunya.

Total tamunya bisa dibilang sekitar 50 orang, setengahnya dari pihak keluarga dan kerabat. Secarik kertas yang akan ia pidatokan nanti sudah di masukkan rapih ke dalam saku celananya.

“Mas Haidar, semuanya udah pada datang kayaknya tinggal Pak Romi aja”lapor Anela kepada suaminya

“Oh gitu? Mungkin Pak Romi masih ada urusan ya, yaudah kita mulai aja deh.” “Lihat Bang John gak, dek?”

Anela celingukan, matanya langsung memicing begitu melihat John sedang ngobrol akrab dengan Jeffry, seolah mereka berada pada satu dunia, ketawa mereka yang menggelegar itu refleks membuat audiens menoleh ke belakang.

“Ah udahlah, langsung kita buka aja acaranya”Haidar cepat mengambil tempat duduknya di depan, Anela terkekeh sebentar dan ikut mengambil tempat duduk di kursi khusus VIP yang sengaja Haidar sediakan untuk Anela. Tentunya Haidar juga menyiapkan kursi khusus keluarga dan kerabatnya, tapi untuk Anela lebih khusus lagi.

Acara langsung dibuka secara terstruktur oleh sang pembawa acara.

“Ini dia acara inti kita, yaitu penyampaian kata-kata langsung dari penulis novel 'Lagniappe' yaitu Kak Haidar El Fatih! Waktu dan tempat dipersilahkan...!”

Haidar berdiri dari tempatnya, ia mengambil micnya itu sambil menarik nafasnya dalam-dalam.

“Bismillahirrahmanirrahim, Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh...”

“Waalaikumsalam Warahmatullahi Wabarakatuh...”

“Pertama-tama mari kita panjatkan kehadirat Allah Subhana Wa Ta'ala atas rahmat dan nikmat yang tlah dilimpahkan kepada kita sehingga kita bisa berkumpul disini, shalawat serta salam kita junjungkan kepada Baginda Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam...” “Terima kasih kepada para hadirin sekalian yang sudah menyempatkan waktunya untuk hadir di acara launching novel pertama saya, ya, ini buku novel pertama saya dalam dunia penulisan karena saya biasa nulis buku filsafat atau fiqih dan sekarang... saya memberanikan diri untuk mulai menulis cerita novel.”

Semua masih terhenyak dengan penyampaian kata-kata Haidar.

“Lagniappe sendiri, di ambil dari kata bahasa Inggris yang artinya hadiah atau anugrah khusus. Judul novel saya, Lagniappe : Tentang Dia, Wanita yang Syurga Rindukan menceritakan tentang sosok wanita mengagumkan yang berjuang di jalan Allah dengan mengejar cahaya hidayah-Nya, wanita ini... dia rela bersimpuh dan merelakan semua kehidupan duniawinya untuk mengejar Syurga bersama seorang laki-laki yang memiliki banyak kekurangan. Laki-laki itu sederhana, tapi wanita itu berkata... 'Apalah indahnya dunia, jika bersamamu Allah janjikan Syurga'“ “Wanita ini adalah definisi wanita yang dirindukan Syurga, dan saya memiliki sosok yang menginspirasi saya untuk membuat tokoh wanita utama ini...” “Yaitu istri saya, Anela Haliza Maryam.”

Mata Anela memencak lebar, belum lagi ketika Haidar menampilkan sepenggal bagian Special Part yang menampilkan namanya di bagian terakhir.

“Terima kasih sudah hadir di kehidupan saya, Maryam, kamu adalah anugrah terindah yang Allah berikan untuk saya.” “Buku ini... adalah persembahan kecil yang saya buat sepenuh hati untukmu, Maryam, dan saya tidak akan pernah berhenti untuk berusaha lebih keras lagi agar bisa mempersembahkan hal yang lebih besar lagi untukmu kelak...”

Anela menitikkan air matanya, dari panggung Haidar mendatangi istrinya dan memeluk hangat tubuh Anela. Suasana haru menyelimuti acara launching hari ini, semuanya pun ikut menyeka pipinya yang mulai basah karena air mata harunya, terutama Papa Anela.

Papa Anela sangat bersyukur, tuan putri kecilnya itu sudah menjadi seorang ratu dengan lelaki yang tepat.

“Papih... lihatlah pemuda pilihan Papih ini, dia betul-betul mencintai tuan putri kecil kita... saya bersyukur dia sudah kita titipkan dengan orang yang tepat...”

Jari besar Haidar mengusap pipi basah istrinya, mereka saling menukar tatapan hangat, “Mas Haidar...”

“Ya?”

“Terus bimbing aku sampai ke syurga ya? Kita ke syurga sama-sama kan?”

Haidar mengangguk pelan, “Bismillah, Maryam, kita ke syurga sama-sama ya...”

Satu tepukkan tangan keras sontak membuat para audiens dan Haidar menoleh ke belakang. Di sana ada Pak Romi beserta kedua pria asing berkemeja rapih namun santai disana.

“Selamat ya, nak Haidar”Pak Romi menghampiri Haidar dan memeluk akrab, “Perkenalkan, ini Pak Gibran Rusdiantoro, beliau ini sutradara film ternama lho.”

Mata Haidar membulat lebar-lebar, “O-Oh?! Wah salam kenal, Pak Gibran! terima kasih banyak, sudah mau menyempatkan waktunya untuk hadir di acara launching novel pertama saya!”

“Hahaha... salam kenal, Haidar, saya dengar banyak tentang kamu dari Pak Indra. Kamu ini... cucu menantu kesayangannya Pak Indra, kan? Hahahaha...”

Mereka saling tertawa.

“Ini perkenalkan juga, Pak Tian namanya, direktur rumah produksi film religi Indonesia-Malaysia, banyak lho film-film religi ternama kerya beliau di Malaysia.”

“Halo, Haidar, saya tadi dengar sedikit ya penggalan ceritanya, saya mau mempertimbangkan novel anda untuk saya buatkan filmnya. Jadi boleh saya lihat bukunya?”

“A-Ah tentu, Pak, boleh dengan senang hati! Silahkan duduk disana, Pak, saya juga akan ceritakan sedikit buku saya disana.”

“Boleh, boleh, ayo Romi, Gibran.”

Begitu kedua tamu terhormat itu mendahului langkah Haidar dan Pak Romi, pria paruh baya berusia 37 tahun itu membisik pelan di telinga Haidar.

“Ini hadiah dari Eyang, sekali lagi selamat ya.”

Haidar mengulum senyum bahagianya, “Terima kasih banyak, Eyang, Pak Romi...”

Dan akhirnya acara launching novel pertama Haidar itu berlangsung lancar tanpa hambatan. Dengan sedikit kejutan dan hadiah tak terduga...

Momen ini pun jadi hadiah terindah dalam hidup Haidar.

Haidar muda, tepatnya ketika ia baru berusia 23 tahun, laki-laki itu tengah menghela nafas panjang dengan skripsi yang ada di hadapannya. Kacamata minus 1 nya itu ia lepas sejenak sambil tangannya itu mengerutkan kedua mata lelahnya.

“Hah... setahun yang kelam itu jadi buat otak saya gak bisa bekerja dengan baik.”

TRING!, Ponsel Haidar bergetar sebentar dan dengan cepat pemuda itu meraih ponselnya.

Bang, boleh minta tolong bawakan map biru Abi di meja makan ke kampus? Abi kelupaan nih😅

Haidar membuka arloji tangannya, “Ah, istirahat dulu setengah jam kali ya...”

Iya, Bi, saya ke sana

Makasih ya, Bang

Laki-laki berparas eksotis itu langsung meraih kunci mobilnya dan menancap gas pergi menuju kampus tempat Abi-nya mengajar.


Haidar selesai dengan tugasnya, sekarang pemuda itu tengah berdiam diri di perpustakaan kampus itu untuk membaca beberapa buku disana. Haidar memang sangat hobi membaca, namun lain cerita kalau buku jurnal yang dia baca. Haidar suka sekali dengan buku yang mempelajari filosofi-filosofi hidup atau fiksi religi karya Habiburrahman El Shirazy atau Asma Nadia, ternyata di perpustakaan swasta multinasional seperti kampus ini menyimpan buku-buku seperti ini.

“Ah Eyang lama amat sih daftarinnya?! Gue udah ngidam banget pengen makan sushi...!!”

Rengekan melengking itu datang dari mulut seorang gadis yang masih mengenakan seragam putih abu-abu beserta rambut berponi yang ia ikat kepang dua. Wajahnya cemberut, dan dari tadi gadis itu gak berhenti mengeluh sehingga mengganggu konsentrasi Haidar.

“Kenapa sih harus kuliah di tempat kayak gini? Kampusnya kecil, gak luas kayak UI, mana deket dari rumah, kan gue maunya jauh-jauh dari Papa Mama! Gue maunya ngerantau! Huh!” “Kapan dewasanya kalau di atur-atur terus kayak gini?!”

Haidar menghela nafas panjang, ia sengaja mendekat dengan gadis kecil itu perlahan sambil mendeham singkat sehingga gadis itu tersadar dengan keberadaannya.

“Proses pendewasaan itu gak harus jauh dari orang tua, kalau kamu bisa memahami situasi orang tuamu dan berhenti mengeluh kayak tadi, kamu udah pantas di sebut dewasa.”

Entahlah, Haidar gemas betul dengan celotehan gadis remaja di sampingnya itu.

“Ih om siapa tiba-tiba sewot gitu, kenal aja enggak.”

Haidar tertohok, Om? Setua itukah wajah saya?

“Saya masih 23 tahun, belum pantas disebut Om.”

“Gak nanya sih.”

Anak ini benar-benar gak ada sopan santunnya ya...

“Saya ngomong gini karena dari tadi kamu banyak ngegerutu, dan itu mengganggu konsentrasi saya. Jadi saya sekalian ngingetin kamu kalo banyak gerutu tuh gak baik dan kamu udah ganggu saya baca disini.” “Ini tuh perpustakaan, jadi harap tenang”

Desis tajam Haidar sukses membukam gadis itu. Senyuman puas Haidar tersungging sempurna di wajahnya, gadis itu malah melengos pergi sambil melempar tatapan sinis ke Haidar.

“Ada gitu ya, manusia ganteng tapi mukanya kaku banget kayak kanebo kering.” “Gue sih ogah dapet cowok kayak lo.”

Haidar dibuat melongo dengan ucapan sarkas gadis itu. Ingin membalas lagi ucapannya tapi gadis remaja itu sudah pergi meninggalkannya dan menghampiri seorang pria paruh baya yang wajahnya samar tak terlihat meskipun Haidar susah payah memicing matanya.

“Owalah bocah gembleng, anak jaman sekarang kalo ngomong gak ada filternya ya... tersinggung juga saya disebut kayak kanebo sama orang gak di kenal.” “Lihat aja ya, nona, nanti tau-tau dapetin suami yang mukanya kaku kayak kanebo tahu rasa kamu!”

Yah siapa tahu... ungkapan sumpah serapah itu malah menjadi takdir masa depan mereka.

Nathaniel Atmaja, laki-laki jangkung berparas menawan itu memang dapat memikat hati siapa saja hanya dengan dari wajahnya, tapi di balik wajah tampannya itu... Nathan adalah mimpi buruk bagi Nala.

Pernikahan yang tak mereka kehendaki ini seolah mengikat dua kubu yang saling menolak. Nathan terang-terangan menolak kehadiran Nala di hidupnya dan Nala sendiri pun selalu tertekan dengan sikap Nathan yang merendahkannya.

Nala hidup dengan nasib malangnya, ia merupakan gadis yatim-piatu yang harus tinggal dengan paman-bibinya di Cianjur, dan Nala sendiri pun tak bisa hidup enak disitu. Pamannya yang hobi mabuk-mabukkan dengan Bibinya yang sakit-sakitan. Akhirnya Nala pergi dari rumahnya dan meneduh di depan panti asuhan yang selanjutnya menjadi tempat berteduh selanjutnya untuk Nala sampai ia dewasa.

Suatu waktu, Nala remaja, tepatnya berusia 18 tahun sebelum kelulusan SMA-nya. Tiba-tiba ia di datangi oleh sekumpulan pria berjas, dan disitu ada Papanya Nathan yang menceritakan suatu hal yang benar-benar tak di duga Nala.

Pamannya meninggal karena menyelamatkan nyawanya Nathan dengan mendonorkan sumsum tulangnya.

Disitu ditulis perjanjian, jika Pamannya tidak bisa di selamatkan nyawanya, maka Papanya Nathan bersedia untuk membayar lunas hutang-hutang Pamannya Nala dan menjadikan Nala sebagai pengantin dari Nathan ketika Nala sudah berusia 20 tahun.

Tentu itu ada alasannya, karena Pamannya Nala tak mau keturunannya merasakan betapa pahitnya hidup miskin.

Tapi Pamannya Nala gak tahu bahwa keponakannya itu menderita dengan pernikahan menyesakkan ini. Rasanya Nala ingin mengakhiri semua nasib malangnya ini, beberapa kali memiliki suicidal thought dan pada akhirnya tak ada pelarian lagi yang bisa ia tempuh selain kepada Tuhan.

Nala tak berhenti berdoa, ia berharap bahwa takdir pahit ini hanyalah gurauan semesta yang ingin melihat kesabarannya dan kehidupan bahagianya yang abadi akan merubah nasib malangnya.

Nala hanya butuh bersabar sedikit lagi...

2 tahun lagi, itu bukan waktu yang lama kok.

Mimpi Nala untuk sekolah desain di New York, pasti akan menjadi miliknya sebentar lagi.

Ayo Nala, Tuhan cuman menguji sebentar, semua akan manis pada waktunya...

Naresh menyelesaikan shalat dzuhurnya dengan salam terakhirnya, sambil berucap istighfar sejenak dan berdiri dari tempatnya, ia bergegas mengambil tas backpacknya untuk segera memasuki kelas siang.

“Nana~~”

Sekumpulan gadis berpenampilan nyentrik itu datang mencegat pemuda itu di depan pintu kelasnya, senyuman penuh menggoda sang gadis berambut coklat terang itu seraya jari lentiknya yang melilitkan ujung rambutnya manja, Naresh sudah khatam dengan maksud kebiasaan gadis ini.

“Kayaknya... akhir-akhir ini kamu lagi sibuk banget ya, kamu gak mau santai-santai dulu nanti malam sama kita?“ucap gadis itu dengan lenjeh, Naresh yang dulu bisa membalas godaan itu tak kalah nakal, sekarang wajahnya datar menatap gadis itu malas.

“Sorry, gue gak bisa”balas Naresh lugas dan padat, begitu ia hendak memasuki kelasnya, gadis itu tak tinggal diam dan memeluk lengan Naresh seolah memberikan jurus maut yang jauh lebih menggoda.

“Ih, judes banget sih... kayaknya dulu Nana-nya aku gak gini deh...” “Jangan-jangan... kamu udah punya pacar ya?”

“Enggak, Sof, emang gue udah gak bisa aja.”

“Ya kenapa? gak mungkin banget seorang Nana gak mau di ajak party sama Sofia. Biasanya yang bisa nolak Sofia tuh orang-orang yang udah punya pacar...”

Seketika kepala Naresh langsung membayangkan sosok gadis berhijab sederhana yang tengah merengut di hadapannya...

Aisyah.

Kenapa dia jadi kepikiran soal Aisyah?

“Hayo, Nana, jadi bener ada yang gantiin Sofia dari hati Nana—”

“Iya, gue lagi jaga hati seseorang.”

Gadis pemilik nama Sofia itu tersontak dengan jawaban tegas Naresh.

“Naresh...beneran pacaran?”

“Enggak, tapi gue lagi suka sama cewek, dan gue mau jaga hati gue buat dia.”

“Oh gebetan maksud kamu? Emang sama Sofia cantikan siapa?”

“Cantikkan dia lah, jauh.”

“Kok gitu?!”

“Karena cantiknya dia udah nyentuh hati gue, Sof.”

Sofia mendecih remeh.

“Puitis banget, ya terserah lo sih, Na, nanti lo sendiri yang nyesel udah nyia-nyiain gue.”

“Iya, lo emang lebih pantes dapetin cowok yang lebih baik dari gue, kalo bisa bukan sebagai partner mabok doang.” “Dah ya, bentar lagi masuk kelas gue, mending lo balik gih.”

Naresh melengos pergi, membiarkan Sofia menghentakkan bumi kesal dan menyumpah serapah laki-laki jangkung itu yang sudah menolaknya.


Aisyah di pesantrennya, saat ini sedang ada acara gabungan di aula pondok sehingga para santriwan-santriwati bisa saling bertatap muka. Tentu saja, bagi para remaja yang sedang bergejolak masa pubertasnya, mereka akan mencari berbagai cara untuk bisa menarik perhatian lawan jenis. Termasuk teman-temannya Aisyah saat ini.

“Eh lihat deh, itu si Ahmad, cowok teladan dari kelas 3A!”

“Masha Allah meuni kasep pisan, euy, urang ge jadi mleyot kiyeu ih ngeliat Ahmad...

“Nama lengkapnya Ahmad apa sih? Mau aku doain di sepertiga malamku.”

“Ih urang ge hayang!

“Aku juga mau! Aku duluan!”

Aisyah menengok sebentar malas, dia yang melakukan kriminal kecil, yaitu diam-diam membawa ponselnya dari ruangan pengawas, menunduk rendah-rendah sambil membuka ponselnya dan check sosmed orang-orang terdekatnya.

Tep. Jari Aisyah terhenti begitu ia menemukan profil Naresh dari kolom komentar postingan abangnya. Ia mengetuk username Naresh dan menyeret lagi ke postingan paling bawah. Naresh tampaknya sangat aktif di media sosial, followersnya bahkan menyentuh puluhan ribu dan tampaknya dia termasuk selebriti sosmed disitu. Banyak postingan endorsement yang menampilkan wajah tampannya,

Kak Naresh lagi apa ya sekarang...?

“Aisyah, Aisyah!”

Aisyah menoleh ke sumber suara.

“Lihat deh, di antara 3 serangkai 3A itu, yang kamu suka yang mana?”

Aisyah memaling wajah ke arah atas panggung dimana ada 3 pemuda tampan yang sedang menampilkan bacaan Al-Qur'annya, tilawah dan syahril Qur'annya penuh khidmat. Bisa dilihat para kaum hawa benar-benar terpesona dengan ketiga pemuda itu.

Aisyah sih enggak.

“Gak tahu ah, bukannya udah biasa ya liat mereka tampil mulu? jadi bosen liat mukanya juga”komentar Aisyah.

“Ih kamu mah gitu, lempeng banget kalo lihat cowok! Kamu masih normal, kan, Syah?!”

“Astagfirullah ya iyalah! Sembarangan kamu!”

“Abisnya kamu, bisa-bisanya bilang bosen lihat mereka. Justru penampilan mereka tuh yang paling kita tunggu-tunggu tahu!”

“Yaudah itu kan kalian, aku mah enggak.”

Gadis di samping Aisyah cuman mencibir sebal, “Ah kamu mah tempoan Naruto wae makanya masih mabok sama si Sasuke!” “Maneh mah gak asik!”

Aisyah tak menggubris cibiran kawannya, melainkan matanya masih fokus dengan tampilan ponselnya yang masih menampilkan senyuman manis Naresh di media sosial...

Kok kangen ya?