Lagniappe
“Gimana dek sidangnya?”
Wajah murung Anela membuat dada laki-laki bertopi hitam itu ketar-ketir. Berita baik atau buruk memanglah ketetapan Tuhan yang terbaik tapi hati Haidar tak siap mendengar kabar buruk hari ini.
“Mas...”
“Ya?”
“Aku... lulus mas...!!!”
Wajah sumringah keduanya terlukis dan saling memberikan pelukan erat mengucap syukur sukacitanya. Sekarang masih ada sedikit tahap lagi menuju sidang akhir, semangat Anela semakin menggebu-gebu untuk menyelesaikan skripsinya.
“Nak lihat perjuangan umi kalian nih dalam menuntut ilmu, kelak kalian akan bangga punya seorang ibu kayak umi kalian!“ucap Haidar dengan jagoan-jagoan kecilnya yang ada di perut sang istri. Padahal usia kandungannya itu baru menyentuh angka 5 bulan, tapi perut Anela sudah terlihat cukup besar.
Tidak masalah bagi mereka, asalkan mereka bisa lahir dengan sehat dan menjadi permata hidupnya.
Itu sudah cukup menjadi kebahagiaan mereka.
Tumpukkan buku yang di letakkan sengaja di depan meja sudah di tata rapih untuk para audiens. Kemeja biru serta celana cino santai yang dikenakan Haidar, arloji jam peraknya, kini pemuda itu sudah tanpil gagah untuk mempromosikan novel barunya.
Total tamunya bisa dibilang sekitar 50 orang, setengahnya dari pihak keluarga dan kerabat. Secarik kertas yang akan ia pidatokan nanti sudah di masukkan rapih ke dalam saku celananya.
“Mas Haidar, semuanya udah pada datang kayaknya tinggal Pak Romi aja”lapor Anela kepada suaminya
“Oh gitu? Mungkin Pak Romi masih ada urusan ya, yaudah kita mulai aja deh.” “Lihat Bang John gak, dek?”
Anela celingukan, matanya langsung memicing begitu melihat John sedang ngobrol akrab dengan Jeffry, seolah mereka berada pada satu dunia, ketawa mereka yang menggelegar itu refleks membuat audiens menoleh ke belakang.
“Ah udahlah, langsung kita buka aja acaranya”Haidar cepat mengambil tempat duduknya di depan, Anela terkekeh sebentar dan ikut mengambil tempat duduk di kursi khusus VIP yang sengaja Haidar sediakan untuk Anela. Tentunya Haidar juga menyiapkan kursi khusus keluarga dan kerabatnya, tapi untuk Anela lebih khusus lagi.
Acara langsung dibuka secara terstruktur oleh sang pembawa acara.
“Ini dia acara inti kita, yaitu penyampaian kata-kata langsung dari penulis novel 'Lagniappe' yaitu Kak Haidar El Fatih! Waktu dan tempat dipersilahkan...!”
Haidar berdiri dari tempatnya, ia mengambil micnya itu sambil menarik nafasnya dalam-dalam.
“Bismillahirrahmanirrahim, Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh...”
“Waalaikumsalam Warahmatullahi Wabarakatuh...”
“Pertama-tama mari kita panjatkan kehadirat Allah Subhana Wa Ta'ala atas rahmat dan nikmat yang tlah dilimpahkan kepada kita sehingga kita bisa berkumpul disini, shalawat serta salam kita junjungkan kepada Baginda Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam...” “Terima kasih kepada para hadirin sekalian yang sudah menyempatkan waktunya untuk hadir di acara launching novel pertama saya, ya, ini buku novel pertama saya dalam dunia penulisan karena saya biasa nulis buku filsafat atau fiqih dan sekarang... saya memberanikan diri untuk mulai menulis cerita novel.”
Semua masih terhenyak dengan penyampaian kata-kata Haidar.
“Lagniappe sendiri, di ambil dari kata bahasa Inggris yang artinya hadiah atau anugrah khusus. Judul novel saya, Lagniappe : Tentang Dia, Wanita yang Syurga Rindukan menceritakan tentang sosok wanita mengagumkan yang berjuang di jalan Allah dengan mengejar cahaya hidayah-Nya, wanita ini... dia rela bersimpuh dan merelakan semua kehidupan duniawinya untuk mengejar Syurga bersama seorang laki-laki yang memiliki banyak kekurangan. Laki-laki itu sederhana, tapi wanita itu berkata... 'Apalah indahnya dunia, jika bersamamu Allah janjikan Syurga'“ “Wanita ini adalah definisi wanita yang dirindukan Syurga, dan saya memiliki sosok yang menginspirasi saya untuk membuat tokoh wanita utama ini...” “Yaitu istri saya, Anela Haliza Maryam.”
Mata Anela memencak lebar, belum lagi ketika Haidar menampilkan sepenggal bagian Special Part yang menampilkan namanya di bagian terakhir.
“Terima kasih sudah hadir di kehidupan saya, Maryam, kamu adalah anugrah terindah yang Allah berikan untuk saya.” “Buku ini... adalah persembahan kecil yang saya buat sepenuh hati untukmu, Maryam, dan saya tidak akan pernah berhenti untuk berusaha lebih keras lagi agar bisa mempersembahkan hal yang lebih besar lagi untukmu kelak...”
Anela menitikkan air matanya, dari panggung Haidar mendatangi istrinya dan memeluk hangat tubuh Anela. Suasana haru menyelimuti acara launching hari ini, semuanya pun ikut menyeka pipinya yang mulai basah karena air mata harunya, terutama Papa Anela.
Papa Anela sangat bersyukur, tuan putri kecilnya itu sudah menjadi seorang ratu dengan lelaki yang tepat.
“Papih... lihatlah pemuda pilihan Papih ini, dia betul-betul mencintai tuan putri kecil kita... saya bersyukur dia sudah kita titipkan dengan orang yang tepat...”
Jari besar Haidar mengusap pipi basah istrinya, mereka saling menukar tatapan hangat, “Mas Haidar...”
“Ya?”
“Terus bimbing aku sampai ke syurga ya? Kita ke syurga sama-sama kan?”
Haidar mengangguk pelan, “Bismillah, Maryam, kita ke syurga sama-sama ya...”
Satu tepukkan tangan keras sontak membuat para audiens dan Haidar menoleh ke belakang. Di sana ada Pak Romi beserta kedua pria asing berkemeja rapih namun santai disana.
“Selamat ya, nak Haidar”Pak Romi menghampiri Haidar dan memeluk akrab, “Perkenalkan, ini Pak Gibran Rusdiantoro, beliau ini sutradara film ternama lho.”
Mata Haidar membulat lebar-lebar, “O-Oh?! Wah salam kenal, Pak Gibran! terima kasih banyak, sudah mau menyempatkan waktunya untuk hadir di acara launching novel pertama saya!”
“Hahaha... salam kenal, Haidar, saya dengar banyak tentang kamu dari Pak Indra. Kamu ini... cucu menantu kesayangannya Pak Indra, kan? Hahahaha...”
Mereka saling tertawa.
“Ini perkenalkan juga, Pak Tian namanya, direktur rumah produksi film religi Indonesia-Malaysia, banyak lho film-film religi ternama kerya beliau di Malaysia.”
“Halo, Haidar, saya tadi dengar sedikit ya penggalan ceritanya, saya mau mempertimbangkan novel anda untuk saya buatkan filmnya. Jadi boleh saya lihat bukunya?”
“A-Ah tentu, Pak, boleh dengan senang hati! Silahkan duduk disana, Pak, saya juga akan ceritakan sedikit buku saya disana.”
“Boleh, boleh, ayo Romi, Gibran.”
Begitu kedua tamu terhormat itu mendahului langkah Haidar dan Pak Romi, pria paruh baya berusia 37 tahun itu membisik pelan di telinga Haidar.
“Ini hadiah dari Eyang, sekali lagi selamat ya.”
Haidar mengulum senyum bahagianya, “Terima kasih banyak, Eyang, Pak Romi...”
Dan akhirnya acara launching novel pertama Haidar itu berlangsung lancar tanpa hambatan. Dengan sedikit kejutan dan hadiah tak terduga...
Momen ini pun jadi hadiah terindah dalam hidup Haidar.