Perpustakaan dan Kesan Pertama
Haidar muda, tepatnya ketika ia baru berusia 23 tahun, laki-laki itu tengah menghela nafas panjang dengan skripsi yang ada di hadapannya. Kacamata minus 1 nya itu ia lepas sejenak sambil tangannya itu mengerutkan kedua mata lelahnya.
“Hah... setahun yang kelam itu jadi buat otak saya gak bisa bekerja dengan baik.”
TRING!, Ponsel Haidar bergetar sebentar dan dengan cepat pemuda itu meraih ponselnya.
Bang, boleh minta tolong bawakan map biru Abi di meja makan ke kampus? Abi kelupaan nih😅
Haidar membuka arloji tangannya, “Ah, istirahat dulu setengah jam kali ya...”
Iya, Bi, saya ke sana
Makasih ya, Bang
Laki-laki berparas eksotis itu langsung meraih kunci mobilnya dan menancap gas pergi menuju kampus tempat Abi-nya mengajar.
Haidar selesai dengan tugasnya, sekarang pemuda itu tengah berdiam diri di perpustakaan kampus itu untuk membaca beberapa buku disana. Haidar memang sangat hobi membaca, namun lain cerita kalau buku jurnal yang dia baca. Haidar suka sekali dengan buku yang mempelajari filosofi-filosofi hidup atau fiksi religi karya Habiburrahman El Shirazy atau Asma Nadia, ternyata di perpustakaan swasta multinasional seperti kampus ini menyimpan buku-buku seperti ini.
“Ah Eyang lama amat sih daftarinnya?! Gue udah ngidam banget pengen makan sushi...!!”
Rengekan melengking itu datang dari mulut seorang gadis yang masih mengenakan seragam putih abu-abu beserta rambut berponi yang ia ikat kepang dua. Wajahnya cemberut, dan dari tadi gadis itu gak berhenti mengeluh sehingga mengganggu konsentrasi Haidar.
“Kenapa sih harus kuliah di tempat kayak gini? Kampusnya kecil, gak luas kayak UI, mana deket dari rumah, kan gue maunya jauh-jauh dari Papa Mama! Gue maunya ngerantau! Huh!” “Kapan dewasanya kalau di atur-atur terus kayak gini?!”
Haidar menghela nafas panjang, ia sengaja mendekat dengan gadis kecil itu perlahan sambil mendeham singkat sehingga gadis itu tersadar dengan keberadaannya.
“Proses pendewasaan itu gak harus jauh dari orang tua, kalau kamu bisa memahami situasi orang tuamu dan berhenti mengeluh kayak tadi, kamu udah pantas di sebut dewasa.”
Entahlah, Haidar gemas betul dengan celotehan gadis remaja di sampingnya itu.
“Ih om siapa tiba-tiba sewot gitu, kenal aja enggak.”
Haidar tertohok, Om? Setua itukah wajah saya?
“Saya masih 23 tahun, belum pantas disebut Om.”
“Gak nanya sih.”
Anak ini benar-benar gak ada sopan santunnya ya...
“Saya ngomong gini karena dari tadi kamu banyak ngegerutu, dan itu mengganggu konsentrasi saya. Jadi saya sekalian ngingetin kamu kalo banyak gerutu tuh gak baik dan kamu udah ganggu saya baca disini.” “Ini tuh perpustakaan, jadi harap tenang”
Desis tajam Haidar sukses membukam gadis itu. Senyuman puas Haidar tersungging sempurna di wajahnya, gadis itu malah melengos pergi sambil melempar tatapan sinis ke Haidar.
“Ada gitu ya, manusia ganteng tapi mukanya kaku banget kayak kanebo kering.” “Gue sih ogah dapet cowok kayak lo.”
Haidar dibuat melongo dengan ucapan sarkas gadis itu. Ingin membalas lagi ucapannya tapi gadis remaja itu sudah pergi meninggalkannya dan menghampiri seorang pria paruh baya yang wajahnya samar tak terlihat meskipun Haidar susah payah memicing matanya.
“Owalah bocah gembleng, anak jaman sekarang kalo ngomong gak ada filternya ya... tersinggung juga saya disebut kayak kanebo sama orang gak di kenal.” “Lihat aja ya, nona, nanti tau-tau dapetin suami yang mukanya kaku kayak kanebo tahu rasa kamu!”
Yah siapa tahu... ungkapan sumpah serapah itu malah menjadi takdir masa depan mereka.