Malam dan Rindu

Malam-malam sekali, pukul 10 tepatnya, Anela masih terjaga dengan secangkir coklat hangat yang ia seduh. Matanya membengkak dengan sesak dalam dadanya yang masih tersisa. Hari ini terasa begitu panjang, kepergian Eyang masih belum terasa nyata. Rasanya masih seperti kemarin Eyangnya itu memeluknya hangat.

Anela membuka album foto lama, disana ada coretan dan stiker-stiker yang ia tempel bersama momentum yang di abadikan. Ia sengaja mencari halaman dimana ada sosok Eyang disitu.

Hari pertama Anela masuk sekolah! Anela udah jadi anak SD!! Eyang sama Mama nganterin Anela ke sekolah dan kasih Anela bekel nugget dinosaurus yang banyak! tapi Papa gak bisa ikut karena lagi di Jepang...

Anela terkekeh dengan coretan kekanakannya, tulisan itu terlihat sangat lugu.

Papa sama Mama harus tinggal di Amerika... Anela takut sendirian tapi Eyang ajak Anela jalan-jalan ke Kidzania! Ini pizza buatan Anela untuk Eyang!

Wanita itu semakin larut dengan memori-memori indahnya, masa kecilnya yang indah itu dapat terwujud karena sosok Eyang yang selama ini selalu menjadi pengabul permohonannya.

Bang Jeffry lulus SMP terus minta di beliin steak sama Eyang! Padahal Anela maunya sushi sama udon... tapi gapapa deh, steaknya enak banget! Eyang janji kalau nanti Anela lulus sekolah juga pesta steak kayak ginii (●♡∀♡) asiikkk!!

“Dek? Belum tidur?”

Suara purau Haidar membuyarkan lamunan panjang Anela, “Ah iya, aku gak bisa tidur...”

Haidar mengalihkan perhatiannya ke album foto yang di pegang istrinya, ia bisa melihat wanitanya sedang mengelus lembut wajah Eyang menuangkan rindu disana.

“Kangen ya sama Eyang? Padahal baru kemarin rasanya saya ngomongin soal perjodohan sama beliau”ucap Haidar dengan tatapan nanar

Anela tersenyum simpul, “Iya, aku juga masih belum percaya Eyang udah gak ada.” “Semua momen ini... rasanya masih kayak kemarin.”

Laki-laki itu mendekati istrinya dan merangkul bahunya sambil menepuk pelan, “Sayang... meskipun Eyang udah gak ada disini, tapi kamu harus yakini kalau Eyang akan selalu ada di dalam hati kamu.” “Eyang tidak akan pernah pergi dari hati kamu.”

Anela menyandar kepalanya, memejam matanya sejenak dan membiarkan rasa sakit di dadanya memulih dengan sendirinya bersama kehangatan sang suami.

“Kamu ngantuk gak?”

“Enggak sih...”

“Temenin Papa di kolam yuk?”

Anela memicing matanya, “Nemenin Papa ngapain?!”

“Papa merenung sendirian di kolam, tadinya saya mau samperin cuman... kayaknya lebih baik saya ajak kamu aja.” “Yuk?”

Hatinya masih mengganjal untuk memulai percakapan dengan Papanya. Anela masih marah dengan apa yang dilakukan Papanya, tapi karena Haidar yang memintanya, ya mau apalagi.

“Yaudah hayuk.”

Haidar menggandeng tangan istrinya menuju kolam yang redup karena langit malam. Percikkan air mancur yang terus mengusik keheningan, deruan angin malam yang menguatkan suasana rindu, belum lagi punggung ringkuh Papa Anela sedang duduk sendirian di sana.

“Papa,“Anela yang mulai memanggil Papanya, sontak Papanya menoleh dan mengusap matanya cepat lalu memasang wajah sumringah di hadapan anak dan menantunya.

“Eh, Anela, Haidar... belum tidur?“tanya Papa Anela

Anela menggeleng lesu, Haidar mempersilahkan istrinya duduk terlebih dahulu.

“Kamu sudah enakan?“Papa Anela kembali bertanya

“Hm... sedikit...“jawab Anela bernada lirih

Papa Anela menoleh ke arah menantunya, “Haidar, makasih ya sudah mendampingi Anela di saat-saat seperti ini.”

Haidar mengangguk kikuk, “Ah iya, Pah...”

“Pasti berat ya buat kamu, harus extra jagain Anela kayak gini.”

Anela menangkis, “Papa ih kok gitu ngomongnya?! aku kan gak ngerepotin Mas Haidar terus!”

“Enggak kok, Maryam, kamu gak ngerepotin saya...” “Sudah jadi tugas saya untuk menjaga kamu...”

Papa Anela terkekeh pelan, tangan besarnya meraih pucuk kepala Anela dan mengelusnya lembut dari ujung kepala hingga pundak.

“Papa minta maaf, kalau selama ini gak pernah mengerti apa yang Anela mau.”

Anela menatap nanar wajah Papanya, tangan besar yang berkeriput itu menggenggam erat tangan mungilnya yang dingin.

“Bagi Papa, kamu adalah permata yang harus Papa jaga baik-baik. Papa menganggap semua yang Papa lakukan untuk kamu itu demi kebaikan kamu, tapi ternyata... Papa melupakan satu hal itu...”

Hati Anela terenyuh, sedikit demi sedikit ia melepas semua rasa kecewanya terhadap Papanya, Anela membalas genggaman tangan Papanya erat.

“Maafin Anela juga udah bersikap buruk sama Papa kayak kemarin. Papa tahu sendiri kan, Eyang... adalah orang yang sangat berharga bagi aku, selama Papa Mama gak ada untuk Anela... Eyang yang selalu nemenin Anela.” “Yang namanya perpisahan tanpa pamit itu sakit, Pah, setidaknya aku ingin ada sedikit momen terakhir sebelum Eyang pergi...”

Papa Anela merogoh sakunya dan mengambil ponselnya, “Sebenarnya... Eyang udah nyiapin video untuk kamu sebelum koma dan berangkat ke Beijing.” “Nih videonya.”

Anela mengambil ponsel Papanya dan mendapati wajah Eyangnya yang sudah terpasang selang oksigen di hidungnya, namun senyuman hangatnya itu tidak pernah luntur sama sekali.

“Udah, Rom?”

“Sudah, Pak, monggo...”

“Halo, tuan putri kecil Eyang... lama tidak ketemu ya? Eyang tadinya mau mampir main kerumah Anela dan Haidar tapi Eyang denger kamu lagi sibuk skripsi ya? Kalau gitu Eyang tunggu sampai Anela selesai skripsi aja? Ah... kalau misalnya Anela udah selesai skripsi dan Eyang sudah sehat, kamu gak perlu lihat video ini... tapi kalau kamu lihat video ini, berarti Eyang gak bisa ketemu Anela...” “Anela sayang... melihat kamu tumbuh berkembang sampai saat ini adalah anugrah terindah dalam hidup Eyang. Meskipun kamu terkadang suka ngerengek, manja, susah di kasih tahu tapi itu semua gak membuat Eyang berhenti menyayangi kamu... Anela punya tempat sendiri di hati Eyang...” “Jadi kalau seandainya Eyang udah gak ada di samping Anela lagi... bukan berarti Eyang benar-benar pergi meninggalkan Anela, tapi justru Eyang akan selalu hidup di hati Anela...” “Eyang sayaaang banget sama Anela...”

Satu tetes air mata lolos dari mata Anela.

“Eyang titip pesan juga untuk Haidar, nak Haidar... terima kasih kamu sudah mau mewujudkan mimpi saya untuk memiliki keturunan generasi Qur'ani... seandainya Allah memberikan Eyang waktu lebih panjang lagi sampai Eyang bertemu cicit-cicit Eyang, tapi gapapa, melihat kamu yang akhirnya menjadi bagian keluarga Eyang saja... sudah cukup menjadi jaminan bahwa sebentar lagi, impian Eyang akan segera terwujud...” “Tolong jaga Anela baik-baik ya, Haidar, bimbing tuan putri kecil Eyang baik-baik sampai dia bisa menjadi sosok wanita yang di rindukan syurga.”

Dada Haidar ikut merasa sesak, Eyang... seandainya saja Eyang tahu bahwa sebentar lagi malaikat kecil kami akan segera lahir...

“Ehm, Pak Indra... untuk nak Haidar apa gak ada pesan khusus?”

“Untuk itu saya sudah buatkan surat resminya.”

“Oh... baik, Pak.”*

“Sudah saya mau pamitan sama Anela.”

“Oh boleh, Pak.”

“Dadah Anela... baik-baik sama Haidar ya... kamu harus patuh sama suami, dan terus ikuti apa kata Haidar.” “Haidar, saya titip Anela ya... Assalamualaikum...”

TEP! Video mati di akhir kalimat Eyang. Anela menyeka air matanya dan ia kembali menatap senyum di wajah Eyang untuk terakhir kalinya. Meskipun sakit, senyumannya yang menenangkan itu gak pernah sedikitpun luntur. Sedikit demi sedikit Anela mulai bisa mengikhlaskan kepergian Eyang tercintanya...

Eyang... terima kasih untuk semuanya, sampai ketemu nanti di syurganya Allah...