At Least We Say Goodbye

Kehadiran Jeffry bersama Anela sontak membuat kedua orangtuanya berdiri dari duduknya.

“Anela, kamu udah—”

“Anela capek, mau masuk kamar duluan.”

Papa Anela mengerut dahi, “Anela, ada yang mau Papa sampaikan—”

“Aku udah tahu semuanya, jauh sebelum akhirnya Eyang meninggal.” “Lihat, Anela gak nangis kan? Anela gak sedih kan? Kalau aja Papa ngomong semuanya, gak di rahasiain sama sekali dari awal, setidaknya Anela bisa ada momen perpisahan yang benar sama Eyang, bukan dadakan kayak gini.” “Papa gak pernah ngerti perasaan Anela dari dulu.”

Anela menarik tasnya ketus ke kamarnya dan menutup rapat-rapat pintu kamarnya. Selang 5 menit Anela masuk kamarnya, Haidar tergopoh-gopoh lari mencari keberadaan istrinya.

“Ma-Maryam...?!”

Papa Anela menghela nafasnya kasar, “Di kamar, tolong dampingi dia, Haidar.”

Pasangan paruh baya itu langsung masuk ke dalam kamar utamanya lesu dengan seribu perasaan menyesal. Jeffry mengerut dahi dengan kedua jari besarnya. Langkahnya ikut tergontai, sambil menepuk pundak pamit dengan Haidar.

Suasana mereka saat ini menegang. Hatinya semakin gusar begitu melihat Anela yang sudah membalik badan memejam matanya, tak terlihat sedikit pun bekas air mata di pipinya.

“Maryam... saya turut berduka... yang sabar ya, saya ada disini untuk kamu...” “Maaf tadi saya lama pulangnya, seharusnya saya nemenin kamu di saat-saat seperti ini.”

Anela tak merespon.

Hatinya kacau dan pikirannya kusut, tak tahu harus berkata apa. Anela hanya ingin tidur dan melewatkan hari besok tanpa air mata, seperti yang di harapkan orang-orang sekitarnya.


Pagi penuh duka, rintikkan hujan dengan sinar mentari terang yang menyelimuti rumah duka, keluarga Anela sibuk mengurus seluruh para pelayat sampai menuju liang lahat. Anela dengan wajah muramnya menatap kosong tubuh Eyangnya yang sudah terbujur kaku. Tubuh Eyangnya itu dulu hangat, di usia rentanya pun beliau mengukuhkan bahunya untuk menggendong tubuh Anela sampai berusia 6 tahun. Dulu lekukan senyum Eyang itu terlukis kalau Anela mengucap kalimat terima kasih dengan pemberiannya, sekarang lekukan senyum itu seolah ungkapan perpisahan yang tertinggal. Anela tak begitu menyukainya, tapi mau gak mau ia harus ikhlas.

Eyang akan terbang menuju syurga menyusul Eyang putrinya.

Tangannya semakin mencengkram kuat bajunya, entah berapa lama lagi ia bisa menahan air mata ini agar tak jatuh ke pipinya...

Ternyata menahan tangisan itu rasanya mencekik. Rasa pedihnya lebih menusuk rongga dadanya dibandingkan dia menangis meraung-raung.

Detik hingga jam terus berlalu panjang, sampai di titik Anela mengantar Eyang ke peristirahatan terakhirnya... hatinya semakin goyah. Satu tetes air mata mulai lolos dari pelupuk matanya, tapi dengan cepat Anela menghapus air mata itu dari pipinya. Tubuh ringkuh Eyangnya itu mulai terkubur dengan tanah, hatinya semakin teriris, bagaimana bisa Anela memeluk tubuh Eyangnya lagi kalau sudah tersekat oleh tanah basah itu? Kepala Anela mau pecah, rasanya dia mau gila. Anela belum siap dengan perpisahan ini...

Tubuhnya gemetar hebat, kini Eyangnya sudah benar-benar pergi bersama senyumannya...

Mereka berpisah sampai disini.

”...Eyang...“lirih Anela tak tahan

Haidar sendiri gusar dadanya, bagaimana ia harus mengantar pria yang sangat berjasa dalam hidupnya, dimana ada sosok malaikat berwujud manusia dermawan seperti Eyang yang telah mempertemukannya dengan cinta sejatinya...

Tangannya ikut gemetar saat meletakkan tubuh Eyang di peristirahatan terakhirnya.

Haidar benci perpisahan, dan ini adalah momen perpisahan yang tak kalah pahit dari sebelumnya.

Karena ini menyangkut istri tercintanya.

Haidar melirik Anela yang sedang diam menunduk, wanita kasihnya itu berusaha sekuat tenaga agar tak menampilkan wajah muramnya. Pria itu bisa lihat dengan jelas bahwa tak ada jejak air mata sedikitpun di wajah Anela, dengan cepat Haidar membiarkan istrinya menyandar di bahu besarnya.

“Nangislah, kalau memang mau menangis. Perpisahan itu gak pernah meninggalkan kebahagiaan, jadi untuk apa berusaha menutupi kesedihan?“bisik suaminya itu

Satu per satu pelayat mulai pergi dari tempat peristirahatan Eyang. Tersisa Papa dan Mama Anela, kedua anak Eyang yang lainnya, sepupu kecil Anela, Jeffry serta Haidar dan Anela.

Mereka semua tahu, orang yang paling berduka disini ialah Anela.

“Nel... ikhlasin Eyang ya... Eyang selama ini udah lama nahan sakit... sekarang Eyang udah gak sakit lagi...”

Anela diam. Tangannya masih mengelus batu nisan yang menuliskan nama Eyang.

“Anela, langit mendung... yuk pulang?“ajak Mama Anela sambil menepuk bahu putrinya, refleks Anela menepis tangan Mamanya lesu.

“Anela masih mau disini, kalian duluan aja.”

Semua menghela nafas berat, akhirnya mereka membiarkan Haidar dan Anela masih menetap disana untuk menemani Eyang lebih lama, terutama Anela yang tentu masih sangat terpukul dengan kepergian orang terkasihnya.

“Maryam...”

Anela menatap sendu wajah suaminya...

“Hiks... hiks... huwaaaaaa.......”

Akhirnya rasa perih itu keluar menjadi air mata.

“Eyang... Eyang.... Eyang maafin Anela, Eyang... Kenapa Eyang tinggalin Anela secepat ini.... Eyang janji mau lihat Anela wisuda kan... Eyang janji mau lihat cicit Eyang dari Anela kan?? Eyang kenapa harus pergi sekarang...?? Eyang kenapa gak mau sabar dikit lagii...?? 2 bulan itu waktu yang sebentar, Eyang... harusnya Eyang tunggu dulu sedikit lagi... Anela gak halangin Eyang buat ketemu Eyang Putri... tapi kan bisa tunggu sebentar lagi...” “Huwaaa.... Eyang..... Kenapa harus tinggalin Anela sekarang, Eyang......”

Rengekan itu sama persis ketika Anela kecil hendak di tinggal pergi sama Eyangnya pergi dinas keluar negeri.

“EYAAANGGG ANELA GAK MAU DITINGGAL SAMA EYANGGG!!!”

“Tuan putri kecil Eyang kok cengeng gini sih kalo Eyang pergi? Kan cuman 2 hari doang Eyang perginya...”

“Gak mau, gak mauu!! Nanti yang bacain dongeng sebelum tidurnya Anela siapaa??!! Anela gak mau dibacain sama Mbok Darmi!! Maunya sama Eyang!!”

“Kan ada Abang Jeffry...”

“GAK MAUUU NANTI DIA MALAH BACAIN CERITA HANTU HUWEEEEEE!!!!” “Eyang gak boleh pergi ninggalin Anela, gak boleh, gak boleh!!”

Eyang Indra hanya bisa tersenyum dengan helaan nafas panjangnya. Karena permintaan tuan putri kecilnya itu, akhirnya Eyang merelakan pekerjaannya itu dan membacakan dongeng sebelum tidur untuk Anela seperti biasanya...

Seandainya Anela benar-benar merengek seperti itu... akankah Tuhan mendengarnya lagi?

Tentu saja tidak...

Eyang sudah tak punya kuasa lagi untuk menunda penerbangannya...

Ini semua sudah kuasa Sang Maha Pemilik Semesta.