shinelyght

“Assalamualaikum, Abi... Umi...”

Kedua insan itu langsung mengusap batu nisan yang sedikit tertutup dengan dedaunan kering, “Aisyah lama gak main kesini, hehehe... sekarang Aisyah kesini sama seseorang lho, Abi, Umi...” “Ini suami Aisyah, namanya Mas Naresh.”

“Assalamualaikum Abi, Umi...”

Naresh menyekar bunga di atas makam perlahan, seolah ia sedang menyapa ayah ibu mertuanya, mengirim doa untuk keduanya.

“Abi, Umi... jujur aja, ini adalah langkah awal kami berdua menuju kehidupan baru. Aisyah masih ingat betul semua pesan Abi untuk Aisyah, dan Inshaa Allah, Aisyah akan menjadi istri yang baik untuk Mas Nana agar kalian bisa terus senang-senang di atas syurga sana...”

Naresh mengambil alih bicara, “Inshaa Allah, saya juga akan amanah sebagai suami... saya akan menjaga Aisyah dan membimbingnya dengan baik untuk meraih ridho dan syurga Allah.”

Keduanya berdiri dari tempatnya, lalu memasuki mobilnya lagi untuk pergi ke tempat peristirahatan Mama Naresh yang jaraknya sedikit lebih jauh dari tempatnya saat ini.


“Assalamualaikum, Mama...” Naresh mengusap batu nisan sang Ibunda, “Mama baik-baik aja kan? Lihat deh sekarang Naresh bawa siapa?” Pria itu membawa bahu mungil sang istri dalam rangkulannya, “Ini istrinya Naresh, namanya Aisyah, yang aku ceritain sama Mama.”

“Assalamualaikum, Mama...”

Naresh terkekeh, “Tahu gak, Mah? Dulu nih si Aisyah tuh cewek tengil yang ngebentak-bentak aku di lalu lintas.”

“Ish, Mas Nana!”

“Tapi sekarang udah jadi istri Naresh, takdir bisa selucu itu ya?”

Aisyah seketika terhenyak dengan tatapan sendu suaminya yang perlahan berkaca-kaca.

“Padahal dulu mimpinya Mama mau mendampingi aku menikah tapi sayangnya, Mama cuman bisa ngawasin aku dari atas sana. Mama senang kan?”

Aisyah menggenggam tangan Naresh erat-erat.

“Sekarang... Naresh sudah hidup lebih baik, Mah, Naresh udah punya Aisyah di sisi Naresh sekarang.”

Aisyah mengangguk pelan.

“Mama juga ya? Baik-baik disana, doain terus Naresh disini...” “Nanti aku balik lagi kesini sambil gandeng 3 cucu Mama ya.”

“Mas Nana ih!”

“Lho kenapa? Itu permintaan Mama lho, minimal cucu dari aku 3 malahan kalau bisa lebih.”

“Ya-ya nanti aja mikirnya, kamu mah sempat-sempatnya ngomong gitu, iseng banget sih?!”

“Kenapa? Malu ya? Ciee...”

“Mas Nana...!”

Naresh ketawa geli sambil memeluk lagi bahu Aisyah, “Iya sayang, aku cuman bercanda... yaudah yuk pamit dulu sama Mama, abis ini aku mau puas-puasin ngedate sama kamu.”

“Hah? Ngedate kemana?”

“Kemana kek, terserah aku.”

“Kenapa sepihak gitu?”

Naresh mendekati wajah Aisyah, “Nanya mulu kayak wartawan, udah nurut aja sama suami!” pria itu berdiri sambil meletakkan buket bunganya di atas batu nisan sang Ibunda, “Dah, Mama, Naresh pamit dulu ya...”

Naresh sengaja jalan mendahului istrinya itu dan membuat Aisyah jengkel setengah mati di belakangnya,

“Ish nih orang, udah jadi laki juga tetap sama ngeselinnya! Edan!”


“Ke Dufan? Yang bener aja kamu, Mas!”

Pasangan muda itu sudah berhenti tepat di depan loket untuk membeli tiket masuk Dufan sebelum tangannya di stempel.

“Kenapa? Gak suka?”

“Bukan gitu, aneh aja kenapa harus dufan—”

“Ayo kita tanding lagi, Aisyah!”

Aisyah menganga sejadi-jadinya.

“Disini ada wahana baru yang sejenis sama roller coaster yang dulu. Namanya super jet coaster, kita harus tahan ya gak boleh teriak kalau teriak berarti kalah!” “Deal?!”

Ya Allah ada gitu ya pasutri mau taruhan gini, random banget laki gue sumpah...

“Iya deh, deal! Emang nanti kalau kalah hukumannya apa?!”

“Harus turutin perkataan yang menang dong!”

“Oh oke...”

Mereka memutuskan untuk pergi ke wahana yang dituju. Mengantri selama 5 menit lalu setelah gilirannya datang, Aisyah dan Naresh mempersiapkan diri masing-masing untuk menutup rapat-rapat bibirnya.

“Siap-siap ya semua, pegangan... satu...dua...tiga...!!”

WUSHH!!

“ALLAHUAKBARRRRRRRRR!!!!!!!!!!!”

Aisyah ketawa renyah.


“Puas kamu, Mas?! Hm?!”

Nafas Naresh tersengal-sengal bahkan jantungnya itu sudah merosot tergontai-gontai karena wahana barusan.

“Kamu yang nantangin, ujung-ujungnya kamu yang kalah! Hahaha...!!”

“Sstt! Diem! Gak usah ngetawain!”

“Hahahahahahahaha...!!”

“Aisyah Izzati!”

Aisyah menjulur lidahnya, “Wleek!! Yey aku menang, berarti Mas Nana harus nurut apa kata aku, kan?!”

Naresh mengangguk susah payah, “Iya deh...”

“Okey! Permintaan aku adalah... perpanjang waktu cuti kamu!”

“Hah?! Gak bisa! Seninnya aku ada jadwal operasi!”

“Ish, jadwal operasi sama aku pentingan mana?!”

“Ya pentingan operasi lah! Itu kan urusannya sama nyawa orang!”

Aisyah mendecak kesal, “Woah, terus kita gak bulan madu gitu?! Mas Nana kan janji katanya mau ngajak bulan madu?! Ish, dasar tukang PHP!!”

“Bulan madu? Maksud kamu tuh perpanjang cuti buat pergi bulan madu?!”

“Iya! Au ah bete! Mas Nana gak adil!”

GYUT!! Naresh mencubit gemas pipi istrinya dan menampilkan dua tiket pesawat yang sudah ia booking dari ponselnya.

“Aku tuh udah siapin bulan madu kita di Bali besok, tadinya emang aku mau ngajak kamu keluar negeri tapi jadwal aku padet. 3 hari disana cukup kan?”

Mata Aisyah langsung berbinar-binar dan cepat wanita itu merebut ponsel Naresh.

“Besok... kita ke Bali, Mas?!”

“Iya.”

“Serius?!”

“Iyaaaa istriku sayaangg...”

GREP!! Aisyah melompat girang memeluk suaminya erat-erat membiarkan tubuh mungilnya itu tergantung.

“Huwaa suamiku memang yang terbaik!! Makasih ya, Mas Nana! Muach!” Aisyah mengecup pipi pria itu cepat dan tak berhenti melompat-lompat penuh sukacita meninggalkan suaminya diam mematung.

Haduh, Aisyah... untung suamimu ini sungguh penyabar...

Ini... gue bakalan satu kamar sama Mas Nana? ALLAHU AKBAR?! SERIUS? YA ALLAH GAK SIAP SERIUS ADUH AISYAHHH HARUS GIMANA DONG??!!

Suara semburan shower dari kamar mandi membuat bulu kuduk Aisyah merinding bukan main. Saat ini adalah malam pertamanya sebagai istri dari Naresh dan tentu gadis itu kelimpungan gak karuan harus berbuat apa.

“Duh... gue suka nontonin drakor sih, kira-kira kegiatan apa ya biar gak langsung ke inti, huwa gue gak siap serius! Aduh gimana nih...”

“Ehem.”

Dehaman singkat Naresh dari belakang membuat Aisyah kaget setengah mati.

“Kamu gak mau mandi? Gerah banget ngelihat kamu masih pakai gaun gitu,” ujar pemuda itu yang sudah mengenakan kaos putih polosnya dan menggosok-gosok rambut basahnya itu hingga bulir airnya sedikit menyiprat pipi Aisyah, “Itu airnya udah aku atur jadi hangat, kamu tinggal pakai aja.”

Gadis itu menarik nafasnya panjang, “O-Oke... hehe...”

Aisyah mengambil handuk dan baju gantinya itu lalu ngibrit masuk ke kamar mandi dengan langkah kaki kikuknya. Naresh cuman ketawa geli sambil geleng-geleng, Ya ampun, polos banget sih ini anak satu...


Aisyah bego... KENAPA LUPA BAWA JILBABNYA??!!

Lagi-lagi Aisyah cuman bisa mendesah frustasi karena lupa bawa jilbab gantinya. Hatinya masih belum siap untuk menampilkan rambut panjangnya itu kepada lelaki yang sudah sah menjadi suaminya itu.

“Aisyah? Kok lama banget mandinya?!”

“BENTAR MAS AISYAH BELUM SELESAI!”

“Belum selesai?! Aisyah kamu udah 20 menit di dalam situ, kamu lagi nyemedi apa gimana?!”

“IH SEBENTAR!!”

KREK!! Aisyah membuka pintu kamar mandi dengan handuk yang membungkus rambutnya itu, “Sabar! Tadi Aisyah kelupaan bawa jilbab, Aisyah mau ambil dulu—” Sret, Tangan Naresh sengaja menarik handuk Aisyah hingga rambut basah sepunggungnya itu terurai. Mata Naresh memencak, ia tak menyangka tampilan istrinya saat ini benar-benar cantik.

“Ma-Mas Nana??!!”

“Buat apa kamu pakai jilbab di depan suami kamu, hah? Sini, aku keringin rambutnya,” Naresh menarik tangan istrinya dan mendudukannya perlahan di hadapan meja rias. Naresh menyalakan hair dryer yang ada di samping mejanya lalu mengeringkan rambut Aisyah dengan lembut seraya memijit-mijit kepalanya membuat wanita kasihnya itu sedikit rileks.

“Kamu masih malu ya?” tanya Naresh dengan nada usil.

“Ya-ya malu lah! A-Aisyah kan... gak pernah... kayak gini...”

“Kayak gini maksudnya?”

“Ya nunjukin rambut ke cowok bukan mahram!”

“Kan aku mahram kamu sekarang.”

Aisyah mengatup bibirnya rapat-rapat. Naresh mengambil beberapa helai rambut istrinya dan mengecup pelan, netranya fokus ke wajah sang istri yang masih bersemu merah. Pria itu terkekeh.

“Aku senang bisa jadi orang pertama yang melihat betapa cantiknya kamu, Aisyah,” tangan besarnya mulai membelai lembut pipi kekasihnya, “Dan juga terakhir, selamanya, kamu itu sepenuhnya milik aku.”

Jantung Aisyah berdegup tak menentu, aliran darah di tubuhnya seketika melambat panas dan dadanya itu bergejolak dengan sentuhan lembut Naresh. Pria itu menatap sayu tiap inci fitur wajah istrinya, dari hidung mungilnya dan bibir merahnya yang merekah alami itu.

“Sini,” Naresh menarik tangan Aisyah dan pria itu membaringkan tubuhnya di atas ranjang, “Tidur disini,” pria itu menepuk sampingnya menitah Aisyah untuk tidur di lengannya. Gadis itu tak berkutik selain menuruti perintah suaminya, ia mulai membaringkan tubuhnya di atas lengan Naresh lalu pria di belakangnya langsung memeluk hangat tubuh sang istri.

“Kalau kamu belum siap, aku gak maksa kok. Kita kayak gini aja dulu, jadi jalanin aja pelan-pelan.”

Aisyah bisa merasakan kekecewaan suaminya itu ketika Aisyah memunggungi Naresh membiarkan pria itu memeluknya sepihak. Ia jadi teringat nasihat almarhum Abinya dulu...

“Aisyah... ketika kamu sudah menikah nanti, jangan pernah biarkan suamimu itu tidur dalam keadaan marah, tidak ridho atau kecewa... karena sesungguhnya Allah murka terhadap istri yang membiarkan suaminya tidur dalam keadaan marah nak, kamu harus bisa menjadi istri yang taat, yang menyenangkan hati suami maka syurga akan menjadi milik kamu...”

Aisyah membalikkan tubuhnya, dia membalas pelukan sang suami erat-erat hingga membuat Naresh sedikit kaget dan jantungnya ikut berdegup kencang.

“A-Aisyah udah siap kok! Tadi... gugup bentar doang,” mata Aisyah yang berbinar-binar menatap lemat-lemat kedua netra sang suami, “Aisyah gak mau... kalau Mas Nana tidur dalam keadaan kecewa gini... jadi—”

CUP! Naresh memotong perkataan istrinya itu dengan satu kecupan yang mendarat di pipi Aisyah.

“Kamu serius udah siap?”

“U-Udah...!”

“Yakin? Aku gak maksa lho.”

“Iya yakin! Ih jangan banyak tanya gitu dong, Aisyah malu tahu!”

Naresh segera bangun dari tempat tidurnya, “Aku mau wudhu dulu, abis itu kita shalat sunnah 2 rakaat.”

Aisyah mengangguk menurut, lalu mereka mengambil wudhu untuk menyucikan keduanya sebelum melaksanakan shalat sunnah 2 rakaat sebagai awal ritual suci pernikahan mereka.

Setelahnya Naresh menatap lagi sosok istrinya yang masih memaling wajah malu-malu, ia meninggalkan satu jejak lagi kecupan hangatnya di kening Aisyah...

dan malam itu menjadi malam yang panjang bagi kedua insan yang baru mengikat janji sucinya itu.


Sinar mentari mulai menyilaukan kedua mata Aisyah dari balik tirai gorden yang terbuka lebar. Matanya terbelelak, ia cepat bangun dari tidurnya namun sayang tubuhnya itu masih sulit untuk di gerakkan.

“A-Aduh... Astagfirullah... Aisyah kesiangan shubuh...!”

Wanita itu perlahan berjalan menuju kamar mandi, ia mencium aroma manis dari luar kamar utamanya, gadis itu mengubah haluan jalannya menuju luar kamar dan mendapati sosok suaminya yang sedang sibuk di dapur.

Images

“Ma-Mas? Kok udah bangun duluan?”

“Aku udah bangun dari shubuh, Aisyah.”

“Kenapa gak bangunin aku...”

Naresh tersenyum simpul dan memberi satu kecupan pagi di pipi Aisyah, “Aku udah bangunin kamu berkali-kali tapi kamu nyenyak banget tidurnya. Capek ya?”

Aisyah mencibir bibirnya, “Ish... harus banget pake cium apa... masih pagi juga.”

Naresh terkekeh, “Udah sana bersih-bersih, shalat Shubuh dulu kalau bisa sekalian Dhuha, nanti baru makan disini. Makanannya masih belum siap kok.”

Aisyah menganggukkan kepalanya lalu ia berjalan lagi ke arah kamar mandi untuk menyucikan dirinya sebelum melaksanakan shalat.

Jadi sekarang... Aisyah beneran udah jadi istrinya Mas Nana ya? Hehehe...


Saat ini kedua insan itu sedang menyantap sarapannya sama-sama saling berhadapan. Rambut panjang Aisyah yang tergerai sebelah dadanya membuat Naresh tak berhenti mendecak kagum, ia sangat mengakui bahwa kecantikan istrinya saat ini memang sungguh spesial.

“Aku suka banget ngelihat rambut kamu gitu, cantiknya ngalahin Irene Red Velvet,” goda Naresh.

“Ish, gombal banget...” tepik Aisyah malu.

“Lho serius aku, makanya aku senang banget jadi merasa spesial gitu, hehehe...”

“Bisa aja, kang buaya.”

Naresh mendecak, “Ya ampun, Syah, aku udah jadi suami kamu masih juga dibilang buaya?!”

Aisyah ketawa renyah, “Iya, buaya gantengnya Aisyah. Wlek!”

“Wah, gak ada julukan lain apa yang bagusan dikit?”

“Apa? Handsome Crocodile??”

“Sama aja maemunah.”

“Lacoste?”

“ITU MEREK LOGONYA BUAYA!!”

Aisyah tertawa terpingkal-pingkal bahkan perutnya sampai terkocok-kocok karena reaksi konyol suaminya itu.

“Yaudah bagusan dikit nih, pangeran kodok?”

Naresh langsung mencubit hidung Aisyah hingga gadis itu merintih kesakitan, “Adududuh!!”

“Kalau gitu kamu putri kodoknya biar impas ya?!”

Aisyah cuman membentuk jari telunjuknya bulat yang menandakan setuju dengan ungkapan suaminya. Mereka saling bertukar canda tawa lagi. Kedua insan saling mencintai itu tengah menikmati suasananya yang masih di mabuk asmara.

Sekali lagi, selamat ya Naresh dan Aisyah!

Naresh mempercepat langkahnya yang tergopoh-gopoh menuju aula gedung, dimana Haidar sudah menunggu kehadirannya menuju 5 menit acara di mulai.

“Maaf, Bang!” Kaki Naresh sudah mendarat sempurna di tempatnya. Haidar yang mengecak pinggangnya itu cuman bisa menghela nafas panjang, Ini anak ternyata sama cerobohnya kayak Aisyah.

“Ya sudah, lap dulu keringat kamu tuh! Atur nafas kamu yang betul, gak mungkin kamu mau ijab qabul sambil ngos-ngosan gini!”

Naresh menarik nafasnya lagi dalam-dalam lalu mengeluarkannya secara teratur, ia juga cepat mengusap tangannya yang sudah berkeringat dingin. Naresh di persilahkan duduk, kini ia harus menghadap Haidar sebagai wali yang akan menyerahkan gadis kasihnya itu secara sah.

“Naresh,” Haidar membuka suara sebelum akad dimulai.

“Ya, Bang?”

“Dengan ini, secara resmi saya menyerahkan adik saya satu-satunya menjadi amanah bagi kamu. Saya harap, kamu benar-benar bisa menjaga amanah ini karena bagi saya, Aisyah itu sangat berharga. Jangan sekali-kali kamu mengecewakan saya dengan mengecewakan Aisyah, kalau seandainya kamu tidak menginginkan adik saya lagi, tolong kembalikan kepada saya dengan betul.” “Tapi saya harap kamu tidak melakukan hal yang saya sebut tadi.”

Naresh menatap kedua netra Haidar dengan mantap, “Saya pastikan hal tersebut tidak akan pernah terjadi, Bang. Saya akan terus menjaga Aisyah dengan sepenuh hati dalam hidup saya sampai di syurga nanti.”

Haidar tersenyum bangga, ia menyodorkan tangannya dan mereka saling menjabat sebelum di aba-abakan untuk mengucapkan ijab qabul.

Akad ijab-qabul akan segera dimulai...

“Saudara Naresh Ishaaq bin Gabriel Agil Ishaaq, saya nikahkan engkau dengan adik saya, Aisyah Izzati binti Eko Wijayanto dengan maskawin seperangkat alat shalat dan hafalan surat Ar-Rahman dibayar tunai!”

“Saya terima nikah dan kawinnya, Aisyah Izzati binti Eko Wijayanto dengan maskawin tersebut dibayar tunai!”

“Sah?!”

“SAAHHH!!!”

“Alhamdulillah...”

Akad ijab-kabul tlah terlaksana dengan baik dan lancar, lantunan Ar-Rahman yang tlah di hafalkan Naresh akhirnya menjadi pembuka bagi Aisyah untuk duduk di kursi pelaminan bersamanya sebagai pasangan suami-istri yang sah.

Perasaannya kini lega namun bercampur aduk, ada gugup sekaligus haru, yang jelas... hari ini adalah titik perubahan yang sangat signifikan bagi kehidupan keduanya.

Selamat untuk Naresh dan Aisyah!


Resepsi...

Kini semua tamu sedang menikmati hidangan yang sudah di sajikan, Naresh dan Aisyah duduk di pelaminan dengan senyuman bahagianya. Pasangan itu tak bisa menutupi bendung bahagianya yang terlukis jelas di wajah keduanya, terutama Aisyah. Gadis yang secara sah di persunting itu tak berhenti melirik sosok suaminya dari samping, menatap tiap inci fitur wajah tampannya dan tubuh tegapnya yang gagah.

Jadi sekarang... Aisyah udah sah jadi istrinya Mas Nana? Hehehe...

TUK, Aisyah mencolek sedikit punggung tangan Naresh, laki-laki itu tersontak kaget, memberi isyarat di wajahnya Apa? dan Aisyah cuman bisa senyum-senyum malu.

“Kamu kenapa?”

“Gapapa.”

“Terus ngapain nyolek-nyolek?”

Aisyah memaut bibirnya cemberut, “Ish... gak peka banget sih, bete ah!”

Naresh terkekeh lalu ia langsung meraih tangan mungil istrinya dan mengecup punggung tangannya dengan smirk khasnya.

“Sekarang udah sah kan? Kamu masih mau block aku?”

Wajah Aisyah sontak memerah panas bak kepiting rebus, ia menyembunyikan wajahnya di lengan belakang lelaki kasihnya itu malu dan memukul-mukul ringan punggung suaminya gemas.

“Mas, ih! Gak adil banget...”

“Gak adil gimana? Kamu kode mau di pegang kan tangannya?”

“Au ah, Aisyah bete sama Mas!”

Naresh mendekati wajah Aisyah, “Terus apa? Mau aku cium?”

Bukannya mereda, justru sekarang pipi Aisyah sudah merah bukan main dan rasanya mau meledak. Ia semakin mengencangkan pukulannya hingga Naresh tertawa meringis menahan sakit.

Meanwhile para tamu pernikahan Naresh-Aisyah...

“Lihat tuh pasangan muda, enak banget ya udah bisa mesra-mesraan gitu sekarang...” cicir Mbak Shinta, “Belum aja nanti punya satu ekor, dua ekor, udah susah mau manja-manjaan kayak gitu,” lanjutnya mencibir.

“Hahaha, menikah emang enak pas setahun pertama doang ya, Mbak,” imbuh Juned.

“Ya lo kan ngerasain sendiri, Jun, bini lo lagi hamil repot gak?”

Juned geleng-geleng, “Haduh, ngelayanin ngidamnya itu...”

“Ih kata siapa?! Kakak pertama gue udah 10 tahun menikah adem ayem aja tuh, anak udah 3 tetap aja mesra-mesraan ampe bikin gue eneg!” sergah Juwita.

“Yee, kalo di depan orang mah gak ditunjukin, Ta! Lo pikir gue sama laki gue kalo berantem kudu di depan mertua?! Kan kagak...”

“Tapi ya gak segitunya juga kali...”

Mbak Shinta langsung merangkul bahu Juwita, “Juwita sayang... yang gue sebutin itu namanya realita. Menikah itu realitanya ya gak seindah konten uwu para artis coy, cuman ya ada aja sih enaknya... intinya, kalo lo udah siap untuk menikah ya berarti fisik dan mental lo udah harus mateng bener, Ta!”

Brian menyela tengah pembicaraan, “Eh bentar, bentar, ini si Lia kok tiba-tiba hilang?!”

Gadis yang dicari ternyata sedang duduk sendirian menatap lemat-lemat pasangan muda yang ada di atas pelaminan penuh harap. Jantungnya juga ikut berdegup kencang, Ah... enaknya menikah...

“Ngelihatnya biasa aja kali.”

Lia tersontak, “A-Ah, Dokter Yudhis?!”

“Kenapa? Iri ya sama Aisyah? Hahaha...”

Gadis itu cepat menyibak rambutnya ke belakang, “E-Enggak sih... cuman...”

“Cuman apa? Ngarep?”

“Ih bukan, Dok!”

“Ayo kalo gitu.”

Mata Lia terbelelak, “Ha-hah?”

“Ayo kita nikah juga, kita susulin tuh Naresh sama Aisyah.”

BUSH!! Wajah Lia memerah tomat, “Do-Dokter Yudhis kalau ngomong gak pakai bismillah ya?! Ih!”

“Hahaha... mau pelan-pelan dulu aja? Kita pacaran bentar abis itu langsung nikah? Mau gitu aja?”

“Dokter Yudhis!!”

Di prasmanan belakang sana ada Dokter Arif yang menatap nanar kedua insan yang baru saja mengikat janji suci. Hatinya pilu, mengingat bagaimana ia juga berjuang untuk mendapatkan hati sang pujaan hati yang saat ini sudah menjadi milik orang lain, mau tidak mau, ia harus mengikhlaskan cintanya pergi...

DUK!!

“A-Aduh sorry, sorry, saya gak lihat—”

Mata wanita yang menabraknya memencak lebar, melihat tampilan gagah dari sosok Dokter Arif begitupun sebaliknya, pemuda itu tercekat dengan pesona seorang wanita cantik yang dibalut gaun hitam off-shoulder selututnya.

“Ah iya... gapapa, Mbak.”

Mereka saling bertukar tatapan lama, meresapi pesona keduanya yang mulai menyentuh pintu hati.

“Um... Mas, sendirian aja?”

“Iya, Mbaknya?”

“Ah tadi sama teman, cuman saya di tinggal.”

Dokter Arif memasang senyum jumawanya, “Kalau gitu, boleh kenalan?” “Saya Arif, rekan sesama dokternya pengantin pria.”

Jabatan tangan Dokter Arif di balas dengan senang hati oleh sang wanita.

“Saya Eliza, teman kuliahnya pengantin pria.”

“Ah mau ngobrol-ngobrol di sebelah sana?”

“Boleh.”

“Abi... Abi jangan marahin Bang Haidar, Bang Haidar udah capek terima beban harapan orang-orang, biar Aisyah aja yang di omelin karena Aisyah yang bisa tanggung itu semua...”

Entah kenapa sejak kecil, aku selalu di gariskan untuk selalu maju di garda terdepan untuk melindungi orang-orang yang kucintai. Aku merasa, dengan kepintaranku yang pas-pasan dan bahuku yang lemah ini, tak bisa menjadi manfaat bagi orang-orang tapi Abi selalu mengingatkanku satu hal yang aku punya...

“Kamu punya hati yang besar dan kuat, Aisyah...” “Dan itulah sekuat-kuatnya manusia.”

Abi pernah mengatakan itu kepadaku, pada saat usiaku yang masih berusia 13 tahun dan aku belum mengerti apa maksud dari pesan Abi.

Tapi sekarang aku tahu semuanya... setelah aku memutuskan untuk melindungi orang terkasihku...

Aku tak pernah tersirat untuk menyerahkan hidupku hanya karena aku ingin melindungi orang yang kusayangi, aku punya keyakinan kuat bahwa perlindunganku ini tidak sia-sia. Aku yakin bahwa Allah tidak memberiku takdir yang meninggalkan seribu luka untuk orang sekitarku, aku tahu aku ini manusia paling kuat.

Tekad hidupku jauh lebih kuat dari siapapun...

Dheg! TIT... TIT...

“Dok, jantungnya berdetak normal!”

“Alhamdulillah, kalau begitu kita tutup lukanya sekarang.”

Lihat kan? Allah tidak mungkin membiarkan aku mati dalam keadaan lemah...

Kamu berhasil, Aisyah...


“Alhamdulillah, operasi berjalan lancar dan pasien sekarang masih dalam pantauan kami di ruangan ICU jadi begitu kondisinya sudah stabil, kami akan segera memindahkan pasien ke ruangannya,” Sang dokter meminta Naresh untuk ikut ke bagian administrasi, “Baik, bapak suaminya? Bisa ikut saya?”

“A-Ah bukan, Dok—”

Haidar mendorong tubuh Naresh, “Saya kakaknya.”

“Ah baik, ikut saya ya, pak.”

Haidar mengangguk dan mengikuti langkah sang dokter menuju administrasi bersama istrinya, Naresh duduk disana sendiri dengan dada yang lapang setelah mendengar operasi Aisyah berjalan lancar. Pria itu tak bisa membayangkan jika wanita kekasihnya itu pergi meninggalkannya, namun ternyata semesta masih berpihak kepadanya. Aisyah masih diberi kesempatan untuk menjalani hidup baru bersamanya.

Naresh tak bisa berucap apa-apa lagi selain ungkapan syukur kepada Sang Pemberi Takdir.


Naresh POV

Sudah berjalan seminggu lebih Aisyah di rawat intensif pasca peristiwa itu. Dari psikis dan fisiknya semua di rawat total, dan posisiku disini sebagai pendampingnya.

Belum resmi sih, tapi doakan aja semoga dalam waktu dekat ini.

Tapi ada satu hal yang membuatku tak berhenti mendecak kagum.

Kriet...

“Ayo, Ibra, Mina! Kita joget pagi-pagi biar segar! Baby shark dudududu... baby shark dudududu... baby shark dudududu... baby shark! Rawr!”

Lihat senyum cerianya, bahkan ia habis melewati masa kritisnya, bagi Aisyah itu tidak ada apa-apanya, bahkan psikiater yang merawatnya bilang kalau Aisyah sama sekali tak ada traumatik pasca kejadian.

Ini seperti mukjizat, sekuat apa hati Aisyah?

“Adududuh! Sakit punggung Tante, aw! aw!”

“Ih, Tante Aisyah hati-hati!!!”

Yah tapi cerobohnya itu sedikit membahayakan sih.

“Udah tahu jahitan kamu itu masih belum kering, Aisyah, malah udah gerak petakilan gitu, gimana sih?!” decakku.

“Ih, ini tuh senam pagi tau! Aisyah bete kalau tiduran mulu di kasur, masa gerak dikit gak boleh?!”

“Gerak dikit ndasmu, kamu joget-joget heboh gitu! Kalau aku rekam, kamu malu banget pasti!”

Aisyah memicing matanya, “Jangan coba-coba ya, kalau gak mau dibuat koma yang kedua kalinya.”

Ya Allah, ini yang sakit kenapa lebih galak dari yang sehat.

“Sabarlah dikit, Syah, besok kan kamu udah boleh pulang. Nanti istirahat lagi 3 hari di rumah, baru kita bisa lanjut urus pernikahan kita.”

Aisyah tersenyum lebar penuh arti, “Mas Nana...” jantungku berdetak kencang begitu Aisyah menatapku dengan tatapan puppy eyes-nya itu, “Aisyah... mau konsep pernikahan princess gitu dong kayak Sandra Dewi... kan lucu banget tuh, ya gak sih...”

“Hah? pernikahan princess kayak gimana?”

“Ih ini lho... lucu banget gak sih? Dia nikahannya di Jepang lho, Mas...”

“Ngapain ngadain pernikahan di Jepang segala? Keluarga kamu disini semua, kalau mau di Sumedang aja, keluarga besar aku ada disana.”

“Ih ngapain ke Sumedang segala?! Aisyah maunya ada istana princess bukannya pabrik tahu sumedang!!”

“Mau nikahan aja ribet banget, kalau mau keluar negeri sekalian ya nanti pas bulan madu!”

“Ih tapi Aisyah maunya bulan madu di Maldives...”

“Kok kamu jadi banyak mau gini sih?! Mending pernikahan yang sederhana aja terus di tabungin uangnya buat nanti kehidupan setelah menikah!” “Emang kamu bisa jamin pekerjaan aku bakal stabil selamanya?”

Aisyah memaut bibirnya cemberut dan mendengus sebal di hadapanku, “Ish, Kak Naresh jelek, ngeselin, kaku kayak kanebo!”

“Lah kok jadi ngatain sih?!”

“Gak tahu ah, Aisyah pundung!!”

“Heh, heh, lagi sakit gini masih sempet-sempetnya ngerengek kayak anak kecil!”

Sahutan Bang Haidar dari depan pintu dengan tiga cangkir kopi yang dia bawa sontak membuat kita berdua kaget, “Aisyah, kamu tuh udah saya bilangin belajar jadi wanita dewasa gitu. Kenapa sih jadi manja gini kayak anak kecil?!”

“Ish... kayak Kak Anela gak pernah ngerengek aja...”

Bang Haidar skakmat dengan kalimat Aisyah, “Ya-ya dia ngerengeknya masih masuk akal! Kamu ngerengek minta konsep pernikahan yang mahal, inget ya, meskipun kita ada di keluarga berada tapi saya gak pernah mendidik kamu untuk punya gaya hidup hedon. Ngerti kamu?!” “Bagus, Naresh, memang seharusnya kamu tegas sama adik saya. Kalau keinginannya di turutin terus yang ada dia jadi manja gak karuan!”

Pipi Aisyah sudah mencembung bulat, “HUWAAAA!!! KENAPA SIH TAKDIR AISYAH HARUS BERHADAPAN SAMA DUA COWOK KAKU KAYAK KANEBO KERING GINIII!!! AISYAH MAUNYA NIKAH SAMA SONG KANG OPPA AJAAA!!!!”

Haduh, Aisyah... Aisyah...

Naresh menancap gas mobilnta secepat kilat bahkan ia melewati beberapa rambu lalu lintas agar bisa sampai ke tujuan tepat waktu. Jantungnya sejak tadi tak bisa berhenti berdegup kencang.

Menghubungkan ke Detektif Eliza Kepolisian

“Halo?! Eliza?! Aisyah di culik Jovi, sekarang gue lagi on the way lo bisa gak—”

“Whats up, bro? Nyari Eliza ya?”

Mata Naresh kembali terbelelak, “Jo-Jovi?! LO APAIN ELIZA BANGSAT?!”

“Eliza, nih klien setia lo, gih ngomong sesuatu.”

“Res... jangan kesini, please, Jovi mau ngejebak lo... please—KYAA!!”

“Eliza?! ELIZA!!”

“10 menit lagi bro, lo lebih rela kehilangan orang yang berjasa buat lo atau... orang yang lo cintai? atau dua-duanya sekaligus?”

“JOVI, BIADAB LO BERANI-BERANINYA MANFAATIN PEREMPUAN!!”

“Udah deh, bro, fokus aja nyetirnya, gue tunggu ya 10 menit atau... boom, lo akan kehilangan semua harapan lo.”

KREK!

“Halo?! Jov?! Argh brengsek!!”


Aisyah dengan seluruh tangan dan kakinya yang terikat, juga bibir manisnya yang di tutup rapat-rapat dengan selotip hitam itu hanya bisa menangis dalam bisu. Gadis itu tak sendiri, disana juga ada Eliza yang tangan dan kakinya terikat namun bibirnya di biarkan terbuka untuk melawan semua perdebatan antara Eliza dengan sang antagonis.

“Jov, lo jangan remehin gue... lo salah buat gara-gara sama gue...” kecam Eliza.

“Wah iya kah? Gila, serem banget bos...” Jovi menangkup dagu Eliza dan mendekatkan jarak wajah mereka, “Pada akhirnya lo ini cuman wanita lemah sayang... padahal kalo lo berlaku baik sama gue, lo gak akan ikut terlibat...”

“Tapi lo melibatkan Aisyah! Aisyah salah apa sama lo?!”

Jovian mendelik ke arah Aisyah, tangannya yang sudah memegang pistol kaliber itu mendekati gadis berhijab yang malang itu dan menangkup dagunya dengan pistol kaliber miliknya, “Gue gak melibatkan secara langsung kok, cuman yah... sedikit mengusik aja biar ada drive dari pihak—”

BRAKK!!

“JOVIAN!!!”

Ketiganya sontak dengan kehadiran Naresh yang tergopoh-gopoh menggebrak pintu apartemen tipe studio itu, matanya melotot begitu melihat gadis pujaan hatinya itu di todong pistol tepat di bawah dagunya.

“Brengsek... LEPASIN AISYAH!!”

“Eits jangan mendekat, atau lo benar-benar lihat calon istri lo ini terkapar disini.”

Aisyah menangis terisak-isak dalam bisunya, Eliza yang cuman bisa diam dan meringkuk karena kaki tangannya terikat.

“Jov, lo udah gak waras sih.”

“Memang, gue udah gak waras KARENA LO SEMUA MENGACAUKAN RENCANA BESAR GUE!!!” Jovian melempar tubuh mungil Aisyah hingga terpentok ke badan sofa, “Lo tahu?! Sekarang perusahaan gue sudah terancam bubar KARENA KELAKUAN BANGSAT LO SEMUA YANG SOK PAHLAWAN!! LO LIHAT, BOKAP LO DUA-DUANYA MASUK PENJARA, ITU BUKAN SALAH GUE TAPI SALAH LO!!!”

“Jovian, semua rencana busuk lo itu merugikan banyak pihak dan lo harusnya sadar!!! Gak gitu cara bermain bisnis, Jov!!”

“Lo tahu apa?! Lo tuh cuman dokter sampah yang gak punya apa-apa selain warisan nyokap lo!!”

“LO LEBIH BURUK DARI SAMPAH JOVIAN!!!” Eliza menyergah memekik.

“DIEM!!!” DUARR!! Jovian menarik satu tembakan ke atas figura foto yang jaraknya 2 meter dari posisi Eliza hingga pecahan belingnya itu mengenai kaki polos Eliza.

“AKH!!”

“JOVIAN!!!”

“Udah cukup basa-basinya, sekarang langsung ke inti,” Jovian melempar satu kertas beserta bolpoin di atas meja ke arah Naresh, “Tanda tangan surat itu, baru gue bebasin nih dua orang kesayangan lo.”

Aisyah memekik dalam bisunya, dengan gelengan kepalanya ia berteriak JANGAN! JANGAN LAKUKAN ITU!! dengan Eliza yang terus memekik kata JANGAN! dengan isakkannya. Naresh menegup salivanya bulat-bulat, di kertas itu tertulis bahwa Naresh selaku Ketua Yayasan Kasih Keluarga menyetujui kerjasama peluncuran obat jenis baru 'AGLYLOSARTAN TYPE 129' dengan segala resiko yang akan menjadi tanggungannya, jelas-jelas ini adalah rencana pengedaran narkotika yang sebelumnya tertunda bahkan di anggap selesai oleh aparat hukum. Jika Naresh menandatangani suratnya, maka ia kembali terjun ke lubang hitam yang sama seperti ayah kandungnya dulu namun andaikan ia menolak untuk menandatangani surat ini, 2 nyawa orang tak bersalah akan menanggung resikonya.

“Naresh... please... jangan... jangan terjebak... biar nyawa gue aja yang jadi taruhan, biar gue yang nanggung semuanya...” Eliza memohon sambil bersimpuh lutut di hadapan Naresh, di ikuti Aisyah yang juga ikut bersimpuh lutut di bawah Naresh membuat hati pria itu sesak bukan main. Ia sendiri bingung harus berbuat apa.

“Jov, lo memang jauh lebih buruk dari sampah... lo gak malu dengan semua dosa yang lo lakukan hah?! LO GAK MEMIKIRKAN HUSEIN, ANAK KANDUNG LO?!” Eliza berteriak lagi.

“Lho, untuk apa gue pikirin anak itu? Bukannya Angel lebih memilih suaminya yang menjadi ayah dari anak itu? Ya sudah, udah bukan urusan gue lagi kecuali... kalo lo memaksa untuk melibatkan anak itu sih...” Jovian menarik paksa rambut panjang Eliza hingga kesakitan, mendekati bibirnya ke telinga Eliza, “Yang namanya darah daging itu gak bisa di bohongin, Liz... jadi sewaktu-waktu gue membutuhkan anak itu, gue gak akan segan-segan untuk mengambil anak itu jadi milik gue sepenuhnya...”

“Jovian brengsek...!! JANGAN PERNAH LO MENDEKATI HUSEIN DAN ANGEL LAGI!!!”

“Ya sudah, gue juga gak keberatan. Gue gak menginginkan anak itu,” Jovian menoleh ke arah Naresh, “Buruan tanda tangan, nih tinggal gue tarik satu tembakan melayang nyawa cewek lo, Res” Jovian menarik jilbab Aisyah dan menancapkan ujung pistolnya di pelipis Aisyah dengan kejam. Aisyah terus geleng-geleng kepala memohon Naresh untuk tidak terpedaya dengan ancaman Jovian, namun pria itu juga gusar melihat gadis kasihnya di sakiti terang-terangan tepat di depan matanya.

“Jovian... lepasin tangan lo dari Aisyah... gue serius...!!”

“Yaudah cepetan tanda tangan! Kita harus selesaikan nih urusan bisnis kita!”

Tangan Naresh gemetar mencoret parafnya di atas kolom tanda tangan persetujuannya yang sudah di tempelkan materai 10000 disana. Jovian tersenyum puas begitu melihat kertas kesepakatannya sudah di tandatangani Naresh dengan sempurna.

Good job, brother! Kalau gitu...” Jovian mengarahkan pistolnya ke arah Naresh, “Kita akhiri sampai sini ya...”

Naresh memencak kedua matanya, DORR!! Tepat ketika Jovian menarik satu tembakannya ke arah Naresh, Aisyah mendorong tubuh Naresh kuat-kuat dan sayang, pelurunya itu meleset ke punggung gadis malang itu dan BRUK!, Tubuh Aisyah terkapar di atas Naresh bersama darah segar yang mengalir di atas kemeja putihnya.

“Aisyah...? Aisyah! AISYAH IZZATI!!!”

PRAKK!!

“TIM 129, KELUAR SEKARANG!!!”

BRAKKK!!! Rombongan tim polisi langsung mendobrak pintu apartemen tersebut dan menembak satu tembakan di kaki Jovian hingga ia terbekuk sempurna di lantai. Tim medis juga datang tepat waktu membawa Aisyah yang sudah tak sadarkan diri itu ke dalam mobil ambulans bersama Naresh. Eliza dengan tatapan tajam, ia melepas semua ikatan yang ada di tubuhnya dan BUK! Ia menginjak bahu lemas Jovi yang terkapar di lantai.

“Cowok brengsek, bisa-bisanya lo benar-benar mengorbankan seorang wanita lemah kayak Aisyah demi rencana busuk lo?! Cuih!! sanksi yang berlaku disini terlalu ringan buat semua kejahatan lo, Jov!!”

“ARGH!! LEPAS KAKI LO, SIALAN!!!”

“LO YANG SIALAN, DASAR BIADAB!! Desra! Lo bawa nih sampah langsung ke Mabes pusat, biar gue yang babat nih orang sampai habis sebelum kita kirim ke tempat asalnya!!” “Gue harap mereka juga gak menyia-nyiakan bangkai busuk kayak lo, Jovian!!!”

Eliza dengan satu kaki polosnya ia berusaha jalan dengan seimbang setelah beberapa luka yang menggores telapak kakinya. Ia menyayangkan bahwa rencananya bisa mengorbankan gadis tak berdosa seperti Aisyah bahkan ia mengutuk dirinya yang tak bisa melindungi Aisyah.

Aisyah... maafin Kak Eliza... ini salah Kak Eliza... maaf...


“Detak jantungnya terus melemah, Dok, kita harus segera sampai ke lokasi sekitar 15 menit lagi!”

“Tolong putar arah ke rumah sakit terdekat! Kita gak boleh sampai terlambat satu menit pun!”

Hati Naresh gusar bukan main ketika ia harus melihat kekasihnya itu memejam mata dengan kerutan alis yang melukiskan betapa sakitnya luka yang menancap punggungnya. Naresh sekali lagi mengutuk dirinya yang gagal melindungi Aisyah, lebih baik tadi dirinya saja yang mati daripada harus melihat Aisyah yang terluka seperti saat ini.

“Aisyah... maafin aku... maaf aku gagal melindungi kamu... maaf, sayang... tolong bertahan ya...”

Naresh sudah tak bisa berpikir jernih, tangannya yang menggenggam erat tangan mungil Aisyah yang tak bertenaga itu berharap gadisnya membalas genggaman tangannya.

Mobil ambulans sudah sampai ke rumah sakit terdekat, disana Naresh bantu membawa ranjang Aisyah menuju ruangan tindakan sebelum langkahnya tercegat di depan pintu.

“Saya juga dokter—”

“Tolong tunggu disini, ya, kami akan segera melakukan tindakan kepada pasien.”

“Kalau gitu saya mau ikut mengawasi—”

“Mohon untuk tunggu disini ya, Dok, kami akan mengupayakan tindakan kami semaksimal mungkin.”

Lutut Naresh langsung jatuh lemas di depan pintu yang sudah tertutup rapat. Kini pria itu tak bisa melakukan apa-apa lagi selain berdoa akan keselamatan gadis kasihnya.

Ya Allah... hamba mohon kepada-Mu... selamatkan Aisyah, Ya Allah... dia tidak seharusnya menjadi korban, seharusnya Engkau takdirkan aku saja yang terluka, jangan Aisyah...

“NARESH!!!”

Haidar dengan Anela lari tergopoh-gopoh menghampiri Naresh dengan wajah nanarnya, “A-Aisyah gimana?! I-Ini kenapa baju kamu kena banyak darah...” nafas pria itu tersengal-sengal bahkan pikirannya sudah kalut kemana-mana.

“A-Aisyah terluka, Bang... ini semua salah saya...” Naresh menunduk menyesal.

“Enggak, Res, ini bukan salah kamu... argh! Seharusnya saya ikut brantas si Jovian itu!! ARGH!!!”

“Mas Haidar istighfar! Tenang, Mas!”

“GIMANA SAYA BISA TENANG SEDANGKAN NYAWA ADIK SAYA MENJADI KORBAN SEKARANG?! SAYA GAK BISA KASIH AMPUN CECUNGUK SIALAN ITU!!”

“Mas...! Astaghfirullah, tenangkan diri kamu... tarik nafas...!”

Haidar menarik nafas dalam-dalam dan menghempasnya kasar, bahkan pria itu terus meninju tembok melampiaskan amarahnya.

“Argh... kenapa ketakutan saya harus terjadi... ini semua salah saya yang gak becus jagain adik saya...”

“Mas... enggak, Mas...”

“Bang Haidar, ini salah saya... Jovian itu menargetkan saya cuman dia melibatkan Aisyah...”

“Seharusnya Aisyah saya kurung aja di rumah... argh! Kenapa situasi jadi kacau begini!!”

“Mas...” suara Anela bergetar dengan isak tangisannya memeluk sang suami yang masih kalut dengan emosi. Naresh cuman bisa menundukkan kepalanya, ia menatap cincin di jari manisnya dan membayangkan lagi memori manisnya bersama Aisyah...

Kamu janji untuk selalu ada sisi saya kan, Aisyah?

Iya janji! Hehe...

Air mata Naresh jatuh membasahi jari manisnya dan suara isakkan pemuda itu mulai mengencang menyebut nama Aisyah.

“Aisyah... Tolong... Tolong jangan tinggalkan saya...”

Aisyah dengan langkah girang sukacitanya ia meletakkan satu kotak obat sesuai pesanan Bu Tyas. Tentu mereka semua tahu kenapa gerangan suasana hati gadis itu sangat baik hari ini.

“Haduh, enaknya yang bentar lagi mau lepas lajang...” cicir Juwita.

“Iya ya, kapan jodoh gue dateng ya...” timpal Lia.

DUK! Aisyah meletakkan barang-barang kerjaannya di atas nakas kecil samping lemari berkas, “Ayo cepat katakan apalagi yang harus Aisyah kerjain? Aisyah mau pulang cepat soalnya! Abis ini mau fitting baju pengantin, hehehe...”

“Ya Allah, mau balik cepat sih tapi emang kudu banget ya ambil kerjaan orang?!”

“Yee... anggep aja kalian sekali-kali ngegabut gitu! Ayo cepat bilang apalagi nih?!”

Mbak Shinta akhirnya menyanggah, “Yaudah kalo gitu tolong anterin obat ini ke kamar 512 ya!”

Aisyah mendecak siap, “Oki doki!!” gadis itu mengambil kereta raknya cepat dan mengambil langkahnya menuju kamar yang di arahkan Mbak Shinta.

Mereka gak tahu kalau hari ini... hari terakhir Aisyah kerja disini, nanti sebelum pulang Aisyah pamitan dulu deh yang bener.


“Permisi...”

Aisyah mengetuk kamar 512 sebanyak tiga kali namun nihil tak ada yang menjawabnya. Gadis itu celingukan kanan kiri mencari sang penghuni kamar namun tampaknya memang tak ada orang disini.

“Mungkin lagi jalan-jalan kali ya, yaudah Aisyah taruh obatnya di nakas aja deh,” Aisyah perlahan melangkah masuk ke kamar 512 dan meletakkan obatnya di atas nakas. Ialu ia diam sejenak menghela nafas lega, ia mengambil tangannya dari dalam saku dan menatap lemat-lemat cincin pertunangannya dengan Naresh.

“Hehehe... jadi sebentar lagi Aisyah menikah, duh, kok jadi malu gini, udah ah Aisyah mau siap-siap pulang— MMMPPPHHHH!!! MPPPHHH!!!!”

Gadis itu lengah dengan kehadiran orang di belakangnya yang sedang membekap mulutnya rapat-rapat sampai kesadaran Aisyah perlahan menghilang. Cairan alkohol yang mencuat dari sapu tangan biru di mulut Aisyah sukses membuat gadis itu tak sadarkan diri.

Pandangan gadis itu sudah gelap total.


“Selamat sore semuanya, terima kasih atas kehadiran anda semua disini,” Naresh membetulkan kacamata dan mikrofon mungil yang menempel sempurna di pipinya, “Sesuai kesepakatan dari kami semua dan pimpinan yayasan terhadap masa depan Rumah Sakit Kasih Keluarga, dengan ini saya selaku Direktur dan Ketua Yayasan Kasih Keluarga akan mengumumkan pengunduran diri saya sebagai Direktur rumah sakit ini sekaligus menunjuk langsung direktur selanjutnya yang akan memimpin masa depan rumah sakit kita...”

Naresh menampilkan foto ID Arif dari layar hologram komputernya, “Dokter Arif, secara resmi mulai hari ini anda yang akan memimpin masa depan rumah sakit ini, selamat!!”

Semua gemuruh tepuk tangan para rekan medis dan pimpinan yayasan menyambut Dokter Arif yang baru saja di angkat menjadi Direktur dari Rumah Sakit Kasih Keluarga menggantikan posisi Naresh saat ini yang menjabat sebagai Direktur sementara.

“Re-Res?!” Dokter Arif masih tercengang dengan momen ini.

“Ayo silahkan maju dan beri kata sambutannya, Pak Direktur!” Naresh menitah pria sebaya itu untuk segera maju ke tempatnya, “Oh ya, Dokter Arif disini akan di bantu oleh Dokter Yudhis selaku Wakil Direktur Rumah Sakit Kasih Keluarga, ayo silahkan maju Dokter Arif dan Dokter Yudhis!”

Naresh segera turun dari atas mimbar dan mendorong kedua pria muda itu agar naik dan memberi kata sambutannya sebagai Direktur baru dari Rumah Sakit.

“Ah... sebelumnya terima kasih banyak atas sambutan dari para rekan sekalian disini, dan juga Dokter Naresh selaku Direktur Rumah Sakit Kasih Keluarga, jujur saya sendiri cukup terkejut dengan keputusan yang mendadak ini dan tanpa perundingan sedikitpun dari saya. Intinya... karena amanah ini sudah di percayakan kepada saya jadi mohon bantuannya dan juga kerjasamanya dari para rekan sekalian, saya sendiri masih banyak kekurangan dan masih harus banyak belajar jadi tolong tegur saya kalau saya melakukan kesalahan sebagai Direktur.”

Dokter Yudhis mengambil gilirannya untuk bicara, “Sebelumnya terima kasih kepada Dokter Naresh yang tlah memercayakan posisi ini kepada saya yang juga masih harus banyak belajar, meskipun Dokter Naresh sendiri adalah junior saya di kampus tapi dari lubuk hati yang paling dalam, saya sangat menghormati sosok Dokter Naresh. Mohon bimbingan dan kerjasamanya semua!”

Gemuruh tepuk tangan kembali bersorak penuh kemenangan untuk Dokter Arif dan Dokter Yudhis. Naresh dari ujung sana ikut bertepuk tangan dengan senyum jumawanya, ia merasa sepenuhnya lega dengan keputusan yang ia buat.

Ia merasa hidupnya sekarang sudah bukan lagi menempati kedudukan tinggi.

Tapi ia ingin menjadi manusia bermanfaat dengan pekerjaan mulianya dan menciptakan banyak momen indah bersama orang terkasihnya.

Tugas Naresh sudah selesai sampai sini.

Setidaknya ia hanya ingin bertanggungjawab dari belakang sebagai 'pemimpin bayangan'.


Jarum jam sudah menunjuk angka pukul setengah 5 sore, sesuai janjinya dengan sang calon kakak ipar, Naresh sudah harus sampai ke tempat fitting baju pengantin pada pukul 5.

DRRTT...!!

“Halo, Bang Haidar?”

“Naresh, kamu lagi sama Aisyah gak?! Kenapa dia gak dateng-dateng kesini?! Teleponnya juga gak diangkat-angkat!”

“Lah, saya baru aja selesai rapat dengan rekan medis dan gak lihat Aisyah sama sekali. Saya kira dia udah selesai fitting.”

“Terus gimana? Duh, saya jadi mikir yang enggak-enggak ini...”

Sekilas memori Naresh terbawa pada momen Eliza memperingati pemuda itu soal Aisyah...

Tolong jaga Aisyah, apapun yang terjadi tolong pantau Aisyah...

Ia harap dugaannya itu tidak benar.

“Sa-saya coba cari Aisyah disini!”

TUT! Naresh berlari sekuat tenaga menuju ruangan IGD dan mencari para ners yang bertugas, “Shinta! Shinta! Kamu lihat Aisyah gak?!”

“Aisyah? Lho, bukannya dia pulang duluan dok untuk fitting baju pengantin?”

“Pu-pulang duluan? Dia pamit sama kamu?!”

“Iya, dia bilang dia mau pulang cepat buat fitting baju, terus yaudah dia gak ada disini.”

“Kamu yakin dia udah pulang duluan?! Gak ada jadwal untuk operasi atau keliling lagi gitu?!”

“Gak ada, Dok... Aisyah udah kerjain semuanya...”

Naresh menjambak rambutnya ke belakang frustasi, dadanya bergejolak tak menentu dan cepat-cepat dia membuka ponselnya untuk membuka GPS yang ia pasang di gelang Aisyah.

Matanya terbelelak, pergerakan lokasi Aisyah menjadi sangat jauh sampai keluar Jakarta Selatan.

Sudah dipastikan gadis malang itu di culik oleh seseorang.

Argh... Jovian brengsek!!!

Di kediaman keluarga Aisyah, semua orang sudah berkumpul di tempat yang sudah di sediakan dan awak media yang hendak memberitakan kabar bahagia ini di cegat jauh-jauh dari tempat.

“Buset, ini kenapa rame banget ama wartawan? Masa iya gara-gara ini lamarannya Dokter Naresh? Emang se-hits itu Dokter Naresh?” cuap Brian terheran-heran.

“Iya ya, gue aja gak boleh masuk ke kamarnya Aisyah di cegat dua bodyguard, udah kayak nikahannya anak presiden aja!” timpal Juwita mendengus kesal.

Tak lama mereka saling mencicir acara lamaran Aisyah yang menurut mereka sedikit extraordinary itu, mata mereka kembali membulat besar dengan sosok Haidar yang sedang menyalami para tamu seolah ia adalah tuan rumah dari rumah ini.

“I-Itu Haidar El Fatih kan?! Direktur PT. Soetomo Group itu lho!! Ya-yang kemarin rame di berita karena di fitnah sama bawahannya sendiri!” sontak Juned shock.

“Lah iya, yang pesantrennya di resmiin langsung ama presiden!”

“Bentar, kok dia yang nyalamin tamunya sih?!” Lia ikut memekik kaget.

Haidar mendelik ke arah mereka lalu ia cepat menghampiri para rekan ners Aisyah yang masih tercengang dengan kehadirannya.

“Halo, saya Haidar, kakak sekaligus wali dari Aisyah, terima kasih sudah datang ke undangan adik saya. Saya mohon doa kelancarannya sampai hari H pernikahan nanti, ah kalo mau makan duluan kami ada kok makanan pembukanya di sebelah sana, selamat menikmati ya.”

Haidar cepat meninggalkan tempat mereka untuk masuk ke dalam rumahnya, dan mereka di tempatnya dibuat melongo bahkan matanya membulat sempurna dengan sebuah fakta...

“Jadi selama ini... kakaknya Aisyah itu direktur perusahaan terbesar se-Asia...?” — Mbak Shinta

“Aisyah... ternyata dari keluarga ningrat?” — Lia

“Serius tadi Haidar El Fatih tuh... kakaknya Aisyah? Jadi ini rumahnya Haidar El Fatih? Rumah sederhana ini?!” — Brian

“Sembarangan kamu kalau ngomong.”

Sosok Naresh dengan jas rapihnya mengejutkan lagi mereka yang sibuk bercuap soal latar belakang Aisyah.

“Do-Dokter kok baru dateng?! Saya kira udah dateng daritadi!” decak Lia.

“Lho, acaranya aja di mulai masih 30 menit lagi,” jawab Naresh enteng.

Brian menepuk bahu Naresh, “Dok, kok bisa sih dapetin Aisyah yang paket lengkap gini? Udah cantik, sholehah, baik, pekerja keras mana keluarganya terhormat. Kasih tips dong buat saya yang masih jomblo.”

Naresh tertawa renyah dan membalas rangkulan Brian, “Sayangnya, Brian, ini bukan sebuah tips atau trik tapi ini yang di namakan takdir. Aisyah itu memang sudah takdirnya jadi milik saya, jadi mohon maaf saya gak bisa kasih tips apa-apa,” senyuman jumawa Naresh menjadi penutup perjumpaan mereka disana karena lelaki itu harus siap-siap bersama rombongannya untuk masuk ke dalam mengikuti prosesi lamaran.

“Yeuh, fix banget ini mah si Dokter Naresh pake pelet jenis baru buat dapetin Aisyah! Gini-gini gue sama Dokter Naresh juga gantengan gue kali!”


Aisyah di kamarnya duduk dengan jemari yang ia mainkan guna menghapus semua rasa gugup di benaknya. Ia melihat dirinya yang sudah di balut kebaya emas cantik dengan riasan tipis yang memoles wajahnya di cermin, mengelus lembut pipinya yang merona dan kembali terenyuh setiap ia mengingat bahwa hari ini akan menjadi momentum berharga bagi hidupnya.

Aisyah meraih figura kecil yang ada di meja riasnya, dimana disitu ada foto kebersamaannya bersama Abi, Umi dan juga kakaknya, Haidar pada saat di Sleman.

“Abi... Umi... hari ini Aisyah lamaran... doain Aisyah ya dari atas sana...”

Gadis itu memeluk erat figuranya dan meresapi keberadaan Abi dan Umi dalam benaknya. Ia bisa merasakan betul kehangatan keduanya yang menyertai Aisyah pada hari ini.

Tok... tok...

“Aisyah?” suara lembut sang kakak ipar mengejutkan Aisyah, “Itu calon suamimu udah datang, yuk sini.”

Aisyah memaut bibirnya manja, “Kak Anela... Aisyah gugup banget...”

Anela terkekeh, ia mendekat ke adik iparnya dan memeluk erat menenangkan gadis itu agar perasaan gugupnya melebur dengan kehangatannya, “Udah tenang, Aisyah... semua akan berjalan baik-baik saja. Okey? Yuk, kamu udah ditungguin.”

“Huweee... takut...”

“Eh jangan nangis!”

“Takut banget, mau gila rasanya.”

“Baru lamaran aja kamu gini gimana nanti pas akad, Aisyah?!”

“HUWEEE...”

Anela kembali memeluk Aisyah menepuk-nepuk pelan pundaknya, Ya ampun, Aisyah... udah segede ini juga kamu tetap Aisyah adik kecil kakak ya, hahaha... lucu banget sih ini anak.

Setelah Aisyah meluapkan semua rasa gugupnya di pelukan sang kakak ipar, akhirnya ia mulai memberanikan diri untuk keluar muncul di hadapan para tamu dan terutamanya Naresh, calon suaminya.

Semua mendecak kagum dengan kecantikan Aisyah, terutama rekan nersnya yang sangat ekspresif dalam menunjukkan kekagumannya dengan Aisyah hari ini. Mereka bahkan bersahut-sahutan di belakang sana.

“Aisyah kamu cantik banget hari inii!!”

“Masha Allah, ukhti...!!”

Aisyah cuman terkekeh geli melihat tingkah kawan-kawannya itu.

“Inilah dia calon mempelai wanita yang kita tunggu-tunggu, nona Aisyah Izzati binti Eko Wijayanto, yang merupakan putri bungsu dari almarhum Bapak Eko Wijayanto, M.A dan almarhumah Ibu Nurhaliza Susanti. Nona Aisyah sendiri merupakan adik perempuan dari Bapak Haidar El Fatih yang di besarkan dengan penuh cinta dan kasih sayang...”

Aisyah duduk di antara Anela dan Haidar sambil menundukkan kepalanya. Naresh dari ujung sana tak bisa melepas pandangannya dari sosok Aisyah yang begitu cantik nan anggun dengan balutan kebayanya.

“Sstt... belum sah, ngelihatinnya biasa aja,” Dokter Yudhis menyenggol-nyenggol siku Naresh sampai pria itu jengah.

“Et, sirik aja lu! Diem aja udah!”

“Yee si badrul, sabar dong! Kasihan Aisyah tuh canggung gitu gara-gara di lihatin mulu sama lu! Tatapan lu juga creepy banget kayak om-om pedo.”

Ingin sekali Naresh memukul manusia di sampingnya ini tapi karena takut tiba-tiba lamarannya di tolak karena tingkah lakunya, jadi ia memutuskan untuk mengurung rapat-rapat niatnya.

Acara inti dari lamaran akan segera dimulai dengan di bukanya sang pemandu acara, lalu ia mempersilahkan keluarga dari pihak laki-laki untuk menyampaikan sepatah dua kata sambutan sebelum akhirnya Naresh sendiri yang menyampaikan maksud dari kedatangannya hari ini...

Bismillah, Naresh...

“Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh...”

Serentak semua menjawab salam Naresh.

Mata Naresh sekelibat melirik sosok gadis yang akan segera ia pinang, matanya tertunduk teduh, membuat hati pemuda berparas putih susu itu semakin mantap dengan niatnya untuk segera menjadikan Aisyah sebagai bagian dari hidupnya.

“Sebelumnya saya ucapkan terima kasih kepada Bapak dan Ibu beserta hadirin sekalian yang tlah menyambut kehadiran keluarga kami... saya disini hendak menyampaikan maksud dari kedatangan kami hari ini, tepatnya di rumah keluarga Bapak Haidar El Fatih disini...”

Naresh menarik nafasnya dalam-dalam...

“Saya, Naresh Ishaaq, dengan niat tulus lillahi ta'ala hendak meminang saudari Aisyah Izzati, yaitu wanita pilihan saya yang akan menjadi bagian penting bagi tiap momen hidup saya, dan saya tak bisa melihat masa depan saya nanti kedepannya kalau bukan bersama Aisyah...” “Untuk menyempurnakan setengah dari ibadah saya ini, saya menginginkan sosok Aisyah yang akan menjadi penyempurna ibadah saya dan Inshaa Allah, dengan maksud saya datang kesini benar-benar tulus untuk menjadikan Aisyah sebagai makmum saya.”

Tatapan sayu Naresh seolah memberikan keyakinan penuh kepada Aisyah bahwa pria itu benar-benar serius ingin menjadikannya ratu dalam singgasana hatinya. Hati Aisyah terenyuh, ia tak menyangka akan datangnya hari ini dimana ada seorang laki-laki yang menyampaikan niat baiknya untuk meminang dan menginginkan sosok dirinya menjadi salah satu bagian penting dalam hidup seseorang yang bahkan Aisyah tak terpikirkan akan menjadi sosok lelaki tersebut.

Di awali pertemuan yang kurang mengenakkan, namun tiap momen terlewati berubah jadi perasaan rindu yang tidak terduga sampai akhirnya Tuhan memberi skenario kepada semesta untuk menyatukan kedua insan itu yang sudah terjalin ikatan jodoh.

Takdir memang bisa selucu itu.

Haidar menatap serius sosok pemuda yang hendak melamar adiknya ini. Hatinya sangat bergejolak, seolah terputar kembali memorinya pada saat melamar Anela dulu, dan sekarang ia bisa merasakan bagaimana posisi Papa Anela pada saat itu.

“Bagaimana, nona Aisyah? Apa niat baik dari saudara Naresh bisa di terima?”

Sebelum Aisyah menjawab, Haidar dengan cepat mengambil alih bicara, “Saya mau tanya satu hal dengan saudara Naresh” tanya Haidar dengan suara dalam nan tegasnya. Anela terkesiap, Mas Haidar...! Haduh...

“Beri saya satu alasan kenapa kamu begitu mantap ingin menjadikan adik saya sebagai istri kamu?”

Tatapan tajam Haidar menusuk dalam-dalam ke arah Naresh. Pemuda itu berusaha tenang, ia menarik lagi dalam-dalam nafasnya dan mulai menjawab.

“Jika ditanya alasan spesifik secara logisnya, saya gak bisa menjawab banyak karena yang membuat saya menginginkan sosok Aisyah sebagai pendamping saya itu bukan dari logika, tapi keimanan hati saya yang menginginkan sosok Aisyah,” Naresh menatap lagi gadisnya dengan hangat, “Dulu... waktu saya masih sangat muda, saya tak pernah merasakan gimana indahnya jatuh hati dengan satu wanita. Saya yang masih sangat muda itu menganggap bahwa jatuh cinta kepada satu orang wanita itu hanya dilakukan oleh orang-orang naif, sampai akhirnya almarhum Mama saya yang bilang... bahwa suatu saat nanti akan ada saatnya dimana saya memutuskan untuk melabuhkan hati kepada satu wanita dan wanita tersebut akan membuat saya ingin melindunginya bahkan mengorbankan nyawa sekalipun, dan itu semua saya rasakan ketika bersama Aisyah. Kehadiran Aisyah di kehidupan saya telah merubah banyak pandangan saya, dan saya masih ingin melihat banyak hal bersama Aisyah... bahkan selamanya... saya ingin menemukan banyak hal baru bersama Aisyah.” “Saya yakin, Aisyah bisa menjadi jalan saya untuk meraih ridho dan syurga-Nya jadi mohon doa dan restu dari Pak Haidar dan para hadirin sekalian untuk kami berdua...”

Naresh membungkuk hormat seperkian derajat ke arah Haidar dan para tamu yang hadir, gemuruh tepuk tangan ramai-ramai menyambut baik jawaban lugas Naresh. Haidar memanggut-manggut kepalanya.

Ternyata memang tidak salah saya tlah mendidik kamu hingga bisa sampai ke titik ini, Naresh... kamu memang sangat membanggakan...

Aisyah menitikkan air mata harunya, hatinya benar-benar tersentuh dengan tiap kalimat yang di sampaikan Naresh.

“Bagaimana, nona Aisyah?”

Aisyah mengambil mikrofonnya, “Inshaa Allah... saya bersedia...” “Saya bersedia untuk menjadi bagian dari hidup Kak Naresh dan menjadikan Kak Naresh... sebagai imam saya...”

Semua serentak mengucapkan syukur atas diterimanya pinangan Naresh. Dengan diterimanya seserahan dan rangkaian acara lainnya, akhirnya acara lamaran Naresh-Aisyah selesai dengan lancar dan penuh khidmat...

Bismillah menuju halalnya😚😚

Image

“Assalamualaikum, Mah... Naresh nih.”

Pemuda berkemeja hitam polos itu meletakkan buket bunga di atas nisan sang Ibunda. Hatinya terenyuh ketika kembali menatap ukiran nama sang Ibunda dalam batu nisannya, kembali teringat akan kehangatan sang Ibunda semasa hidupnya dan lagi... kembalinya Ayah kandung Naresh kembali membuat pemuda itu pilu.

“Naresh punya banyak cerita hari ini, Mah, hehe...” Naresh mengambil satu lembar kartu undangan lamarannya dan meletakkan di atas buket bunga, “Sebentar lagi, Naresh mau lamaran dengan wanita pilihan Naresh. Mama inget gak dulu aku pernah cerita ada anak kecil kurang ajar yang berani ngebentak aku di pesantrennya Bang Haidar?” “Anak kecil itu... sebentar lagi akan menjadi istri Naresh, Mah... lucu ya?”

Naresh mengelus lembut ukiran nama Ibunya, “Namanya Aisyah, Mah, dia udah tumbuh jadi wanita dewasa yang lembut dan penyayang, meskipun tingkahnya agak sedikit konyol tapi itu menghibur hari-hari Naresh. Aisyah kadang-kadang ceroboh, Mah, dia suka mementingkan kepentingan orang dibanding dirinya sendiri tapi... dia melakukan itu semua dengan ikhlas dan tulus.” “Mama inget gak, dulu Mama bilang suatu saat nanti, Naresh pasti merasakan dimana akan ada seseorang yang membuat Naresh ingin berkorban seluruhnya bahkan nyawa sekalipun, dan itu semua Naresh rasakan ketika sama Aisyah, Mah...” “... Seperti yang Papa lakukan untuk kita...”

Naresh menarik nafasnya panjang, “Mah... Naresh udah ketemu sama Papa untuk pertama kalinya, dan... aku gak tahu harus bilang apa karena mengetahui semua yang Papa lakukan juga buat hati aku hancur, Mah... Mungkin dulu Mama menangisi Papa bukan karena kepergiannya, tapi perbuatannya bukan begitu, Ma? Maaf dulu Naresh gak tahu Mama melalui hal sesulit ini sendirian, padahal Naresh berusaha untuk selalu ada untuk Mama tapi... sayangnya Mama tetap sendirian.” “Naresh sendiri juga gak bisa benci sama Papa, karena akhirnya setelah 29 tahun Naresh mempertanyakan sosok Papa, sekarang Allah pertemukan kita, Ma... jadi izinkan Naresh untuk menembus 29 tahunnya Naresh tanpa sosok Papa selama ini.”

Pemuda itu berdiri dari duduknya dan menepuk lututnya, “Naresh izin pamit ya, Ma, nanti Naresh kenalin Aisyah ke Mama. Assalamualaikum...”

Desiran angin bukit yang menerpa wajah sendu Naresh, dinginnya yang menusuk seolah menguatkan kekosongan hati Naresh yang kehilangan dua orang sekaligus sebagai saksi hidup barunya.

Tapi tidak apa-apa...

Takdir Allah tidak pernah ada yang buruk bagi hamba-Nya, Naresh sudah harus mengikhlaskan semua yang terjadi.


Naresh duduk di kursi kayu hitam dengan wajah was-wasnya. Ini adalah kali pertamanya Naresh akan berdialog dengan sang Ayah kandung, dan tentu ia gugup dengan hal ini.

Gugup yang bercampur rasa senang, seperti sosok anak kecilnya kembali melekat di jiwanya yang merindukan sosok ayah.

“Naresh...”

Suara purau Ajil dengan pakaian oranye tahanannya, pria paruh baya itu langsung duduk di hadapan Naresh dengan wajah nanar, “Kenapa kamu repot-repot kesini, nak? Kerjaan kamu gimana? Udah makan? Kenapa muka kamu pucat gini, nak?”

“Aku gapapa, mending Papa pikirin aja kondisi Papa sendiri,” Naresh tersentak, ia merutuk bibirnya yang berkata ketus di pertemuan pertamanya dengan sang ayah, “Maaf, Naresh kelepasan.”

Ajil terhenyak, setelah ia tak bertemu lama dengan putra semata wayangnya itu kini di hadapannya ia melihat sosok lelaki gagah dengan kemeja rapihnya yang menandakan bahwa putranya sudah hidup layak selama ia tinggalkan.

“Aku... bawa makanan untuk Papa.”

“Papa gak boleh terima apa-apa, nak.”

“Gak mungkin, Pah, aku kan gak ngelanggar aturan disini. cuman bawa makanan aja, emang Papa suka makanan disini? Ini aku mau kenalin makanan kesukaan aku.”

Naresh menyodorkan satu kantung kertas coklat berisi dua cinnamon roll yang sangat ia gemari sejak kecil, begitu Ajil membuka isi makanan yang di bawa anaknya itu, lagi-lagi hatinya terenyuh...

“Selera kamu ternyata sama persis ya dengan Mama kamu...”

Naresh terkekeh, “Emang iya, dulu Mama suka buatin ini untuk bekal aku.”

Mereka tertawa geli bersama. Akhirnya mereka kembali terdiam canggung, sama-sama melahap satu gigitan cinnamon roll dengan kikuk lalu bertukar pandangan sebentar dan memalingkannya lagi. Ikatan ayah-anak ternyata bagi mereka tiada arti karena sudah tak bertemu selama 29 tahun.

“Naresh...” Ajil membuka suara, “Papa...sekali lagi mau minta maaf.”

Naresh menghentikan aktivitas makannya, matanya mulai berkaca-kaca namun ia sekuat tenaga menahan air matanya agar tak jatuh membasahi pipinya.

“Papa sudah membuat kamu kesulitan selama ini, kalau saja Papa tidak terjebak—”

“Kalau memang Papa menyesal, ya sudah tembus aja kesalahan Papa sekarang. Naresh udah gak bisa nuntut apa-apa sama Papa.” “Ini semua udah takdir Pa, dan takdir Allah gak ada yang buruk untuk hamba-Nya. Naresh hidup layak kok selama ini, gak ada yang kurang dari Naresh jadi untuk apa menyesal karena satu kesalahan di saat Naresh diberi ribuan kenikmatan?”

Naresh menghela nafasnya panjang, “Pah, Naresh sebentar lagi mau menikah. Naresh akan memulai kehidupan baru nanti dengan wanita pilihan Naresh jadi... udah bukan saatnya untuk menyesali masa lalu yang sudah terjadi. Kesulitan kemarin kan sudah Naresh lewati dengan baik, jadi sekarang udah saatnya Naresh fokus dengan masa depan Naresh.” “Kedatangan Naresh disini juga bukan untuk menuntut kesalahan Papa dulu, tapi Naresh kangen sama Papa... bayangin aja, Naresh gak pernah tahu muka asli dari ayah kandung Naresh sendiri selama 29 tahun. Jadi sekarang karena kita udah ketemu, Naresh mau nikmati momen kita tiap detiknya, Pa, Naresh mau ngerasain gimana kasih sayang seorang Papa yang selama ini gak pernah Naresh rasain.”

Ungkapan Naresh dari lubuk hatinya yang terdalam sukses menyentuh sang ayahanda sehingga pria paruh baya itu tak sadar menitikkan air mata harunya. Ia tak menyangka bahwa ia memiliki seorang buah hati yang sudah tumbuh besar menjadi pria dewasa yang bijaksana juga berakhlakul karimah tanpa ada sentuhannya sedikitpun sebagai seorang ayah. Naresh seolah hidup dibesarkan oleh kehidupan, dan itu yang membuat dadanya semakin sesak.

“Maafin Papa nak... Papa gak bisa kasih banyak hal sama kamu...”

“Papa sudah beri Naresh kehidupan, dan Naresh gak mau tuntut apa-apa lagi dari Papa. Sekarang Naresh cuman mau nembus perpisahan kita dulu, Pa, kita makan berdua kayak gini aja Naresh udah seneng.” “Naresh jadi ngerasa kayak anak kecil lagi di depan Papa.”

Ajil menghempas tawa kecilnya sambil menepuk pelan pucuk kepala Naresh dengan lembut.

“Jagoan Papa memang sangat membanggakan... terima kasih, nak, sudah mau bertahan sampai saat ini...”

Naresh tersenyum lebar sambil melahap lagi rotinya itu bak anak kecil.

“Naresh...”

“Ya, Pa?”

“Kalau kamu sudah memaafkan Papa sepenuh hati kamu, berarti kamu juga sudah harus memaafkan Dokter Rangga.”

Lagi-lagi Naresh menghentikan makannya.

“Pah, kasusnya Dokter Rangga—”

“Kematian Mama kamu bukan kesalahan Dokter Rangga maupun Dokter Dimas, itu semua memang sudah takdir juga, nak.”

“Papa—”

“Dokter Rangga juga menyayangi kamu seperti anak sendiri, Naresh... dan Papa juga berterimakasih kepada beliau karena sudah mau membesarkan kamu hingga menjadi dokter hebat seperti sekarang.”

Naresh menggenggam kuat kertas roti hingga remuk, “Papa, selama ini aku hidup dengan Dokter Rangga... cuman sebagai aset berharganya, aku ini cuman bonekanya dia untuk mendapatkan semua yang dia mau bahkan dia merampas banyak hak hidup orang demi keserakahannya!”

“Dan kelayakan hidup kamu juga bagian dari keserakahan beliau, Naresh.” “Dokter Rangga... memang tidak bisa memberikan kasih sayangnya secara langsung untuk kamu, tapi dia tidak pernah membiarkan kamu hidup susah. Papa selama ini mengawasi kamu dari beliau, dan beliau selalu mengatakan kalau ia harus menjadikan kamu sebagai orang yang hebat, kamu tidak boleh berada di bawah, dan dia akan melakukan apa saja asalkan kamu bisa sukses tanpa harus bersusah payah.” “Dan... Dokter Rangga juga tersakiti selama ini karena Papa, Naresh...”

Ajil meletakkan rotinya itu di atas kertas, “Dokter Rangga tidak pernah mendapatkan cinta dari Mama kamu, karena Papa...” “Jadi kalau kamu ingin menyalahkan semua kekacauan ini, salahkan Papa nak... ini semua salah Papa.”

Naresh tak kuasa menahan lagi air matanya, begitu banyak fakta yang tak pernah ia ketahui seolah orang bodoh yang tanpa arah. Naresh membabi buta dengan perasaan bencinya terhadap orang-orang sekitarnya namun di balik itu ia kembali harus mendengar suatu fakta yang membuatnya malu setengah mati...

Ia malu dengan perbuatannya selama ini.

“Naresh anakku, ini pesan Papa untukmu yang bisa jadi ini akan menjadi pesan terakhir Papa untuk kamu... jalanilah hidupmu sebagai sebaik-baiknya manusia, Naresh, jangan pernah ada setitik hitam pun keserakahan yang mendominasi hatimu karena manusia itu sangat lemah kalau sudah termakan dengan keserakahannya. Papa sudah merasakannya, Papa harus menelan pahitnya akibat dari keserakahan Papa selama 29 tahun ini, seandainya Papa gak tergiur menjadi bagian dari kejahatan yang diperbuat oleh atasan Papa, mungkin kita sudah hidup bahagia, nak... jadi mohon dengan sangat, jangan ulangi kesalahan Papa dan hiduplah dengan tenang...” “Papa senang dengar kamu yang semakin taat beribadah maka teruslah menjadi orang yang baik di mata Tuhan dan di mata manusia, dengan begitu kamu berhasil merubah nasib keluargamu dan membawa orang tuamu ke syurga, nak...”

Naresh masih menangis sesegukkan di bawah tepukan pelan sang ayah di pundak besarnya.

“Terima kasih, kamu sudah mau menjadi anak yang baik untuk Papa, Mama dan juga Dokter Rangga... tak ada hal lain lagi yang membuat kami tak bangga dengan kamu, nak...” “Berbahagialah nanti dengan keluarga kecil yang akan kamu bangun nanti, cintai istri dan anak-anakmu sepenuh hati kamu, jangan pernah tinggalkan mereka, Naresh... karena di bandingkan emas murni sekalipun, keluarga adalah harta yang paling berharga.”

Naresh mengangguk kepalanya menurut dan bersimpuh lutut memohon restu kepada sang ayahanda,

“Iya, Pa... Naresh mohon doa restu dari Papa...”

“Semua doa dan restu Papa akan selalu mengalir untuk kamu, Naresh...”

Mereka saling berpelukan erat melepas rindu yang menyesakkan selama 29 tahun berpisah. Kehangatan ayah-anak yang tak terbendung seolah tumpah menjadi suasana haru di ruangan itu...

Ya Allah, sekarang sudah tak ada yang aku ragukan lagi dari karunia-Mu... Engkau pertemukan aku dengan Papa yang 29 tahun tak pernah kujumpai dan aku masih sempat bersimpuh meminta doanya, terima kasih, Ya Allah...

Image

“Assalamualaikum, Mah... Naresh nih.”

Pemuda berkemeja hitam polos itu meletakkan buket bunga di atas nisan sang Ibunda. Hatinya terenyuh ketika kembali menatap ukiran nama sang Ibunda dalam batu nisannya, kembali teringat akan kehangatan sang Ibunda semasa hidupnya dan lagi... kembalinya Ayah kandung Naresh kembali membuat pemuda itu pilu.

“Naresh punya banyak cerita hari ini, Mah, hehe...” Naresh mengambil satu lembar kartu undangan lamarannya dan meletakkan di atas buket bunga, “Sebentar lagi, Naresh mau lamaran dengan wanita pilihan Naresh. Mama inget gak dulu aku pernah cerita ada anak kecil kurang ajar yang berani ngebentak aku di pesantrennya Bang Haidar?” “Anak kecil itu... sebentar lagi akan menjadi istri Naresh, Mah... lucu ya?”

Naresh mengelus lembut ukiran nama Ibunya, “Namanya Aisyah, Mah, dia udah tumbuh jadi wanita dewasa yang lembut dan penyayang, meskipun tingkahnya agak sedikit konyol tapi itu menghibur hari-hari Naresh. Aisyah kadang-kadang ceroboh, Mah, dia suka mementingkan kepentingan orang dibanding dirinya sendiri tapi... dia melakukan itu semua dengan ikhlas dan tulus.” “Mama inget gak, dulu Mama bilang suatu saat nanti, Naresh pasti merasakan dimana akan ada seseorang yang membuat Naresh ingin berkorban seluruhnya bahkan nyawa sekalipun, dan itu semua Naresh rasakan ketika sama Aisyah, Mah...” “... Seperti yang Papa lakukan untuk kita...”

Naresh menarik nafasnya panjang, “Mah... Naresh udah ketemu sama Papa untuk pertama kalinya, dan... aku gak tahu harus bilang apa karena mengetahui semua yang Papa lakukan juga buat hati aku hancur, Mah... Mungkin dulu Mama menangisi Papa bukan karena kepergiannya, tapi perbuatannya bukan begitu, Ma? Maaf dulu Naresh gak tahu Mama melalui hal sesulit ini sendirian, padahal Naresh berusaha untuk selalu ada untuk Mama tapi... sayangnya Mama tetap sendirian.” “Naresh sendiri juga gak bisa benci sama Papa, karena akhirnya setelah 29 tahun Naresh mempertanyakan sosok Papa, sekarang Allah pertemukan kita, Ma... jadi izinkan Naresh untuk menembus 29 tahunnya Naresh tanpa sosok Papa selama ini.”

Pemuda itu berdiri dari duduknya dan menepuk lututnya, “Naresh izin pamit ya, Ma, nanti Naresh kenalin Aisyah ke Mama. Assalamualaikum...”

Desiran angin bukit yang menerpa wajah sendu Naresh, dinginnya yang menusuk seolah menguatkan kekosongan hati Naresh yang kehilangan dua orang sekaligus sebagai saksi hidup barunya.

Tapi tidak apa-apa...

Takdir Allah tidak pernah ada yang buruk bagi hamba-Nya, Naresh sudah harus mengikhlaskan semua yang terjadi.


Naresh duduk di kursi kayu hitam dengan wajah was-wasnya. Ini adalah kali pertamanya Naresh akan berdialog dengan sang Ayah kandung, dan tentu ia gugup dengan hal ini.

Gugup yang bercampur rasa senang, seperti sosok anak kecilnya kembali melekat di jiwanya yang merindukan sosok ayah.

“Naresh...”

Suara purau Ajil dengan pakaian oranye tahanannya, pria paruh baya itu langsung duduk di hadapan Naresh dengan wajah nanar, “Kenapa kamu repot-repot kesini, nak? Kerjaan kamu gimana? Udah makan? Kenapa muka kamu pucat gini, nak?”

“Aku gapapa, mending Papa pikirin aja kondisi Papa sendiri,” Naresh tersentak, ia merutuk bibirnya yang berkata ketus di pertemuan pertamanya dengan sang ayah, “Maaf, Naresh kelepasan.”

Ajil terhenyak, setelah ia tak bertemu lama dengan putra semata wayangnya itu kini di hadapannya ia melihat sosok lelaki gagah dengan kemeja rapihnya yang menandakan bahwa putranya sudah hidup layak selama ia tinggalkan.

“Aku... bawa makanan untuk Papa.”

“Papa gak boleh terima apa-apa, nak.”

“Gak mungkin, Pah, aku kan gak ngelanggar aturan disini. cuman bawa makanan aja, emang Papa suka makanan disini? Ini aku mau kenalin makanan kesukaan aku.”

Naresh menyodorkan satu kantung kertas coklat berisi dua cinnamon roll yang sangat ia gemari sejak kecil, begitu Ajil membuka isi makanan yang di bawa anaknya itu, lagi-lagi hatinya terenyuh...

“Selera kamu ternyata sama persis ya dengan Mama kamu...”

Naresh terkekeh, “Emang iya, dulu Mama suka buatin ini untuk bekal aku.”

Mereka tertawa geli bersama. Akhirnya mereka kembali terdiam canggung, sama-sama melahap satu gigitan cinnamon roll dengan kikuk lalu bertukar pandangan sebentar dan memalingkannya lagi. Ikatan ayah-anak ternyata bagi mereka tiada arti karena sudah tak bertemu selama 29 tahun.

“Naresh...” Ajil membuka suara, “Papa...sekali lagi mau minta maaf.”

Naresh menghentikan aktivitas makannya, matanya mulai berkaca-kaca namun ia sekuat tenaga menahan air matanya agar tak jatuh membasahi pipinya.

“Papa sudah membuat kamu kesulitan selama ini, kalau saja Papa tidak terjebak—”

“Kalau memang Papa menyesal, ya sudah tembus aja kesalahan Papa sekarang. Naresh udah gak bisa nuntut apa-apa saka Papa.” “Ini semua udah takdir Pa, dan takdir Allah gak ada yang buruk untuk hamba-Nya. Naresh hidup layak kok selama ini, gak ada yang kurang dari Naresh jadi untuk apa menyesal karena satu kesalahan di saat Naresh diberi ribuan kenikmatan?”

Naresh menghela nafasnya panjang, “Pah, Naresh sebentar lagi mau menikah. Naresh akan memulai kehidupan baru nanti dengan wanita pilihan Naresh jadi... udah bukan saatnya untuk menyesali masa lalu yang sudah terjadi. Kesulitan kemarin kan sudah Naresh lewati dengan baik, jadi sekarang udah saatnya Naresh fokus dengan masa depan Naresh.” “Kedatangan Naresh disini juga bukan untuk menuntut kesalahan Papa dulu, tapi Naresh kangen sama Papa... bayangin aja, Naresh gak pernah tahu muka asli dari ayah kandung Naresh sendiri selama 29 tahun. Jadi sekarang karena kita udah ketemu, Naresh mau nikmati momen kita tiap detiknya, Pa, Naresh mau ngerasain gimana kasih sayang seorang Papa yang selama ini gak pernah Naresh rasain.”

Ungkapan Naresh dari lubuk hatinya yang terdalam sukses menyentuh sang ayahanda sehingga pria paruh baya itu tak sadar menitikkan air mata harunya. Ia tak menyangka bahwa ia memiliki seorang buah hati yang sudah tumbuh besar menjadi pria dewasa yang bijaksana juga berakhlakul karimah tanpa ada sentuhannya sedikitpun sebagai seorang ayah. Naresh seolah hidup dibesarkan oleh kehidupan, dan itu yang membuat dadanya semakin sesak.

“Maafin Papa nak... Papa gak bisa kasih banyak hal sama kamu...”

“Papa sudah beri Naresh kehidupan, dan Naresh gak mau tuntut apa-apa lagi dari Papa. Sekarang Naresh cuman mau nembus perpisahan kita dulu, Pa, kita makan berdua kayak gini aja Naresh udah seneng.” “Naresh jadi ngerasa kayak anak kecil lagi di depan Papa.”

Ajil menghempas tawa kecilnya sambil menepuk pelan pucuk kepala Naresh dengan lembut.

“Jagoan Papa memang sangat membanggakan... terima kasih, nak, sudah mau bertahan sampai saat ini...”

Naresh tersenyum lebar sambil melahap lagi rotinya itu bak anak kecil.

“Naresh...”

“Ya, Pa?”

“Kalau kamu sudah memaafkan Papa sepenuh hati kamu, berarti kamu juga sudah harus memaafkan Dokter Rangga.”

Lagi-lagi Naresh menghentikan makannya.

“Pah, kasusnya Dokter Rangga—”

“Kematian Mama kamu bukan kesalahan Dokter Rangga maupun Dokter Dimas, itu semua memang sudah takdir juga, nak.”

“Papa—”

“Dokter Rangga juga menyayangi kamu seperti anak sendiri, Naresh... dan Papa juga berterimakasih kepada beliau karena sudah mau membesarkan kamu hingga menjadi dokter hebat seperti sekarang.”

Naresh menggenggam kuat kertas roti hingga remuk, “Papa, selama ini aku hidup dengan Dokter Rangga... cuman sebagai aset berharganya, aku ini cuman bonekanya dia untuk mendapatkan semua yang dia mau bahkan dia merampas banyak hak hidup orang demi keserakahannya!”

“Dan kelayakan hidup kamu juga bagian dari keserakahan beliau, Naresh.” “Dokter Rangga... memang tidak bisa memberikan kasih sayangnya secara langsung untuk kamu, tapi dia tidak pernah membiarkan kamu hidup susah. Papa selama ini mengawasi kamu dari beliau, dan beliau selalu mengatakan kalau ia harus menjadikan kamu sebagai orang yang hebat, kamu tidak boleh berada di bawah, dan dia akan melakukan apa saja asalkan kamu bisa sukses tanpa harus bersusah payah.” “Dan... Dokter Rangga juga tersakiti selama ini karena Papa, Naresh...”

Ajil meletakkan rotinya itu di atas kertas, “Dokter Rangga tidak pernah mendapatkan cinta dari Mama kamu, karena Papa...” “Jadi kalau kamu ingin menyalahkan semua kekacauan ini, salahkan Papa nak... ini semua salah Papa.”

Naresh tak kuasa menahan lagi air matanya, begitu banyak fakta yang tak pernah ia ketahui seolah orang bodoh yang tanpa arah. Naresh membabi buta dengan perasaan bencinya terhadap orang-orang sekitarnya namun di balik itu ia kembali harus mendengar suatu fakta yang membuatnya malu setengah mati...

Ia malu dengan perbuatannya selama ini.

“Naresh anakku, ini pesan Papa untukmu yang bisa jadi ini akan menjadi pesan terakhir Papa untuk kamu... jalanilah hidupmu sebagai sebaik-baiknya manusia, Naresh, jangan pernah ada setitik hitam pun keserakahan yang mendominasi hatimu karena manusia itu sangat lemah kalau sudah termakan dengan keserakahannya. Papa sudah merasakannya, Papa harus menelan pahitnya akibat dari keserakahan Papa selama 29 tahun ini, seandainya Papa gak tergiur menjadi bagian dari kejahatan yang diperbuat oleh atasan Papa, mungkin kita sudah hidup bahagia, nak... jadi mohon dengan sangat, jangan ulangi kesalahan Papa dan hiduplah dengan tenang...” “Papa senang dengar kamu yang semakin taat beribadah maka teruslah menjadi orang yang baik di mata Tuhan dan di mata manusia, dengan begitu kamu berhasil merubah nasib keluargamu dan membawa orang tuamu ke syurga, nak...”

Naresh masih menangis sesegukkan di bawah tepukan pelan sang ayah di pundak besarnya.

“Terima kasih, kamu sudah mau menjadi anak yang baik untuk Papa, Mama dan juga Dokter Rangga... tak ada hal lain lagi yang membuat kami tak bangga dengan kamu, nak...” “Berbahagialah nanti dengan keluarga kecil yang akan kamu bangun nanti, cintai istri dan anak-anakmu sepenuh hati kamu, jangan pernah tinggalkan mereka, Naresh... karena di bandingkan emas murni sekalipun, keluarga adalah harta yang paling berharga.”

Naresh mengangguk kepalanya menurut dan bersimpuh lutut memohon restu kepada sang ayahanda,

“Iya, Pa... Naresh mohon doa restu dari Papa...”

“Semua doa dan restu Papa akan selalu mengalir untuk kamu, Naresh...”

Mereka saling berpelukan erat melepas rindu yang menyesakkan selama 29 tahun berpisah. Kehangatan ayah-anak yang tak terbendung seolah tumpah menjadi suasana haru di ruangan itu...

Ya Allah, sekarang sudah tak ada lagi yang aku ragukan lagi dari karunia-Mu... Engkau pertemukan aku dengan Papa yang 29 tahun tak pernah kujumpai dan aku masih sempat bersimpuh meminta doanya, terima kasih, Ya Allah...

Image

“Assalamualaikum, Mah... Naresh nih.”

Pemuda berkemeja hitam polos itu meletakkan buket bunga di atas nisan sang Ibunda. Hatinya terenyuh ketika kembali menatap ukiran nama sang Ibunda dalam batu nisannya, kembali teringat akan kehangatan sang Ibunda semasa hidupnya dan lagi... kembalinya Ayah kandung Naresh kembali membuat pemuda itu pilu.

“Naresh punya banyak cerita hari ini, Mah, hehe...” Naresh mengambil satu lembar kartu undangan lamarannya dan meletakkan di atas buket bunga, “Sebentar lagi, Naresh mau lamaran dengan wanita pilihan Naresh. Mama inget gak dulu aku pernah cerita ada anak kecil kurang ajar yang berani ngebentak aku di pesantrennya Bang Haidar?” “Anak kecil itu... sebentar lagi akan menjadi istri Naresh, Mah... lucu ya?”

Naresh mengelus lembut ukiran nama Ibunya, “Namanya Aisyah, Mah, dia udah tumbuh jadi wanita dewasa yang lembut dan penyayang, meskipun tingkahnya agak sedikit konyol tapi itu menghibur hari-hari Naresh. Aisyah kadang-kadang ceroboh, Mah, dia suka mementingkan kepentingan orang dibanding dirinya sendiri tapi... dia melakukan itu semua dengan ikhlas dan tulus.” “Mama inget gak, dulu Mama bilang suatu saat nanti, Naresh pasti merasakan dimana akan ada seseorang yang membuat Naresh ingin berkorban seluruhnya bahkan nyawa sekalipun, dan itu semua Naresh rasakan ketika sama Aisyah, Mah...” “... Seperti yang Papa lakukan untuk kita...”

Naresh menarik nafasnya panjang, “Mah... Naresh udah ketemu sama Papa untuk pertama kalinya, dan... aku gak tahu harus bilang apa karena mengetahui semua yang Papa lakukan juga buat hati aku hancur, Mah... Mungkin dulu Mama menangisi Papa bukan karena kepergiannya, tapi perbuatannya bukan begitu, Ma? Maaf dulu Naresh gak tahu Mama melalui hal sesulit ini sendirian, padahal Naresh berusaha untuk selalu ada untuk Mama tapi... sayangnya Mama tetap sendirian.” “Naresh sendiri juga gak bisa benci sama Papa, karena akhirnya setelah 29 tahun Naresh mempertanyakan sosok Papa, sekarang Allah pertemukan kita, Ma... jadi izinkan Naresh untuk menembus 29 tahunnya Naresh tanpa sosok Papa selama ini.”

Pemuda itu berdiri dari duduknya dan menepuk lututnya, “Naresh izin pamit ya, Ma, nanti Naresh kenalin Aisyah ke Mama. Assalamualaikum...”

Desiran angin bukit yang menerpa wajah sendu Naresh, dinginnya yang menusuk seolah menguatkan kekosongan hati Naresh yang kehilangan dua orang sekaligus sebagai saksi hidup barunya.

Tapi tidak apa-apa...

Takdir Allah tidak pernah ada yang buruk bagi hamba-Nya, Naresh sudah harus mengikhlaskan semua yang terjadi.


Naresh duduk di kursi kayu hitam dengan wajah was-wasnya. Ini adalah kali pertamanya Naresh akan berdialog dengan sang Ayah kandung, dan tentu ia gugup dengan hal ini.

Gugup yang bercampur rasa senang, seperti sosok anak kecilnya kembali melekat di jiwanya yang merindukan sosok ayah.

“Naresh...”

Suara purau Ajil dengan pakaian oranye tahanannya, pria paruh baya itu langsung duduk di hadapan Naresh dengan wajah nanar, “Kenapa kamu repot-repot kesini, nak? Kerjaan kamu gimana? Udah makan? Kenapa muka kamu pucat gini, nak?”

“Aku gapapa, mending Papa pikirin aja kondisi Papa sendiri,” Naresh tersentak, ia merutuk bibirnya yang berkata ketus di pertemuan pertamanya dengan sang ayah, “Maaf, Naresh kelepasan.”

Ajil terhenyak, setelah ia tak bertemu lama dengan putra semata wayangnya itu kini di hadapannya ia melihat sosok lelaki gagah dengan kemeja rapihnya yang menandakan bahwa putranya sudah hidup layak selama ia tinggalkan.

“Aku... bawa makanan untuk Papa.”

“Papa gak boleh terima apa-apa, nak.”

“Gak mungkin, Pah, aku kan gak ngelanggar aturan disini. cuman bawa makanan aja, emang Papa suka makanan disini? Ini aku mau kenalin makanan kesukaan aku.”

Naresh menyodorkan satu kantung kertas coklat berisi dua cinnamon roll yang sangat ia gemari sejak kecil, begitu Ajil membuka isi makanan yang di bawa anaknya itu, lagi-lagi hatinya terenyuh...

“Selera kamu ternyata sama persis ya dengan Mama kamu...”

Naresh terkekeh, “Emang iya, dulu Mama suka buatin ini untuk bekal aku.”

Mereka tertawa geli bersama. Akhirnya mereka kembali terdiam canggung, sama-sama melahap satu gigitan cinnamon roll dengan kikuk lalu bertukar pandangan sebentar dan memalingkannya lagi. Ikatan ayah-anak ternyata bagi mereka tiada arti karena sudah tak bertemu selama 29 tahun.

“Naresh...” Ajil membuka suara, “Papa...sekali lagi mau minta maaf.”

Naresh menghentikan aktivitas makannya, matanya mulai berkaca-kaca namun ia sekuat tenaga menahan air matanya agar tak jatuh membasahi pipinya.

“Papa sudah membuat kamu kesulitan selama ini, kalau saja Papa tidak terjebak—”

“Kalau memang Papa menyesal, ya sudah tembus aja kesalahan Papa sekarang. Naresh udah gak bisa nuntut apa-apa saka Papa.” “Ini semua udah takdir Pa, dan takdir Allah gak ada yang buruk untuk hamba-Nya. Naresh hidup layak kok selama ini, gak ada yang kurang dari Naresh jadi untuk apa menyesal karena satu kesalahan di saat Naresh diberi ribuan kenikmatan?”

Naresh menghela nafasnya panjang, “Pah, Naresh sebentar lagi mau menikah. Naresh akan memulai kehidupan baru nanti dengan wanita pilihan Naresh jadi... udah bukan saatnya untuk menyesali masa lalu yang sudah terjadi. Kesulitan kemarin kan sudah Naresh lewati dengan baik, jadi sekarang udah saatnya Naresh fokus dengan masa depan Naresh.” “Kedatangan Naresh disini juga bukan untuk menuntut kesalahan Papa dulu, tapi Naresh kangen sama Papa... bayangin aja, Naresh gak pernah tahu muka asli dari ayah kandung Naresh sendiri selama 29 tahun. Jadi sekarang karena kita udah ketemu, Naresh mau nikmati momen kita tiap detiknya, Pa, Naresh mau ngerasain gimana kasih sayang seorang Papa yang selama ini gak pernah Naresh rasain.”

Ungkapan Naresh dari lubuk hatinya yang terdalam sukses menyentuh sang ayahanda sehingga pria paruh baya itu tak sadar menitikkan air mata harunya. Ia tak menyangka bahwa ia memiliki seorang buah hati yang sudah tumbuh besar menjadi pria dewasa yang bijaksana juga berakhlakul karimah tanpa ada sentuhannya sedikitpun sebagai seorang ayah. Naresh seolah hidup dibesarkan oleh kehidupan, dan itu yang membuat dadanya semakin sesak.

“Maafin Papa nak... Papa gak bisa kasih banyak hal sama kamu...”

“Papa sudah beri Naresh kehidupan, dan Naresh gak mau tuntut apa-apa lagi dari Papa. Sekarang Naresh cuman mau nembus perpisahan kita dulu, Pa, kita makan berdua kayak gini aja Naresh udah seneng.” “Naresh jadi ngerasa kayak anak kecil lagi di depan Papa.”

Ajil menghempas tawa kecilnya sambil menepuk pelan pucuk kepala Naresh dengan lembut.

“Jagoan Papa memang sangat membanggakan... terima kasih, nak, sudah mau bertahan sampai saat ini...”

Naresh tersenyum lebar sambil melahap lagi rotinya itu bak anak kecil.

“Naresh...”

“Ya, Pa?”

“Kalau kamu sudah memaafkan Papa sepenuh hati kamu, berarti kamu juga sudah harus memaafkan Dokter Rangga.”

Lagi-lagi Naresh menghentikan makannya.

“Pah, kasusnya Dokter Rangga—”

“Kematian Mama kamu bukan kesalahan Dokter Rangga maupun Dokter Dimas, itu semua memang sudah takdir juga, nak.”

“Papa—”

“Dokter Rangga juga menyayangi kamu seperti anak sendiri, Naresh... dan Papa juga berterimakasih kepada beliau karena sudah mau membesarkan kamu hingga menjadi dokter hebat seperti sekarang.”

Naresh menggenggam kuat kertas roti hingga remuk, “Papa, selama ini aku hidup dengan Dokter Rangga... cuman sebagai aset berharganya, aku ini cuman bonekanya dia untuk mendapatkan semua yang dia mau bahkan dia merampas banyak hak hidup orang demi keserakahannya!”

“Dan kelayakan hidup kamu juga bagian dari keserakahan beliau, Naresh.” “Dokter Rangga... memang tidak bisa memberikan kasih sayangnya secara langsung untuk kamu, tapi dia tidak pernah membiarkan kamu hidup susah. Papa selama ini mengawasi kamu dari beliau, dan beliau selalu mengatakan kalau ia harus menjadikan kamu sebagai orang yang hebat, kamu tidak boleh berada di bawah, dan dia akan melakukan apa saja asalkan kamu bisa sukses tanpa harus bersusah payah.” “Dan... Dokter Rangga juga tersakiti selama ini karena Papa, Naresh...”

Ajil meletakkan rotinya itu di atas kertas, “Dokter Rangga tidak pernah mendapatkan cinta dari Mama kamu, karena Papa...” “Jadi kalau kamu ingin menyalahkan semua kekacauan ini, salahkan Papa nak... ini semua salah Papa.”

Naresh tak kuasa menahan lagi air matanya, begitu banyak fakta yang tak pernah ia ketahui seolah orang bodoh yang tanpa arah. Naresh membabi buta dengan perasaan bencinya terhadap orang-orang sekitarnya namun di balik itu ia kembali harus mendengar suatu fakta yang membuatnya malu setengah mati...

Ia malu dengan perbuatannya selama ini.

“Naresh anakku, ini pesan Papa untukmu yang bisa jadi ini akan menjadi pesan terakhir Papa untuk kamu... jalanilah hidupmu sebagai sebaik-baiknya manusia, Naresh, jangan pernah ada setitik hitam pun keserakahan yang mendominasi hatimu karena manusia itu sangat lemah kalau sudah termakan dengan keserakahannya. Papa sudah merasakannya, Papa harus menelan pahitnya akibat dari keserakahan Papa selama 29 tahun ini, seandainya Papa gak tergiur menjadi bagian dari kejahatan yang diperbuat oleh atasan Papa, mungkin kita sudah hidup bahagia, nak... jadi mohon dengan sangat, jangan ulangi kesalahan Papa dan hiduplah dengan tenang...” “Papa senang dengar kamu yang semakin taat beribadah maka teruslah menjadi orang yang baik di mata Tuhan dan di mata manusia, dengan begitu kamu berhasil merubah nasib keluargamu dan membawa orang tuamu ke syurga, nak...”

Naresh masih menangis sesegukkan di bawah tepukan pelan sang ayah di pundak besarnya.

“Terima kasih, kamu sudah mau menjadi anak yang baik untuk Papa, Mama dan juga Dokter Rangga... tak ada hal lain lagi yang membuat kami tak bangga dengan kamu, nak...” “Berbahagialah nanti dengan keluarga kecil yang akan kamu bangun nanti, cintai istri dan anak-anakmu sepenuh hati kamu, jangan pernah tinggalkan mereka, Naresh... karena di bandingkan emas murni sekalipun, keluarga adalah harta yang paling berharga.”

Naresh mengangguk kepalanya menurut dan bersimpuh lutut memohon restu kepada sang ayahanda,

“Iya, Pa... Naresh mohon doa restu dari Papa...”

“Semua doa dan restu Papa akan selalu mengalir untuk kamu, Naresh...”

Mereka saling berpelukan erat melepas rindu yang menyesakkan selama 29 tahun berpisah. Kehangatan ayah-anak yang tak terbendung seolah tumpah menjadi suasana haru di ruangan itu...

Ya Allah, sekarang sudah tak ada lagi yang aku ragukan lagi dari karunia-Mu... Engkau pertemukan aku dengan Papa yang 29 tahun tak pernah kujumpai dan aku masih sempat bersimpuh meminta doanya, terima kasih, Ya Allah...