Menyapa

“Assalamualaikum, Mah... Naresh nih.”
Pemuda berkemeja hitam polos itu meletakkan buket bunga di atas nisan sang Ibunda. Hatinya terenyuh ketika kembali menatap ukiran nama sang Ibunda dalam batu nisannya, kembali teringat akan kehangatan sang Ibunda semasa hidupnya dan lagi... kembalinya Ayah kandung Naresh kembali membuat pemuda itu pilu.
“Naresh punya banyak cerita hari ini, Mah, hehe...” Naresh mengambil satu lembar kartu undangan lamarannya dan meletakkan di atas buket bunga, “Sebentar lagi, Naresh mau lamaran dengan wanita pilihan Naresh. Mama inget gak dulu aku pernah cerita ada anak kecil kurang ajar yang berani ngebentak aku di pesantrennya Bang Haidar?” “Anak kecil itu... sebentar lagi akan menjadi istri Naresh, Mah... lucu ya?”
Naresh mengelus lembut ukiran nama Ibunya, “Namanya Aisyah, Mah, dia udah tumbuh jadi wanita dewasa yang lembut dan penyayang, meskipun tingkahnya agak sedikit konyol tapi itu menghibur hari-hari Naresh. Aisyah kadang-kadang ceroboh, Mah, dia suka mementingkan kepentingan orang dibanding dirinya sendiri tapi... dia melakukan itu semua dengan ikhlas dan tulus.” “Mama inget gak, dulu Mama bilang suatu saat nanti, Naresh pasti merasakan dimana akan ada seseorang yang membuat Naresh ingin berkorban seluruhnya bahkan nyawa sekalipun, dan itu semua Naresh rasakan ketika sama Aisyah, Mah...” “... Seperti yang Papa lakukan untuk kita...”
Naresh menarik nafasnya panjang, “Mah... Naresh udah ketemu sama Papa untuk pertama kalinya, dan... aku gak tahu harus bilang apa karena mengetahui semua yang Papa lakukan juga buat hati aku hancur, Mah... Mungkin dulu Mama menangisi Papa bukan karena kepergiannya, tapi perbuatannya bukan begitu, Ma? Maaf dulu Naresh gak tahu Mama melalui hal sesulit ini sendirian, padahal Naresh berusaha untuk selalu ada untuk Mama tapi... sayangnya Mama tetap sendirian.” “Naresh sendiri juga gak bisa benci sama Papa, karena akhirnya setelah 29 tahun Naresh mempertanyakan sosok Papa, sekarang Allah pertemukan kita, Ma... jadi izinkan Naresh untuk menembus 29 tahunnya Naresh tanpa sosok Papa selama ini.”
Pemuda itu berdiri dari duduknya dan menepuk lututnya, “Naresh izin pamit ya, Ma, nanti Naresh kenalin Aisyah ke Mama. Assalamualaikum...”
Desiran angin bukit yang menerpa wajah sendu Naresh, dinginnya yang menusuk seolah menguatkan kekosongan hati Naresh yang kehilangan dua orang sekaligus sebagai saksi hidup barunya.
Tapi tidak apa-apa...
Takdir Allah tidak pernah ada yang buruk bagi hamba-Nya, Naresh sudah harus mengikhlaskan semua yang terjadi.
Naresh duduk di kursi kayu hitam dengan wajah was-wasnya. Ini adalah kali pertamanya Naresh akan berdialog dengan sang Ayah kandung, dan tentu ia gugup dengan hal ini.
Gugup yang bercampur rasa senang, seperti sosok anak kecilnya kembali melekat di jiwanya yang merindukan sosok ayah.
“Naresh...”
Suara purau Ajil dengan pakaian oranye tahanannya, pria paruh baya itu langsung duduk di hadapan Naresh dengan wajah nanar, “Kenapa kamu repot-repot kesini, nak? Kerjaan kamu gimana? Udah makan? Kenapa muka kamu pucat gini, nak?”
“Aku gapapa, mending Papa pikirin aja kondisi Papa sendiri,” Naresh tersentak, ia merutuk bibirnya yang berkata ketus di pertemuan pertamanya dengan sang ayah, “Maaf, Naresh kelepasan.”
Ajil terhenyak, setelah ia tak bertemu lama dengan putra semata wayangnya itu kini di hadapannya ia melihat sosok lelaki gagah dengan kemeja rapihnya yang menandakan bahwa putranya sudah hidup layak selama ia tinggalkan.
“Aku... bawa makanan untuk Papa.”
“Papa gak boleh terima apa-apa, nak.”
“Gak mungkin, Pah, aku kan gak ngelanggar aturan disini. cuman bawa makanan aja, emang Papa suka makanan disini? Ini aku mau kenalin makanan kesukaan aku.”
Naresh menyodorkan satu kantung kertas coklat berisi dua cinnamon roll yang sangat ia gemari sejak kecil, begitu Ajil membuka isi makanan yang di bawa anaknya itu, lagi-lagi hatinya terenyuh...
“Selera kamu ternyata sama persis ya dengan Mama kamu...”
Naresh terkekeh, “Emang iya, dulu Mama suka buatin ini untuk bekal aku.”
Mereka tertawa geli bersama. Akhirnya mereka kembali terdiam canggung, sama-sama melahap satu gigitan cinnamon roll dengan kikuk lalu bertukar pandangan sebentar dan memalingkannya lagi. Ikatan ayah-anak ternyata bagi mereka tiada arti karena sudah tak bertemu selama 29 tahun.
“Naresh...” Ajil membuka suara, “Papa...sekali lagi mau minta maaf.”
Naresh menghentikan aktivitas makannya, matanya mulai berkaca-kaca namun ia sekuat tenaga menahan air matanya agar tak jatuh membasahi pipinya.
“Papa sudah membuat kamu kesulitan selama ini, kalau saja Papa tidak terjebak—”
“Kalau memang Papa menyesal, ya sudah tembus aja kesalahan Papa sekarang. Naresh udah gak bisa nuntut apa-apa saka Papa.” “Ini semua udah takdir Pa, dan takdir Allah gak ada yang buruk untuk hamba-Nya. Naresh hidup layak kok selama ini, gak ada yang kurang dari Naresh jadi untuk apa menyesal karena satu kesalahan di saat Naresh diberi ribuan kenikmatan?”
Naresh menghela nafasnya panjang, “Pah, Naresh sebentar lagi mau menikah. Naresh akan memulai kehidupan baru nanti dengan wanita pilihan Naresh jadi... udah bukan saatnya untuk menyesali masa lalu yang sudah terjadi. Kesulitan kemarin kan sudah Naresh lewati dengan baik, jadi sekarang udah saatnya Naresh fokus dengan masa depan Naresh.” “Kedatangan Naresh disini juga bukan untuk menuntut kesalahan Papa dulu, tapi Naresh kangen sama Papa... bayangin aja, Naresh gak pernah tahu muka asli dari ayah kandung Naresh sendiri selama 29 tahun. Jadi sekarang karena kita udah ketemu, Naresh mau nikmati momen kita tiap detiknya, Pa, Naresh mau ngerasain gimana kasih sayang seorang Papa yang selama ini gak pernah Naresh rasain.”
Ungkapan Naresh dari lubuk hatinya yang terdalam sukses menyentuh sang ayahanda sehingga pria paruh baya itu tak sadar menitikkan air mata harunya. Ia tak menyangka bahwa ia memiliki seorang buah hati yang sudah tumbuh besar menjadi pria dewasa yang bijaksana juga berakhlakul karimah tanpa ada sentuhannya sedikitpun sebagai seorang ayah. Naresh seolah hidup dibesarkan oleh kehidupan, dan itu yang membuat dadanya semakin sesak.
“Maafin Papa nak... Papa gak bisa kasih banyak hal sama kamu...”
“Papa sudah beri Naresh kehidupan, dan Naresh gak mau tuntut apa-apa lagi dari Papa. Sekarang Naresh cuman mau nembus perpisahan kita dulu, Pa, kita makan berdua kayak gini aja Naresh udah seneng.” “Naresh jadi ngerasa kayak anak kecil lagi di depan Papa.”
Ajil menghempas tawa kecilnya sambil menepuk pelan pucuk kepala Naresh dengan lembut.
“Jagoan Papa memang sangat membanggakan... terima kasih, nak, sudah mau bertahan sampai saat ini...”
Naresh tersenyum lebar sambil melahap lagi rotinya itu bak anak kecil.
“Naresh...”
“Ya, Pa?”
“Kalau kamu sudah memaafkan Papa sepenuh hati kamu, berarti kamu juga sudah harus memaafkan Dokter Rangga.”
Lagi-lagi Naresh menghentikan makannya.
“Pah, kasusnya Dokter Rangga—”
“Kematian Mama kamu bukan kesalahan Dokter Rangga maupun Dokter Dimas, itu semua memang sudah takdir juga, nak.”
“Papa—”
“Dokter Rangga juga menyayangi kamu seperti anak sendiri, Naresh... dan Papa juga berterimakasih kepada beliau karena sudah mau membesarkan kamu hingga menjadi dokter hebat seperti sekarang.”
Naresh menggenggam kuat kertas roti hingga remuk, “Papa, selama ini aku hidup dengan Dokter Rangga... cuman sebagai aset berharganya, aku ini cuman bonekanya dia untuk mendapatkan semua yang dia mau bahkan dia merampas banyak hak hidup orang demi keserakahannya!”
“Dan kelayakan hidup kamu juga bagian dari keserakahan beliau, Naresh.” “Dokter Rangga... memang tidak bisa memberikan kasih sayangnya secara langsung untuk kamu, tapi dia tidak pernah membiarkan kamu hidup susah. Papa selama ini mengawasi kamu dari beliau, dan beliau selalu mengatakan kalau ia harus menjadikan kamu sebagai orang yang hebat, kamu tidak boleh berada di bawah, dan dia akan melakukan apa saja asalkan kamu bisa sukses tanpa harus bersusah payah.” “Dan... Dokter Rangga juga tersakiti selama ini karena Papa, Naresh...”
Ajil meletakkan rotinya itu di atas kertas, “Dokter Rangga tidak pernah mendapatkan cinta dari Mama kamu, karena Papa...” “Jadi kalau kamu ingin menyalahkan semua kekacauan ini, salahkan Papa nak... ini semua salah Papa.”
Naresh tak kuasa menahan lagi air matanya, begitu banyak fakta yang tak pernah ia ketahui seolah orang bodoh yang tanpa arah. Naresh membabi buta dengan perasaan bencinya terhadap orang-orang sekitarnya namun di balik itu ia kembali harus mendengar suatu fakta yang membuatnya malu setengah mati...
Ia malu dengan perbuatannya selama ini.
“Naresh anakku, ini pesan Papa untukmu yang bisa jadi ini akan menjadi pesan terakhir Papa untuk kamu... jalanilah hidupmu sebagai sebaik-baiknya manusia, Naresh, jangan pernah ada setitik hitam pun keserakahan yang mendominasi hatimu karena manusia itu sangat lemah kalau sudah termakan dengan keserakahannya. Papa sudah merasakannya, Papa harus menelan pahitnya akibat dari keserakahan Papa selama 29 tahun ini, seandainya Papa gak tergiur menjadi bagian dari kejahatan yang diperbuat oleh atasan Papa, mungkin kita sudah hidup bahagia, nak... jadi mohon dengan sangat, jangan ulangi kesalahan Papa dan hiduplah dengan tenang...” “Papa senang dengar kamu yang semakin taat beribadah maka teruslah menjadi orang yang baik di mata Tuhan dan di mata manusia, dengan begitu kamu berhasil merubah nasib keluargamu dan membawa orang tuamu ke syurga, nak...”
Naresh masih menangis sesegukkan di bawah tepukan pelan sang ayah di pundak besarnya.
“Terima kasih, kamu sudah mau menjadi anak yang baik untuk Papa, Mama dan juga Dokter Rangga... tak ada hal lain lagi yang membuat kami tak bangga dengan kamu, nak...” “Berbahagialah nanti dengan keluarga kecil yang akan kamu bangun nanti, cintai istri dan anak-anakmu sepenuh hati kamu, jangan pernah tinggalkan mereka, Naresh... karena di bandingkan emas murni sekalipun, keluarga adalah harta yang paling berharga.”
Naresh mengangguk kepalanya menurut dan bersimpuh lutut memohon restu kepada sang ayahanda,
“Iya, Pa... Naresh mohon doa restu dari Papa...”
“Semua doa dan restu Papa akan selalu mengalir untuk kamu, Naresh...”
Mereka saling berpelukan erat melepas rindu yang menyesakkan selama 29 tahun berpisah. Kehangatan ayah-anak yang tak terbendung seolah tumpah menjadi suasana haru di ruangan itu...
Ya Allah, sekarang sudah tak ada lagi yang aku ragukan lagi dari karunia-Mu... Engkau pertemukan aku dengan Papa yang 29 tahun tak pernah kujumpai dan aku masih sempat bersimpuh meminta doanya, terima kasih, Ya Allah...