The Strongest
“Abi... Abi jangan marahin Bang Haidar, Bang Haidar udah capek terima beban harapan orang-orang, biar Aisyah aja yang di omelin karena Aisyah yang bisa tanggung itu semua...”
Entah kenapa sejak kecil, aku selalu di gariskan untuk selalu maju di garda terdepan untuk melindungi orang-orang yang kucintai. Aku merasa, dengan kepintaranku yang pas-pasan dan bahuku yang lemah ini, tak bisa menjadi manfaat bagi orang-orang tapi Abi selalu mengingatkanku satu hal yang aku punya...
“Kamu punya hati yang besar dan kuat, Aisyah...” “Dan itulah sekuat-kuatnya manusia.”
Abi pernah mengatakan itu kepadaku, pada saat usiaku yang masih berusia 13 tahun dan aku belum mengerti apa maksud dari pesan Abi.
Tapi sekarang aku tahu semuanya... setelah aku memutuskan untuk melindungi orang terkasihku...
Aku tak pernah tersirat untuk menyerahkan hidupku hanya karena aku ingin melindungi orang yang kusayangi, aku punya keyakinan kuat bahwa perlindunganku ini tidak sia-sia. Aku yakin bahwa Allah tidak memberiku takdir yang meninggalkan seribu luka untuk orang sekitarku, aku tahu aku ini manusia paling kuat.
Tekad hidupku jauh lebih kuat dari siapapun...
Dheg! TIT... TIT...
“Dok, jantungnya berdetak normal!”
“Alhamdulillah, kalau begitu kita tutup lukanya sekarang.”
Lihat kan? Allah tidak mungkin membiarkan aku mati dalam keadaan lemah...
Kamu berhasil, Aisyah...
“Alhamdulillah, operasi berjalan lancar dan pasien sekarang masih dalam pantauan kami di ruangan ICU jadi begitu kondisinya sudah stabil, kami akan segera memindahkan pasien ke ruangannya,” Sang dokter meminta Naresh untuk ikut ke bagian administrasi, “Baik, bapak suaminya? Bisa ikut saya?”
“A-Ah bukan, Dok—”
Haidar mendorong tubuh Naresh, “Saya kakaknya.”
“Ah baik, ikut saya ya, pak.”
Haidar mengangguk dan mengikuti langkah sang dokter menuju administrasi bersama istrinya, Naresh duduk disana sendiri dengan dada yang lapang setelah mendengar operasi Aisyah berjalan lancar. Pria itu tak bisa membayangkan jika wanita kekasihnya itu pergi meninggalkannya, namun ternyata semesta masih berpihak kepadanya. Aisyah masih diberi kesempatan untuk menjalani hidup baru bersamanya.
Naresh tak bisa berucap apa-apa lagi selain ungkapan syukur kepada Sang Pemberi Takdir.
Naresh POV
Sudah berjalan seminggu lebih Aisyah di rawat intensif pasca peristiwa itu. Dari psikis dan fisiknya semua di rawat total, dan posisiku disini sebagai pendampingnya.
Belum resmi sih, tapi doakan aja semoga dalam waktu dekat ini.
Tapi ada satu hal yang membuatku tak berhenti mendecak kagum.
Kriet...
“Ayo, Ibra, Mina! Kita joget pagi-pagi biar segar! Baby shark dudududu... baby shark dudududu... baby shark dudududu... baby shark! Rawr!”
Lihat senyum cerianya, bahkan ia habis melewati masa kritisnya, bagi Aisyah itu tidak ada apa-apanya, bahkan psikiater yang merawatnya bilang kalau Aisyah sama sekali tak ada traumatik pasca kejadian.
Ini seperti mukjizat, sekuat apa hati Aisyah?
“Adududuh! Sakit punggung Tante, aw! aw!”
“Ih, Tante Aisyah hati-hati!!!”
Yah tapi cerobohnya itu sedikit membahayakan sih.
“Udah tahu jahitan kamu itu masih belum kering, Aisyah, malah udah gerak petakilan gitu, gimana sih?!” decakku.
“Ih, ini tuh senam pagi tau! Aisyah bete kalau tiduran mulu di kasur, masa gerak dikit gak boleh?!”
“Gerak dikit ndasmu, kamu joget-joget heboh gitu! Kalau aku rekam, kamu malu banget pasti!”
Aisyah memicing matanya, “Jangan coba-coba ya, kalau gak mau dibuat koma yang kedua kalinya.”
Ya Allah, ini yang sakit kenapa lebih galak dari yang sehat.
“Sabarlah dikit, Syah, besok kan kamu udah boleh pulang. Nanti istirahat lagi 3 hari di rumah, baru kita bisa lanjut urus pernikahan kita.”
Aisyah tersenyum lebar penuh arti, “Mas Nana...” jantungku berdetak kencang begitu Aisyah menatapku dengan tatapan puppy eyes-nya itu, “Aisyah... mau konsep pernikahan princess gitu dong kayak Sandra Dewi... kan lucu banget tuh, ya gak sih...”
“Hah? pernikahan princess kayak gimana?”
“Ih ini lho... lucu banget gak sih? Dia nikahannya di Jepang lho, Mas...”
“Ngapain ngadain pernikahan di Jepang segala? Keluarga kamu disini semua, kalau mau di Sumedang aja, keluarga besar aku ada disana.”
“Ih ngapain ke Sumedang segala?! Aisyah maunya ada istana princess bukannya pabrik tahu sumedang!!”
“Mau nikahan aja ribet banget, kalau mau keluar negeri sekalian ya nanti pas bulan madu!”
“Ih tapi Aisyah maunya bulan madu di Maldives...”
“Kok kamu jadi banyak mau gini sih?! Mending pernikahan yang sederhana aja terus di tabungin uangnya buat nanti kehidupan setelah menikah!” “Emang kamu bisa jamin pekerjaan aku bakal stabil selamanya?”
Aisyah memaut bibirnya cemberut dan mendengus sebal di hadapanku, “Ish, Kak Naresh jelek, ngeselin, kaku kayak kanebo!”
“Lah kok jadi ngatain sih?!”
“Gak tahu ah, Aisyah pundung!!”
“Heh, heh, lagi sakit gini masih sempet-sempetnya ngerengek kayak anak kecil!”
Sahutan Bang Haidar dari depan pintu dengan tiga cangkir kopi yang dia bawa sontak membuat kita berdua kaget, “Aisyah, kamu tuh udah saya bilangin belajar jadi wanita dewasa gitu. Kenapa sih jadi manja gini kayak anak kecil?!”
“Ish... kayak Kak Anela gak pernah ngerengek aja...”
Bang Haidar skakmat dengan kalimat Aisyah, “Ya-ya dia ngerengeknya masih masuk akal! Kamu ngerengek minta konsep pernikahan yang mahal, inget ya, meskipun kita ada di keluarga berada tapi saya gak pernah mendidik kamu untuk punya gaya hidup hedon. Ngerti kamu?!” “Bagus, Naresh, memang seharusnya kamu tegas sama adik saya. Kalau keinginannya di turutin terus yang ada dia jadi manja gak karuan!”
Pipi Aisyah sudah mencembung bulat, “HUWAAAA!!! KENAPA SIH TAKDIR AISYAH HARUS BERHADAPAN SAMA DUA COWOK KAKU KAYAK KANEBO KERING GINIII!!! AISYAH MAUNYA NIKAH SAMA SONG KANG OPPA AJAAA!!!!”
Haduh, Aisyah... Aisyah...