Persidangan
Kehadiran Naresh, Aisyah dan Anela di ruangan sidang lagi-lagi menggoncang dada ketiganya, terutama Anela yang gelisah mengkhawatirkan kondisi suaminya yang sudah mengenakan kemeja putih polos itu. Hatinya pilu ketika sang suami di arahkan untuk duduk di tengah berhadapan dengan kursi Ketua Majlis Hakim. Di sebelah kiri sudah ada sosok Dokter Rangga duduk dengan angkuh bersama ahli hukum yang memihaknya, serta Pak Romi juga tersenyum penuh kemenangan di sisi Dokter Rangga. Hati Anela hancur bukan main, bagaimana bisa orang kepercayaan Eyangnya yang sudah berpuluh-puluh tahun bersama keluarganya berani berkhianat dan menghancurkan hidup orang yang tak bersalah demi memuaskan nafsu duniawinya.
Anela hanya berharap keadilan semesta berpihak kepadanya.
Aisyah menggenggam erat tangan kakak iparnya dan menenangkan Anela meskipun hanya sedikit. Anela memberi senyum pilu, lalu ia membiarkan kegelisahannya melebur dan menatap punggung suaminya dari belakang dengan tegar.
Sedangkan Naresh disisi Aisyah sibuk menghubungi Eliza yang masih belum kunjung datang.
“Aisyah, Eliza ngehubungin kamu gak?”
“Enggak, kok belum datang ya?”
“Duh sidang bentar lagi di mulai lagi.”
Bukannya Eliza, sosok Jovian dengan jas kemeja rapihnya duduk di samping Anela dengan wajah datarnya. Anela membelelakkan kedua matanya shock, “Jo-Jo-Jovi?!”
Jovian melirik ke Anela, “Lama gak jumpa, Nel” dengan senyuman jumawa, Jovian menyapa Anela.
“Ngapain lo disini?!”
“Nyaksiin persidangan.”
“Si-siapa yang undang?!”
Jovian mengunjuk kepalanya ke Naresh, sedang pemuda yang di tunjuk gelagapan menjawab, “Bu-bukan gue doang, Eliza yang suruh!”
Anela memicing matanya tajam ke Naresh, tapi ia tak mau banyak menguras emosinya untuk hari ini.
“Saya akan membacakan peraturan persidangan, hadirin sidang harap mendengarkan dan mematuhinya ... pada saat majlis hakim memasuki dan meninggalkan ruangan sidang, semua yang hadir di mohon untuk berdiri...” “Pengunjung persidangan yang ada di ruangan sidang di harap untuk duduk dengan sopan di tempatnya masing-masing dan menjaga ketertiban dalam ruang sidang.” “Pengunjung sidang dilarang untuk makan, minum, merokok, membuat keributan yang mengganggu jalannya persidangan. pengunjung sidang di harapkan untuk menunjukkan sikap hormat terhadap persidangan. Apabila ada yang membuat kegaduhan maka akan di keluarkan dari ruangan sidang.”
Setelah rentetan peraturan sidang telah dibacakan, tak lama Ketua Majlis Hakim hadir di ruangan sidang dan seluruh hadirin berdiri dalam rangka menghormati prosesi sidang, lalu duduk kembali pada tempatnya setelah majlis hakim memberi aba-aba.
“Sebelum sidang di mulai, kami beri kesempatan kepada insan media untuk mengambil gambar selama 5 menit...”
Suara jepretan gambar mulai memenuhi ruangan, hati Anela semakin kacau karena harus melihat wajah sang suami yang harus di abadikan sebagai pelaku kriminal, dan Haidar di tempatnya hanya bisa menunduk meminta perlindungan dari Sang Maha Kuasa. Ketua Majlis Hakim mulai membuka suara membacakan perkara yang akan di sidang hari ini, Naresh meneguk salivanya bulat-bulat setelah mendengar nama Haidar di sebutkan dengan lengkap.
”... Nomor register perkara, 3188/Pid.Sus/2029/Pengadilan Negeri Jakarta Selatan atas nama terdakwa, Haidar El Fatih, sidang pada hari ini secara resmi kami buka dan terbuka untuk umum.”
3 kali ketukan palu menjadi isyarat mulai berjalannya proses persidangan. Jantung Haidar tentu masih berdegup kencang tak menentu, ia hanya bisa pasrah kepada takdir yang akan membawanya nanti.
“Saudara sudah siap mengikuti persidangan?”
“Siap, Yang Mulia.”
“Baik, majlis hakim akan mengkonfirmasi kembali identitas lengkap saudara. nama lengkap saudara?”
“Haidar El Fatih.”
“Tempat tanggal lahir?”
“Sleman, 6 Juni 1995.”
“Jenis kelamin laki-laki, kewarganegaraan Indonesia ya. Agama?”
“Islam.”
Anela menggenggam erat ujung bajunya saat suara bariton sang suami yang terdengar purau itu menggema memenuhi ruangan sidang. Sekuat tenaga wanita itu menahan tangisnya namun sayang, sudah lolos beberapa bulir air matanya.
“Sudah pernah di hukum sebelumnya?”
“Belum, Yang Mulia.”
“Baik, saudara telah di dakwakan pidana seumur hidup berdasarkan pasal 340 KUHP dan pasal Undang-Undang no 35 tahun 2009 atas dakwaan pembunuhan dan narkotika...”
Tangisan Anela pecah di pelukan Aisyah dan gadis itu sendiri juga ikut menangisi dakwaan sang kakak yang akan dikenakan pidana seumur hidup jika proses sidang terus berlanjut tanpa ada 'bukti' kuat yang akan menjadi penyelamatnya.
Prosesi sidang yang masih berlanjut tanpa harapan ini membuat Aisyah dan Naresh ketar-ketir bukan main.
“Terdakwa dan jaksa penuntut silahkan maju ke depan untuk memeriksa.”
“Kepada jaksa penuntut, silahkan baca surat dakwaan.”
Jaksa penuntut berdiri dari tempatnya, “Baik, Yang Mulia. Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan untuk keadilan surat dakwaan nomor register 3188/Pid.Sus/2029/Pengadilan Negeri Jakarta Selatan atas nama terdakwa, Haidar El Fatih, bahwa pihak yang berwenang melakukan pemeriksaan menyatakan bahwa terdakwa telah terbukti melakukan perkara pengedaran narkotika secara ilegal melalui distribusi obat jenis baru terhadap yayasan Rumah Sakit Kasih Keluarga, Fatmawati, Jakarta Selatan...”
Haidar meringis, “Itu tidak benar, Ya Allah...”
”.... dan melakukan uji klinik terhadap salah satu pasien remaja bernama Alisya Febri Ayudhita hingga menyebabkan meninggal dunia dan pihak keluarga menuntut akan pertanggungjawaban dari pihak rumah sakit dan pihak lain yang merugikan...”
“Demi Allah... saya gak tahu apa-apa...” Haidar meneteskan air matanya dan menggenggam erat dadanya yang sesak.
“Di ketahui terdakwa melakukan pencucian uang sejumlah 456 miliar rupiah melalui yayasan Pondok Pesantren Al-Fatih dari pihak kedua...”
“Ya Allah... terangilah kami semua dengan keadilan-Mu...”
Dari samping kiri sana senyuman miring Dokter Rangga menyungging sempurna di wajahnya. Naresh dari kursi belakang sana menatap tajam sosok pria paruh baya disana yang tampak sekali senyuman liciknya, Naresh sangat mengutuk semua perbuatan dzalimnya yang membuat pria sebaik Haidar harus menjadi korban atas keserakahannya, Rangga... lo gak berhak tersenyum sekarang... sebentar lagi tamat riwayat lo...
“Terdakwa akan di dampingi oleh ahli hukum, silahkan duduk di samping ahli hukum.” “Kepada saksi, silahkan untuk memasuki ruangan sidang.”
Langkah gagah seorang pria berusia paruh 50 itu memasuki ruangan dengan pakaian rapihnya, senyuman teduhnya membuat sontak satu ruangan sidang karena orang yang akan menjadi saksi dalam persidangan ini bukan orang sembarangan. Dokter Rangga spontan berdiri dari tempatnya, bersama Pak Romi yang ikut terperanjat di tempatnya. Orang yang sangat mereka kenal itu tanpa aba-aba mengajukan dirinya sebagai saksi dari persidangan ini... Sosok itu, ialah Pak Ajil Mustafa Baihaqi
Semua kasak-kusuk gunjingan pengunjung sidang mulai terdengar keras. Semua mempertanyakan sosok saksi yang akan menjadi kunci dari proses persidangan ini, Haidar hanya bisa meringis menahan pilu dengan tundukkan kepalanya.
Dan di belakang pria misterius itu...
Mata Naresh terpaku dengan punggung kokohnya. Dan ketika pria itu membalik badan menghadap para pengunjung...
Dunia Naresh seketika berhenti berputar.
Bokap lo itu... kaki tangannya perusahaan mafia itu, Res...
Kalimat Eliza kemarin masih terngiang-ngiang di kepala Naresh. Pemuda berkemeja biru itu masih tidak percaya bahwa pria berwajah teduh menenangkan ini yang telah mendorongnya ke jurang hitam nan curam ini, bahkan ia masih tak percaya pula kalau pria di hadapannya itu...
Benar-benar ayah kandungnya.
“Baik kepada saudara saksi, silahkan untuk mengucapkan sumpah saksi terlebih dahulu.”
Pak Ajil yang akan menjadi saksi berdiri dengan Al-Qur'an yang di letakkan petugas sumpah dengan jarak satu senti dari kepalanya. Mengikuti arahan sumpah dari Ketua Majlis Hakim, Pak Ajil mengangkat satu tangannya, “Demi Allah saya bersumpah, bahwa saya sebagai ahli telah atau akan memberikan keterangan menurut pengetahuan saya yang sebaik-baiknya, tidak lain dari yang sebaik-baiknya. Apabila saya tidak memberikan keterangan yang sebenarnya, saya akan mendapat kutukan dari Tuhan”
Pak Ajil duduk di hadapan Ketua Hakim dengan posisi duduk tegapnya.
“Saudara Ajil Mustafa Baihaqi, Direktur Perusahaan Farmasi Yeoreum yang akan menjadi saksi kunci dari kasus ini. Dari surat dakwaan ini, perusahaan yang mendistribusikan obat-obatan ilegal ini berada di bawah perusahaan anda...”
“Betul, Yang Mulia.”
“Bisakah saudara mengurai kesaksian saudara dan semua keterangan yang saudara punya berdasarkan pengetahuan anda.”
“Baik, Yang Mulia, kehadiran saya disini sebagai saksi... adalah membuktikan fakta yang sebenar-benarnya tanpa memihak siapapun dan saya juga... ingin mengakui perbuatan saya,” Pak Ajil memberikan satu buah flashdisk berwarna biru kepada petugas sidang, “Saya sebagai ahli apoteker sendiri memang mengakui bahwa penyebab dari kematian pasien kemarin adalah reaksi dari efek psikotropika yang tidak terkendali pada tubuh pasien dan memicu detak jantung yang abnormal. Dosis psikotropika obat kemarin yang di uji cobakan itu tidak sesuai saran dari saya dan merupakan kelalaian dari pihak perusahaan kami jadi... saya mohon maaf sebesar-besarnya. Perusahaan kami akan bertanggungjawab kepada pihak yang di rugikan.”
Naresh berdiri dari tempatnya kaget, begitu petugas sidang menampilkan satu cuplikan video jenis-jenis obat terlarang yang di pampang jelas-jelas, ia tak menyangka bahwa akan ada tabir yang terungkap dengan sendirinya dari pihak musuh sendiri. Ia masih harus waspada dengan rencana Ayahnya itu.
“Ini adalah jenis obat yang ingin kita luncurkan, masih dalam proses kami teliti dan uji klinik... kesalahan ini juga tidak sepenuhnya ada kepada terdakwa tapi juga dari pihak rumah sakit.”
Dari sebelah kiri menyahut, “Keberatan, Yang Mulia! Pihak rumah sakit selama ini selalu mengonfirmasi obat-obat yang masuk ke gudang sehingga ini jelas-jelas ada penyelundupan!” ucap sang ahli hukum dengan lantang.
“Iya memang dan justru karena semua ada dalam pengawasan dari pihak rumah sakit... bukankah bisa jadi ada kemungkinan untuk terjadinya persengkokolan?” “Jika memang ada penyelundupan bukankah pihak rumah sakit juga turut bertanggungjawab alih-alih menyalahkan semuanya kepada terdakwa?”
Haidar hanya diam terpaku dengan kesaksian Pak Ajil seolah menjadi titik terang.
“Keberatan yang mulia—”
“Apa dari pihak rumah sakit sudah bertanggung jawab atas kerugian yang terjadi?”
Juru bicara Dokter Rangga tercekat nafasnya, “Su-sudah.”
“Baik, apa boleh saya beri kesaksian selanjutnya, Yang Mulia?”
Ketua majlis hukum mempersilahkan Pak Ajil kembali bicara.
“Saya... akan menampilkan satu video yang akan menjadi bukti kuat tentang siapa pelaku yang sebenarnya.”
Pak Ajil kembali memberi aba-aba kepada petugas sidang untuk memutar satu video yang menampilkan ketiga sosok pria yang duduk di sebuah kafe mewah, dari tampilan video itu tentu terlihat jelas wajah ketiga pria itu yang tak lain adalah Dokter Rangga, Pak Romi dan Pak Ajil sendiri.
“Pak Ajil!!” pekik Dokter Rangga.
“Harap tenang di ruangan sidang!”
Semua hadirin sidang menyimak secara saksama video tersebut yang di perkirakan memiliki durasi 1 menit 15 detik.
“Kita harus ubah rencana, secepatnya kita harus tutupi kasus ini sebelum peluncuran obat terbaru kita, Pak Ajil. Kita harus segera libatkan Haidar bersama kita!” Dokter Rangga terlihat gelisah dengan aksinya yang terekam di video CCTV.
“Jangan tergesa-gesa, Dokter, rencana kita masih terus jalan.”
“Karena hasil autopsi kemarin sudah keluar, kondisi rumah sakit jadi sedikit kacau, Pak Ajil, bahkan pihak keluarga pasien sudah menuntut kita. Setidaknya kita harus segera bertindak! “ “Romi, saya sudah minta kamu untuk kumpulkan data bukti untuk plan B kita kan?”
“Sudah, Dokter Rangga.”
“Dokter Rangga, kalau anda gegabah, anda hanya mencelakakan diri anda sendiri!”
“Saya tidak suka basa-basi, kalau memang fokus anda hanya untuk peluncuran obat terbaru kita maka lakukan saja pekerjaan anda, saya punya tanggung jawab untuk nama baik yayasan rumah sakit jadi saya akan melakukan apa yang semestinya saya kerjakan.” “Haidar... harus segera kita libatkan.”
Video itu berakhir tepat di durasi akhir.
“KEBERATAN YANG MULIA, SAUDARA SAKSI, ANDA INI SUDAH BEKERJA SAMA SEBELUMNYA DENGAN TERDAKWA BUKAN BEGITU?!” nada bicara sang ahli hukum dari pihak penuntut mulai memburu cepat. Dokter Rangga sudah mulai kehabisan kata-kata bahkan Pak Romi sendiri juga gelagapan tertangkap basah.
“Yang Mulia, saya sudah bersumpah untuk menyampaikan keterangan sebenar-benarnya dan itulah kesaksian yang bisa saya sampaikan,” Pak Ajil menoleh ke arah Haidar, “Dengan ini, saya harap semua orang bisa menyaksikan sebuah kebenaran yang sebenarnya...”
“Yang Mulia! Bukti tersebut tidak bisa kita katakan sah selama—”
“Dalam bukti itu sudah terekam jelas siapa pelaku utamanya jadi keterangan saudara saksi kami nyatakan sah. Apa ada kesaksian lain, saudara Ajil?”
Pak Ajil tersenyum miring penuh arti, ia mengambil ponselnya, “Ini adalah barang bukti terakhir yang bisa saya berikan. Dengan ini saya tak hanya memberikan keterangan sebagai saksi tapi saya juga menyerahkan diri untuk menembus semua perbuatan saya...”
Pria itu akhirnya mengakhiri kesaksiannya dan duduk di kursi yang di sediakan dengan wajah tenangnya. Naresh masih tercengang setelah mendengar semua kesaksian yang diberikan Pak Ajil, seolah tak percaya akan ada keajaiban yang bantu mengeluarkannya dari pusaran gelap yang menjeratnya, dan tak disangka-sangka semesta menurunkan sosok ayah kandungnya yang tlah menghilang selama 29 tahun, muncul di hadapannya sebagai penolong.
Pak Ajil menoleh ke belakang, tatapan kedua insan ayah dan anak itu bertemu dan pria paruh baya itu tersenyum hangat.
Apa kabar, jagoan papa?
Isyarat bibir Pak Ajil membuat hati Naresh terenyuh sampai pemuda itu tak sadar menitikkan air matanya.
“Pa..Papa?” gumam Naresh dengan bibir bergetar.
Aisyah mendelik menoleh ke arah Naresh dan mengikuti arah tatapan lelaki disampingnya yang mengarah ke Pak Ajil. Mata Aisyah menyala setelah melihat wajah Pak Ajil yang sangat mirip dengan Naresh. Pak Ajil mirip banget sama Kak Naresh... hah... masa sih?
Tak terasa persidangan berakhir dengan keputusan akhir bahwa Haidar El Fatih tidak dinyatakan bersalah. Proses pemeriksaan selanjutnya akan dilakukan ulang menjadi lebih luas, Dokter Rangga dan Pak Romi turut di bekuk oleh aparat berseragam setelah mendapat kesaksian yang kuat atas perbuatannya, tak berselang lama sidang berakhir, ternyata Eliza sudah menunggu di depan ruang sidang dan siap meringkus Pak Ajil yang sudah mengakui kesalahannya.
“Terima kasih atas kerjasamanya, Pak Ajil, sesuai kesepakatan kita... Anda harus ikut saya ke kantor sekarang,” tegas Eliza, wanita itu menoleh ke arah Naresh yang menatap nanar punggung Ayahnya dari belakang, “Anda sudah bicara dengan Dokter Naresh?”
Pak Ajil tersenyum simpul, ia meminta waktu sebentar kepada Eliza untuk menyampaikan sepatah dua katanya untuk putra semata wayangnya itu.
“Naresh...” Pak Ajil meraih lengan Naresh, “Kamu sehat-sehat ya?”
“Pah, kenapa...”
“Papa yang salah, nak, Papa yang salah sudah membuat kamu kesulitan sampai saat ini. Maaf, dulu Papa tidak menghadiri pelepasan kamu waktu TK, maaf, dulu kita gak jadi pergi nonton Space War di Dufan sama-sama... Papa terjebak dengan jurang yang Papa buat sendiri, nak...dan Papa gak mau kamu dengan almarhum Mama kamu terkena bahaya karena perbuatan Papa...” “Sekarang Papa mau menembus semua penderitaan kalian selama Papa gak ada, jadi berbahagialah dengan kehidupan barumu, Naresh...”
Eliza cepat memborgol kedua pergelangan tangan Pak Ajil, “Fajar! Tolong bawa Pak Ajil ke mobil, ntar gue nyusul!”
Tangan Naresh hendak meraih bahu Papanya namun terlambat, jarak sudah semakin jauh dari jangkauannya... Naresh hanya bisa merasakan pilu yang di tinggalkan oleh sang ayah kandung yang selama ini hilang dari kehidupannya selama 29 tahun.
“Bokap lo bisa terjerat pasal yang cukup berat, Res, tapi karena beliau berani tanggungjawab dan mau mengakui kesalahannya, setidaknya akan ada keringanan untuk sanksi pidananya.”
Naresh menggeleng, “Iya gapapa, Liz, memang sudah seharusnya begitu. Makasih ya, udah bantu banyak terutama soal Bang Haidar, akhirnya dia bebas juga...”
“Iya, gue bisa lihat kok gimana leganya kalian. Tuh si Anela gak berhenti pelukin suaminya.”
Pemandangan Anela dan Haidar yang saling berpelukan haru itu membuat keduanya terkekeh, Naresh juga ikut menghembus nafas lega. Satu per satu, semua masalahnya bisa terselesaikan dengan baik.
“Kita udah case closed kan, Liz?”
“Belum.”
Naresh mengernyit dahi, “Ha-hah?! Bu-bukannya tadi udah...?”
Eliza menyeringai, “Ada satu lagi, Res. Sekarang gue mau urus nih, pamit ya!” wanita itu berpamitan dan berlari pergi menuju tempat tujuannya tanpa sepengetahuan Naresh. Pemuda itu berjalan ke arah Haidar yang masih menangis haru bersama keluarga kecilnya, Haidar langsung datang menghampiri Naresh dan memeluk erat muridnya itu kuat-kuat.
“Terima kasih banyak, Naresh! Sekali lagi, terima kasih untuk semuanya! Saya benar-benar berhutang budi banyak sama kamu, Res!”
“Ah enggak, Bang, saya gak bantu banyak kok. Saya juga lega akhirnya kasus ini bisa di ungkap kebenarannya.”
Aisyah menimpal, “Iya ya! Huwa... akhirnya kasus ini selesai jugaa...!” gadis itu ikut mendecak lega. Naresh terkekeh sambil menyikut lengan mungil Aisyah.
“Berarti urusan kita gimana, Syah?”
“Hah? Urusan apa?”
“Ya urusan kita...”
“Urusan apa?!”
“Pernikahan kita.”
Wajah Aisyah memerah padam bak kepiting rebus dengan tangan kecilnya yang melayang ke punggung Naresh keras.
“Aduh! Gak usah mukul dong?!”
“Kak Naresh gak tahu tempat banget kalau ngomong! Masih banyak yang harus kita urus nih soal Bang Haidar! Urusan itu nanti dulu!!”
Naresh cemberut, “Lho kan kamu yang desak-desak saya untuk cepat nikahin kamu!”
“Ya nanti dulu!”
Haidar cuman ikut terpingkal-pingkal geleng-geleng melihat tingkah kedua anak muda yang saling mencintai itu. Dirinya terhenyak, mengingat bagaimana ia membesarkan adik satu-satunya dari kecil dan sekarang ia harus mempersiapkan diri untuk menyerahkan adiknya kepada laki-laki yang bersedia meminangnya. Ternyata waktu berjalan dengan cepat ya... *Terima kasih, Ya Allah... Engkau memang selalu bersama hamba-Mu yang yakin terhadap-Mu...”
Begitu putusan akhir sidang di tetapkan, Jovian memutuskan untuk meninggalkan ruangan sidang dan menyepi sendirian dengan sebatang rokok yang ia bakar di ruang tangga darurat. Tak peduli dengan peraturan yang ada, Jovi menenangkan pikirannya karena tidak puas dengan hasil sidangnya.
“Sudah selesai sandiwaranya, Pak Direktur?”
Jovian tersontak begitu suara melengking milik Eliza terdengar dari belakang.
“Kecewa ya, di khianatin sama tangan kanannya langsung? Kira-kira... udah berapa kali bikin back-up plan sampai sejauh ini, Pak Direktur? Apa masih gak mau nyerah juga?” Eliza mendekat ke arah Jovi dan merebut rokok yang tersangkur di bibir sang empunya, “Lo emang manusia paling buruk yang pernah gue temuin, Jovian... ah bukan,” “Lee Joon Hee, bukannya itu identitas asli lo?”
Sekali lagi, Jovian dibuat bisu dengan ungkapan fakta yang keluar dari mulut Eliza.
“Rekor kriminal lo udah cukup banyak, Tuan Lee Joon Hee, gue gak menyangka orang lulusan hukum seperti lo ini udah berapa kali keluar masuk penjara khusus anak dibawah umur, menghamili perempuan dan meninggalkannya lalu sekarang... jadi pimpinan perusahaan mafia terbesar di Asia? Hebat lo, Jov, setan aja kalah brengsek sama lo.” “Gue gak tahu kenapa pada akhirnya lo bisa curi identitas bokap lo atau mungkin kalian tukeran identitas tapi intinya, semua rencana dan kelakuan lo ini udah gue tangkap basah. Bokap lo udah jadi buronan di tempat asal lo.” “Nyerah aja, Jov, kita selesaikan semuanya baik-baik dengan damai. Lebih baik lo ikut prosedur hukum disini daripada lo harus di deportasi ke negara asal lo dan di hukum disana, gue dengar-dengar sih... hukumannya lebih kejam. Hayo, mending di pulangin dan di kurung selamanya disana atau mungkin kalau lo udah terlanjur cinta sama Indonesia, lo mau rasain penjara disini? Hm?”
Sang pemilik dua nama itu cuman tertawa terbahak-bahak bak antagonis yang tak gentar dengan kecaman, “Luar biasa, Detektif Eliza! Saya kagum sekali dengan anda!” “Memang ya semakin canggih kejahatan maka semakin canggih pula penanggulangan kejahatannya, gue salah banget menilai lo selama ini. Selama kita kuliah, Eliza ini cuman anak pemalas yang hobinya ngedugem DAN LIHAT SEKARANG?! DIA ADALAH SEORANG DETEKTIF HANDAL YANG MENANGANI KASUS KELAS KAKAP!!”
SRK, SET! CRING!
Jovian tak mau kalah, ia justru mengacungkan pistol jenis revolver kaliber 38 ke dagu Eliza, “Sayangnya masih panjang perjalanan lo, Eliza... gak semudah itu lo mau menghancurkan gue...”
Wanita itu mendelik gemetar, begitu ia hendak membekuk satu tangan Jovian namun nahasnya, Jovian cepat menangkis tangan`Eliza dan ia memukul tengkuk leher mungil Eliza hingga wanita itu kehilangan keseimbangannya. BRUK!
Eliza jatuh tersungkur tak sadarkan diri.
