shinelyght

Kehadiran Naresh, Aisyah dan Anela di ruangan sidang lagi-lagi menggoncang dada ketiganya, terutama Anela yang gelisah mengkhawatirkan kondisi suaminya yang sudah mengenakan kemeja putih polos itu. Hatinya pilu ketika sang suami di arahkan untuk duduk di tengah berhadapan dengan kursi Ketua Majlis Hakim. Di sebelah kiri sudah ada sosok Dokter Rangga duduk dengan angkuh bersama ahli hukum yang memihaknya, serta Pak Romi juga tersenyum penuh kemenangan di sisi Dokter Rangga. Hati Anela hancur bukan main, bagaimana bisa orang kepercayaan Eyangnya yang sudah berpuluh-puluh tahun bersama keluarganya berani berkhianat dan menghancurkan hidup orang yang tak bersalah demi memuaskan nafsu duniawinya.

Anela hanya berharap keadilan semesta berpihak kepadanya.

Aisyah menggenggam erat tangan kakak iparnya dan menenangkan Anela meskipun hanya sedikit. Anela memberi senyum pilu, lalu ia membiarkan kegelisahannya melebur dan menatap punggung suaminya dari belakang dengan tegar.

Sedangkan Naresh disisi Aisyah sibuk menghubungi Eliza yang masih belum kunjung datang.

“Aisyah, Eliza ngehubungin kamu gak?”

“Enggak, kok belum datang ya?”

“Duh sidang bentar lagi di mulai lagi.”

Bukannya Eliza, sosok Jovian dengan jas kemeja rapihnya duduk di samping Anela dengan wajah datarnya. Anela membelelakkan kedua matanya shock, “Jo-Jo-Jovi?!”

Jovian melirik ke Anela, “Lama gak jumpa, Nel” dengan senyuman jumawa, Jovian menyapa Anela.

“Ngapain lo disini?!”

“Nyaksiin persidangan.”

“Si-siapa yang undang?!”

Jovian mengunjuk kepalanya ke Naresh, sedang pemuda yang di tunjuk gelagapan menjawab, “Bu-bukan gue doang, Eliza yang suruh!”

Anela memicing matanya tajam ke Naresh, tapi ia tak mau banyak menguras emosinya untuk hari ini.

“Saya akan membacakan peraturan persidangan, hadirin sidang harap mendengarkan dan mematuhinya ... pada saat majlis hakim memasuki dan meninggalkan ruangan sidang, semua yang hadir di mohon untuk berdiri...” “Pengunjung persidangan yang ada di ruangan sidang di harap untuk duduk dengan sopan di tempatnya masing-masing dan menjaga ketertiban dalam ruang sidang.” “Pengunjung sidang dilarang untuk makan, minum, merokok, membuat keributan yang mengganggu jalannya persidangan. pengunjung sidang di harapkan untuk menunjukkan sikap hormat terhadap persidangan. Apabila ada yang membuat kegaduhan maka akan di keluarkan dari ruangan sidang.”

Setelah rentetan peraturan sidang telah dibacakan, tak lama Ketua Majlis Hakim hadir di ruangan sidang dan seluruh hadirin berdiri dalam rangka menghormati prosesi sidang, lalu duduk kembali pada tempatnya setelah majlis hakim memberi aba-aba.

“Sebelum sidang di mulai, kami beri kesempatan kepada insan media untuk mengambil gambar selama 5 menit...”

Suara jepretan gambar mulai memenuhi ruangan, hati Anela semakin kacau karena harus melihat wajah sang suami yang harus di abadikan sebagai pelaku kriminal, dan Haidar di tempatnya hanya bisa menunduk meminta perlindungan dari Sang Maha Kuasa. Ketua Majlis Hakim mulai membuka suara membacakan perkara yang akan di sidang hari ini, Naresh meneguk salivanya bulat-bulat setelah mendengar nama Haidar di sebutkan dengan lengkap.

”... Nomor register perkara, 3188/Pid.Sus/2029/Pengadilan Negeri Jakarta Selatan atas nama terdakwa, Haidar El Fatih, sidang pada hari ini secara resmi kami buka dan terbuka untuk umum.”

3 kali ketukan palu menjadi isyarat mulai berjalannya proses persidangan. Jantung Haidar tentu masih berdegup kencang tak menentu, ia hanya bisa pasrah kepada takdir yang akan membawanya nanti.

“Saudara sudah siap mengikuti persidangan?”

“Siap, Yang Mulia.”

“Baik, majlis hakim akan mengkonfirmasi kembali identitas lengkap saudara. nama lengkap saudara?”

“Haidar El Fatih.”

“Tempat tanggal lahir?”

“Sleman, 6 Juni 1995.”

“Jenis kelamin laki-laki, kewarganegaraan Indonesia ya. Agama?”

“Islam.”

Anela menggenggam erat ujung bajunya saat suara bariton sang suami yang terdengar purau itu menggema memenuhi ruangan sidang. Sekuat tenaga wanita itu menahan tangisnya namun sayang, sudah lolos beberapa bulir air matanya.

“Sudah pernah di hukum sebelumnya?”

“Belum, Yang Mulia.”

“Baik, saudara telah di dakwakan pidana seumur hidup berdasarkan pasal 340 KUHP dan pasal Undang-Undang no 35 tahun 2009 atas dakwaan pembunuhan dan narkotika...”

Tangisan Anela pecah di pelukan Aisyah dan gadis itu sendiri juga ikut menangisi dakwaan sang kakak yang akan dikenakan pidana seumur hidup jika proses sidang terus berlanjut tanpa ada 'bukti' kuat yang akan menjadi penyelamatnya.

Prosesi sidang yang masih berlanjut tanpa harapan ini membuat Aisyah dan Naresh ketar-ketir bukan main.

“Terdakwa dan jaksa penuntut silahkan maju ke depan untuk memeriksa.”

“Kepada jaksa penuntut, silahkan baca surat dakwaan.”

Jaksa penuntut berdiri dari tempatnya, “Baik, Yang Mulia. Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan untuk keadilan surat dakwaan nomor register 3188/Pid.Sus/2029/Pengadilan Negeri Jakarta Selatan atas nama terdakwa, Haidar El Fatih, bahwa pihak yang berwenang melakukan pemeriksaan menyatakan bahwa terdakwa telah terbukti melakukan perkara pengedaran narkotika secara ilegal melalui distribusi obat jenis baru terhadap yayasan Rumah Sakit Kasih Keluarga, Fatmawati, Jakarta Selatan...”

Haidar meringis, “Itu tidak benar, Ya Allah...”

”.... dan melakukan uji klinik terhadap salah satu pasien remaja bernama Alisya Febri Ayudhita hingga menyebabkan meninggal dunia dan pihak keluarga menuntut akan pertanggungjawaban dari pihak rumah sakit dan pihak lain yang merugikan...”

“Demi Allah... saya gak tahu apa-apa...” Haidar meneteskan air matanya dan menggenggam erat dadanya yang sesak.

“Di ketahui terdakwa melakukan pencucian uang sejumlah 456 miliar rupiah melalui yayasan Pondok Pesantren Al-Fatih dari pihak kedua...”

“Ya Allah... terangilah kami semua dengan keadilan-Mu...”

Dari samping kiri sana senyuman miring Dokter Rangga menyungging sempurna di wajahnya. Naresh dari kursi belakang sana menatap tajam sosok pria paruh baya disana yang tampak sekali senyuman liciknya, Naresh sangat mengutuk semua perbuatan dzalimnya yang membuat pria sebaik Haidar harus menjadi korban atas keserakahannya, Rangga... lo gak berhak tersenyum sekarang... sebentar lagi tamat riwayat lo...

“Terdakwa akan di dampingi oleh ahli hukum, silahkan duduk di samping ahli hukum.” “Kepada saksi, silahkan untuk memasuki ruangan sidang.”

Langkah gagah seorang pria berusia paruh 50 itu memasuki ruangan dengan pakaian rapihnya, senyuman teduhnya membuat sontak satu ruangan sidang karena orang yang akan menjadi saksi dalam persidangan ini bukan orang sembarangan. Dokter Rangga spontan berdiri dari tempatnya, bersama Pak Romi yang ikut terperanjat di tempatnya. Orang yang sangat mereka kenal itu tanpa aba-aba mengajukan dirinya sebagai saksi dari persidangan ini... Sosok itu, ialah Pak Ajil Mustafa Baihaqi

Semua kasak-kusuk gunjingan pengunjung sidang mulai terdengar keras. Semua mempertanyakan sosok saksi yang akan menjadi kunci dari proses persidangan ini, Haidar hanya bisa meringis menahan pilu dengan tundukkan kepalanya.

Dan di belakang pria misterius itu...

Mata Naresh terpaku dengan punggung kokohnya. Dan ketika pria itu membalik badan menghadap para pengunjung...

Dunia Naresh seketika berhenti berputar.

Bokap lo itu... kaki tangannya perusahaan mafia itu, Res...

Kalimat Eliza kemarin masih terngiang-ngiang di kepala Naresh. Pemuda berkemeja biru itu masih tidak percaya bahwa pria berwajah teduh menenangkan ini yang telah mendorongnya ke jurang hitam nan curam ini, bahkan ia masih tak percaya pula kalau pria di hadapannya itu...

Benar-benar ayah kandungnya.

“Baik kepada saudara saksi, silahkan untuk mengucapkan sumpah saksi terlebih dahulu.”

Pak Ajil yang akan menjadi saksi berdiri dengan Al-Qur'an yang di letakkan petugas sumpah dengan jarak satu senti dari kepalanya. Mengikuti arahan sumpah dari Ketua Majlis Hakim, Pak Ajil mengangkat satu tangannya, “Demi Allah saya bersumpah, bahwa saya sebagai ahli telah atau akan memberikan keterangan menurut pengetahuan saya yang sebaik-baiknya, tidak lain dari yang sebaik-baiknya. Apabila saya tidak memberikan keterangan yang sebenarnya, saya akan mendapat kutukan dari Tuhan”

Pak Ajil duduk di hadapan Ketua Hakim dengan posisi duduk tegapnya.

“Saudara Ajil Mustafa Baihaqi, Direktur Perusahaan Farmasi Yeoreum yang akan menjadi saksi kunci dari kasus ini. Dari surat dakwaan ini, perusahaan yang mendistribusikan obat-obatan ilegal ini berada di bawah perusahaan anda...”

“Betul, Yang Mulia.”

“Bisakah saudara mengurai kesaksian saudara dan semua keterangan yang saudara punya berdasarkan pengetahuan anda.”

“Baik, Yang Mulia, kehadiran saya disini sebagai saksi... adalah membuktikan fakta yang sebenar-benarnya tanpa memihak siapapun dan saya juga... ingin mengakui perbuatan saya,” Pak Ajil memberikan satu buah flashdisk berwarna biru kepada petugas sidang, “Saya sebagai ahli apoteker sendiri memang mengakui bahwa penyebab dari kematian pasien kemarin adalah reaksi dari efek psikotropika yang tidak terkendali pada tubuh pasien dan memicu detak jantung yang abnormal. Dosis psikotropika obat kemarin yang di uji cobakan itu tidak sesuai saran dari saya dan merupakan kelalaian dari pihak perusahaan kami jadi... saya mohon maaf sebesar-besarnya. Perusahaan kami akan bertanggungjawab kepada pihak yang di rugikan.”

Naresh berdiri dari tempatnya kaget, begitu petugas sidang menampilkan satu cuplikan video jenis-jenis obat terlarang yang di pampang jelas-jelas, ia tak menyangka bahwa akan ada tabir yang terungkap dengan sendirinya dari pihak musuh sendiri. Ia masih harus waspada dengan rencana Ayahnya itu.

“Ini adalah jenis obat yang ingin kita luncurkan, masih dalam proses kami teliti dan uji klinik... kesalahan ini juga tidak sepenuhnya ada kepada terdakwa tapi juga dari pihak rumah sakit.”

Dari sebelah kiri menyahut, “Keberatan, Yang Mulia! Pihak rumah sakit selama ini selalu mengonfirmasi obat-obat yang masuk ke gudang sehingga ini jelas-jelas ada penyelundupan!” ucap sang ahli hukum dengan lantang.

“Iya memang dan justru karena semua ada dalam pengawasan dari pihak rumah sakit... bukankah bisa jadi ada kemungkinan untuk terjadinya persengkokolan?” “Jika memang ada penyelundupan bukankah pihak rumah sakit juga turut bertanggungjawab alih-alih menyalahkan semuanya kepada terdakwa?”

Haidar hanya diam terpaku dengan kesaksian Pak Ajil seolah menjadi titik terang.

“Keberatan yang mulia—”

“Apa dari pihak rumah sakit sudah bertanggung jawab atas kerugian yang terjadi?”

Juru bicara Dokter Rangga tercekat nafasnya, “Su-sudah.”

“Baik, apa boleh saya beri kesaksian selanjutnya, Yang Mulia?”

Ketua majlis hukum mempersilahkan Pak Ajil kembali bicara.

“Saya... akan menampilkan satu video yang akan menjadi bukti kuat tentang siapa pelaku yang sebenarnya.”

Pak Ajil kembali memberi aba-aba kepada petugas sidang untuk memutar satu video yang menampilkan ketiga sosok pria yang duduk di sebuah kafe mewah, dari tampilan video itu tentu terlihat jelas wajah ketiga pria itu yang tak lain adalah Dokter Rangga, Pak Romi dan Pak Ajil sendiri.

“Pak Ajil!!” pekik Dokter Rangga.

“Harap tenang di ruangan sidang!”

Semua hadirin sidang menyimak secara saksama video tersebut yang di perkirakan memiliki durasi 1 menit 15 detik.

“Kita harus ubah rencana, secepatnya kita harus tutupi kasus ini sebelum peluncuran obat terbaru kita, Pak Ajil. Kita harus segera libatkan Haidar bersama kita!” Dokter Rangga terlihat gelisah dengan aksinya yang terekam di video CCTV.

“Jangan tergesa-gesa, Dokter, rencana kita masih terus jalan.”

“Karena hasil autopsi kemarin sudah keluar, kondisi rumah sakit jadi sedikit kacau, Pak Ajil, bahkan pihak keluarga pasien sudah menuntut kita. Setidaknya kita harus segera bertindak! “ “Romi, saya sudah minta kamu untuk kumpulkan data bukti untuk plan B kita kan?”

“Sudah, Dokter Rangga.”

“Dokter Rangga, kalau anda gegabah, anda hanya mencelakakan diri anda sendiri!”

“Saya tidak suka basa-basi, kalau memang fokus anda hanya untuk peluncuran obat terbaru kita maka lakukan saja pekerjaan anda, saya punya tanggung jawab untuk nama baik yayasan rumah sakit jadi saya akan melakukan apa yang semestinya saya kerjakan.” “Haidar... harus segera kita libatkan.”

Video itu berakhir tepat di durasi akhir.

“KEBERATAN YANG MULIA, SAUDARA SAKSI, ANDA INI SUDAH BEKERJA SAMA SEBELUMNYA DENGAN TERDAKWA BUKAN BEGITU?!” nada bicara sang ahli hukum dari pihak penuntut mulai memburu cepat. Dokter Rangga sudah mulai kehabisan kata-kata bahkan Pak Romi sendiri juga gelagapan tertangkap basah.

“Yang Mulia, saya sudah bersumpah untuk menyampaikan keterangan sebenar-benarnya dan itulah kesaksian yang bisa saya sampaikan,” Pak Ajil menoleh ke arah Haidar, “Dengan ini, saya harap semua orang bisa menyaksikan sebuah kebenaran yang sebenarnya...”

“Yang Mulia! Bukti tersebut tidak bisa kita katakan sah selama—”

“Dalam bukti itu sudah terekam jelas siapa pelaku utamanya jadi keterangan saudara saksi kami nyatakan sah. Apa ada kesaksian lain, saudara Ajil?”

Pak Ajil tersenyum miring penuh arti, ia mengambil ponselnya, “Ini adalah barang bukti terakhir yang bisa saya berikan. Dengan ini saya tak hanya memberikan keterangan sebagai saksi tapi saya juga menyerahkan diri untuk menembus semua perbuatan saya...”

Pria itu akhirnya mengakhiri kesaksiannya dan duduk di kursi yang di sediakan dengan wajah tenangnya. Naresh masih tercengang setelah mendengar semua kesaksian yang diberikan Pak Ajil, seolah tak percaya akan ada keajaiban yang bantu mengeluarkannya dari pusaran gelap yang menjeratnya, dan tak disangka-sangka semesta menurunkan sosok ayah kandungnya yang tlah menghilang selama 29 tahun, muncul di hadapannya sebagai penolong.

Pak Ajil menoleh ke belakang, tatapan kedua insan ayah dan anak itu bertemu dan pria paruh baya itu tersenyum hangat.

Apa kabar, jagoan papa?

Isyarat bibir Pak Ajil membuat hati Naresh terenyuh sampai pemuda itu tak sadar menitikkan air matanya.

“Pa..Papa?” gumam Naresh dengan bibir bergetar.

Aisyah mendelik menoleh ke arah Naresh dan mengikuti arah tatapan lelaki disampingnya yang mengarah ke Pak Ajil. Mata Aisyah menyala setelah melihat wajah Pak Ajil yang sangat mirip dengan Naresh. Pak Ajil mirip banget sama Kak Naresh... hah... masa sih?

Tak terasa persidangan berakhir dengan keputusan akhir bahwa Haidar El Fatih tidak dinyatakan bersalah. Proses pemeriksaan selanjutnya akan dilakukan ulang menjadi lebih luas, Dokter Rangga dan Pak Romi turut di bekuk oleh aparat berseragam setelah mendapat kesaksian yang kuat atas perbuatannya, tak berselang lama sidang berakhir, ternyata Eliza sudah menunggu di depan ruang sidang dan siap meringkus Pak Ajil yang sudah mengakui kesalahannya.

“Terima kasih atas kerjasamanya, Pak Ajil, sesuai kesepakatan kita... Anda harus ikut saya ke kantor sekarang,” tegas Eliza, wanita itu menoleh ke arah Naresh yang menatap nanar punggung Ayahnya dari belakang, “Anda sudah bicara dengan Dokter Naresh?”

Pak Ajil tersenyum simpul, ia meminta waktu sebentar kepada Eliza untuk menyampaikan sepatah dua katanya untuk putra semata wayangnya itu.

“Naresh...” Pak Ajil meraih lengan Naresh, “Kamu sehat-sehat ya?”

“Pah, kenapa...”

“Papa yang salah, nak, Papa yang salah sudah membuat kamu kesulitan sampai saat ini. Maaf, dulu Papa tidak menghadiri pelepasan kamu waktu TK, maaf, dulu kita gak jadi pergi nonton Space War di Dufan sama-sama... Papa terjebak dengan jurang yang Papa buat sendiri, nak...dan Papa gak mau kamu dengan almarhum Mama kamu terkena bahaya karena perbuatan Papa...” “Sekarang Papa mau menembus semua penderitaan kalian selama Papa gak ada, jadi berbahagialah dengan kehidupan barumu, Naresh...”

Eliza cepat memborgol kedua pergelangan tangan Pak Ajil, “Fajar! Tolong bawa Pak Ajil ke mobil, ntar gue nyusul!”

Tangan Naresh hendak meraih bahu Papanya namun terlambat, jarak sudah semakin jauh dari jangkauannya... Naresh hanya bisa merasakan pilu yang di tinggalkan oleh sang ayah kandung yang selama ini hilang dari kehidupannya selama 29 tahun.

“Bokap lo bisa terjerat pasal yang cukup berat, Res, tapi karena beliau berani tanggungjawab dan mau mengakui kesalahannya, setidaknya akan ada keringanan untuk sanksi pidananya.”

Naresh menggeleng, “Iya gapapa, Liz, memang sudah seharusnya begitu. Makasih ya, udah bantu banyak terutama soal Bang Haidar, akhirnya dia bebas juga...”

“Iya, gue bisa lihat kok gimana leganya kalian. Tuh si Anela gak berhenti pelukin suaminya.”

Pemandangan Anela dan Haidar yang saling berpelukan haru itu membuat keduanya terkekeh, Naresh juga ikut menghembus nafas lega. Satu per satu, semua masalahnya bisa terselesaikan dengan baik.

“Kita udah case closed kan, Liz?”

“Belum.”

Naresh mengernyit dahi, “Ha-hah?! Bu-bukannya tadi udah...?”

Eliza menyeringai, “Ada satu lagi, Res. Sekarang gue mau urus nih, pamit ya!” wanita itu berpamitan dan berlari pergi menuju tempat tujuannya tanpa sepengetahuan Naresh. Pemuda itu berjalan ke arah Haidar yang masih menangis haru bersama keluarga kecilnya, Haidar langsung datang menghampiri Naresh dan memeluk erat muridnya itu kuat-kuat.

“Terima kasih banyak, Naresh! Sekali lagi, terima kasih untuk semuanya! Saya benar-benar berhutang budi banyak sama kamu, Res!”

“Ah enggak, Bang, saya gak bantu banyak kok. Saya juga lega akhirnya kasus ini bisa di ungkap kebenarannya.”

Aisyah menimpal, “Iya ya! Huwa... akhirnya kasus ini selesai jugaa...!” gadis itu ikut mendecak lega. Naresh terkekeh sambil menyikut lengan mungil Aisyah.

“Berarti urusan kita gimana, Syah?”

“Hah? Urusan apa?”

“Ya urusan kita...”

“Urusan apa?!”

“Pernikahan kita.”

Wajah Aisyah memerah padam bak kepiting rebus dengan tangan kecilnya yang melayang ke punggung Naresh keras.

“Aduh! Gak usah mukul dong?!”

“Kak Naresh gak tahu tempat banget kalau ngomong! Masih banyak yang harus kita urus nih soal Bang Haidar! Urusan itu nanti dulu!!”

Naresh cemberut, “Lho kan kamu yang desak-desak saya untuk cepat nikahin kamu!”

“Ya nanti dulu!”

Haidar cuman ikut terpingkal-pingkal geleng-geleng melihat tingkah kedua anak muda yang saling mencintai itu. Dirinya terhenyak, mengingat bagaimana ia membesarkan adik satu-satunya dari kecil dan sekarang ia harus mempersiapkan diri untuk menyerahkan adiknya kepada laki-laki yang bersedia meminangnya. Ternyata waktu berjalan dengan cepat ya... *Terima kasih, Ya Allah... Engkau memang selalu bersama hamba-Mu yang yakin terhadap-Mu...”


Begitu putusan akhir sidang di tetapkan, Jovian memutuskan untuk meninggalkan ruangan sidang dan menyepi sendirian dengan sebatang rokok yang ia bakar di ruang tangga darurat. Tak peduli dengan peraturan yang ada, Jovi menenangkan pikirannya karena tidak puas dengan hasil sidangnya.

“Sudah selesai sandiwaranya, Pak Direktur?”

Jovian tersontak begitu suara melengking milik Eliza terdengar dari belakang.

“Kecewa ya, di khianatin sama tangan kanannya langsung? Kira-kira... udah berapa kali bikin back-up plan sampai sejauh ini, Pak Direktur? Apa masih gak mau nyerah juga?” Eliza mendekat ke arah Jovi dan merebut rokok yang tersangkur di bibir sang empunya, “Lo emang manusia paling buruk yang pernah gue temuin, Jovian... ah bukan,” “Lee Joon Hee, bukannya itu identitas asli lo?”

Sekali lagi, Jovian dibuat bisu dengan ungkapan fakta yang keluar dari mulut Eliza.

“Rekor kriminal lo udah cukup banyak, Tuan Lee Joon Hee, gue gak menyangka orang lulusan hukum seperti lo ini udah berapa kali keluar masuk penjara khusus anak dibawah umur, menghamili perempuan dan meninggalkannya lalu sekarang... jadi pimpinan perusahaan mafia terbesar di Asia? Hebat lo, Jov, setan aja kalah brengsek sama lo.” “Gue gak tahu kenapa pada akhirnya lo bisa curi identitas bokap lo atau mungkin kalian tukeran identitas tapi intinya, semua rencana dan kelakuan lo ini udah gue tangkap basah. Bokap lo udah jadi buronan di tempat asal lo.” “Nyerah aja, Jov, kita selesaikan semuanya baik-baik dengan damai. Lebih baik lo ikut prosedur hukum disini daripada lo harus di deportasi ke negara asal lo dan di hukum disana, gue dengar-dengar sih... hukumannya lebih kejam. Hayo, mending di pulangin dan di kurung selamanya disana atau mungkin kalau lo udah terlanjur cinta sama Indonesia, lo mau rasain penjara disini? Hm?”

Sang pemilik dua nama itu cuman tertawa terbahak-bahak bak antagonis yang tak gentar dengan kecaman, “Luar biasa, Detektif Eliza! Saya kagum sekali dengan anda!” “Memang ya semakin canggih kejahatan maka semakin canggih pula penanggulangan kejahatannya, gue salah banget menilai lo selama ini. Selama kita kuliah, Eliza ini cuman anak pemalas yang hobinya ngedugem DAN LIHAT SEKARANG?! DIA ADALAH SEORANG DETEKTIF HANDAL YANG MENANGANI KASUS KELAS KAKAP!!”

SRK, SET! CRING!

Jovian tak mau kalah, ia justru mengacungkan pistol jenis revolver kaliber 38 ke dagu Eliza, “Sayangnya masih panjang perjalanan lo, Eliza... gak semudah itu lo mau menghancurkan gue...”

Wanita itu mendelik gemetar, begitu ia hendak membekuk satu tangan Jovian namun nahasnya, Jovian cepat menangkis tangan`Eliza dan ia memukul tengkuk leher mungil Eliza hingga wanita itu kehilangan keseimbangannya. BRUK!

Eliza jatuh tersungkur tak sadarkan diri.

Naresh menatap ponselnya lemat-lemat, dimana ia sedang meratapi foto kebersamaannya dengan Haidar.

Image

Ya Allah... sampai sekarang masih belum ada bukti kuat untuk membebaskan Bang Haidar... mau sampai kapan gue masih stuck di pusarannya Rangga? Gue harus cepat-cepat ringkus kumpulan tikus sialan itu!

TOK...TOK...TOK...

Pemuda berjas putih itu cepat membukakan pintunya, dan orang pertama yang muncul di hadapannya...

“Jov?” Naresh memencak matanya kaget. Jovi tak menggubris panggilan kawannya, ia cepat mengambil posisi duduk di sofa abu-abu modern dengan santai sambil merenggang kedua tangannya.

“Kok cuman gue disini? Eliza mana?”

“Lagi di jalan, Aisyah juga sebentar lagi selesai.”

Jovi menjawab oh ria.

Berselang 10 menit kedatangan Jovi, sosok Eliza dengan blazer merah dan kacamata hitamnya datang dengan wajah angkuh, di belakangnya ada Aisyah yang sedang menunduk bersembunyi di balik punggung wanita yang lebih tua darinya itu.

“Oh, udah kumpul semua?” Eliza menyeringai begitu matanya beradu dengan netra tajam Jovian, “Terima kasih sudah mau datang membantu, Pak Jovian.”

“Langsung aja ke inti, apa yang bisa gue bantu?”

Eliza langsung membuka pembicaraannya dan meletakkan ponselnya yang menampilkan hologram berisi dokumen-dokumen yang ia terima semalam, “Gue nemu barang bagus, dan semuanya bisa jadi senjata kita untuk di pengadilan nanti,” begitu Eliza memutar salah satu audio dari dokumen yang ia dapatkan itu, sontak membuat mata Naresh dan Aisyah terbelelak bersamaan.

“Lho, ini kan rekaman suara yang...”

“Kak! Ini rekaman suara yang waktu itu Kak Jovi rekam kan?! Ko-kok bisa?! Bukannya file kemarin hilang karena itu ilegal?”

Eliza menoleh ke Jovian, “Gimana, Jov, bisa bantu jawab?”

Jovian menjawab dengan nada dingin, “Di buka lagi aksesnya dari intel, dan kemungkinan yang kirim file itu salah satu pihak intel disana. Gak tahu dibuka aksesnya itu secara legal atau ilegal.”

“Ini bukan sembarangan intel, Jov, ini punya intel Amerika. Orang mana yang punya koneksi seluas itu?”

“Bisa aja salah satu dari rekan polisi lo.”

“Terlalu basi kayaknya.”

Jovian mulai mendecih malas, “Oke terus apa?”

“Jujur aja, orang-orang yang bisa punya akses sampai sejauh ini cuman 2 orang. Yang pertama, intel yang secara resmi di utus pemerintah untuk tugas rahasianya dan yang kedua, adalah intel backingan para mafia-mafia besar yang hendak menguasai dunia dengan cara hitamnya, dan gue menarik kesimpulan bahwa orang yang punya akses untuk mengirim dokumen ini ke gue adalah pihak yang kedua tadi.” “Bahasa simpelnya, yang punya akses untuk kirim dokumen ini ke gue kemungkinan besar adalah salah satu komplotan dari Perusahaan Farmasi Yeoreum itu sendiri.”

Naresh mengernyit dahinya heran, “Tunggu, tunggu, ini kedengerannya kayak senjata makan tuan. Untuk apa komplotan dari Perusahaan Farmasi Yeoreum-nya sendiri yang kirim bukti ini ke lo? Secara banyak data-data rahasia disana yang bisa mengancam rencananya sendiri?”

Lagi-lagi, wanita itu cuman tersenyum miring penuh arti sambil terus memandang Jovian lemat-lemat, “Enggak, itu masih sebagian kecil dari rencana besarnya dan lo harus tahu kalau ternyata cuman dengan cara itu... mereka bisa melancarkan misi besar mereka yang sesungguhnya.” “Mereka bukan menyerahkan diri, tapi lebih tepatnya... mereka lagi memangkas hama-hama yang sudah gak berguna dalam rencana mereka, termasuk bokap tiri lo dan Pak Romi, bener kan logika gue, Jov?”

Jovian memanggut-manggut kepalanya, “Mantap lo, Liz, gak heran lo itu detektif andalannya pemerintah.”

“Terima kasih pujiannya.”

Aisyah mengangkat tangannya, “Kalau kita bawa bukti ini ke pengadilan nanti, apa Bang Haidar bisa di bebaskan?”

Eliza mengangguk, “Bisa. Dengan bukti ini semua, Bang Haidar sudah bisa di nyatakan bersih.”

Aisyah langsung mengucap syukur tiada henti begitupun dengan Naresh. Jovian cuman ikut tersenyum simpul melihat kedua orang di sampingnya itu bersukacita.

“Jovian,” Eliza berdiri di hadapannya Jovian lurus, “Gue harap lo bisa ikut saksiin persidangannya Kak Haidar nanti.”

Jovian mengangkat satu alisnya, “Untuk apa?”

“Sebagai saksi dari hasil analisa gue, karena salah satu komplotan dari Perusahaan Farmasi Yeoreum itu akan muncul juga di persidangan nanti.” “Gue mau lihat, batang hidung penjahat kelas kakap itu seperti apa.”

Mata Jovi terbelelak lebar, Eliza menepuk bahu bidang Jovian pelan dan membisik di telinganya...

“Kita harus menuntaskan kasus ini sampai ke akar-akarnya, sayang...”

Jovian membeku begitu melihat tingkah aneh dari wanita berambut panjang sepunggung yang tergerai cantik itu. Tak lupa Eliza mengedip satu matanya memberi isyarat tersembunyi ke arah Jovian dan mengambil ponselnya pergi keluar dari ruangannya, “Oh ya, Naresh, ada yang mau gue omongin sama lo secara empat mata. Ayo ikut gue.”

Naresh menoleh kaget dan mau tak mau ia mengikuti langkah Eliza dari belakang meninggalkan Jovian yang diam mematung disana bersama Aisyah yang sedang siap-siap untuk pergi juga menjalankan pekerjaannya kembali.

Tuh cewek sarap ya?


“Kenapa, Liz?”

Eliza merogoh lagi ponselnya dan membuka isi galeri yang sudah ia simpan foto seorang pria misterius.

“Sebelumnya gue mau tanya sama lo tapi ini... kayaknya udah ranah ke pribadi.” “Bokap kandung lo kemana?”

Naresh tersentak dengan pertanyaa itu, “Woah, tidak sopan sekali anda.”

“Tolong jawab. Gue butuh jawaban pastinya dari lo.”

Pemuda itu mengecak pinggangnya dan menghela nafas panjang, “Udah lama meninggal.”

“Meninggal... kenapa?”

“Kecelakaan pesawat tahun 2006, waktu gue masih kecil.”

Eliza kembali menarik nafasnya, “Kalau boleh tahu nama bokap kandung lo siapa?”

“Gabriel Agil Ishaaq.”

SET! Eliza menyodorkan ponselnya yang menampilkan sosok dari pria yang wajahnya sangat mirip dengan Naresh.

“Nama beliau adalah Ajil Mustafa Baihaqi, nama tersebut adalah namanya yang sudah tercatat secara resmi di sipil pada tahun 2006 dan sebelumnya... nama beliau itu adalah Gabriel Agil Ishaaq, sesuai yang lo sebutkan tadi.” “Sorry to say... Bokap kandung lo masih hidup, Res, dan bokap lo itu adalah tangan kanan pimpinannya Perusahaan Farmasi Yeoreum.”

Jantung Naresh seketika berhenti berdetak dengan matanya yang memencak lebar.

“Bokap gue... masih hidup...?”

Naresh dan Aisyah tergopoh-gopoh lari menuju kantor polisi dan mendapati sosok Anela yang sedang menangis meringkuk wajahnya di meja besi berwarna hitam. Cepat-cepat mereka langsung mendatangi Anela dan Aisyah memeluk erat tubuh kakak iparnya.

“Kak Anela...!”

Anela menoleh ke Aisyah dengan wajah sembabnya, “A-Aisyah...” wanita malang itu kembali sesegukan menyebut nama suaminya, “Mas Haidar... Mas Haidar, Syah... Aku harus gimana... Ya Allah, apa salah dia... Mas Haidar bukan orang seperti itu... gak mungkin Mas Haidar begitu...”

Naresh langsung mencari salah satu polisi yang bertugas untuk mencari keberadaan Haidar yang sudah berada di dalam jeruji besi.

Pemuda itu tersontak dengan kondisi Haidar yang sedang bersujud di atas alas potongan karung yang terlihat lusuh. Hatinya seketika remuk, ia sangat mengutuk perbuatan Rangga yang sudah mendzalimi orang sebaik Haidar. Seluruh aliran darahnya mengalir panas bahkan meletup-letup sampai ke ubun-ubunnya, ingin sekali ia segera datang menghajar pria tua nan bengis itu namun sayangnya bukan itu yang akan menyelesaikan masalahnya.

“Naresh?” suara lesu Haidar menyadarkan Naresh dari lamunannya, “Ah kamu sama adik saya kesini?”

Naresh mengangguk pelan, “I-Iya, Bang...”

Haidar melekukkan senyum simpulnya, “Maaf ya, karena saya semuanya jadi rumit.”

“Enggak, Bang! Ya Allah, justru Bang Haidar ini korban!” Tanpa ia sadari, satu tetes air mata mulai jatuh membasahi pipinya, “Saya... minta maaf atas perbuatan ayah tiri saya... maaf, saya belum bisa menyelesaikan kasus ini dengan cepat... maaf, kalau pada akhirnya saya—”

“Sudah, Naresh. Gak perlu minta maaf. Sudah jelas ini bukan kesalahan kamu, kita semua ini korban. Sekarang kamu fokus aja usut kasus ini sampai tuntas sama Eliza, pastikan Aisyah dan keluarga saya aman, biar saya yang disini untuk sementara.” “Saya yakin kamu bisa menyelesaikan ini semua, Naresh... ini semua bukan semata-mata untuk membebaskan saya aja tapi ini untuk keadilan masyarakat. Kamu melakukan sebuah amanah yang besar, kalau kamu berhasil mengusut orang-orang jahat itu... berarti kamu juga berhasil menyelamatkan banyak nyawa di masa depan.” “Hanya itu yang saya titip sama kamu, tolong ya?”

Naresh semakin terisak-isak bahkan ia melutut di hadapan Haidar dengan penuh penyesalan.

“Bang... saya minta maaf...”

“Sudah, Naresh. Jangan nangis kayak gini, saya gak perlu di tangisi.” “Kamu ingat pelajaran kita dulu waktu di pondok? Surat Ali Imran ayat 139.”

Naresh melantunkan ayat tersebut dengan isakkannya, “Wa lā tahinụ wa lā taḥzanụ wa antumul-a'launa ing kuntum mu`minīn

Haidar terhenyak, “Dan janganlah kamu merasa lemah, dan jangan pula bersedih hati, sebab kamu paling tinggi derajatnya, jika kamu orang beriman.” dari balik jeruji besi, tangan besar Haidar menggapai pucuk kepala Naresh dan menepuknya pelan, “Kamu memang murid kebanggaan saya, Naresh.”

Sekali lagi, tangisan Naresh pecah di hadapan laki-laki bersurai coklat berantakan yang terus menepuk kepalanya. Lekukan senyum teduh Haidar menunjukkan betapa tegarnya pria itu dalam menghadapi ujian yang terus menguji keteguhan hatinya terhadap takdir Sang Maha Kuasa.

Naresh dan Aisyah tergopoh-gopoh lari menuju kantor polisi dan mendapati sosok Anela yang sedang menangis meringkuk wajahnya di meja besi berwarna hitam. Cepat-cepat mereka langsung mendatangi Anela dan Aisyah memeluk erat tubuh kakak iparnya.

“Kak Anela...!”

Anela menoleh ke Aisyah dengan wajah sembabnya, “A-Aisyah...” wanita malang itu kembali sesegukan menyebut nama suaminya, “Mas Haidar... Mas Haidar, Syah... Aku harus gimana... Ya Allah, apa salah dia... Mas Haidar bukan orang seperti itu... gak mungkin Mas Haidar begitu...”

Naresh langsung mencari salah satu polisi yang bertugas untuk mencari keberadaan Haidar yang sudah berada di dalam jeruji besi.

Pemuda itu tersontak dengan kondisi Haidar yang sedang bersujud di atas alas potongan karung yang terlihat lusuh. Hatinya seketika remuk, ia sangat mengutuk perbuatan Rangga yang sudah mendzalimi orang sebaik Haidar. Seluruh aliran darahnya mengalir panas bahkan meletup-letup sampai ke ubun-ubunnya, ingin sekali ia segera datang menghajar pria tua nan bengis itu namun sayangnya bukan itu yang akan menyelesaikan masalahnya.

“Naresh?” suara lesu Haidar menyadarkan Naresh dari lamunannya, “Ah kamu sama adik saya kesini?”

Naresh mengangguk pelan, “I-Iya, Bang...”

Haidar melekukkan senyum simpulnya, “Maaf ya, karena saya semuanya jadi rumit.”

“Enggak, Bang! Ya Allah, justru Bang Haidar ini korban!” Tanpa ia sadari, satu tetes air mata mulai jatuh membasahi pipinya, “Saya... minta maaf atas perbuatan ayah tiri saya... maaf, saya belum bisa menyelesaikan kasus ini dengan cepat... maaf, kalau pada akhirnya saya—”

“Sudah, Naresh. Gak perlu minta maaf. Sudah jelas ini bukan kesalahan kamu, kita semua ini korban. Sekarang kamu fokus aja usut kasus ini sampai tuntas sama Eliza, pastikan Aisyah dan keluarga saya aman, biar saya yang disini untuk sementara.” “Saya yakin kamu bisa menyelesaikan ini semua, Naresh... ini semua bukan semata-mata untuk membebaskan saya aja tapi ini untuk keadilan masyarakat. Kamu melakukan sebuah amanah yang besar, kalau kamu berhasil mengusut orang-orang jahay itu... berarti kamu juga berhasil menyelamatkan banyak nyawa di masa depan.” “Hanya itu yang saya titip untuk kamu, tolong ya?”

Naresh semakin terisak-isak bahkan ia melutut di hadapan Haidar dengan penuh penyesalan.

“Bang... saya minta maaf...”

“Sudah, Naresh. Jangan nangis kayak gini, saya gak perlu di tangisi.” “Kamu ingat pelajaran kita dulu waktu di pondok? Surat Ali Imran ayat 139.”

Naresh melantunkan ayat tersebut dengan isakkannya, “Wa lā tahinụ wa lā taḥzanụ wa antumul-a'launa ing kuntum mu`minīn

Haidar terhenyak, “Dan janganlah kamu merasa lemah, dan jangan pula bersedih hati, sebab kamu paling tinggi derajatnya, jika kamu orang beriman.” dari balik jeruji besi, tangan besar Haidar menggapai pucuk kepala Naresh dan menepuknya pelan, “Kamu memang murid kebanggaan saya, Naresh.”

Sekali lagi, tangisan Naresh pecah di hadapan laki-laki bersurai coklat berantakan yang terus menepuk kepalanya. Lekukan senyum teduh Haidar menunjukkan betapa tegarnya pria itu dalam menghadapi ujian yang terus menguji keteguhan hatinya terhadap takdir Sang Maha Kuasa.

Naresh dan Aisyah tergopoh-gopoh lari menuju kantor polisi dan mendapati sosok Anela yang sedang menangis meringkuk wajahnya di meja besi berwarna hitam. Cepat-cepat mereka langsung mendatangi Anela dan Aisyah memeluk erat tubuh kakak iparnya.

“Kak Anela...!”

Anela menoleh ke Aisyah dengan wajah sembabnya, “A-Aisyah...” wanita malang itu kembali sesegukan menyebut nama suaminya, “Mas Haidar... Mas Haidar, Syah... Aku harus gimana... Ya Allah, apa salah dia... Mas Haidar bukan orang seperti itu... gak mungkin Mas Haidar begitu...”

Naresh langsung mencari salah satu polisi yang bertugas untuk mencari keberadaan Haidar yang sudah berada di jeruji besi.

Pemuda itu tersontak dengan kondisi Haidar yang sedang bersujud di atas alas potongan karung yang terlihat lusuh. Hatinya seketika remuk, ia sangat mengutuk perbuatan Rangga yang sudah mendzalimi orang sebaik Haidar. Seluruh aliran darahnya mengalir panas bahkan meletup-letup sampai ke ubun-ubunnya, ingin sekali ia segera datang menghajar pria tua nan bengis itu namun sayangnya bukan itu yang akan menyelesaikan masalahnya.

“Naresh?” suara lesu Haidar menyadarkan Naresh dari lamunannya, “Ah kamu sama adik saya kesini?”

Naresh mengangguk pelan, “I-Iya, Bang...”

Haidar melekukkan senyum simpulnya, “Maaf ya, karena saya semuanya jadi rumit.”

“Enggak, Bang! Ya Allah, justru Bang Haidar ini korban!” Tanpa ia sadari, satu tetes air mata mulai jatuh membasahi pipinya, “Saya... minta maaf atas perbuatan ayah tiri saya... maaf, saya belum bisa menyelesaikan kasus ini dengan cepat... maaf, kalau pada akhirnya saya—”

“Sudah, Naresh. Gak perlu minta maaf. Sudah jelas ini bukan kesalahan kamu, kita semua ini korban. Sekarang kamu fokus aja usut kasus ini sampai tuntas sama Eliza, pastikan Aisyah dan keluarga saya aman, biar saya yang disini untuk sementara.” “Saya yakin kamu bisa menyelesaikan ini semua, Naresh... ini semua bukan semata-mata untuk membebaskan saya aja tapi ini untuk keadilan masyarakat. Kamu melakukan sebuah amanah yang besar, kalau kamu berhasil mengusut orang-orang jahay itu... berarti kamu juga berhasil menyelamatkan banyak nyawa di masa depan.” “Hanya itu yang saya titip untuk kamu, tolong ya?”

Naresh semakin terisak-isak bahkan ia melutut di hadapan Haidar dengan penuh penyesalan.

“Bang... saya minta maaf...”

“Sudah, Naresh. Jangan nangis kayak gini, saya gak perlu di tangisi.” “Kamu ingat pelajaran kita dulu waktu di pondok? Surat Ali Imran ayat 139.”

Naresh melantunkan ayat tersebut dengan isakkannya, “Wa lā tahinụ wa lā taḥzanụ wa antumul-a'launa ing kuntum mu`minīn

Haidar terhenyak, “Dan janganlah kamu merasa lemah, dan jangan pula bersedih hati, sebab kamu paling tinggi derajatnya, jika kamu orang beriman.” dari balik jeruji besi, tangan besar Haidar menggapai pucuk kepala Naresh dan menepuknya pelan, “Kamu memang murid kebanggaan saya, Naresh.”

Sekali lagi, tangisan Naresh pecah di hadapan laki-laki bersurai coklat berantakan yang terus menepuk kepalanya. Lekukan senyum teduh Haidar menunjukkan betapa tegarnya pria itu dalam menghadapi ujian yang terus menguji keteguhan hatinya terhadap takdir Sang Maha Kuasa.

Aisyah duduk termenung menatap minuman kopinya. Punggungnya yang menyandar ke sandaran kursi kayu putih dengan lesu, kepalanya di penuhi oleh sejuta keraguan yang membuat hatinya ganjal.

Tentu itu semua tentang lelaki yang sudah berjanji untuk segera meminangnya.

Namun sayang badai masih terus menghalau jalan mereka.

“Aisyah!”

Suara melengking milik wanita berhijab pink itu membuyarkan lamunan panjang Aisyah. Ia cepat mengambil posisi tegak menghadapi kakak iparnya yang sudah membawakan kue cheesecake buatannya.

“Nih, cheesecake spesial buatan Kak Anela! Ayo di coba dong!” Anela menyodor satu sendok kecilnya di pinggir, “Mas Haidar aja doyan banget lho, dia bawa 3 slice sekaligus ke kampus!”

Aisyah mengernyit dahinya, “Ih, Kak Anela! Si Abang kan gula darahnya udah tinggi banget! Jangan di manjain terus kasih makanan manis kayak gini, mending buat Ibra, Mina ama Aisyah aja! Dia kasih aja buah-buahan yang banyak!”

Anela ketawa geli melihat adiknya yang sewot soal kesehatan abangnya itu, “Tadinya mau gitu, Syah... cuman tadi mukanya melas banget mau makan cheesecake ya jadinya aku gak tega... cheating sehari gapapa kali, Syah...”

Aisyah hanya mendengus sebal, “Kebiasaan dia mah, ama istri manja banget, heran.”

Lagi-lagi Anela tertawa cekikikan sambil ikut melahap kue buatannya itu.

“Eh iya, kamu mau curhat apa soal Naresh?”

Aisyah langsung menoleh kanan-kiri celingukan untuk memastikan tidak ada orang yang mendengar percakapan mereka.

“Uhm... jadi gini, Kak Anela...” Aisyah meletakkan sendoknya, “Aisyah... mulai ragu dengan kesungguhan Dokter Naresh untuk menikahi Aisyah...”

Anela menghentikan aktivitas makannya dan matanya membesar menatap netra adik iparnya yang mulai bergetar, “Naresh kenapa, Syah?”

“Ya aku cuma ngerasa, kayaknya disini yang menginginkan pernikahan ini cuman Aisyah aja. Kak Naresh pada akhirnya cuman ngulur-ngulur waktu dan perasaan aku kayak gini.” “Aku dari tadi di tempat kerja berusaha untuk menghindar dari dia, aku gak mau lihat muka dia dulu. Untung aja Abang ngeblock nomernya Kak Naresh dari hape Aisyah jadi dia gak akan chat atau telepon untuk ngusik aku lagi.”

Aisyah menghela nafasnya kasar, “Aisyah gak tahu mau sampai kapan kayak gini, karena ternyata... menunggu itu sakit, Kak. Aisyah pikir dengan sabar masih bisa untuk menenangkan hati Aisyah tapi ternyata... Aisyah masih gelisah juga.” “Aisyah berusaha memahami situasi Kak Naresh, tapi ya gimana, Kak... Aisyah gak bisa bohong kalau soal hati.”

Anela meraih punggung tangan adiknya dengan lembut, mengusapnya perlahan sambil tangan satunya menepuk pucuk kepala gadis berseragam biru pastel, “Adiknya kakak sekarang udah besar ya...” “Aisyah, memang wajar kamu merasakan dilema seperti ini ketika menuju pernikahan. Aku pun dulu meskipun memang udah sukaa banget sama Mas Haidar, dia kan cuek banget sama aku dan banyak sikap dia yang membuat aku bimbang kayak 'ini orang beneran mau nikahin gue apa enggak sih?' tapi setelah aku berusaha untuk fokus memperbaiki diri dan dia datang untuk menikahi aku, semua keraguan aku perlahan hilang , dan setelah menikah pun ternyata aku tetap merasakan keraguan itu karena banyak ujian-ujian dalam rumah tangga yang tak terduga antara aku dan Mas Haidar. Setelah kita melewati semuanya sama-sama dan kami memutuskan untuk saling percaya satu sama lain, akhirnya aku bisa mengatasi semua rasa bimbang dalam hati aku sampai akhirnya punya si kembar, dan gak kerasa usia pernikahanku sekarang udah mau menginjak angka 10.” “Kakak paham kamu gelisah, ragu, bimbang kayak gini karena sebentar lagi kamu akan menjalani kehidupan baru bersama orang baru juga yang akan menjadi pendamping hidup kamu. Kalau kakak lihat sih dari Naresh-nya, dia memang serius mau meminang kamu tapi ya memang situasinya lagi sulit. Mas Haidar sendiri gak bisa mendesak Naresh untuk segera melamar kamu, padahal yang paling dia takutin tuh situasi yang lagi kamu rasain ini lho.”

Aisyah memencak, “Hah? Bang Haidar takut aku kayak gini? Maksudnya?”

“Hahahaha, dia sayang banget sama kamu, Aisyah. Dia lagi nyari cara untuk segera menyelesaikan masalah perusahaannya yang melibatkan Naresh juga, bahkan dia minta sama Papa aku untuk kirim detektif handal dari luar sekalian biar masalahnya cepat selesai. Dia bilang, dia gak mau masalahnya ini sampai menghalangi niat baik Naresh yang ingin segera meminang kamu, tapi dia gak mau gegabah untuk mendesak Naresh karena situasinya Naresh juga sedang sulit dan itu bisa membahayakan kamu juga. Dia juga perhatiin kamu yang uring-uringan kayak gini, jadi dia juga gak enak ngelihatnya.”

Aisyah cemberut, “Ish si abang mah diem-diem aja, hibur adeknya kek.”

“Ya kamu tahu sendiri, dia bukan tipe orang yang perhatian lewat kata-kata tapi dia lebih fokus untuk mengatasi kegelisahan kamu itu, Syah.” “Begitupun dengan Naresh, dia juga sedang berusaha untuk mengatasi semuanya dan memastikan keselamatan kamu itu benar-benar terjaga. Mungkin kelihatannya Naresh tipe orang yang suka main-main, tapi aku bisa melihat betapa tulusnya perasaan dia sama kamu ketika dia mau mengorbankan nyawanya untuk kamu, Syah.” “Naresh bukan tipe orang yang mau berkorban kayak gitu lho, kalau bukan karena dia benar-benar mencintai seseorang itu.”

Aisyah merenung semua kalimat kakak iparnya itu. Sekelibat memorinya tentang bagaimana Naresh memperlakukannya dengan spesial itu terbayang di kepalanya, dan lagi-lagi hatinya malah terasa semakin sesak.

“Aisyah... salah gak sih ngerasain kayak gini, kak? Kok aku gak tahu diri banget...”

“Enggak kok, wajar, memang fase orang mau menikah tuh kayak gini, Syah. Aku jadi kamu juga pasti bakalan ragu malahan aku mah ngedesak Naresh untuk kasih kepastian yang bener hahaha...” “Tapi untuk sekarang sih pesan aku, ya kamu mending fokus aja dengan diri kamu. Misalnya belajar masak dulu, atau ikut kelas pra-nikah di pondok biar kamu gak fokus ke Naresh-nya.” “Jangan sampai keraguan kamu ini membuat kamu lupa dengan pengorbanan Naresh untuk kamu selama ini, Syah.”

Perlahan hati Aisyah mulai bangkit dari rasa gundahnya. Ia menegakkan tubuhnya dan menatap lurus kakak iparnya dengan mantap.

“Iya deh, kak, Aisyah mau coba lebih sabar lagi.” “Bismillah, Aisyah... dah! Aisyah udah gak galau lagi! Hahaha, sekarang mau kerja dulu nih, udah di chat sama Bu Tyas di suruh ke IGD hehehe...”

“Oh iya, hati-hati ya sayang! Inget jaga diri kamu!”

“Iya, Kak Anela! Makasih ya buat cheesecake-nya! Enak banget, hehehe...!!”

Anela tersenyum lebar sambil terus melambaikan tangannya riang ke adik iparnya. Matanya melirik lagi ke satu kotak berisi satu cheesecake utuh yang tersisa...

“Waduh, lupa bilang ini satu lagi buat Naresh! Gimana ya... titip aja deh ke temennya Aisyah.”

Aisyah duduk termenung menatap minuman kopinya. Punggungnya yang menyandar ke sandaran kursi kayu putih dengan lesu, kepalanya di penuhi oleh sejuta keraguan yang membuat hatinya ganjal.

Tentu itu semua tentang lelaki yang sudah berjanji untuk segera meminangnya.

Namun sayang badai masih terus menghalau jalan mereka.

“Aisyah!”

Suara melengking milik wanita berhijab pink itu membuyarkan lamunan panjang Aisyah. Ia cepat mengambil posisi tegak menghadapi kakak iparnya yang sudah membawakan kue cheesecake buatannya.

“Nih, cheesecake spesial buatan Kak Anela! Ayo di coba dong!” Anela menyodor satu sendok kecilnya di pinggir, “Mas Haidar aja doyan banget lho, dia bawa 3 slice sekaligus ke kampus!”

Aisyah mengernyit dahinya, “Ih, Kak Anela! Si Abang kan gula darahnya udah tinggi banget! Jangan di manjain terus kasih makanan manis kayak gini, mending buat Ibra, Mina ama Aisyah aja! Dia kasih aja buah-buahan yang banyak!”

Anela ketawa geli melihat adiknya yang sewot soal kesehatan abangnya itu, “Tadinya mau gitu, Syah... cuman tadi mukanya melas banget mau makan cheesecake ya jadinya aku gak tega... cheating sehari gapapa kali, Syah...”

Aisyah hanya mendengus sebal, “Kebiasaan dia mah, ama istri manja banget, heran.”

Lagi-lagi Anela tertawa cekikikan sambil ikut melahap kue buatannya itu.

“Eh iya, kamu mau curhat apa soal Naresh?”

Aisyah langsung menoleh kanan-kiri celingukan untuk memastikan tidak ada orang yang mendengar percakapan mereka.

“Uhm... jadi gini, Kak Anela...” Aisyah meletakkan sendoknya, “Aisyah... mulai ragu dengan kesungguhan Dokter Naresh untuk menikahi Aisyah...”

Anela menghentikan aktivitas makannya dan matanya membesar menatap netra adik iparnya yang mulai bergetar, “Naresh kenapa, Syah?”

“Ya aku cuma ngerasa, kayaknya disini yang menginginkan pernikahan ini cuman Aisyah aja. Kak Naresh pada akhirnya cuman ngulur-ngulur waktu dan perasaan aku kayak gini.” “Aku dari tadi di tempat kerja berusaha untuk menghindar dari dia, aku gak mau lihat muka dia dulu. Untung aja Abang ngeblock nomernya Kak Naresh dari hape Aisyah jadi dia gak akan chat atau telepon untuk ngusik aku lagi.”

Aisyah menghela nafasnya kasar, “Aisyah gak tahu mau sampai kapan kayak gini, karena ternyata... menunggu itu sakit, Kak. Aisyah pikir dengan sabar masih bisa untuk menenangkan hati Aisyah tapi ternyata... Aisyah masih gelisah juga.” “Aisyah berusaha memahami situasi Kak Naresh, tapi ya gimana, Kak... Aisyah gak bisa bohong kalau soal hati.”

Anela meraih punggung tangan adiknya dengan lembut, mengusapnya perlahan sambil tangan satunya menepuk pucuk kepala gadis berseragam biru pastel, “Adiknya kakak sekarang udah besar ya...” “Aisyah, memang wajar kamu merasakan dilema seperti ini ketika menuju pernikahan. Aku pun dulu meskipun memang udah sukaa banget sama Mas Haidar, dia kan cuek banget sama aku dan banyak sikap dia yang membuat aku bimbang kayak 'ini orang beneran mau nikahin gue apa enggak sih?' tapi setelah aku berusaha untuk fokus memperbaiki diri dan dia datang untuk menikahi aku, semua keraguan aku hilang gitu aja, dan setelah menikah pun aku tetap merasakan keraguan itu karena banyak ujian-ujian dalam rumah tangga yang tak terduga antara aku dan Mas Haidar. Setelah kita melewati semuanya sama-sama dan kami memutuskan untuk saling percaya satu sama lain, akhirnya aku bisa mengatasi semua rasa bimbang dalam hati aku sampai akhirnya punya si kembar, dan gak kerasa usia pernikahanku sekarang udah mau menginjak angka 10.” “Kakak paham kamu gelisah, ragu, bimbang kayak gini karena sebentar lagi kamu akan menjalani kehidupan baru bersama orang baru juga yang akan menjadi pendamping hidup kamu. Kalau kakak lihat sih dari Naresh-nya, dia memang serius mau meminang kamu tapi ya memang situasinya lagi sulit. Mas Haidar sendiri gak bisa mendesak Naresh untuk segera melamar kamu, padahal yang paling dia takutin tuh situasi yang lagi kamu rasain ini lho.”

Aisyah memencak, “Hah? Bang Haidar takut aku kayak gini? Maksudnya?”

“Hahahaha, dia sayang banget sama kamu, Aisyah. Dia lagi nyari cara untuk segera menyelesaikan masalah perusahaannya yang melibatkan Naresh juga, bahkan dia minta sama Papa aku untuk kirim detektif handal dari luar sekalian biar masalahnya cepat selesai. Dia bilang, dia gak mau masalahnya ini sampai menghalangi niat baik Naresh yang ingin segera meminang kamu, tapi dia gak mau gegabah untuk mendesak Naresh karena situasinya Naresh juga sedang sulit dan itu bisa membahayakan kamu juga. Dia juga perhatiin kamu yang uring-uringan kayak gini, jadi dia juga gak enak ngelihatnya.”

Aisyah cemberut, “Ish si abang mah diem-diem aja, hibur adeknya kek.”

“Ya kamu tahu sendiri, dia bukan tipe orang yang perhatian lewat kata-kata tapi dia lebih fokus untuk mengatasi kegelisahan kamu itu, Syah.” “Begitupun dengan Naresh, dia juga sedang berusaha untuk mengatasi semuanya dan memastikan keselamatan kamu itu benar-benar terjaga. Mungkin kelihatannya Naresh tipe orang yang suka main-main, tapi aku bisa melihat betapa tulusnya perasaan dia sama kamu ketika dia mau mengorbankan nyawanya untuk kamu, Syah.” “Naresh bukan tipe orang yang mau berkorban kayak gitu lho, kalau bukan karena dia benar-benar mencintai seseorang itu.”

Aisyah merenung semua kalimat kakak iparnya itu. Sekelibat memorinya tentang bagaimana Naresh memperlakukannya dengan spesial itu terbayang di kepalanya, dan lagi-lagi hatinya malah terasa semakin sesak.

“Aisyah... salah gak sih ngerasain kayak gini, kak? Kok aku gak tahu diri banget...”

“Enggak kok, wajar, memang fase orang mau menikah tuh kayak gini, Syah. Aku jadi kamu juga pasti bakalan ragu malahan aku mah ngedesak Naresh untuk kasih kepastian yang bener hahaha...” “Tapi untuk sekarang sih pesan aku, ya kamu mending fokus aja dengan diri kamu. Misalnya belajar masak dulu, atau ikut kelas pra-nikah di pondok biar kamu gak fokus ke Naresh-nya.” “Jangan sampai keraguan kamu ini membuat kamu lupa dengan pengorbanan Naresh untuk kamu selama ini, Syah.”

Perlahan hati Aisyah mulai bangkit dari rasa gundahnya. Ia menegakkan tubuhnya dan menatap lurus kakak iparnya dengan mantap.

“Iya deh, kak, Aisyah mau coba lebih sabar lagi.” “Bismillah, Aisyah... dah! Aisyah udah gak galau lagi! Hahaha, sekarang mau kerja dulu nih, udah di chat sama Bu Tyas di suruh ke IGD hehehe...”

“Oh iya, hati-hati ya sayang! Inget jaga diri kamu!”

“Iya, Kak Anela! Makasih ya buat cheesecake-nya! Enak banget, hehehe...!!”

Anela tersenyum lebar sambil terus melambaikan tangannya riang ke adik iparnya. Matanya melirik lagi ke satu kotak berisi satu cheesecake utuh yang tersisa...

“Waduh, lupa bilang ini satu lagi buat Naresh! Gimana ya... titip aja deh ke temennya Aisyah.”

Aisyah duduk termenung menatap minuman kopinya. Punggungnya yang menyandar ke sandaran kursi kayu putih dengan lesu, kepalanya di penuhi oleh sejuta keraguan yang membuat hatinya ganjal.

Tentu itu semua tentang lelaki yang sudah berjanji untuk segera meminangnya.

Namun sayang badai masih terus menghalau jalan mereka.

“Aisyah!”

Suara melengking milik wanita berhijab pink itu membuyarkan lamunan panjang Aisyah. Ia cepat mengambil posisi tegak menghadapi kakak iparnya yang sudah membawakan kue cheesecake buatannya.

“Nih, cheesecake spesial buatan Kak Anela! Ayo di coba dong!” Anela menyodor satu sendok kecilnya di pinggir, “Mas Haidar aja doyan banget lho, dia bawa 3 slice sekaligus ke kampus!”

Aisyah mengernyit dahinya, “Ih, Kak Anela! Si Abang kan gula darahnya udah tinggi banget! Jangan di manjain terus kasih makanan manis kayak gini, mending buat Ibra, Mina ama Aisyah aja! Dia kasih aja buah-buahan yang banyak!”

Anela ketawa geli melihat adiknya yang sewot soal kesehatan abangnya itu, “Tadinya mau gitu, Syah... cuman tadi mukanya melas banget mau makan cheesecake ya jadinya aku gak tega... cheating sehari gapapa kali, Syah...”

Aisyah hanya mendengus sebal, “Kebiasaan dia mah, ama istri manja banget, heran.”

Lagi-lagi Anela tertawa cekikikan sambil ikut melahap kue buatannya itu.

“Eh iya, kamu mau curhat apa soal Naresh?”

Aisyah langsung menoleh kanan-kiri celingukan untuk memastikan tidak ada orang yang mendengar percakapan mereka.

“Uhm... jadi gini, Kak Anela...” Aisyah meletakkan sendoknya, “Aisyah... mulai ragu dengan kesungguhan Dokter Naresh untuk menikahi Aisyah...”

Anela menghentikan aktivitas makannya dan matanya membesar menatap netra adik iparnya yang mulai bergetar, “Naresh kenapa, Syah?”

“Ya aku cuma ngerasa, kayaknya disini yang menginginkan pernikahan ini cuman Aisyah aja. Kak Naresh pada akhirnya cuman ngulur-ngulur waktu dan perasaan aku aja.” “Aku dari tadi di tempat kerja berusaha untuk menghindar dari dia, aku gak mau lihat muka dia dulu. Untung aja Abang ngeblock nomernya Kak Naresh dari hape Aisyah jadi dia gak akan chat atau telepon untuk ngusik aku lagi.”

Aisyah menghela nafasnya kasar, “Aisyah gak tahu mau sampai kapan kayak gini, karena ternyata... menunggu itu sakit, Kak. Aisyah pikir dengan sabar masih bisa untuk menenangkan hati Aisyah tapi ternyata... Aisyah masih gelisah juga.” “Aisyah berusaha memahami situasi Kak Naresh, tapi ya gimana, Kak... Aisyah gak bisa bohong kalau soal hati.”

Anela meraih punggung tangan adiknya dengan lembut, mengusapnya perlahan sambil tangan satunya menepuk pucuk kepala gadis berseragam biru pastel, “Adiknya kakak sekarang udah besar ya...” “Aisyah, memang wajar kamu merasakan dilema seperti ini ketika menuju pernikahan. Aku pun dulu meskipun memang udah sukaa banget sama Mas Haidar, dia kan cuek banget sama aku dan banyak sikap dia yang membuat aku bimbang kayak 'ini orang beneran mau nikahin gue apa enggak sih?' tapi setelah aku berusaha untuk fokus memperbaiki diri dan dia datang untuk menikahi aku, semua keraguan aku hilang gitu aja, dan setelah menikah pun aku tetap merasakan keraguan itu karena banyak ujian-ujian dalam rumah tangga yang tak terduga antara aku dan Mas Haidar. Setelah kita melewati semuanya sama-sama dan kami memutuskan untuk saling percaya satu sama lain, akhirnya aku bisa mengatasi semua rasa bimbang dalam hati aku sampai akhirnya punya si kembar, dan gak kerasa usia pernikahanku sekarang udah mau menginjak angka 10.” “Kakak paham kamu gelisah, ragu, bimbang kayak gini karena sebentar lagi kamu akan menjalani kehidupan baru bersama orang baru juga yang akan menjadi pendamping hidup kamu. Kalau kakak lihat sih dari Naresh-nya, dia memang serius mau meminang kamu tapi ya memang situasinya lagi sulit. Mas Haidar sendiri gak bisa mendesak Naresh untuk segera melamar kamu, padahal yang paling dia takutin tuh situasi yang lagi kamu rasain ini lho.”

Aisyah memencak, “Hah? Bang Haidar takut aku kayak gini? Maksudnya?”

“Hahahaha, dia sayang banget sama kamu, Aisyah. Dia lagi nyari cara untuk segera menyelesaikan masalah perusahaannya yang melibatkan Naresh juga, bahkan dia minta sama Papa aku untuk kirim detektif handal dari luar sekalian biar masalahnya cepat selesai. Dia bilang, dia gak mau masalahnya ini sampai menghalangi niat baik Naresh yang ingin segera meminang kamu, tapi dia gak mau gegabah untuk mendesak Naresh karena situasinya Naresh juga sedang sulit dan itu bisa membahayakan kamu juga. Dia juga perhatiin kamu yang uring-uringan kayak gini, jadi dia juga gak enak ngelihatnya.”

Aisyah cemberut, “Ish si abang mah diem-diem aja, hibur adeknya kek.”

“Ya kamu tahu sendiri, dia bukan tipe orang yang perhatian lewat kata-kata tapi dia lebih fokus untuk mengatasi kegelisahan kamu itu, Syah.” “Begitupun dengan Naresh, dia juga sedang berusaha untuk mengatasi semuanya dan memastikan keselamatan kamu itu benar-benar terjaga. Mungkin kelihatannya Naresh tipe orang yang suka main-main, tapi aku bisa melihat betapa tulusnya perasaan dia sama kamu ketika dia mau mengorbankan nyawanya untuk kamu, Syah.” “Naresh bukan tipe orang yang mau berkorban kayak gitu lho, kalau bukan karena dia benar-benar mencintai seseorang itu.”

Aisyah merenung semua kalimat kakak iparnya itu. Sekelibat memorinya tentang bagaimana Naresh memperlakukannya dengan spesial itu terbayang di kepalanya, dan lagi-lagi hatinya malah terasa semakin sesak.

“Aisyah... salah gak sih ngerasain kayak gini, kak? Kok aku gak tahu diri banget...”

“Enggak kok, wajar, memang fase orang mau menikah tuh kayak gini, Syah. Aku jadi kamu juga pasti bakalan ragu malahan aku mah ngedesak Naresh untuk kasih kepastian yang bener hahaha...” “Tapi untuk sekarang sih pesan aku, ya kamu mending fokus aja dengan diri kamu. Misalnya belajar masak dulu, atau ikut kelas pra-nikah di pondok biar kamu gak fokus ke Naresh-nya.” “Jangan sampai keraguan kamu ini membuat kamu lupa dengan pengorbanan Naresh untuk kamu selama ini, Syah.”

Perlahan hati Aisyah mulai bangkit dari rasa gundahnya. Ia menegakkan tubuhnya dan menatap lurus kakak iparnya dengan mantap.

“Iya deh, kak, Aisyah mau coba lebih sabar lagi.” “Bismillah, Aisyah... dah! Aisyah udah gak galau lagi! Hahaha, sekarang mau kerja dulu nih, udah di chat sama Bu Tyas di suruh ke IGD hehehe...”

“Oh iya, hati-hati ya sayang! Inget jaga diri kamu!”

“Iya, Kak Anela! Makasih ya buat cheesecake-nya! Enak banget, hehehe...!!”

Anela tersenyum lebar sambil terus melambaikan tangannya riang ke adik iparnya. Matanya melirik lagi ke satu kotak berisi satu cheesecake utuh yang tersisa...

“Waduh, lupa bilang ini satu lagi buat Naresh! Gimana ya... titip aja deh ke temennya Aisyah.”

Aisyah duduk termenung menatap minuman kopinya. Punggungnya yang menyandar ke sandaran kursi kayu putih dengan lesu, kepalanya di penuhi oleh sejuta keraguan yang membuat hatinya ganjal.

Tentu itu semua tentang lelaki yang sudah berjanji untuk segera meminangnya.

Namun sayang badai masih terus menghalau jalan mereka.

“Aisyah!”

Suara melengking milik wanita berhijab pink itu membuyarkan lamunan panjang Aisyah. Ia cepat mengambil posisi tegak menghadapi kakak iparnya yang sudah membawakan kue cheesecake buatannya.

“Nih, cheesecake spesial buatan Kak Anela! Ayo di coba dong!” Anela menyodor satu sendok kecilnya di pinggir, “Mas Haidar aja doyan banget lho, dia bawa 3 slice sekaligus ke kampus!”

Aisyah mengernyit dahinya, “Ih, Kak Anela! Si Abang kan gula darahnya udah tinggi banget! Jangan di manjain terus kasih makanan manis kayak gini, mending buat Ibra, Mina ama Aisyah aja! Dia kasih aja buah-buahan yang banyak!”

Anela ketawa geli melihat adiknya yang sewot soal kesehatan abangnya itu, “Tadinya mau gitu, Syah... cuman tadi mukanya melas banget mau makan cheesecake ya jadinya aku gak tega... cheating sehari gapapa kali, Syah...”

Aisyah hanya mendengus sebal, “Kebiasaan dia mah, ama istri manja banget, heran.”

Lagi-lagi Anela tertawa cekikikan sambil ikut melahap kue buatannya itu.

“Eh iya, kamu mau curhat apa soal Naresh?”

Aisyah langsung menoleh kanan-kiri celingukan untuk memastikan tidak ada orang yang mendengar percakapan mereka.

“Uhm... jadi gini, Kak Anela...” Aisyah meletakkan sendoknya, “Aisyah... mulai ragu dengan kesungguhan Dokter Naresh untuk menikahi Aisyah...”

Anela menghentikan aktivitas makannya dan matanya membesar menatap netra adik iparnya yang mulai bergetar, “Naresh kenapa, Syah?”

“Ya aku cuma ngerasa, kayaknya disini yang menginginkan pernikahan ini. Kak Naresh pada akhirnya cuman ngulur-ngulur waktu dan perasaan aku aja.” “Aku dari tadi di tempat kerja berusaha untuk menghindar dari dia, aku gak mau lihat muka dia dulu. Untung aja Abang ngeblock nomernya Kak Naresh dari hape Aisyah jadi dia gak akan chat atau telepon untuk ngusik aku lagi.”

Aisyah menghela nafasnya kasar, “Aisyah gak tahu mau sampai kapan kayak gini, karena ternyata... menunggu itu sakit, Kak. Aisyah pikir dengan sabar masih bisa untuk menenangkan hati Aisyah tapi ternyata... Aisyah masih gelisah juga.” “Aisyah berusaha memahami situasi Kak Naresh, tapi ya gimana, Kak... Aisyah gak bisa bohong kalau soal hati.”

Anela meraih punggung tangan adiknya dengan lembut, mengusapnya perlahan sambil tangan satunya menepuk pucuk kepala gadis berseragam biru pastel, “Adiknya kakak sekarang udah besar ya...” “Aisyah, memang wajar kamu merasakan dilema seperti ini ketika menuju pernikahan. Aku pun dulu meskipun memang udah sukaa banget sama Mas Haidar, dia kan cuek banget sama aku dan banyak sikap dia yang membuat aku bimbang kayak 'ini orang beneran mau nikahin gue apa enggak sih?' tapi setelah aku berusaha untuk fokus memperbaiki diri dan dia datang untuk menikahi aku, semua keraguan aku hilang gitu aja, dan setelah menikah pun aku tetap merasakan keraguan itu karena banyak ujian-ujian dalam rumah tangga yang tak terduga antara aku dan Mas Haidar. Setelah kita melewati semuanya sama-sama dan kami memutuskan untuk saling percaya satu sama lain, akhirnya aku bisa mengatasi semua rasa bimbang dalam hati aku sampai akhirnya punya si kembar, dan gak kerasa usia pernikahanku sekarang udah mau menginjak angka 10.” “Kakak paham kamu gelisah, ragu, bimbang kayak gini karena sebentar lagi kamu akan menjalani kehidupan baru bersama orang baru juga yang akan menjadi pendamping hidup kamu. Kalau kakak lihat sih dari Naresh-nya, dia memang serius mau meminang kamu tapi ya memang situasinya lagi sulit. Mas Haidar sendiri gak bisa mendesak Naresh untuk segera melamar kamu, padahal yang paling dia takutin tuh situasi yang lagi kamu rasain ini lho.”

Aisyah memencak, “Hah? Bang Haidar takut aku kayak gini? Maksudnya?”

“Hahahaha, dia sayang banget sama kamu, Aisyah. Dia lagi nyari cara untuk segera menyelesaikan masalah perusahaannya yang melibatkan Naresh juga, bahkan dia minta sama Papa aku untuk kirim detektif handal dari luar sekalian biar masalahnya cepat selesai. Dia bilang, dia gak mau masalahnya ini sampai menghalangi niat baik Naresh yang ingin segera meminang kamu, tapi dia gak mau gegabah untuk mendesak Naresh karena situasinya Naresh juga sedang sulit dan itu bisa membahayakan kamu juga. Dia juga perhatiin kamu yang uring-uringan kayak gini, jadi dia juga gak enak ngelihatnya.”

Aisyah cemberut, “Ish si abang mah diem-diem aja, hibur adeknya kek.”

“Ya kamu tahu sendiri, dia bukan tipe orang yang perhatian lewat kata-kata tapi dia lebih fokus untuk mengatasi kegelisahan kamu itu, Syah.” “Begitupun dengan Naresh, dia juga sedang berusaha untuk mengatasi semuanya dan memastikan keselamatan kamu itu benar-benar terjaga. Mungkin kelihatannya Naresh tipe orang yang suka main-main, tapi aku bisa melihat betapa tulusnya perasaan dia sama kamu ketika dia mau mengorbankan nyawanya untuk kamu, Syah.” “Naresh bukan tipe orang yang mau berkorban kayak gitu lho, kalau bukan karena dia benar-benar mencintai seseorang itu.”

Aisyah merenung semua kalimat kakak iparnya itu. Sekelibat memorinya tentang bagaimana Naresh memperlakukannya dengan spesial itu terbayang di kepalanya, dan lagi-lagi hatinya malah terasa semakin sesak.

“Aisyah... salah gak sih ngerasain kayak gini, kak? Kok aku gak tahu diri banget...”

“Enggak kok, wajar, memang fase orang mau menikah tuh kayak gini, Syah. Aku jadi kamu juga pasti bakalan ragu malahan aku mah ngedesak Naresh untuk kasih kepastian yang bener hahaha...” “Tapi untuk sekarang sih pesan aku, ya kamu mending fokus aja dengan diri kamu. Misalnya belajar masak dulu, atau ikut kelas pra-nikah di pondok biar kamu gak fokus ke Naresh-nya.” “Jangan sampai keraguan kamu ini membuat kamu lupa dengan pengorbanan Naresh untuk kamu selama ini, Syah.”

Perlahan hati Aisyah mulai bangkit dari rasa gundahnya. Ia menegakkan tubuhnya dan menatap lurus kakak iparnya dengan mantap.

“Iya deh, kak, Aisyah mau coba lebih sabar lagi.” “Bismillah, Aisyah... dah! Aisyah udah gak galau lagi! Hahaha, sekarang mau kerja dulu nih, udah di chat sama Bu Tyas di suruh ke IGD hehehe...”

“Oh iya, hati-hati ya sayang! Inget jaga diri kamu!”

“Iya, Kak Anela! Makasih ya buat cheesecake-nya! Enak banget, hehehe...!!”

Anela tersenyum lebar sambil terus melambaikan tangannya riang ke adik iparnya. Matanya melirik lagi ke satu kotak berisi satu cheesecake utuh yang tersisa...

“Waduh, lupa bilang ini satu lagi buat Naresh! Gimana ya... titip aja deh ke temennya Aisyah.”

Malam tahun baru pukul setengah 9, seharusnya gue bisa tersenyum lebar di saat ponsel gue ramai dengan notifikasi ucapan selamat dari rekan-rekan dan anak didik gue melalui sosial media.

Tapi lagi-lagi, hati gue kosong.

Suara kembang api yang sukses membunuh kesunyian di dalam ruangan kafe VIP yang hanya menyisakan gue disini sendirian. Gue sengaja memesan tempat ini untuk menghabiskan waktu sendiri untuk tenggelam dalam lamunan.

Gue gak mau sisi lemah ini terlihat oleh siapapun.

Mata gue tertuju lagi dengan langit malam yang masih di hiasi kembang api. Rasanya bahagia kalau misalnya kita bisa menghabiskan sisa-sisa tahun terakhir tanpa penyesalan seperti gue sekarang.

Lebih tepatnya...

Seandainya gue bisa menghabiskan masa-masa ini bersama Abi.

“Bella?”

Gue tersontak di tempat dan cepat-cepat menghapus air mata dari pipi...

Dan gue gak kalah shock dengan laki-laki yang ada di sana.

”... Nathan?”


“Gimana kabar kamu, Bel?”

“Alhamdulillah baik, Nathan sendiri gimana?”

“Baik, Bel...”

Kita duduk saling berhadapan, saling menatap kosong lalu memaling lagi ke arah sinar bulan. Pertemuan ini sangat tidak terduga bahkan gue gak ada bayangan akan ada Nathan disini.

“Kamu tinggal di Jakarta sekarang?” Nathan membuka suara.

“Iya, aku kerja disini.”

“Kerja apa?”

“Guru, Nat.”

“Guru? Wih mantep juga kamu, Bel!”

Gue ketawa renyah, “Kamu sendiri, Nat?”

“Aku masih koas, Bel, bentar lagi mau UKMPPD jadi doain aja.”

“Wah kamu mau jadi dokter, Nat?!”

“Haha iya.”

“Keren ih, salut aku...”

Gue gak berhenti mendecak kagum. Ya gimana enggak? dokter itu cita-cita gue dulu! Dan gue selalu kagum sama orang yang bisa masuk kedokteran dan jadi seorang dokter.

Kami hening sejenak.

“Bel,” Nathan memanggil gue lagi, “Aku... boleh kasih tahu kamu satu hal?”

“Tentang apa?”

“Tentang dulu aku pindah ke Bandung dan... soal perasaan aku dulu sama kamu.”

Seketika jantung gue rasanya berhenti berdetak.

“Kenapa, Nat...?”

“Maaf aku gak kasih tahu soal ini sama kamu. Sebenarnya aku pindah ke Bandung tuh bukan karena pindahan atau gimana, Bel...” “Aku... sakit keras, bahkan aku tadinya hampir meninggal, Bel.”

Bella membulatkan matanya.

“Dari kecil aku punya penyakit gagal ginjal. Setiap hari aku harus cuci darah dan kondisi fisik aku benar-benar lemah gak berdaya, Bel... dan detik aku pindah itu, kondisi aku udah cukup parah...” “Di Bandung aku sempet koma, dan pada saat itu rasanya kayak aku udah gak ada harapan hidup lagi, Bel, tapi ternyata Tuhan masih kasih kesempatan aku untuk hidup... akhirnya aku ikut tranplantasi ginjal yang ada di Bandung dan operasinya berjalan lancar. Sekarang aku jauh lebih sehat di banding dulu, Bel.” “Aku... mau minta maaf dulu pernah menyakiti perasaan kamu dengan nolak kamu sekasar itu, aku benar-benar frustasi Bel, aku bingung banget...” “Karena sebenarnya dulu aku juga suka sama kamu.”

Sekali lagi, nafas gue tercekat di tengah dan jantung gue benar-benar seperti di sambar oleh petir karena sebuah fakta mengejutkan yang keluar dari bibir Nathan setelah sekian lama kita gak ketemu.

“Maaf sekali lagi, Bella... dulu aku pikir dengan cara itu kamu bisa bahagia sama Abi...”

“Nyatanya aku juga gak bahagia sama Abi, Nat. Sekarang aku sendirian...”

Nathan mendongak kepalanya, “Ha-hah?”

“Aku dan Abi juga gak bahagia setelah kepergian kamu. Hubungan kita juga ikut hancur, dan itu semua karena kebodohan Bella.”

“Maksud kamu apa, Bel? Aku gak ngerti—”

“Nathan tau? Waktu Nathan tolak Bella 6 tahun yang lalu, rasanya dunia tuh runtuh dan Bella galaunya setengah mati. Bella gak bisa berhenti nangisin kepergian Nathan, dan Bella selalu bertanya-tanya apa salah Bella? Bella sejelek apa sampai di tolak kayak gitu sama Nathan? Bella terus-terusan nyalahin diri sendiri.”

“Maaf, Bella, aku gak maksud—”

“Dan kamu tau apa? Abi lagi-lagi bertahan di sisi Bella dan menemani kesedihan Bella sampai akhirnya Bella berhenti untuk nangisin Nathan. Abi dengan sekuat tenaga dia terus menghibur Bella, kalau bukan karena Abi... mungkin Bella udah terpuruk banget gara-gara kamu.” “Sekarang kamu datang dan minta maaf karena dulu kamu nyakitin Bella? Belum lagi kamu bilang itu semua ada alasannya?”

“Aku minta maaf sebesar-besarnya, Bella... makanya aku mau meluruskan semuanya.”

“Kalau aku tahu soal kamu dari awal, mungkin aku bisa jadi orang yang selalu ada di sisi kamu juga meskipun sebagai teman. Bella gak masalah kalau cinta di tolak asalkan masih bisa berteman, Bella gak akan menghakimi situasi Nathan.” “Dan mungkin... Bella gak akan nangisin kamu berkali-kali di hadapan Abi dan melukai hatinya, Nat.”

Nathan menundukkan kepalanya, “Iya, Bel... maaf untuk semuanya. Aku memang salah...”

“Sekarang, Bella juga kehilangan Abi selama 5 tahun, Nat, hubungan kita hancur gitu aja hanya karena kebodohan Bella yang gak pernah tahu soal perasaan dia.” “Bella terlalu menganggap enteng soal hubungan Bella dengan Abi karena kita sahabatan dari kecil. Bella banyak ngelukain hati Abi karena Bella sendiri gak tahu perasaan Abi seperti apa sama Bella... begitu semuanya hancur, Abi langsung pergi dan nyalahin semuanya ke Bella.” “Kalian tuh kenapa sih... sukanya diem-diem aja? Kenapa sih susah banget untuk bilang semua yang ada di isi kepala kalian? Kenapa kalau semuanya udah hancur, Bella yang di salahin??”

“Enggak, Bel, ini bukan salah kamu... Aku yang salah, aku minta maaf kalau udah banyak ngelukain hati kamu.”

“Hiks... Bella capek dengan semua penyesalan ini, Nat... hiks... Bella juga kalau bisa mau minta maaf dan menembus semua rasa sakit kalian...”

“Enggak, Bel, gak usah, aku yang harus nembus kesalahan aku sama kamu.” “Kamu bilang kamu kehilangan Abi selama 5 tahun kan? Kamu gak kehilangan dia, Bel, dia ada disini. Aku tinggal satu apartemen sama Abi dari kuliah jadi kalau kamu mau tanya-tanya kabar soal Abi kamu boleh tanya langsung lewat aku.”

Bella mendongak kepalanya, “A-Abi... tinggal sama Nathan?”

“Iya, kebetulan dulu kampus kita deketan, Bel, dan aku kan juga ngerantau dari Bandung jadi Abi nawarin aku untuk tinggal satu apartemen.” “Abi juga cerita banyak hal tentang Cimahi selama aku gak ada, dan disitu jujur aja aku merasa bersalah banget, terutama sama kamu. Aku ngerasa dulu cara aku nolak kamu terlalu berlebihan, padahal maksud aku nolak kamu tuh gak kayak gitu.” “Aku cuman mikir, kamu gak akan bahagia sama aku dan cuman Abi yang bisa membahagiakan kamu, Bel.”

“Kamu siapa berhak ngatur-ngatur kebahagiaan aku?” “Nyatanya aku sama dia gak bahagia juga.”

Nathan menghela nafasnya panjang, “Iya aku tahu... makanya aku minta maaf untuk semuanya, Bel...” “Sekarang aku ingin menembus kesalahan aku sama kamu, kamu mau apa? Mau aku temuin sama Abi? Nanti aku cari cara gimana biar kamu bisa ketemu sama Abi.”

Gue menggeleng pelan,

“Gak usah, aku cuman mau bilang... mulai detik ini tolong jangan sembunyiin apapun dari aku, Nat.” “Jangan pernah buat aku kayak orang bego di hadapan kalian hanya karena takut aku sakit dengan kebenaran, karena aku udah cukup menderita 5 tahun karena kesalahan itu yang berulang dari kamu dan Abi.”

Nathan mengangguk paham, “Iya, Bel, mulai sekarang kita berteman dan saling terbuka ya?”

Gue tersenyum simpul, “Iya, Nat...”