Wedding Day
Naresh mempercepat langkahnya yang tergopoh-gopoh menuju aula gedung, dimana Haidar sudah menunggu kehadirannya menuju 5 menit acara di mulai.
“Maaf, Bang!” Kaki Naresh sudah mendarat sempurna di tempatnya. Haidar yang mengecak pinggangnya itu cuman bisa menghela nafas panjang, Ini anak ternyata sama cerobohnya kayak Aisyah.
“Ya sudah, lap dulu keringat kamu tuh! Atur nafas kamu yang betul, gak mungkin kamu mau ijab qabul sambil ngos-ngosan gini!”
Naresh menarik nafasnya lagi dalam-dalam lalu mengeluarkannya secara teratur, ia juga cepat mengusap tangannya yang sudah berkeringat dingin. Naresh di persilahkan duduk, kini ia harus menghadap Haidar sebagai wali yang akan menyerahkan gadis kasihnya itu secara sah.
“Naresh,” Haidar membuka suara sebelum akad dimulai.
“Ya, Bang?”
“Dengan ini, secara resmi saya menyerahkan adik saya satu-satunya menjadi amanah bagi kamu. Saya harap, kamu benar-benar bisa menjaga amanah ini karena bagi saya, Aisyah itu sangat berharga. Jangan sekali-kali kamu mengecewakan saya dengan mengecewakan Aisyah, kalau seandainya kamu tidak menginginkan adik saya lagi, tolong kembalikan kepada saya dengan betul.” “Tapi saya harap kamu tidak melakukan hal yang saya sebut tadi.”
Naresh menatap kedua netra Haidar dengan mantap, “Saya pastikan hal tersebut tidak akan pernah terjadi, Bang. Saya akan terus menjaga Aisyah dengan sepenuh hati dalam hidup saya sampai di syurga nanti.”
Haidar tersenyum bangga, ia menyodorkan tangannya dan mereka saling menjabat sebelum di aba-abakan untuk mengucapkan ijab qabul.
Akad ijab-qabul akan segera dimulai...
“Saudara Naresh Ishaaq bin Gabriel Agil Ishaaq, saya nikahkan engkau dengan adik saya, Aisyah Izzati binti Eko Wijayanto dengan maskawin seperangkat alat shalat dan hafalan surat Ar-Rahman dibayar tunai!”
“Saya terima nikah dan kawinnya, Aisyah Izzati binti Eko Wijayanto dengan maskawin tersebut dibayar tunai!”
“Sah?!”
“SAAHHH!!!”
“Alhamdulillah...”
Akad ijab-kabul tlah terlaksana dengan baik dan lancar, lantunan Ar-Rahman yang tlah di hafalkan Naresh akhirnya menjadi pembuka bagi Aisyah untuk duduk di kursi pelaminan bersamanya sebagai pasangan suami-istri yang sah.
Perasaannya kini lega namun bercampur aduk, ada gugup sekaligus haru, yang jelas... hari ini adalah titik perubahan yang sangat signifikan bagi kehidupan keduanya.
Selamat untuk Naresh dan Aisyah!
Resepsi...
Kini semua tamu sedang menikmati hidangan yang sudah di sajikan, Naresh dan Aisyah duduk di pelaminan dengan senyuman bahagianya. Pasangan itu tak bisa menutupi bendung bahagianya yang terlukis jelas di wajah keduanya, terutama Aisyah. Gadis yang secara sah di persunting itu tak berhenti melirik sosok suaminya dari samping, menatap tiap inci fitur wajah tampannya dan tubuh tegapnya yang gagah.
Jadi sekarang... Aisyah udah sah jadi istrinya Mas Nana? Hehehe...
TUK, Aisyah mencolek sedikit punggung tangan Naresh, laki-laki itu tersontak kaget, memberi isyarat di wajahnya Apa? dan Aisyah cuman bisa senyum-senyum malu.
“Kamu kenapa?”
“Gapapa.”
“Terus ngapain nyolek-nyolek?”
Aisyah memaut bibirnya cemberut, “Ish... gak peka banget sih, bete ah!”
Naresh terkekeh lalu ia langsung meraih tangan mungil istrinya dan mengecup punggung tangannya dengan smirk khasnya.
“Sekarang udah sah kan? Kamu masih mau block aku?”
Wajah Aisyah sontak memerah panas bak kepiting rebus, ia menyembunyikan wajahnya di lengan belakang lelaki kasihnya itu malu dan memukul-mukul ringan punggung suaminya gemas.
“Mas, ih! Gak adil banget...”
“Gak adil gimana? Kamu kode mau di pegang kan tangannya?”
“Au ah, Aisyah bete sama Mas!”
Naresh mendekati wajah Aisyah, “Terus apa? Mau aku cium?”
Bukannya mereda, justru sekarang pipi Aisyah sudah merah bukan main dan rasanya mau meledak. Ia semakin mengencangkan pukulannya hingga Naresh tertawa meringis menahan sakit.
Meanwhile para tamu pernikahan Naresh-Aisyah...
“Lihat tuh pasangan muda, enak banget ya udah bisa mesra-mesraan gitu sekarang...” cicir Mbak Shinta, “Belum aja nanti punya satu ekor, dua ekor, udah susah mau manja-manjaan kayak gitu,” lanjutnya mencibir.
“Hahaha, menikah emang enak pas setahun pertama doang ya, Mbak,” imbuh Juned.
“Ya lo kan ngerasain sendiri, Jun, bini lo lagi hamil repot gak?”
Juned geleng-geleng, “Haduh, ngelayanin ngidamnya itu...”
“Ih kata siapa?! Kakak pertama gue udah 10 tahun menikah adem ayem aja tuh, anak udah 3 tetap aja mesra-mesraan ampe bikin gue eneg!” sergah Juwita.
“Yee, kalo di depan orang mah gak ditunjukin, Ta! Lo pikir gue sama laki gue kalo berantem kudu di depan mertua?! Kan kagak...”
“Tapi ya gak segitunya juga kali...”
Mbak Shinta langsung merangkul bahu Juwita, “Juwita sayang... yang gue sebutin itu namanya realita. Menikah itu realitanya ya gak seindah konten uwu para artis coy, cuman ya ada aja sih enaknya... intinya, kalo lo udah siap untuk menikah ya berarti fisik dan mental lo udah harus mateng bener, Ta!”
Brian menyela tengah pembicaraan, “Eh bentar, bentar, ini si Lia kok tiba-tiba hilang?!”
Gadis yang dicari ternyata sedang duduk sendirian menatap lemat-lemat pasangan muda yang ada di atas pelaminan penuh harap. Jantungnya juga ikut berdegup kencang, Ah... enaknya menikah...
“Ngelihatnya biasa aja kali.”
Lia tersontak, “A-Ah, Dokter Yudhis?!”
“Kenapa? Iri ya sama Aisyah? Hahaha...”
Gadis itu cepat menyibak rambutnya ke belakang, “E-Enggak sih... cuman...”
“Cuman apa? Ngarep?”
“Ih bukan, Dok!”
“Ayo kalo gitu.”
Mata Lia terbelelak, “Ha-hah?”
“Ayo kita nikah juga, kita susulin tuh Naresh sama Aisyah.”
BUSH!! Wajah Lia memerah tomat, “Do-Dokter Yudhis kalau ngomong gak pakai bismillah ya?! Ih!”
“Hahaha... mau pelan-pelan dulu aja? Kita pacaran bentar abis itu langsung nikah? Mau gitu aja?”
“Dokter Yudhis!!”
Di prasmanan belakang sana ada Dokter Arif yang menatap nanar kedua insan yang baru saja mengikat janji suci. Hatinya pilu, mengingat bagaimana ia juga berjuang untuk mendapatkan hati sang pujaan hati yang saat ini sudah menjadi milik orang lain, mau tidak mau, ia harus mengikhlaskan cintanya pergi...
DUK!!
“A-Aduh sorry, sorry, saya gak lihat—”
Mata wanita yang menabraknya memencak lebar, melihat tampilan gagah dari sosok Dokter Arif begitupun sebaliknya, pemuda itu tercekat dengan pesona seorang wanita cantik yang dibalut gaun hitam off-shoulder selututnya.
“Ah iya... gapapa, Mbak.”
Mereka saling bertukar tatapan lama, meresapi pesona keduanya yang mulai menyentuh pintu hati.
“Um... Mas, sendirian aja?”
“Iya, Mbaknya?”
“Ah tadi sama teman, cuman saya di tinggal.”
Dokter Arif memasang senyum jumawanya, “Kalau gitu, boleh kenalan?” “Saya Arif, rekan sesama dokternya pengantin pria.”
Jabatan tangan Dokter Arif di balas dengan senang hati oleh sang wanita.
“Saya Eliza, teman kuliahnya pengantin pria.”
“Ah mau ngobrol-ngobrol di sebelah sana?”
“Boleh.”