Bandung, 2026
Abi memberhentikan mobilnya di depan rumah abu-abu yang ukurannya lebih luas dari rumah Bella sebelumnya di Cimahi. Jelas ia tetap merasakan hangatnya rumah ini karena rindu dengan kehangatan yang diberikan keluarga Ismail dulu.
“Ayo sini,” Bella mengulurkan tangannya, Abi tersenyum hangat dan meraih tangan mungil sang kekasih sambil mengecupnya lembut sehingga gadisnya itu salah tingkah, “Ih, Abi...”
Abi membalas genggaman tangan Bella tak kalah erat. Ia mengatur tempo nafasnya sebelum bertemu calon ayah mertuanya itu, dan begitu Bella membuka pintu utamanya yang sudah disambut oleh kedua orang tua Bella.
Nafas Abi tercekat di tenggorokan.
“E-Eh, A-Abidzar...?” Mamih terkejut dengan kehadiran sang pemuda yang lama tak ia jumpai itu bertahun-tahun.
“Ma-Mamih...” refleks Abi langsung menghampiri Mamih Bella dan memeluk erat tubuh wanita paruh baya itu melepas rindu. Tak sadar Mamih menitikkan satu bulir air matanya sambil terus menepuk punggung luas lelaki muda itu yang sudah ia anggap seperti putranya sendiri.
“Kita biasa komunikasi lewat telepon, sekarang baru ketemu kayak gini... kamu kemana aja, nak?”
“Maaf, Mamih... Abi melewati banyak hal selama ini...”
“Mamih tahu, sayang... kenapa kamu gak disini aja sama kita-kita.”
“Abi itu laki-laki, sudah sepantasnya dia harus pergi merantau di luar sana. Mau jadi apa kalau dia terus-terusan di kandang?!”
Suara Papih yang lugas itu seketika membuat bulu kuduk Abi berdiri tegak, Sorot mata elangnya yang tak pernah Abi jumpa selama ini seketika menguji adrenalinnya yang masih berani menginjak kaki di rumah ini. Mamih mengernyit heran, dan Bella cuman menghela nafas sambil memutar kedua bola matanya malas.
“Abidzar, ikut Papih sini ke taman belakang.”
“Ih, Papih, udah malem gini atuh istirahat dulu si Abi.”
“Gak, dia harus ngomong sama Papih sekarang. Isabella, masuk kamar kamu sekarang, lepas tangannya gak usah sok-sokan gandengan segala!”
Abi cepat-cepat menghempas tangan Bella dan menitah gadis itu untuk menuruti Papihnya. Bella cuman mencebik tingkah laku aneh Papihnya itu yang tentunya sangat menjengkelkan bagi gadis itu. Dengan tolehan kepala, Papih meminta Abi untuk mengikuti langkahnya menuju taman belakang, ternyata disana ada dua cangkir kopi hangat yang entah kapan sudah di siapkan. Papih tak memberikan seutas senyum sedikitpun.
“Itu kopinya masih hangat, kalo udah dingin yaudah minum aja.”
Abi tak banyak bicara, ia hanya mengangguk sambil meneguk kopi yang di hidangkan Papih.
“Makasih, Pih...”
“Gimana Jakarta selama ini?”
Abi mendongak, “A-Ah... gitu aja, sih, Pih...”
“Gitu aja gimana?”
“Ya, gitu... Abi disana cuman sibuk kuliah, kerja, kuliah, kerja aja Pih...”
“Lalu kamu sudah temukan apa yang kamu cari selama ini?”
Abi cuman tersenyum simpul, “Ya... Alhamdulillah, kehidupan Abi sekarang jauh lebih baik dari sebelumnya, Pih, makanya—”
“Bukan itu jawaban yang Papih minta. Kamu, udah menemukan yang selama ini kamu cari di Jakarta?”
Bibir pemuda itu mendadak kelu, pertanyaan Papih membuatnya kembali memutar otaknya, Maksudnya gue udah menemukan yang selama ini gue cari apa...?
“Hampura, Pih, ini teh maksudnya... yang Abi cari tuh apa ya?”
“Bukannya kamu sedang mencari jati diri di Jakarta, Abidzar?”
Abi lagi-lagi membisu.
“Kamu bilang kamu mencari kehidupan di Jakarta, sudah menemukan jati diri yang kamu cari selama ini?” Papih meletakkan lagi cangkir kopinya, “Jika tolak ukur jati diri kamu itu dari segi materi berarti... kamu masih belum menemukan jati diri kamu yang sebenarnya sebagai laki-laki.”
Pria paruh baya itu menarik nafasnya dan membuka ponselnya itu, Papih menampilkan foto beberapa tampilan buku-buku dan map file yang pernah Abi berikan kepada Bella.
“Pa-Papih itu...”
“Kenapa kasih ini semua ke Bella?”
“Papih baca juga?”
“Ya kalo Papih temuin pasti Papih baca lah semuanya.”
Rasanya pemuda itu ingin menghantam kepalanya detik ini juga ke tembok. Meredam semua rasa malunya yang sudah memuncak sampai ubun-ubun namun terlambat sudah, ia juga tahu tak ada gunanya untuk melakukan hal itu apalagi kalau ingin memerjuangkan restu Papih Bella.
“Anu, Papih... Abi—”
“Maaf, Papih gak sempat ajarkan kamu banyak hal,” Papih meletakkan ponselnya di atas meja bundar sampingnya, “Maaf dulu... Papih tidak bisa menggantikan posisi Ayah kamu dengan benar untuk kamu, Abidzar, bahkan ketika Bunda kamu gak ada pun, Papih gak bisa menjadi wali yang baik untuk kamu.”
Entah kenapa hati Abi terenyuh seketika setelah mendengar ungkapan maaf dari Papih Bella, padahal Abi selalu menganggap keluarga Bella sudah melakukan banyak hal terutama dalam soal menggantikan peran orang tuanya. Abi berhutang budi banyak dengan keluarga Bella makanya Abi berusaha keras untuk membanting tulang dan tetap memberikan uang bulanan sebagaimana yang biasa dilakukan oleh sang anak kepada orang tuanya sebagai wujud bakti.
“Papih, Abi gak pernah merasa gitu sama Papih Mamih, kalian... kalian itu sudah seperti orang tua Abi sendiri.”
“Banyak hal yang Papih gak ketahui dari kamu, Abidzar. Begitu Papih tahu kamu memberikan buku harianmu itu ke Isabella, entah kenapa hati Papih sakit. Kamu melewati banyak hal sendirian selama ini, bahkan yang Papih kira, Isabella adalah kawan sejati kamu... ternyata dia adalah pemicu utama yang membuat hidup kamu terpuruk...”
“Papih, lagi itu kita masih anak-anak, itu juga salah Abi karena gak bisa ngomong soal perasaan Abi ke Bella. Abi juga terlalu pengecut, Pih.”
“Itulah kenapa Papih bilang, Papih tidak sempat menggantikan posisi Ayahmu untuk mendidik kamu sebagai laki-laki. Kamu terlalu pengecut sampai-sampai menyalahkan Bella dan membuat Bella sedih berkepanjangan sampai 5 tahun.” “Bayangin aja, Papih gak pernah lihat senyuman Bella lagi selama 5 tahun karena kehilangan kamu dan sekarang kamu datang lagi bahkan mau menikahi Bella?”
Abi menggenggam erat ujung kemejanya yang terkulai di atas paha.
“Kalau bukan karena kamu anaknya Annisa, Papih langsung ngehajar kamu habis-habisan detik ini juga, Abidzar,” Papih menghela nafasnya panjang, “Almarhum Ayah kamu, bukanlah orang yang pengecut gitu, Abi, terutama soal cinta. Ini cerita biar kamu tahu aja ya, dulu almarhum Ayah kamu dengan Papih itu bersaing untuk mendapatkan hati almarhum Bunda kamu, Annisa. Da Ayah kamu mah beneran pejuang sejati, dia gak nyerah untuk terus dapetin hati Bunda kamu sedangkan Papih... melakukan hal yang sama kayak kamu persis sama Bella.” “Papih cuman mengandalkan tiap perlakuan manis Papih ke Bunda kamu tapi tetap mencintai dalam diam, sampai akhirnya Ayah sama Bunda kamu menikah dan Papih istilahnya ditinggal kawin gitu ya, cuman bisa nelan ludah, hahaha...”
Tangan besar Papih langsung menepuk pucuk kepala Abi.
“Tapi ketemu Mamih juga anugrah buat Papih, ya namanya jodoh.tapi poin Papih ngomong kayak gini itu... untuk bilang sama kamu bahwa jangan pernah lari dari kata hati kamu, Abi, jangan pernah lari dari sebuah kenyataan yang mungkin akan menyakiti kamu. Papih lihat, dengan tiba-tiba kamu ingin menikah dengan Bella juga bukan sepenuhnya keinginan kamu. Papih tahu Bella gimana orangnya, dia pasti maksa-maksa kamu untuk minta di nikahin dan Papih juga tahu kamu yang lemah banget kalau ngadepin Isabella.” “Jangan, Bi, kalau kamu menikah nanti... kamu itu pemimpinnya Bella. Kamu yang harus memimpin, dan jangan mau dibawahin terus sama Bella. Papih gak mau kalau kamu tumbuh jadi laki-laki pengecut, Abidzar.” “Kamu itu anak yang membanggakan, jangan sampai Papih merasa gagal untuk mendidik kamu atas nama Endi dan Annisa.”
Abi menghempas tawa kecilnya, “A-Anu, Pih... Abi... jujur kaget denger Papih ngomong gini...”
“Gak usah kaget, kalau kamu udah nikah sama Bella juga kamu bakal sering-sering denger wejangan dari Papih.”
“Tapi, Pih, memang betul kalau Abi ini benar-benar pengecut. Abi gak berani untuk mengejar cintanya Bella sampai dapat karena saking takut kehilangan Bella, dan ketika Abi pergi pun malahan meninggalkan luka buat Bella. Abi... bukannya niat untuk nyakitin Bella tapi memang Abi butuh waktu untuk menata hati Abi.”
“Kalau gitu lebih baik kamu pergi tanpa meninggalkan apa-apa untuk Bella lalu kembali lagi daripada harus menyiksa Bella dengan perasaan bersalah sampai bertahun-tahun.” “Ujung-ujungnya kamu mau menikahi Bella, kalau misalnya sekarang kamu berubah pikiran lagi wah siap-siap kamu Papih jadiin tempe mendoan dadakan disini.”
Abi terkekeh pelan, “Enggak, Pih, Abi... serius ingin menikahi Bella. Sebenarnya dengan Abi pergi ke Jakarta juga karena tidak ingin mengganggu kebahagiaan Bella dengan Bang Jo lagi itu, tapi Abi gak tahu kalau misalnya Bella pada akhirnya harus putus dengan Bang Jo karena Abi.” “Tapi karena sekarang Bella sudah kembali lagi sama Abi... Abi gak akan lepasin Bella lagi, Pih, Abi mau menetapkan Bella untuk terus ada di sisi Abi, selamanya.”
“Di dunia ini gak ada yang selamanya, yang bener sampai maut memisahkan.”
“Hehe iya itu maksud Abi.”
Papih menyungging senyum miringnya dan menepuk pucuk kepala Abi lagi semi mengacak surai pemuda itu, “Dua anak Papih udah gede ya.”
“Hehe iya dong, udah 24 tahun mah masa masih orok, Pih?”
Suasana kedua pria itu berubah menjadi hangat layaknya seorang ayah dengan putranya. Papih Bella tak berhenti mengusap kepala lelaki muda yang dulu ia turut besarkan juga bersama putrinya, dan kini ia menghadap lelaki muda ini sebagai calon dari menantunya nanti. Abidzar, dari kamu kecil dulu... Papih memang seolah menitipkan putri semata wayang Papih sama kamu, dan kamu pun juga menjaga Bella dengan sangat baik dan sepenuh hati, meskipun kalian ini tumbuh besar bersama tapi Papih masih tidak menyangka bahwa sebentar lagi Papih akan melihat Bella benar-benar akan menjadi milikmu sepenuhnya...
Dari balik pintu taman belakang itu, ternyata Bella menguping seluruh pembicaraan kedua pria terkasihnya disana, setelah melihat lampu hijau dari Papihnya, ia melompat kegirangan dan berlari kencang memeluk Mamihnya di ruangan tengah.
“E-Eh, Bella?!”
“Mamih! Bella bentar lagi nikah! Yes, yes, yes!”
“SAMA SIAPA?!”
“Sama Abi lah!”
“SA-SA-SAMA ABIDZAR?!”
“IYA HEHEHE!”
“GUSTI YA RABB, ANAK MAMIH....!!!”
Mata Mamih memencak lebar-lebar dan mereka langsung lompat saling memeluk penuh sukacita seolah telah berhasil memenangkan suatu pertandingan sengit.

