Our Deal
Naresh menancap gas mobilnta secepat kilat bahkan ia melewati beberapa rambu lalu lintas agar bisa sampai ke tujuan tepat waktu. Jantungnya sejak tadi tak bisa berhenti berdegup kencang.
Menghubungkan ke Detektif Eliza Kepolisian
“Halo?! Eliza?! Aisyah di culik Jovi, sekarang gue lagi on the way lo bisa gak—”
“Whats up, bro? Nyari Eliza ya?”
Mata Naresh kembali terbelelak, “Jo-Jovi?! LO APAIN ELIZA BANGSAT?!”
“Eliza, nih klien setia lo, gih ngomong sesuatu.”
“Res... jangan kesini, please, Jovi mau ngejebak lo... please—KYAA!!”
“Eliza?! ELIZA!!”
“10 menit lagi bro, lo lebih rela kehilangan orang yang berjasa buat lo atau... orang yang lo cintai? atau dua-duanya sekaligus?”
“JOVI, BIADAB LO BERANI-BERANINYA MANFAATIN PEREMPUAN!!”
“Udah deh, bro, fokus aja nyetirnya, gue tunggu ya 10 menit atau... boom, lo akan kehilangan semua harapan lo.”
KREK!
“Halo?! Jov?! Argh brengsek!!”
Aisyah dengan seluruh tangan dan kakinya yang terikat, juga bibir manisnya yang di tutup rapat-rapat dengan selotip hitam itu hanya bisa menangis dalam bisu. Gadis itu tak sendiri, disana juga ada Eliza yang tangan dan kakinya terikat namun bibirnya di biarkan terbuka untuk melawan semua perdebatan antara Eliza dengan sang antagonis.
“Jov, lo jangan remehin gue... lo salah buat gara-gara sama gue...” kecam Eliza.
“Wah iya kah? Gila, serem banget bos...” Jovi menangkup dagu Eliza dan mendekatkan jarak wajah mereka, “Pada akhirnya lo ini cuman wanita lemah sayang... padahal kalo lo berlaku baik sama gue, lo gak akan ikut terlibat...”
“Tapi lo melibatkan Aisyah! Aisyah salah apa sama lo?!”
Jovian mendelik ke arah Aisyah, tangannya yang sudah memegang pistol kaliber itu mendekati gadis berhijab yang malang itu dan menangkup dagunya dengan pistol kaliber miliknya, “Gue gak melibatkan secara langsung kok, cuman yah... sedikit mengusik aja biar ada drive dari pihak—”
BRAKK!!
“JOVIAN!!!”
Ketiganya sontak dengan kehadiran Naresh yang tergopoh-gopoh menggebrak pintu apartemen tipe studio itu, matanya melotot begitu melihat gadis pujaan hatinya itu di todong pistol tepat di bawah dagunya.
“Brengsek... LEPASIN AISYAH!!”
“Eits jangan mendekat, atau lo benar-benar lihat calon istri lo ini terkapar disini.”
Aisyah menangis terisak-isak dalam bisunya, Eliza yang cuman bisa diam dan meringkuk karena kaki tangannya terikat.
“Jov, lo udah gak waras sih.”
“Memang, gue udah gak waras KARENA LO SEMUA MENGACAUKAN RENCANA BESAR GUE!!!” Jovian melempar tubuh mungil Aisyah hingga terpentok ke badan sofa, “Lo tahu?! Sekarang perusahaan gue sudah terancam bubar KARENA KELAKUAN BANGSAT LO SEMUA YANG SOK PAHLAWAN!! LO LIHAT, BOKAP LO DUA-DUANYA MASUK PENJARA, ITU BUKAN SALAH GUE TAPI SALAH LO!!!”
“Jovian, semua rencana busuk lo itu merugikan banyak pihak dan lo harusnya sadar!!! Gak gitu cara bermain bisnis, Jov!!”
“Lo tahu apa?! Lo tuh cuman dokter sampah yang gak punya apa-apa selain warisan nyokap lo!!”
“LO LEBIH BURUK DARI SAMPAH JOVIAN!!!” Eliza menyergah memekik.
“DIEM!!!” DUARR!! Jovian menarik satu tembakan ke atas figura foto yang jaraknya 2 meter dari posisi Eliza hingga pecahan belingnya itu mengenai kaki polos Eliza.
“AKH!!”
“JOVIAN!!!”
“Udah cukup basa-basinya, sekarang langsung ke inti,” Jovian melempar satu kertas beserta bolpoin di atas meja ke arah Naresh, “Tanda tangan surat itu, baru gue bebasin nih dua orang kesayangan lo.”
Aisyah memekik dalam bisunya, dengan gelengan kepalanya ia berteriak JANGAN! JANGAN LAKUKAN ITU!! dengan Eliza yang terus memekik kata JANGAN! dengan isakkannya. Naresh menegup salivanya bulat-bulat, di kertas itu tertulis bahwa Naresh selaku Ketua Yayasan Kasih Keluarga menyetujui kerjasama peluncuran obat jenis baru 'AGLYLOSARTAN TYPE 129' dengan segala resiko yang akan menjadi tanggungannya, jelas-jelas ini adalah rencana pengedaran narkotika yang sebelumnya tertunda bahkan di anggap selesai oleh aparat hukum. Jika Naresh menandatangani suratnya, maka ia kembali terjun ke lubang hitam yang sama seperti ayah kandungnya dulu namun andaikan ia menolak untuk menandatangani surat ini, 2 nyawa orang tak bersalah akan menanggung resikonya.
“Naresh... please... jangan... jangan terjebak... biar nyawa gue aja yang jadi taruhan, biar gue yang nanggung semuanya...” Eliza memohon sambil bersimpuh lutut di hadapan Naresh, di ikuti Aisyah yang juga ikut bersimpuh lutut di bawah Naresh membuat hati pria itu sesak bukan main. Ia sendiri bingung harus berbuat apa.
“Jov, lo memang jauh lebih buruk dari sampah... lo gak malu dengan semua dosa yang lo lakukan hah?! LO GAK MEMIKIRKAN HUSEIN, ANAK KANDUNG LO?!” Eliza berteriak lagi.
“Lho, untuk apa gue pikirin anak itu? Bukannya Angel lebih memilih suaminya yang menjadi ayah dari anak itu? Ya sudah, udah bukan urusan gue lagi kecuali... kalo lo memaksa untuk melibatkan anak itu sih...” Jovian menarik paksa rambut panjang Eliza hingga kesakitan, mendekati bibirnya ke telinga Eliza, “Yang namanya darah daging itu gak bisa di bohongin, Liz... jadi sewaktu-waktu gue membutuhkan anak itu, gue gak akan segan-segan untuk mengambil anak itu jadi milik gue sepenuhnya...”
“Jovian brengsek...!! JANGAN PERNAH LO MENDEKATI HUSEIN DAN ANGEL LAGI!!!”
“Ya sudah, gue juga gak keberatan. Gue gak menginginkan anak itu,” Jovian menoleh ke arah Naresh, “Buruan tanda tangan, nih tinggal gue tarik satu tembakan melayang nyawa cewek lo, Res” Jovian menarik jilbab Aisyah dan menancapkan ujung pistolnya di pelipis Aisyah dengan kejam. Aisyah terus geleng-geleng kepala memohon Naresh untuk tidak terpedaya dengan ancaman Jovian, namun pria itu juga gusar melihat gadis kasihnya di sakiti terang-terangan tepat di depan matanya.
“Jovian... lepasin tangan lo dari Aisyah... gue serius...!!”
“Yaudah cepetan tanda tangan! Kita harus selesaikan nih urusan bisnis kita!”
Tangan Naresh gemetar mencoret parafnya di atas kolom tanda tangan persetujuannya yang sudah di tempelkan materai 10000 disana. Jovian tersenyum puas begitu melihat kertas kesepakatannya sudah di tandatangani Naresh dengan sempurna.
“Good job, brother! Kalau gitu...” Jovian mengarahkan pistolnya ke arah Naresh, “Kita akhiri sampai sini ya...”
Naresh memencak kedua matanya, DORR!! Tepat ketika Jovian menarik satu tembakannya ke arah Naresh, Aisyah mendorong tubuh Naresh kuat-kuat dan sayang, pelurunya itu meleset ke punggung gadis malang itu dan BRUK!, Tubuh Aisyah terkapar di atas Naresh bersama darah segar yang mengalir di atas kemeja putihnya.
“Aisyah...? Aisyah! AISYAH IZZATI!!!”
PRAKK!!
“TIM 129, KELUAR SEKARANG!!!”
BRAKKK!!! Rombongan tim polisi langsung mendobrak pintu apartemen tersebut dan menembak satu tembakan di kaki Jovian hingga ia terbekuk sempurna di lantai. Tim medis juga datang tepat waktu membawa Aisyah yang sudah tak sadarkan diri itu ke dalam mobil ambulans bersama Naresh. Eliza dengan tatapan tajam, ia melepas semua ikatan yang ada di tubuhnya dan BUK! Ia menginjak bahu lemas Jovi yang terkapar di lantai.
“Cowok brengsek, bisa-bisanya lo benar-benar mengorbankan seorang wanita lemah kayak Aisyah demi rencana busuk lo?! Cuih!! sanksi yang berlaku disini terlalu ringan buat semua kejahatan lo, Jov!!”
“ARGH!! LEPAS KAKI LO, SIALAN!!!”
“LO YANG SIALAN, DASAR BIADAB!! Desra! Lo bawa nih sampah langsung ke Mabes pusat, biar gue yang babat nih orang sampai habis sebelum kita kirim ke tempat asalnya!!” “Gue harap mereka juga gak menyia-nyiakan bangkai busuk kayak lo, Jovian!!!”
Eliza dengan satu kaki polosnya ia berusaha jalan dengan seimbang setelah beberapa luka yang menggores telapak kakinya. Ia menyayangkan bahwa rencananya bisa mengorbankan gadis tak berdosa seperti Aisyah bahkan ia mengutuk dirinya yang tak bisa melindungi Aisyah.
Aisyah... maafin Kak Eliza... ini salah Kak Eliza... maaf...
“Detak jantungnya terus melemah, Dok, kita harus segera sampai ke lokasi sekitar 15 menit lagi!”
“Tolong putar arah ke rumah sakit terdekat! Kita gak boleh sampai terlambat satu menit pun!”
Hati Naresh gusar bukan main ketika ia harus melihat kekasihnya itu memejam mata dengan kerutan alis yang melukiskan betapa sakitnya luka yang menancap punggungnya. Naresh sekali lagi mengutuk dirinya yang gagal melindungi Aisyah, lebih baik tadi dirinya saja yang mati daripada harus melihat Aisyah yang terluka seperti saat ini.
“Aisyah... maafin aku... maaf aku gagal melindungi kamu... maaf, sayang... tolong bertahan ya...”
Naresh sudah tak bisa berpikir jernih, tangannya yang menggenggam erat tangan mungil Aisyah yang tak bertenaga itu berharap gadisnya membalas genggaman tangannya.
Mobil ambulans sudah sampai ke rumah sakit terdekat, disana Naresh bantu membawa ranjang Aisyah menuju ruangan tindakan sebelum langkahnya tercegat di depan pintu.
“Saya juga dokter—”
“Tolong tunggu disini, ya, kami akan segera melakukan tindakan kepada pasien.”
“Kalau gitu saya mau ikut mengawasi—”
“Mohon untuk tunggu disini ya, Dok, kami akan mengupayakan tindakan kami semaksimal mungkin.”
Lutut Naresh langsung jatuh lemas di depan pintu yang sudah tertutup rapat. Kini pria itu tak bisa melakukan apa-apa lagi selain berdoa akan keselamatan gadis kasihnya.
Ya Allah... hamba mohon kepada-Mu... selamatkan Aisyah, Ya Allah... dia tidak seharusnya menjadi korban, seharusnya Engkau takdirkan aku saja yang terluka, jangan Aisyah...
“NARESH!!!”
Haidar dengan Anela lari tergopoh-gopoh menghampiri Naresh dengan wajah nanarnya, “A-Aisyah gimana?! I-Ini kenapa baju kamu kena banyak darah...” nafas pria itu tersengal-sengal bahkan pikirannya sudah kalut kemana-mana.
“A-Aisyah terluka, Bang... ini semua salah saya...” Naresh menunduk menyesal.
“Enggak, Res, ini bukan salah kamu... argh! Seharusnya saya ikut brantas si Jovian itu!! ARGH!!!”
“Mas Haidar istighfar! Tenang, Mas!”
“GIMANA SAYA BISA TENANG SEDANGKAN NYAWA ADIK SAYA MENJADI KORBAN SEKARANG?! SAYA GAK BISA KASIH AMPUN CECUNGUK SIALAN ITU!!”
“Mas...! Astaghfirullah, tenangkan diri kamu... tarik nafas...!”
Haidar menarik nafas dalam-dalam dan menghempasnya kasar, bahkan pria itu terus meninju tembok melampiaskan amarahnya.
“Argh... kenapa ketakutan saya harus terjadi... ini semua salah saya yang gak becus jagain adik saya...”
“Mas... enggak, Mas...”
“Bang Haidar, ini salah saya... Jovian itu menargetkan saya cuman dia melibatkan Aisyah...”
“Seharusnya Aisyah saya kurung aja di rumah... argh! Kenapa situasi jadi kacau begini!!”
“Mas...” suara Anela bergetar dengan isak tangisannya memeluk sang suami yang masih kalut dengan emosi. Naresh cuman bisa menundukkan kepalanya, ia menatap cincin di jari manisnya dan membayangkan lagi memori manisnya bersama Aisyah...
Kamu janji untuk selalu ada sisi saya kan, Aisyah?
Iya janji! Hehe...
Air mata Naresh jatuh membasahi jari manisnya dan suara isakkan pemuda itu mulai mengencang menyebut nama Aisyah.
“Aisyah... Tolong... Tolong jangan tinggalkan saya...”