After Wedding

Ini... gue bakalan satu kamar sama Mas Nana? ALLAHU AKBAR?! SERIUS? YA ALLAH GAK SIAP SERIUS ADUH AISYAHHH HARUS GIMANA DONG??!!

Suara semburan shower dari kamar mandi membuat bulu kuduk Aisyah merinding bukan main. Saat ini adalah malam pertamanya sebagai istri dari Naresh dan tentu gadis itu kelimpungan gak karuan harus berbuat apa.

“Duh... gue suka nontonin drakor sih, kira-kira kegiatan apa ya biar gak langsung ke inti, huwa gue gak siap serius! Aduh gimana nih...”

“Ehem.”

Dehaman singkat Naresh dari belakang membuat Aisyah kaget setengah mati.

“Kamu gak mau mandi? Gerah banget ngelihat kamu masih pakai gaun gitu,” ujar pemuda itu yang sudah mengenakan kaos putih polosnya dan menggosok-gosok rambut basahnya itu hingga bulir airnya sedikit menyiprat pipi Aisyah, “Itu airnya udah aku atur jadi hangat, kamu tinggal pakai aja.”

Gadis itu menarik nafasnya panjang, “O-Oke... hehe...”

Aisyah mengambil handuk dan baju gantinya itu lalu ngibrit masuk ke kamar mandi dengan langkah kaki kikuknya. Naresh cuman ketawa geli sambil geleng-geleng, Ya ampun, polos banget sih ini anak satu...


Aisyah bego... KENAPA LUPA BAWA JILBABNYA??!!

Lagi-lagi Aisyah cuman bisa mendesah frustasi karena lupa bawa jilbab gantinya. Hatinya masih belum siap untuk menampilkan rambut panjangnya itu kepada lelaki yang sudah sah menjadi suaminya itu.

“Aisyah? Kok lama banget mandinya?!”

“BENTAR MAS AISYAH BELUM SELESAI!”

“Belum selesai?! Aisyah kamu udah 20 menit di dalam situ, kamu lagi nyemedi apa gimana?!”

“IH SEBENTAR!!”

KREK!! Aisyah membuka pintu kamar mandi dengan handuk yang membungkus rambutnya itu, “Sabar! Tadi Aisyah kelupaan bawa jilbab, Aisyah mau ambil dulu—” Sret, Tangan Naresh sengaja menarik handuk Aisyah hingga rambut basah sepunggungnya itu terurai. Mata Naresh memencak, ia tak menyangka tampilan istrinya saat ini benar-benar cantik.

“Ma-Mas Nana??!!”

“Buat apa kamu pakai jilbab di depan suami kamu, hah? Sini, aku keringin rambutnya,” Naresh menarik tangan istrinya dan mendudukannya perlahan di hadapan meja rias. Naresh menyalakan hair dryer yang ada di samping mejanya lalu mengeringkan rambut Aisyah dengan lembut seraya memijit-mijit kepalanya membuat wanita kasihnya itu sedikit rileks.

“Kamu masih malu ya?” tanya Naresh dengan nada usil.

“Ya-ya malu lah! A-Aisyah kan... gak pernah... kayak gini...”

“Kayak gini maksudnya?”

“Ya nunjukin rambut ke cowok bukan mahram!”

“Kan aku mahram kamu sekarang.”

Aisyah mengatup bibirnya rapat-rapat. Naresh mengambil beberapa helai rambut istrinya dan mengecup pelan, netranya fokus ke wajah sang istri yang masih bersemu merah. Pria itu terkekeh.

“Aku senang bisa jadi orang pertama yang melihat betapa cantiknya kamu, Aisyah,” tangan besarnya mulai membelai lembut pipi kekasihnya, “Dan juga terakhir, selamanya, kamu itu sepenuhnya milik aku.”

Jantung Aisyah berdegup tak menentu, aliran darah di tubuhnya seketika melambat panas dan dadanya itu bergejolak dengan sentuhan lembut Naresh. Pria itu menatap sayu tiap inci fitur wajah istrinya, dari hidung mungilnya dan bibir merahnya yang merekah alami itu.

“Sini,” Naresh menarik tangan Aisyah dan pria itu membaringkan tubuhnya di atas ranjang, “Tidur disini,” pria itu menepuk sampingnya menitah Aisyah untuk tidur di lengannya. Gadis itu tak berkutik selain menuruti perintah suaminya, ia mulai membaringkan tubuhnya di atas lengan Naresh lalu pria di belakangnya langsung memeluk hangat tubuh sang istri.

“Kalau kamu belum siap, aku gak maksa kok. Kita kayak gini aja dulu, jadi jalanin aja pelan-pelan.”

Aisyah bisa merasakan kekecewaan suaminya itu ketika Aisyah memunggungi Naresh membiarkan pria itu memeluknya sepihak. Ia jadi teringat nasihat almarhum Abinya dulu...

“Aisyah... ketika kamu sudah menikah nanti, jangan pernah biarkan suamimu itu tidur dalam keadaan marah, tidak ridho atau kecewa... karena sesungguhnya Allah murka terhadap istri yang membiarkan suaminya tidur dalam keadaan marah nak, kamu harus bisa menjadi istri yang taat, yang menyenangkan hati suami maka syurga akan menjadi milik kamu...”

Aisyah membalikkan tubuhnya, dia membalas pelukan sang suami erat-erat hingga membuat Naresh sedikit kaget dan jantungnya ikut berdegup kencang.

“A-Aisyah udah siap kok! Tadi... gugup bentar doang,” mata Aisyah yang berbinar-binar menatap lemat-lemat kedua netra sang suami, “Aisyah gak mau... kalau Mas Nana tidur dalam keadaan kecewa gini... jadi—”

CUP! Naresh memotong perkataan istrinya itu dengan satu kecupan yang mendarat di pipi Aisyah.

“Kamu serius udah siap?”

“U-Udah...!”

“Yakin? Aku gak maksa lho.”

“Iya yakin! Ih jangan banyak tanya gitu dong, Aisyah malu tahu!”

Naresh segera bangun dari tempat tidurnya, “Aku mau wudhu dulu, abis itu kita shalat sunnah 2 rakaat.”

Aisyah mengangguk menurut, lalu mereka mengambil wudhu untuk menyucikan keduanya sebelum melaksanakan shalat sunnah 2 rakaat sebagai awal ritual suci pernikahan mereka.

Setelahnya Naresh menatap lagi sosok istrinya yang masih memaling wajah malu-malu, ia meninggalkan satu jejak lagi kecupan hangatnya di kening Aisyah...

dan malam itu menjadi malam yang panjang bagi kedua insan yang baru mengikat janji sucinya itu.


Sinar mentari mulai menyilaukan kedua mata Aisyah dari balik tirai gorden yang terbuka lebar. Matanya terbelelak, ia cepat bangun dari tidurnya namun sayang tubuhnya itu masih sulit untuk di gerakkan.

“A-Aduh... Astagfirullah... Aisyah kesiangan shubuh...!”

Wanita itu perlahan berjalan menuju kamar mandi, ia mencium aroma manis dari luar kamar utamanya, gadis itu mengubah haluan jalannya menuju luar kamar dan mendapati sosok suaminya yang sedang sibuk di dapur.

Images

“Ma-Mas? Kok udah bangun duluan?”

“Aku udah bangun dari shubuh, Aisyah.”

“Kenapa gak bangunin aku...”

Naresh tersenyum simpul dan memberi satu kecupan pagi di pipi Aisyah, “Aku udah bangunin kamu berkali-kali tapi kamu nyenyak banget tidurnya. Capek ya?”

Aisyah mencibir bibirnya, “Ish... harus banget pake cium apa... masih pagi juga.”

Naresh terkekeh, “Udah sana bersih-bersih, shalat Shubuh dulu kalau bisa sekalian Dhuha, nanti baru makan disini. Makanannya masih belum siap kok.”

Aisyah menganggukkan kepalanya lalu ia berjalan lagi ke arah kamar mandi untuk menyucikan dirinya sebelum melaksanakan shalat.

Jadi sekarang... Aisyah beneran udah jadi istrinya Mas Nana ya? Hehehe...


Saat ini kedua insan itu sedang menyantap sarapannya sama-sama saling berhadapan. Rambut panjang Aisyah yang tergerai sebelah dadanya membuat Naresh tak berhenti mendecak kagum, ia sangat mengakui bahwa kecantikan istrinya saat ini memang sungguh spesial.

“Aku suka banget ngelihat rambut kamu gitu, cantiknya ngalahin Irene Red Velvet,” goda Naresh.

“Ish, gombal banget...” tepik Aisyah malu.

“Lho serius aku, makanya aku senang banget jadi merasa spesial gitu, hehehe...”

“Bisa aja, kang buaya.”

Naresh mendecak, “Ya ampun, Syah, aku udah jadi suami kamu masih juga dibilang buaya?!”

Aisyah ketawa renyah, “Iya, buaya gantengnya Aisyah. Wlek!”

“Wah, gak ada julukan lain apa yang bagusan dikit?”

“Apa? Handsome Crocodile??”

“Sama aja maemunah.”

“Lacoste?”

“ITU MEREK LOGONYA BUAYA!!”

Aisyah tertawa terpingkal-pingkal bahkan perutnya sampai terkocok-kocok karena reaksi konyol suaminya itu.

“Yaudah bagusan dikit nih, pangeran kodok?”

Naresh langsung mencubit hidung Aisyah hingga gadis itu merintih kesakitan, “Adududuh!!”

“Kalau gitu kamu putri kodoknya biar impas ya?!”

Aisyah cuman membentuk jari telunjuknya bulat yang menandakan setuju dengan ungkapan suaminya. Mereka saling bertukar canda tawa lagi. Kedua insan saling mencintai itu tengah menikmati suasananya yang masih di mabuk asmara.

Sekali lagi, selamat ya Naresh dan Aisyah!