shinelyght

Chelsea dengan gengsi setinggi langitnya. Meskipun wanita itu mencak-mencak seolah tak mau dengan ajakan suaminya tapi ia bergegas mempercantik diri dengan polesan natural makeup dan sengaja lebih memerahkan bagian bibirnya. Bibir cantik yang selalu menjadi candu bagi Gama dipoles dengan liptint berperisa semangka.

Pintu kamarnya terbuka, menampilkan sosok sang suami dengan napas tersengal-sengal. Kedua matanya terkunci saling adu tatap rayu, Chelsea mengaitkan anak rambutnya ke telinga malu dan Gama langsung melangkah cepat menuju istrinya. Tangannya menangkup kedua wajah Chelsea lalu menjamah bibir sang istri penuh gairah.

Suara decakan memenuhi ruangan, keduanya saling beradu lidah dengan permainan bibir yang didominasi penuh oleh Gama. Chelsea memejam matanya rapat-rapat, berusaha mengimbangi Gama namun justru tubuh mungilnya sedikit terangkat. Mereka melepas sejenak bibirnya, tampak setarik benang saliva dari keduanya akibat perang lidah yang cukup intens. Gama menatap lekat tatapan sayu Chelsea, dengan gagah pria itu mengangkat tubuh istrinya seperti tuan putri lalu meletakannya ke atas ranjang mereka.

“Katanya cuman ciuman?” bisik Chelsea yang terdengar seksi di telinga Gama.

“Kan kamu tahu kalau itu cuman bohong?” balas Gama sedikit menggoda istrinya. Chelsea hanya mendecih pelan.

“Dasar pembohong,” ucap Chelsea.

“Ini bohong untuk kebaikan, Chel.”

“Kebaikan apaan, buat lo doang itu mah.”

Gama mendekatkan wajahnya, sedikit menghembus leher putih milik Chelsea hingga wanitanya mendesah panjang.

“Yakin nih, cuman buat kebaikan gue doang, hm?” Gama mengecup pelan leher sang istri lalu menggigit pelan tanpa memberi bekas.

“Hhhh jangan bikin kiss mark di situ... besok pagi kan Mama mau ke rumah....”

“Tinggal kamu tutup pake make up.”

“Ah males, Gam—Ah! Ssshhh....” Bukan Gama kalau nurut, justru ia malah sengaja membuat bekas di leher istrinya di beberapa titik. Mau marah pun tak sanggup, karena Chelsea juga tak berdaya untuk melawan kenikmatannya saat ini.

Dua tangan Gama yang menganggur beralih pada satu gundukkan berukuran besar milik sang istri dan juga bagian sensitif di bawah sana. Chelsea seolah dibawa terbang melayang, entah apa yang bisa mendeskripsikan nikmat yang ia rasakan. Tangan Chelsea mencengkram kuat di kedua bahu luas Gama, dengan kedua bibir mereka masih saling beradu penuh menuntut. Permainan Gama saat ini lebih cepat dari biasanya, sampai Chelsea menepuk-nepuk agar suaminya itu sedikit lebih gentle.

“I'm sorry, queen,” Gama mengecup kening Chelsea lembut.

“That's okay,” Chelsea membalas kecupan singkat di bibir suaminya, lalu Gama kembali meraup bibir wanitanya dengan rakus. Ia bisa merasakan bagaimana manisnya semangka yang menyatu di bibir sang Chelsea sehingga itu membuatnya tak bisa melepas tautan mereka. Meskipun pasokan oksigen mereka sudah mulai habis, Gama masih belum mau memberi Chelsea kesempatan untuk bernapas dulu. Kedua tangan wanita cantik itu dikunci oleh satu tangan kekarnya di atas kepala. Gama melepas tautannya lebih dulu, membiarkan mereka sama-sama mengambil pasokan oksigen lebih banyak dan menatap lagi dalam rayu untuk mengagumi satu sama lain.

Jantung Gama terasa ingin meledak begitu melihat bagaimana cantik dan menggodanya Chelsea dengan bibir merah yang sedikit membengkak, peluhnya membasahi kening juga tatapan sayu nan lemah. Sang tuan tersenyum miring, ia mendekati telinga wanitanya sambil berbisik begitu seduktif.

“I will make you scream my name tonight, queen.”

Detak jantung Chelsea mendadak terhenti, ia menahan napasnya sambil memaling wajah karena malu.

“Di-di bawah ada anak-anak....” ucap Chelsea gemetar.

“Mau setel lagu gak biar gak kedengeran?” Gama langsung bangkit dan mengambil speaker JBL Go nya.

“Jangan gede-gede banget, nanti kedengeran tetangga gak enak!”

“Iya sayang, ngerti kok.”

Gama mengatur volumenya agar bisa menyesuaikan situasi, tak terlalu pelan untuk menutupi suara mereka nanti juga tak terlalu kencang sampai terdengar ke rumah sebelah. Gak lucu kalau tiba-tiba ada penggebrekan warga karena kegiatan panas mereka yang sudah sah di mata hukum.

Lagu yang diputar adalah Collide – Justine Skye feat Tyga, sang wanita langsung tersenyum puas begitu mendengar lagu favoritnya. Gama langsung kembali menaiki ranjangnya dan mengangkat tubuh Chelsea untuk duduk menyandar ke dashboard ranjang king size-nya.

Jemari kekar Gama mengelus pelan pipi lembut Chelsea sambil menatap kedua iris legam sang istri yang begitu indah dipandang. Kecantikan sang wanita kasih yang selalu ia kagumi dan takkan pernah bisa digantikan posisinya dalam singgasana hati.

Semua yang ada pada Chelsea Audrey Wijaya itu sepenuhnya menjadi milik Gamaliel Arkananta.

Entah berapa tahun pernikahan mereka sudah berjalan, tapi usia tidak pernah membuat kecantikan istrinya itu pudar. Entah memang istrinya yang pandai merawat diri atau memang di matanya Chelsea selalu cantik.

“Kamu tahu kan?” Gama menangkup kedua sisi wajah Chelsea, “Kamu itu anugerah yang selalu aku syukuri dalam hidup aku, semua tentang kamu itu selalu buat aku kagum.”

Suaminya itu memang pandai membuat Chelsea salah tingkah dari tiap kata-kata manis yang dilontarkan ataupun perlakuannya yang membuat ia merasa berharga. Chelsea terlalu malu untuk membalas tatapan hangat Gama sampai ia menundukkan kepalanya.

“Udah ish gombalnya... malu udah umur segini....” pinta wanita berusia 33 tahun itu.

“Lho gombal mah gak mandang umur, Chel, nanti kalau kita udah kakek-nenek juga bakal aku gombalin terus kamu,” goda Gama hingga Chelsea membalas dengan pukulan ringan di lengan Gama nan otot bisepnya yang terbentuk.

Tangan Gama sudah beralih membuka kancing piyama satin milik Chelsea hingga terlepas sudah bagian atas wanitanya menampilkan bra hitam cantik, tapi itu tak dibutuhkan Gama sedikitpun. Ia melepas kaitan bra Chelsea dan justru menjauh sebentar untuk mengagumi tubuh istri tercintanya.

“Cantik,” gumam pria itu sambil tersenyum tipis.

Gama meraih rambut hitam panjang Chelsea dan menggenggamnya sejenak agar ia bisa menciumi leher putih nan jenjang itu. Chelsea memejam mata rapat-rapat, menikmati tiap sentuhan suaminya dan tangannya mengeratkan pelukan di leher Gama.

Aroma manis vanilla dari parfum Chelsea sungguh memabukkan.

Dari ciuman pelan sampai berubah jadi gigitan yang membuat sebuah 'bekas kepemilikan'. Tak hanya di leher, Gama sengaja membuat bekasnya di tengah-tengah diantara dua buah dada istrinya. Bisa diperkirakan besok tanda-tanda di lehernya menjadi pr yang banyak untuk Chelsea besok.

“Gak adil kalo cuman kamu yang bikin tanda,” tiba-tiba wanitanya itu menggerutu, Gama terkekeh geli dan akhirnya memberi ruang untuk Chelsea bebas melakukan apa saja terhadapnya.

Biasanya Gama yang selalu mengambil kendali penuh di permainan panas mereka, dan sekarang pria itu membiarkan bagaimana Chelsea memperlakukannya.

Chelsea merebahkan tubuh Gama dan posisi mereka saat ini didominasi oleh Chelsea yang duduk diatas Gama. Pria itu hanya menyeringai dan menyerahkan dirinya kepada sang istri. Tubuh Gama yang masih dibalut kaos itu langsung dipaksa lepas oleh Chelsea, meskipun usia Gama sudah hendak menginjak angka 4 ternyata gagahnya tak lekang oleh waktu. Siapapun pasti akan terpesona, dan yang membuat Chelsea sangat bersyukur bahwa Gamaliel Arkananta sepenuhnya milik dia.

Jemari cantik nan lentik milik Chelsea sengaja memutar di dada bidang Gama hingga pria itu mendesis panjang. Chelsea menghembus napasnya yang hangat di telinga Gama, lalu menggigit pelan. Bibirnya menurun sambil usil mengecup lama di belakang telinga, beralih pada leher depan sesuai dengan tujuan utama Chelsea. Dia juga tak mau kalah untuk membuat tanda kepemilikan di leher sang suami.

“Jangan banyak-banyak, Chel, besok siang aku ada meeting sama Bagas.”

Wajah Chelsea berubah jadi cemberut, “Ih, katanya mau nemenin aku belanja?!”

“Iya abis meeting, paling lama beres jam 3 kok.”

Entah harus lega atau kesal, tapi Chelsea kembali fokus membuat tanda di beberapa titik leher Gama. Melihat tingkah istrinya yang sibuk dengan kegiatannya membuat Gama gemas, meski begitu kepalanya memutar otak untuk pakaian besok yang ia kenakan. Pasalnya, untuk memakai turtle neck sweater di cuaca panas ini pasti menimbulkan curiga.

Sudahlah, lebih baik nikmati momen saat ini saja.

Gama langsung membalik tubuh mungil Chelsea dan mengambil alih lagi permainannya. Mereka berdua tertawa, dan tangan Gama cepat menarik semua balutan yang menutupi bagian bawah Chelsea. Begitupun Chelsea juga melepas semua yang menutupi bagian bawah Gama.

“Kayaknya malam ini kamu lebih agresif deh, Chel,” bisik Gama.

“Gapapa, kan aku emang orangnya gak pernah mau kalah,” balas Chelsea dengan ekspresi tengil khasnya.

Gama justru semakin menahan kuat kedua tangan Chelsea sampai wanitanya dibuat tak berdaya dalam kurungannya.

“Oke kalo gitu tapi maaf ya, aku orangnya kompetitif, Chel.”

Kedua bibir mereka kembali saling bercumbu dan memperdalam ciumannya yang begitu panas. Gama memperdalam ciumannya dan menelusupkan lidahnya untuk mengabsen bagian dalam mulut Chelsea. Begitu tautan bibir mereka terlepas, Gama mengalihkan perhatiannya pada dua bongkahan sintal yang terpampang tepat di hadapannya. Tanpa ba-bi-bu lagi, Gama melahap satu dadanya dan satu tangan yang menganggur meremas dada sebelahnya.

“AH! Ga-Gama...! Haahhh....!” Chelsea memekik kaget. Kedua tangannya tidak diberi leluasa sedikitpun, satu tangan kekar Gama ternyata cukup kuat untuk menahan dua tangan milik Chelsea. Wanita itu merasa kalah telak kalau soal tenaga.

Tubuhnya terus menggeliat geli dengan perlakuan Gama. Begitu prianya menyudahi kegiatan mereka dan melihat bagaimana ekspresi Chelsea sekarang, Gama tersenyum puas. Ekspresi Chelsea yang begitu indah ini hanya bisa dilihat oleh Gama seorang.

Setelah menjamah bagian atas kini giliran bagian bawah Chelsea yang sudah basah sejak tadi, bahkan bagi Gama ini lebih basah dari biasanya. Satu jemarinya mulai memasuki bagian inti dan Chelsea mendesah panjang, tak lama Gama menggunakan dua dan tiga jari untuk bermain-main dibawah sana. Kedua tangan Chelsea yang tertahan mulai terasa kebas dan yang bisa dilakukan wanita itu hanya bisa pasrah.

“Hah... aku kalah..... sshhhh....” Chelsea mengakui kekalahannya dan membuat Gama tertawa puas.

“Masa gini doang kalah,” ejek Gama.

“Kamu mainnya tenaga, gak adil,” balas Chelsea dengan nada ketus.

“Yaudah mau gantian nih kamu diatas?” tawar Gama yang sebenarnya tak serius, hanya untuk menyenangkan hati sang istri.

“Au deh udah keburu males juga, udah aku pasrah aja!”

Mendapat lampu hijau dari istrinya, Gama mempercepat tempo permainan jarinya dan melepas kedua tangan Chelsea agar bisa berpegangan di bahunya. Chelsea terus mendesahkan nama Gama sampai semi menjerit, untung saja lagu yang dinyalakan itu volumenya lumayan besar untuk menutupi suara sang istri. Ruangan itu juga dijamin kedap suaranya asalkan tidak terbuka pintunya atau tidak menjerit terlalu keras tapi mereka tetap antisipasi agar tidak terjadi hal-hal yang tak diinginkan. Bisa saja mereka ceroboh, bukan?

“Gama....!! Gamaahh... ah! ah! sshhh....!”

Gama mencumbu bibir istrinya kembali lalu melepasnya.

“Ini udah basah banget, langsung ke inti aja ya?” pinta Gama dan langsung diiyakan oleh Chelsea.

Gama melebarkan paha Chelsea dan menaikkannya di bahu, ia mengurut pelan kejantanannya dan mulai menyentuh seolah mengetuk bagian bawah istrinya. Chelsea mendesah pelan, rasanya dinding rahimnya terus menarik kejantanan Gama ke dalam yang beriringan dengan tempo yang diberikan Gama. Pria itu perlahan memaju-mundurkan bagian bawahnya sampai kedua inti mereka sudah menyatu sempurna, Gama mempercepat genjotan pinggulnya sampai di titik kepuasan Chelsea.

“Ah, Gam! Gamaaa!”

“Ssshh... Chel!”

“Gamaaa! Gam!”

“Chel, I love you so much!

“Hhhh...!”

Chelsea mengalungkan tangannya di leher Gama, suara decitan ranjang dan peraduan kulit mereka seolah saling bersahut mengisi ruangan. Kini lagu yang terputar sudah beralih dengan lagu Light a Flame milik SEVENTEEN favorit Chelsea.

Malam ini menjadi malam panas yang sempurna.

Gama merubah posisi menjadi duduk dan kini permainan didominasi oleh Chelsea. Pria itu seolah memberi kesempatan bagi istrinya yang memimpin permainan panas mereka, dan keputusan itu tidaklah buruk. Chelsea dengan mode 'agresif' saat ini membuat Gama semakin bergairah.

“Gam... hah... capek...!”

Cepat Gama mengambil alih lagi dan merebahkan tubuh Chelsea di bawah kurungannya. Tanpa ampun pria itu mempercepat temponya untuk segera sampai ke puncak nikmatnya. Begitu terasa semakin sesak bagian bawahnya, Gama mempererat pelukannya dan membiarkan cairan hangat meluruh semuanya di dalam rahim Chelsea. Keduanya mengatur napas masing-masing, tubuh Gama langsung rubuh di samping Chelsea dan melepas tautan tubuh mereka. Gama menarik selimut untuk menutupi tubuh polos mereka dan tak lama Chelsea memejam matanya yang lelah.

“Chel? Ke kamar mandi dulu gih bersih-bersih.”

“Bentar dulu ah capek, kamu duluan aja.”

“Ayo bareng aja.”

“Ah gak mau nanti malah jadi ronde kedua di kamar mandi! Kamu duluan sana mandii...!!”

Chelsea mendorong tubuh suaminya jauh-jauh. Kalimatnya barusan tak sepenuhnya salah, jadi Gama lebih baik menuruti apa yang dikatakan istrinya.

“Yaudah kalo abis aku bersih-bersih kamu gak bangun juga, beneran jadi ronde kedua, Chel.”

“COWOK SINTING, BURUAN BERSIH-BERSIH SANA!!!”

Chelsea tak berhenti mondar-mandir di depan pintu rumahnya. Jarum jam menunjukkan pukul setengah sepuluh dan tanda-tanda kedatangan suaminya masih tak ada. Ia berlari memastikan kedua buah hatinya tertidur lelap, karena takut bahwa malam ini akan terjadi sebuah unexpected situation.

Dari luar pria itu tampak sangat lembut, tenang dan diam tapi kalau sekali saja Chelsea memancing singa yang tertidur dalam jiwa Gama, jangan harap hari akan berakhir singkat. Bayangkan saja hanya karena satu kalimat yang bahkan Gama tuangkan sendiri di novelnya tapi Chelsea yang mengucapkan kalimat itu sebagai satu pancingan, Gama tak segan bergerak cepat untuk pulang.

Tatkala rasa gundah itu berlangsung panjang, suara mobil yang selesai diparkirkan depan garasi rumahnya refleks membuat Chelsea menegup salivanya bulat-bulat. Dari jendela tampak langkah suaminya itu terburu-buru dan ketukan pintu keras itu langsung disambut Chelsea.

“Hai,” Chelsea menyapa dengan kikuk, lekukkan senyuman miring terlukis di dua sudut bibir pria gagah di hadapannya, “Kamu capek banget ya abis perjalanan jauh? Aku abis bikinin kamu chamomile tea nih—”

Gama menarik pergelangan tangan Chelsea mendekat, kini hembusan napas hangat keduanya saling beradu dengan tatapan legam yang lekat itu saling mengunci. Kepala Chelsea membayangkan bagaimana ekspresi wajah Gama yang lembut dan hangat itu biasa ditampakkan seketika malam ini berubah menjadi gelap dan picik, bagaikan seorang singa yang lapar dan menatap santapan malamnya penuh gairah.

“You said that you are thirsty, right?” Jemari besar Gama mengelus pelan pipi istrinya dan perlahan menurun sampai tepat di bawah dagu, “Can you explain what kind of thirsty, honey?”

“I-Itu aku baca pick-up line yang ada di novel terbaru kamu....” jawab Chelsea gemetar.

“Okay so....” Gama mendekat ke telinga wanitanya, “You want to do for the next part, queen?” bisikkan sang tuan yang seduktif itu membuat aliran darah Chelsea berdesir panas. Tempo detak jantungnya sudah tak mengikuti irama, sampai satu tangannya diraih oleh Gama, dengan tatapan smirk menggodanya Gama mengecup punggung tangan sang istri.

“You want to take that as a question or my order?”

“What if i say nothing?”

“Then i will take that as order,” Gama menggendong tubuh Chelsea bak tuan putri dan membawanya ke kamar mereka. Tangannya perlahan menidurkan Chelsea dan mengukung tubuh mungilnya dengan dua tangannya, dari bawah Chelsea menatap tiap perlakuan suaminya itu. Benar, apapun jawaban yang diberikan Chelsea tak ada gunanya, yes or no, he will take it as yes. Tangan Gama membuka satu per satu kancing kemeja putihnya, Chelsea hendak bangkit untuk membantu tapi justru tangannya ditepis, ia kembali menidurkan tubuh wanitanya sambil menatap tajam.

“Aku bisa sendiri,” Tubuh atletisnya terekspos di hadapan Chelsea, memacu detak jantung wanita itu lebih cepat seperti habis lari marathon. Gama merendahkan tubuhnya sampai dua bibir mereka bertemu untuk saling bertukar kehangatan. Mata Chelsea yang membesar perlahan memejam, satu tangan Gama yang menganggur digunakan untuk menyusup ke bawah silk dress Chelsea.

Wait, kamu gak pakai bra ya?” tanya Gama sambil terkekeh.

“Emang daritadi gak kelihatan aku gak pakai apa-apa?” tanya Chelsea malu.

Gama tersenyum miring lagi, “Well that's great.”

Jemari besarnya bertemu pada dua gundukan, Chelsea menahan napasnya. Ekspresi Chelsea dengan wajahnya yang memerah setiap tangan sang tuan berhasil menyentuh tiap inci tubuhnya adalah favorit Gama. Wanitanya tampak menahan desah, “Just moan my name, you don't have to hold it, queen.”

Chelsea melepas desah panjangnya, “Gama....”

“Good girl.”

Gama kembali mengecup bibir merah nan adiktif milik wanita kasih, kecupan-kecupan hangat itu berubah menjadi menuntut dan penuh gairah. Chelsea menepuk-nepuk pundak Gama untuk meminta waktu sebentar meraup oksigen yang hampir habis. Wanita itu juga memberi kode kepada suaminya agar lampu kamar dimatikan lebih dulu, ia tidak suka berhubungan dalam keadaan terang seperti sekarang.

“Aku mau lihat kamu, Chel,” bujuk Gama.

Please, no, nyalain aja lampu kristalnya kalau mau,” tolak Chelsea.

“Kenapaaa? Please kamu cantik banget sekarang soalnya....”

“Gama ish!” Chelsea mendengkus sebal.

“Yaudah iya, iyaa....” Gama bergerak mematikan lampu kamarnya lalu men-setting lampu kristal yang ditunjuk istrinya agar sedikit lebih terang. Chelsea mendesis lagi, akhirnya Gama menuruti apa kemauan wanitanya untuk meredupkan lampu kristalnya, tak lupa juga ia memastikan agar pintu kamar terkunci rapat. Mereka tidak mau kegiatan panasnya itu terhenti karena insiden konyol, bukan begitu?

“Ini bisa diturunin lagi gak suhu AC-nya? Panas banget,” pinta Chelsea lagi namun tak diindahkan suaminya.

“I will make this room more hotter, Chel,” tanpa ba-bi-bu Gama meraup lagi bibir Chelsea sampai wanitanya sedikit terhentak. Tangan besar Gama mengelus pelan pucuk kepala Chelsea lalu menurun sampai pipi lembutnya. Chelsea mengikuti bagaimana permainan Gama dalam bertarung tukar saliva, lidah Gama menerobos masuk mulut Chelsea dan mengabsen tiap giginya begitupun lidah Chelsea yang ikut mengait di lidah Gama. Seperti yang dikatakan Gama barusan, suhu ruangan mereka menjadi lebih panas dari sebelumnya. Rasanya Chelsea ingin menurunkan dulu suhu AC-nya sebelum melanjutkan kegiatan panas mereka tapi tubuhnya terus ditahan oleh tubuh Gama yang tenaganya luar biasa.

Gama menggigit bawah bibir istrinya dan berlanjut ke bawah, ia bubuhkan sebuah tanda kepemilikan di leher sisi kanan Chelsea.

“Gam jangan bikin tanda disitu nanti kelihatan—”

“Emang siapa yang mau lihat?”

Chelsea tertegun, “Ya-ya anak-anak, semuanya.”

Gama terkekeh, “Tinggal jawab aja ini tanda dari papihnya jadi gak boleh diambil siapapun.”

“Ish jangan ngajarin yang enggak-enggak!”

Gama menyeringai jahil.

Silk off-shoulder dress milik Chelsea dianggap mengganggu, Gama menariknya ke bawah sampai tubuh polos sang istri yang selalu ia kagumi itu terekspos depan matanya. Pria itu tak pernah bosan mengagumi betapa cantiknya tiap inci wajah juga tubuh yang dimiliki Chelsea, tak ada rasa tak senang setiap ia bersama sang istri. Chelsea adalah anugerah terindah yang pernah ada di hidupnya. Pernikahan yang diawali dengan ketidaksengajaan itu berubah menjadi takdir yang selalu ia syukuri, bersanding dengan wanita yang luar biasa dan memiliki dua permata hati yang mewarnai kehidupannya.

Chelsea is blessing.

Tatapan dalam dan penuh makna itu membuat wajah Chelsea semakin memerah. Ia merasa malu namun bahagia dalam satu waktu, seolah Gama hanya terpana oleh pesonanya. Tak ada yang lain.

Tangan Gama membelai paha bagian dalam Chelsea, memberikan sedikit setruman nikmat sampai tubuh wanitanya itu menggeliat. Satu tangan Gama menahan dua tangan mungil ke atas, ia hanya tersenyum puas melihat bagaimana ekspresi Chelsea yang gelisah.

“Chel,” Gama mendekat ke telinga Chelsea, meniupkannya usil hingga gadis itu mendesah panjang lagi, “Besok aku gak ada schedule apa-apa.”

“Terus... kenapa?” Chelsea kesusahan menjawab karena dua jemari Gama sudah menyusup ke dalam bawah sana, bermain-main hingga wanita itu terus bergerak gelisah.

“Let's stay like this more longer,” Gama menusukkan lagi jemarinya sampai Chelsea sedikit memekik. Pikiran wanita cantik itu sudah melayang entah ke langit mana, berharap ada puncak kenikmatan yang segera menjemputnya namun jemari panjang nan besar milik Gama masih tak berhenti menari di bawah sana. Dua tangannya yang ditahan akhirnya bebas dan Chelsea segera mencengkram kuat bahu pria kasihnya, melampiaskan semua rasa yang bercampur aduk dalam dada juga bawah perutnya itu. Matanya terus merem-melek menikmati tiap pergerakan yang dibawa Gama.

“Ga-Gam, aku... akh!” Begitu Chelsea hendak di puncaknya, Gama justru menarik jemarinya, “Gamaaaaaa?!” Chelsea mendecak kesal.

“Not this time, queen,” Gama menurunkan resleting celananya melepas rasa sesak yang ada dibawah sana. Rasanya gugup sekaligus aneh setiap kali Gama hendak melepas semua pakaian yang melekat pada tubuhnya. Pria itu terlalu indah, lengan kekar yang membentuk bisepnya, perut kotak-kotak sixpack yang proporsional juga si adik kebanggaannya itu yang memang patut dibanggakan. Rasanya malu untuk mengagumi suaminya seperti ini, tapi seperti itulah yang selalu dirasakan Chelsea.

Gama merendahkan lagi tubuhnya untuk meraih bibir Chelsea. Manis nan adiktif itu selalu menjadi bagian favorit Gama, entah mantra apa yang menyihirnya dari labium merah merekah itu. Tangan besarnya mengelus lagi pipinya, sampai tautan keduanya lepas dan mempertemukan dua iris legam yang penuh dengan tatapan cinta. Entah ada berapa banyak kupu-kupu yang berterbangan dibawah perutnya, baik itu Gama dan Chelsea, mereka tidak mau momen ini selesai cepat-cepat. Akankah malam ini bisa berlangsung panjang sampai tak mengenal hari esok?

“Aku jadi kepikiran deh,” tiba-tiba Gama berucap, “Ghaza udah tiga tahun, dia mau adek gak ya?”

Chelsea langsung memukul lengan kekar suaminya, “Ish, kamu tuh!”

“Bercanda sayang hahaha....” Gama mengecup kening Chelsea, “Tapi kalau memang rejekinya kita dapet anak lagi aku gak nolak kok.”

“Jangankan kamu, aku yang ngandung nanti juga gak bisa nolak!” ketus Chelsea sampai membuat suaminya itu terbahak-bahak.

Gama mulai melebarkan paha Chelsea, ia memposisikan tubuhnya lebih naik di atas tubuh Chelsea. Rambut cantik yang tampak acak-acakan dengan peluh yang mengalir dari kening istri tercinta membuatnya terus menggumamkan kalimat kagum, rasanya sangat amat tidak rela kecantikan Chelsea ini dibagi oleh siapapun. Gama memang suka mengalah, tapi dia akan berubah menjadi egois, serakah dan tak akan mau kalah kalau itu menyangkut soal Chelsea.

Gamaliel Arkananta is a good boy, everyone knows that.

But he can brings heaven to Chelsea, the one and only.

“Siap ya?” Gama memberi aba-aba sebelum memasuki ke permainan inti. Tanpa sadar Chelsea sudah mencengkram kuat bahu Gama sampai meninggalkan jejak kuku, wanita itu mendesah panjang setelah kedua inti tubuh mereka saling mengisi dan kini mereka sudah menjadi satu, Gama menggerakkan pinggulnya dengan tempo perlahan sampai berangsur-angsur jadi cepat.

“Gama... Gama.... Ssshh....” Chelsea mendesahkan nama Gama.

“Chel, you are so pretty...! Ah...!” Gama terus menggerakkan pinggulnya, diikuti Chelsea yang berusaha menyeimbangkan permainan suaminya. Kepalanya pening sekaligus meresapi bagaimana nikmat duniawi ini berlangsung, suara peraduan kulit keduanya terus mengisi kesunyian kamar mereka bersama peluh dengan suhu ruangan yang semakin memanas. Suhu 20 derajat sudah tak lagi terasa bagi mereka. Gama masih terus mengejar puncak klimaksnya, dia membalikkan posisi tubuh Chelsea dan kembali memasukkan bagian intinya. Chelsea mendesah keras, meminta prianya untuk bergerak lebih cepat karena ia hampir sampai pada puncak nikmat duniawinya.

“Gama please don't stop... ah!”

“Gak mau!” Gama mendekat ke wajah Chelsea, “I will fuck you all night long, Chel...!”

Terlukis senyum di wajah cantiknya, Gama justru mengecup lekukkan senyum itu dan melihat lagi ekspresi wajah Chelsea dari atas. Suara desahan mereka yang semakin memenuhi ruangan saling beradu. Bagian bawah mereka terasa semakin berkedut, dirasa puncaknya hampir sampai Gama memeluk erat tubuh istrinya begitupun Chelsea.

“Chel, i wanna cum!”

“Gama...!”

“Bareng ya!”

“Ga-Gamahh...!”

“Chelsea...!”

Puncak keduanya sampai bersamaan. Chelsea merasakan ada hangat yang mengalir deras di rahimnya, begitupun Gama yang melepas semua di dalam dan menetap di posisi nyamannya. Keduanya masih enggan untuk saling melepas, napas yang memburu juga hawa panas semakin terasa di kulit. Dengan gentle Gama menarik selimut tebal merahnya dan menutupi seluruh tubuh polos Chelsea sambil terkekeh melihat bagaimana istrinya itu mulai terkantuk-kantuk.

“Jangan tidur dulu, kita istirahat sebentar,” ucap Gama membuat Chelsea melotot.

“Istirahat sebentar maksudnya apa?!” pekik Chelsea.

“Ya lanjut ronde dua lah,” jawab Gama dengan enteng dan dibalas oleh satu pukulan maut Chelsea di lengannya.

“Bener-bener lu ya, kan bisa dilanjutin besok pas anak-anak ke sekolah?!” Chelsea cepat menutup mulutnya rapat-rapat, ia barusan memberikan sebuah ide brilian bagi Gama yang justru membuatnya menegup saliva bulat-bulat.

“Ide bagus tuh,” ucap Gama, “Morning activities kita sekalian exercise bareng ya?”

Chelsea tak sanggup lagi membalas, ia langsung bangun dari posisi tidurnya untuk berjalan ke kamar mandi bersama selimut merah yang menutupi tubuh polosnya.

“Woy selimutnya jangan dibawa kabur juga, dingin nih!!”

Jingga berdiri di depan pintu lobby mall menantikan sosok wanita yang mengundangnya ke acara premiere. Secara bersamaan kaki jenjang Kay turun dari mobil, sosok Maya bersama Chelsea dan anak-anaknya juga muncul di hadapan Jingga.

Tatapan Jingga dan Maya terkunci cukup lama.

“Ayo,” Kay menuntun Jingga untuk maju dan ia memeluk lengan Jingga.

Maya yang menyaksikan tentu saja geram di dada, tapi ia harus bisa berkepala dingin. Maya masih mau melihat sejauh apa antara Jingga dan Kay.

Sedangkan Chelsea menatap tajam seperti ingin membunuh Jingga detik itu juga.


Acara premiere berlangsung tak begitu lama setelah sambutan dari beberapa petinggi dan sutradara, tak terkecuali Gama yang saat ini sedang memberikan sepatah dua katanya.

“Saya mengucapkan terima kasih sebelumnya, terutama kepada istri tercinta dan dua buah hati saya yang selalu memberikan kekuatan di kala saya sedang merasa jatuh...”

Chelsea memberikan gestur tangan berbentuk hati ke arah Gama dan dibalas pula oleh sang suami. Maya tertawa renyah melihatnya.

Setelah Gama memberikan sepatah dua katanya sekarang giliran Kaynara yang menyampaikan kata sambutan sebagai pemeran utama wanita. Wanita itu menatap lemat sosok Jingga yang duduk paling depan menatapnya intens.

“Sebelumnya terima kasih kepada para hadirin sekalian yang datang pada acara premiere... baik dari pihak keluarga, saudara, teman atau kerabat, juga penonton yang antusias dengan film....”

Maya tak sanggup berada di ruangan itu lama-lama. Ia berlari menuju toilet untuk menenangkan pikiran kusutnya yang tak beraturan.

“Secara khusus juga saya ucapkan terima kasih kepada seseorang yang sudah menemani suka dan duka saya selama 8 tahun lamanya, yang selalu menjadi orang pertama di setiap saya mendapat project dan juga yang menenangkan saya kalau lagi jatuh... Jingga, terima kasih.”

Jingga tersenyum simpul.

“Meskipun kita udah gak sama-sama lagi tapi kamu berhak mendapatkan penghargaan dari aku, Jingga.”

Suasana ruangan berubah menjadi penuh haru.


Chelsea🍒✨ : Maya lo dimana? Chelsea🍒✨ : Filmnya mau dimulai.

Maya keluar dari toilet setelah menghabiskan waktu kurang lebih 15 menit di sana untuk menenangkan pikirannya. Ia terkejut begitu mendapati Jingga sedang bersembunyi di balik tembok—tengah menguping pembicaraan antara Kaynara dengan lawan mainnya, Rafael Amiro.

“Pacar kamu tuh siapa sih? Aku atau Jingga?” decak Rafael.

“Ya kamu gak denger tadi aku ucapin dia sebagai mantan juga ujung-ujungnya?” balas Kay meninggi.

“Tetep aja aku gak suka!”

“Lagipula ya bukan urusan kamu juga aku mau ngucapin untuk siapa!”

“Ya urusan aku lah kamu ngucapinnya buat Jingga, kamu lupa kalo kamu bilang Jingga itu penghalang terbesar semua mimpi kamu?!”

Maya tercengang di tempat, matanya teralihkan kepada wajah sendu Jingga di sana.

“Laki-laki membosankan yang cuman buat kamu merasa gak enak, yang kamu bilang gak pantas untuk bersanding sama kamu ketika sukses nanti, lupa ya sama ucapan sendiri?!” Rafael semakin menekankan kalimat yang pernah diutarakan Kay. Wanita itu mengatup bibirnya rapat-rapat.

Tak lama Jingga muncul di antara percakapan keduanya dengan wajah datar.

“Ternyata memang selama ini saya kurang terus ya di mata kamu, Kaynara?”

Kay terkesiap.

“Jingga, bukan gitu maksud aku—”

“Saya pikir selama ini saya adalah support system utama kamu, tapi ternyata sebaliknya, maaf kalau selama 8 tahun itu saya cuman penghalang mimpi kamu.”

Kay tak sanggup berkata-kata lagi, ia pergi meninggalkan Jingga menuju ruang studio lalu diikuti Rafael. Pemuda itu berdiri sendiri dengan kepala menunduk.

Suara langkah kaki kecil di belakang mengejutkan Jingga sampai ia menoleh ke belakang, mendapati Maya sosok gadis masa depannya.

“Ma-Maaf, aku gak maksud nguping atau gimana—”

Jingga langsung memeluk tubuh Maya erat-erat melepaskan semua luka dari hangat juga wangi manisnya Maya. Kehadiran gadis itu dalam hidupnya memang selalu menjadi obat ketika Jingga merasa sedang dibawah.

“Sakit juga ya, ternyata 8 tahun saya dengan Kay itu cuman buang-buang waktu.”

Maya menggeleng pelan, tangannya menepuk pelan bahu Jingga menenangkan jiwa sang lelaki kasih yang sedang dirujam oleh rasa sakit yang luar biasa.

“Enggak, kak, gak mungkin 8 tahun kalian itu cuman buang-buang waktu...”

“Saya pikir saya adalah orang satu-satunya yang mendukung dia disaat dunia ingin menjatuhkan dia, ternyata saya cuman dianggap parasit.”

Maya mempercepat tepukannya dan membiarkan bahu mungilnya basah karena air mata Jingga.

“Rasanya sakit banget ya? Maaf ya kak, keluarin aja semuanya....”

Tuhan, apakah Engkau menggariskan semesta kami berdua untuk saling membasuh luka satu sama lain?

Jingga mempererat pelukannya, ia menangkup kepala Maya dan mengelus pula rambut halus Maya yang jatuh lurus. Aroma stroberi khas Maya dari rambutnya membuat Jingga tenggelam dalam kehangatannya.

“Semua hal yang datang di kehidupan kita itu pasti ada maknanya kak... Kay kasih kakak pelajaran berharga tentang perasaan cinta dan pengorbanan, dan sekarang kakak sudah selesai belajarnya.”

Pemuda itu mulai melepaskan pelukannya dan menatap wajah Maya lekat.

“Maaf, Maya, kamu harus lihat sisi saya yang lemah kayak gini.”

Maya menggeleng pelan, “Enggak kok, manusia gak melulu harus terlihat kuat, buat aku Kak Jingga tetep keren kok.”

Jingga terkekeh pelan, “Makasih ya, saya bersyukur banget bisa dipertemukan perempuan hebat kayak kamu.”

Maya mencibir, “Lebay banget perempuan hebat, aku juga banyak kekurangannya.”

“Justru itu, Maya,” Jingga meraih tangan Maya, “Kehadiran kamu di hidup saya itu bukan untuk menyempurnakan, saya gak butuh yang sempurna, tapi untuk saling melengkapi kekurangan kamu dan juga saya.”

Jingga mengecup hangat kening sang kekasih hati. Maya memejam mata, menghayati tiap sentuhan lembut Jingga dari kecupan kening juga pelukan eratnya yang memberikan rasa aman.

“Saya juga paham kok gimana sakitnya ditinggal Ghaza, dan saya akan berusaha untuk bisa mengobati luka kamu. Pelan-pelan aja, gak usah buru-buru.”

Maya tertawa, “Jadi konsepnya aku nyembuhin lukanya Kak Jingga terus Kak Jingga juga sebaliknya?”

“Untuk bisa berjalan ya lukanya harus diobatin dulu, Maya....”

Jingga langsung menggandeng jemari Maya.

“Saya males nonton deh, mending kita cari tempat lain yuk?”

“Yuk!”

Chelsea duduk menyilang seraya dua matanya menatap tajam nan menusuk ke dua mata Jingga sampai pemuda itu tak sanggup berkutik, untuk sekedar mengambil minumannya saja Jingga tak ada nyali sedikitpun.

“Besok lo dateng ke Premiere sebagai tamu mantan lo?!” tanya Chelsea dengan nada introgasi.

“I-Iya betul, Bu....” balas Jingga dengan gemetar.

Wanita itu memutar kedua bola matanya malas, “Terus poinnya gue dateng ke sini buat denger penjelasan lo apa?!”

Benar, Chelsea datang ke sini untuk mendengarkan bagaimana Jingga memang serius dengan Maya.

“Banyak hal yang mau saya luruskan sebelumnya, terutama soal Kay... saya tahu bagaimana perasaan Bu Chelsea pas lihat saya masih berdua dengan Kay dua hari yang lalu dan di sini saya gak mau menyangkal apapun, saya cuman minta maaf kalau emang itu cukup mengganggu—”

“Bukan cukup mengganggu ya emang sangat mengganggu! Lo deketin Maya ketika lo sendiri belum selesai sama masa lalu lo, dan gue gak nyiduk lo sekali doang ya... waktu di rumah sakit setelah gue kontrol, gue lihat mantan lo itu dateng dan meluk lo di depan banyak orang!”

Jingga memencak kedua matanya.

“Gini lho, Jingga...” Chelsea mengusap matanya gusar, “Lo sama Maya itu sama-sama terjebak di masa lalu, gue paham kok tapi kalian beda situasinya... bayangin kalo Maya yang ditinggal mati sama pacarnya dan dikecewakan sama lo dalam satu waktu, dia gak bisa balik ke siapa-siapa....”

Pemuda itu mengepal kuat tangannya.

“Bu Chelsea—”

“BISA GAK JANGAN PANGGIL IBU TERUS?? INI LAGI GAK DI RUMAH SAKIT!”

Jingga menarik napasnya dalam-dalam, “Che-Chelsea...?”

“Gitu kek dari tadi.”

“Oke saya lanjut kalimat saya,” Jingga menegakkan tubuhnya, “Sekali lagi saya minta maaf kalau ada perilaku yang membuat Maya terluka dan kamu jadi gak percaya sama saya, saya juga ngerti keadaan Maya, sosok Ghaza yang gak bisa lepas dari kehidupan Maya saya juga mengerti, tapi di sini izinkan saya meluruskan lagi.” “Betul, memang kemarin masa lalu saya belum sepenuhnya selesai. Saya masih bimbang dengan perasaan sendiri, di kepala saya masih teringat kenangan saya dengan Kay karena bagaimanapun hubungan saya dengan Kay itu 8 tahun. Kemarin-kemarin saya masih terbawa suasana sama Kay, saya minta maaf.”

Wajah tegang Chelsea perlahan memudar.

“Tapi sekarang saya sadar kok, sebenarnya hati saya lebih memilih siapa dan dengan siapa masa depan saya, itu Maya. Wanita pilihan saya jatuh kepada Maya.”

Chelsea memundurkan tubuhnya, “Apa... alasan lo memilih Maya?”

“Banyak, sampai saya gak bisa sebut satu-satu,” Jingga terhenyak, “Buat saya Maya itu perempuan ajaib, dia punya banyak hal yang buat saya gak mau ninggalin dia... Selama 8 tahun hubungan saya dengan Kaynara, saya tidak pernah merasa benar-benar nyaman sebagaimana saya di dekat Maya.”

Wanita di hadapannya terdiam.

“Maya gak hanya buat saya nyaman, tapi dia juga menganggap keberadaan saya. Saya sangat senang ketika dia merasa butuh dilindungi dan datang ke saya, atau menatap saya dengan mata berbinar-binar...”

Entah kenapa gue teringat Gama dari kata-katanya Jingga....

“Saya mau menjadikan Maya sebagai wanita pendamping saya, mulai sekarang dan juga masa depan.”

“Hmm....” Chelsea bergeming sejenak, “Lo... yakin?”

“Yakin.”

“Kalo lo yakin, gue akan bantu kalian.”

Jingga tersontak, “Ba-Bantu apa?”

“Bantu mastiin Maya move on dari Ghaza.”

Mendengar ungkapan Chelsea membuat Jingga tak enak hati.

“Ka-Kalo itu proses aja, Chel, saya gak maksa dia harus move on detik itu juga, seperti yang kamu bilang kalo situasinya Maya beda sama saya.”

“Ya gak adil dong kalo cuman lo yang usaha? Lagipula emang udah saatnya kok kita semua mengikhlaskan kepergian Ghaza, dan berhubung lo ini mirip banget ya sama Ghaza... Maya harus bisa lepas dari bayang-bayang Ghaza buat lanjutin hubungannya sama lo.”

Seandainya... Seandainya Tuhan mengizinkan saya untuk bertemu Ghaza dalam mimpi....

“O-Oke kalau gitu, tapi beneran saya gak maksa lho.”

“Iyaa tahu, gue gak bilang lo yang maksa kok,” gelak tawa Chelsea pecah, “Tapi....”

Gadis itu maju untuk mencubit lengan Jingga keras-keras sampai pemuda itu merintih kencang.

“Itu balasan karena buat Maya patah hati! Belum aja gue pukul lo!”

“Sakit banget! Duh itu nyubitnya pake tenaga kuli apa gimana?!”

“JANGAN NGEREMEHIN KEKUATAN EMAK-EMAK, MAKANYA AWAS KALO LO SAKITIN MAYA LAGI!!”

Masih untung nyawa lo selamat, Jingga....

“Ka-Kakak sejak kapan pacaran sama Rivandy Nathaniel....?”

Raina merasa sangat dikhianati, pasalnya ia tak pernah mengetahui ternyata kakaknya itu memiliki pacar seorang superstar.

“Udah... lama sebenernya tapi ya gitu deh, baru bisa go public sekarang hehe,” Shashi memeluk erat lengan Rivan, sedangkan adiknya itu mengerucut bibirnya sebal.

“Uhh sebel banget tau gitu kan bisa pake jalur orang dalem kemaren!” celetuk Raina.

Rivan tertawa terbahak-bahak, “Lho kok gitu? Justru saya mau rekrut kamu tuh pure karena talent kamu yang luar biasa, Raina!”

Siapa yang tak meleleh ketika dipuji oleh pria tampan pemilik senyum manis seperti Rivandy Nathaniel? Raina bergeser dan membisik ke kakaknya....

“Kakak kalo nyia-nyiain cowok kayak Rivandy Nathaniel mending buat aku aja.”

“HEH MULUT LO YA CIL?!”



Terhitung ada seribu tamu undangan pernikahan Jonathan dan Katherine hadir di hotel megah daerah Jakarta Pusat. Dari prosesi awal hingga ke resepsi semua mereka ikuti dengan khidmat juga perasaan penuh sukacita. Tak terkecuali Rivan dan Shashi yang datang sebagai pasangan, mereka mengucap selamat juga memberikan hadiah pernikahan terbaik untuk pengantin.

“Nih,” Katherine memberikan buket bunganya secara khusus kepada Shashi, “Setelah ini kalian harus cepat nyusul ya...! Inget umur kalian udah gak muda lagi.”

Wajah keduanya praktis memerah bak kepiting rebus.

“Rencananya gitu sih, Kate, kalo bisa gue mau nikahin Shashi besok juga gapapa.”

Shashi memukul keras lengan kekasihnya itu, “Heh seenaknya, kamu kebiasaan ya hidup serba gampang jadi apa-apa tuh asal gas aja!”

“Serba gampang?! Shachi bayangin aku nahan kangen sama kamu 7 tahun lebih—”

“Lah lo pikir gue enggak?! Gue juga tersiksa tau gak pas lo putusin gue?! Jangan merasa paling tersakiti deh!”

“Makanya aku mau cepet-cepet nikahin kamu, kamunya yang ngulur-ngulur terus!”

“LO PIKIR NIKAH GAK ADA PLANNINGNYA?! NIKAHAN SEBAGUS JO SAMA KATE TUH LAMA PLANNINGNYA TAU GAK?!”

Sedangkan Jo dan Kate yang melihat....

“Kayaknya rumah tangga mereka nanti bakal harmonis banget ya....”

Sesuai yang direncanakan, Shashi terjun langsung menuju lokasi yang sudah dikirimkan oleh Rafi. Dua pengawasan dari jarak 2 meter pada lokasi juga chip magnet yang sudah dipasang di jam tangan Shashi sehingga tidak menimbulkan kecurigaan apapun. Shashi datang dengan blazer maroon dan kemeja hitamnya, langkah kakinya penuh percaya diri dengan sorot mata tajam yang menatap sekelilingnya.

Begitu sampai di depan ruangan Rafi, semua barang-barang Shashi diambil dan digeledah—memastikan tidak ada barang berbahaya yang dibawa. Shashi juga melalui body check dan sesuai aba-aba Sera, ia melepas jam tangannya terlebih dahulu sehingga tidak terdeteksi oleh metal detector.

“Masuk!” setelah selesai proses body check, cepat Shashi meraih jam tangannya lalu tubuh gadis itu di dorong kuat-kuat dan langsung menghadap sosok Rafi yang sedang duduk dengan angkuh. Senyuman miring nan liciknya menyambut kedatangan Shashi.

“Selamat datang, Ibu Shashi yang terhormat!” Rafi berdiri dan hendak memeluk tubuh Shashi namun cepat ditepis oleh gadis pemilik rambut sebahu itu. Mata Shashi praktis melotot setelah melihat seorang perempuan cantik yang disekap pada ujung ruangan.

“Mbak Erika?!” lengan Shashi ditahan dua pria bertubuh besar, tubuhnya diposisikan duduk menghadap Rafi.

“Jangan buru-buru dong, kita belum ngobrol lho?”

Shashi mendecih.


“Kita belum bisa turun sekarang?! Posisi Shashi bener-bener terancam sekarang, gue gak mau dia kenapa-kenapa!” Sejak tadi Rivan tidak bisa duduk dengan tenang. Tentu saja, ia khawatir dengan gadis kekasihnya yang harus terjun langsung menerjang sumber bahaya.

“Tenang dulu, semua tim aparat juga udah ada di posisinya kalau terjadi apa-apa,” ucap Sera dengan kepala dingin.

“Udah percaya aja sama Shashi,” Valent menepuk bahu Rivan pelan.

Rivan memencak kesal, sedang hatinya berdoa atas keselamatan Shashi di sana.

Srrk... srrrkk....!

“Gimana kasetnya, Bu Shashi? Apa bisa menjadi bukti kuat untuk menyelesaikan kasus kliennya atau... mengungkap kasus Rivan 7 tahun yang lalu?”

Rivan langsung terperanjat di tempatnya.

“Sebelumnya terima kasih ya, setidaknya saya bisa mendapat clue dari video yang om kirim ke saya, jadi... selama ini kasusnya Rivan itu rekayasa dari Om Rafi ya?”

Valent cepat memencet tombol rekam pada laptopnya dan Rivan semakin menyimak pembicaraan antara Shashi dengan Om Rafi.

“Kalau dari video yang sudah ditonton, bagaimana pendapat Bu Shashi?”

“Kita bandingkan saja dengan ahli hukum dari Om Rafi bagaimana? Siapa tau Om Rafi tidak puas dengan analisis saya.”

“Haduh, Shashi malah ngulur waktu....”

Desahan panjang Sera membuat jantung Rivan tersentak, “Ke-Kenapa, Sera?!”

“Feeling gue gak enak aja, takutnya Om Rafi lagi ngerencanain sesuatu kalau ngulur-ngulur waktu gini.”

Rivan mengacak-acak rambutnya, “Argghhh, harusnya gue aja yang turun langsung bukannya Shashi!”

“Saya percaya kok dengan semua yang kamu katakan sama saya... masa saya meragukan seorang pengacara kondang yang saya besarkan selama ini?”

“Oh begitu? Ya sudah kalau gitu saya akan menyampaikan semua dengan seadanya.”

CKREK!

Suara aneh masuk ke rekaman, dan dada Rivan terasa semakin berguncang.

“Silahkan katakan semuanya, dan saya harap kamu tidak mengecewakan saya ya... atau nyawa antara kamu atau Erika yang jadi taruhan.”

Rivan melempar headphone-nya dan berlari keluar menyusul tempat keberadaan Shashi.

“RIVAN ASTAGA! RIVAN!!!”


Sebuah pistol genggam jenis revolver mengacung tepat di dahi Shashi dengan senyuman licik Rafi yang semakin jelas di wajahnya. Meskipun sedikit terkejut, gadis itu sudah terbiasa menghadapi situasi berbahaya seperti ini. Tak ada rasa gentar sedikitpun dalam diri Shashi.

“Ayo cepat bicara,” Rafi menekankan pistolnya ke dahi Shashi, gadis itu justru menyeringai.

“Sepertinya Bapak Rafi ini orangnya mudah tersinggung, saya jadi takut lho ngomongnya, hahaha....” Shashi tertawa renyah, “Tapi mau gak mau kan saya harus profesional, oke kalau gitu dengar baik-baik apa yang saya katakan dan anda tinggal mengonfirmasi atau menolak perkataan saya yang tidak sesuai dengan fakta, deal?”

Rafi menghempas tawa remehnya, “Deal, saya tidak akan menutup-nutupi fakta yang ada.”

“Oke, pertama... dari CCTV itu terlihat ada seorang perempuan yang jatuh tiba-tiba dan sekumpulan laki-laki di sampingnya mengerumuni, dan Rivan datang dari pintu keluar untuk menyelamatkan tapi tiba-tiba kerah bajunya ditarik sampai posisi mereka di kamera terlihat seolah Rivan mencium perempuan itu, dan di bagian CCTV ini yang dipublikasikan ke media, bukan begitu, Om Rafi?”

Pria baya itu hanya terkekeh, “Yah... kurang lebih begitu, bisa diterima.”

“Dan saya sudah menyelidiki siapa sosok perempuan itu, ternyata dia adalah salah satu mantan artis dari perusahaan anda.”

Perlahan Rafi menarik pistolnya, “Ya.... betul.”

“Jadi anda mengaku kalau kasus Rivan 7 tahun yang lalu... semuanya adalah rekayasa anda?”

Senyuman mengerikan Rafi semakin terlukis, “Mungkin bisa dikatakan....”

Krrt...

”... seperti itu, Ibu Pengacara....!”

DUAR!!

Shashi bergerak cepat menembakkan pistol itu ke arah atas dan menyikut perut pria baya itu hingga jatuh tak berdaya. Gadis itu mengambil alih pistolnya, pria-pria bertubuh besar dengan tinggi hampir 1 meter itu langsung menyerbu Shashi.

DUAK...!! BUK!!

ARGHH...!! HAJAR PEREMPUAN ITU MASA KALIAN KALAH SIH!!!

Pistol yang dipegang Shashi terlempar jauh sampai keluar, tak ada pilihan lagi selain bertarung dengan adu otot. Semua tendangan dan pukulan Shashi yang cepat berhasil menghabisi total 5 laki-laki pemilik tubuh besar bak algojo tapi pertarungan masih belum selesai. Semua anak buah Rafi dari lantai bawah langsung menyusul ruangan utama tapi fokus Shashi bukan pada mereka, melainkan gadis itu langsung lari ke tempat Erika disekap.

“Mbak Erika! Mbak Erika!” Shashi melepas semua ikatan tali yang mengikat seluruh tubuh Erika dan membuka selotip hitam yang membekap mulutnya. Tubuh Erika gemetar hebat sampai wanita itu memeluk erat tubuh Shashi, “Mbak Erika stay di belakang saya ya sampai bantuan datang ke sini!”

Erika mengangguk menuruti perintah Shashi, sedangkan kumpulan anak buah Rafi sudah mendobrak masuk ruangan utama dan mencari mangsanya untuk dihabisi. Shashi maju dengan gagah, tangannya mengepal kuat ke depan lalu meminta lawannya untuk maju satu per satu.

DASAR CEWEK SIALAN!!!

Shashi menendang kuat dada pria lawannya, namun gadis itu lengah begitu ada lawan lainnya dari belakang mencekik lehernya dengan lengan kekar sang lawan. Brengsek, sesek anjir!

DUAKK!!! Shashi terkejut bukan main dengan aksi Erika yang memukul lawannya dengan kayu.

“Haahhh... makasih Mbak Erika!”

Erika kembali berlindung di belakang Shashi. Pertarungan mereka semakin sengit terlebih anak buah Rafi ternyata tak habis-habis menghajar Shashi. Posisinya sekarang terancam. Ia cepat menoleh ke arah Erika, “MBAK ERIKA, TOLONG KELUAR DARI SINI SEKARANG JUGA!!!”

Erika kelimpungan, ia tak berdaya apa-apa untuk menolong Shashi tapi tak tega meninggalkan gadis itu sendirian.

“CEPETAN KELUAR MBAAKK!!!”

Mau tak mau Erika mengikuti perintah Shashi. Wanita itu keluar tergopoh-gopoh dari ruangan tersebut meninggalkan Shashi di sana menghadapi para pria badak sendirian. Tubuhnya sudah lelah, jika memang Shashi harus mengorbankan nyawa di sini, ia sudah tak ada pilihan.

DUAKK!!!

Satu pukulan kuat berhasil menghantam pipi Shashi hingga gadis itu terpental jauh. Ia berusaha bangkit meskipun darah sudah bercucuran dari hidung dan juga batuknya. Dadanya terasa seperti hancur, tangannya lemah tak berdaya lagi. Pria yang barusan menghajar Shashi langsung menarik leher gadis di hadapannya dan mencekik kuat tak membiarkan Shashi bernapas sedikitpun.

“Hehe... mati lo bangsat!” kecam pria itu.

Shashi semakin tak berdaya, hingga di detik ia ingin memejam matanya...

DOR!!

“ANGKAT TANGAN SEMUANYA!!!”

Sera bersama tim aparat datang di waktu yang tepat, tubuh Shashi langsung terjatuh lemah di lantai dan pria bertubuh besar tadi praktis angkat tangan.

“Buset ini... yang hajar Shashi semua apa gimana?!” decak Sera kaget.

Cepat semua pelaku yang ada di ruangan utama di ringkus tak terkecuali Rafi yang sudah tergeletak lemah. Rivan dan Valent menyusul masuk dan mendapati Shashi sudah tak sadarkan diri disana.

“Sha... Shashi?!” Rivan langsung lari menghampiri tubuh lemah gadis kekasihnya, “Shachi... bangun, aduh kok ini darah dimana-mana....” pria itu hampir menangis melihat kondisi Shashi.

“Urgh... ohok, ohok!” Shashi kembali batuk dan memuntahkan darah.

“Tunggu sebentar ya, ini ambulance lagi on the way ke sini,” kata Sera berusaha menenangkan situasi. Valent ikut membantu Rivan untuk mengangkut tubuh Shashi menuju keluar.

Dalam posisi lemahnya, Shashi tersenyum penuh kemenangan.


“KALO KAMU NIKAH SAMA AKU, AKU GAK AKAN NGEBIARIN KAMU HANDLE KASUS YANG BAHAYA, NGERTI KAMU SHASHI?!”

Setelah beristirahat seharian penuh, kondisi Shashi kembali seperti semula. Hanya saja terdapat beberapa bekas luka lebam di bagian wajah dan tulang di pipi juga dada yang sedikit bergeser.

“Gila lu ya, orang baru dipukulin udah bahas nikah aja, gue belum selesein kasusnya Erika Tsabita!” desis Shashi.

“Kasusnya Erika Tsabita udah di handle sama Jo, katanya udah aman biar kamu istirahat dulu!”

“Enak aja itu kerjaan gue, jangan direbut!”

“Heh keras kepala banget, jitak juga nih?!”

“JITAK SINI GUE GAK TAKUT!!”

Rivan menegup salivanya bulat-bulat, “Gak jadi, kamu aja dipukulin orang gak takut.”

Shashi tertawa remeh. Gadis itu berusaha mengunyah bubur makan siangnya sekuat tenaga namun rasa sakit luar biasanya cukup mengganggu.

“Males ah jadi gak mood makan!” gerutu Shashi, “Tapi jujur gue lega banget akhirnya kasus lo terungkap juga.”

Rivan tersenyum hangat, “Iya sama, yang buat aku makin lega... aku gak perlu takut orang-orang di sekitar aku akan merasa terancam.”

Shashi mengulum senyum simpul lalu tangannya mengelus pelan pipi lelaki kasih, “Apapun yang terjadi, Shachi gak bakal ninggalin Rivan jadi jangan ninggalin lagi kayak dulu ya?”

Tangan hangat Rivan menggenggam erat tiap jemari mungil Shashi dan mengecupnya, tatapan keduanya terkunci dan jarak antara wajah mereka semakin terkikis...

“Permisiii, waktunya ganti infus!”

Sontak keduanya langsung menjauh.

“E-Eh kenapa nih kok tiba-tiba canggung?” ekspresi sang wajah suster yang tanpa berdosa itu membuat suasana sejoli itu semakin canggung tak terkendalikan.

“Ga-ga-gapapa kok sus, i-ini tangan saya udah bengkak banget, sakit!”

Suster sialan, padahal tinggal dikit lagi!

Sepasang mata antara dua insan itu bertemu dan saling menatap dalam. Kepingan memori lalu yang penuh bahagia dan juga luka kembali terputar, seolah menghadirkan lagi sebuah rasa yang lama terkubur. Ada harapan dari masing-masing insan, akankah semesta memberikan sebuah akhir cerita bahagia bagi keduanya?

Rivan dan Shashi kembali duduk berhadapan. Suasana kali ini canggung dan mereka tak bisa membuka suara sama sekali, tak seperti biasanya yang selalu ada keributan. Shashi hendak mengambil tempat gula yang letaknya lumayan jauh dari posisinya namun cepat Rivan menahan pergelangan tangan Shashi dan menggulung kemejanya yang hampir mengenai kopi.

Jantung Shashi berdegup kencang.

“Lo mau kasih gue surat apa?” tanya Shashi memecah suasana tegang.

“O-Oh iya, aku mau ngasih kamu dua surat ini...” Rivan merogoh dua amplop coklat yang ada di dalam tasnya. Shashi dibuat bertanya-tanya, dikala tangannya meraih entah kenapa ia ragu.

“Surat apa sih ini?” tanya lagi Shashi.

Rivan mengisyaratkan Shashi untuk buka suratnya, lalu begitu Shashi mulai membukanya satu persatu....

“Ini ada nama Raina sama Rio...?”

Amplop coklat itu berisi surat penerimaan audisi Raina dan Rio di perusahaan agensi milik Rivan. Mata Shashi berubah berbinar bahkan hampir menangis.

“Aku sengaja kasih surat mereka lebih lama, bahkan Rio sempet aku tolak tapi karena aku lihat cover songnya di Instagram aku jadi berubah pikiran jadi mereka berdua aku terima.”

“Kenapa lo ngelakuin itu?”

Rivan tersenyum tipis, “Karena ada urusan antara kita yang belum selesai.”

Pemuda itu berdiri lalu mengulurkan tangannya ke arah Shashi, “Aku mau pindah tempat, kita cari tempat makan lain yuk?”

“Eh tapi kita udah duduk di sini—”

Rivan menyergah kalimat Shashi dengan menarik tangannya. Genggaman tangan yang selama ini dirindukan selama 7 tahun akhirnya mereka dapat merasakannya lagi.

Mereka kembali menikmati nuansa romansa setelah sekian lama.


Dengan genggaman tangan yang semakin erat, mereka tak benar-benar berhenti untuk makan siang melainkan berjalan menikmati kota Jakarta dan membeli es krim untuk dimakan berdua. Keberadaan Rivan dan Shashi tentunya mencuri perhatian, bagaimana tidak? Seorang superstar sekelas Rivandy Nathaniel tersorot di area publik dengan seorang wanita. Tak sedikit suara jepretan kamera terdengar tapi mereka acuhkan.

Memori keduanya berputar di masa pacaran dulu, amat sangat membahagiakan.

“Rivan sebentar,” Langkah mereka berhenti di depan McDonald, “Gue laper banget, kita makan di sini dulu ya?”

Rivan tak keberatan untuk mengiyakan. Genggaman tangan yang hangat itu berubah jadi menyesakkan bagi Shashi, mereka melepasnya sejenak tapi Rivan yang tak mau kehilangan wanitanya yang kedua kali beralih merangkul erat Shashi. Sekali lagi, sepasang sejoli itu cukup menyita perhatian sekitar tak terkecuali kasir yang melayani mereka.

“Dua paket burger largenya ya mbak, minumnya coca cola,” pinta Rivan.

“Masnya Rivandy Nathaniel kan? Artis toh?” ujar sang kasir membuat Rivan sedikit kikuk.

“Haha iya betul, kenapa emangnya mbak?” Rivan merangkul lagi Shashi, “Kaget ya saya bawa perempuan sekarang?”

Sang kasir dan staff disana terkesiap. Demi menjaga privasi mereka tak mau banyak komentar—langsung mengarahkan Rivan dan Shashi untuk duduk di tempatnya.

“Udah lama kita gak pacaran gini,” kata Rivan dengan perasaan yang berbunga-bunga.

“Tapi... lo gapapa? Nanti jadi bahan gosip,” balas Shashi.

“Gapapa, udah bukan masanya aku jadi bintang utama sekarang jadi ya aku bebas mau ngelakuin apa aja. Kalo mereka mau masukin kita ke lambe turah juga silahkan, gak akan mengganggu kehidupan aku,” Rivan mendelik, “A-Ah tapi kalo kamu yang terganggu gapapa, ini terakhir kok besok-besok kalo ketemu kita ke tempat yang aman aja—”

Tangan mungil Shashi meraih jemari besar Rivan.

“Lo sendiri bahagia kayak gini, Van?”

Rivan mematung tapi tak lama seutas senyuman tipis terlukis di wajahnya, “Iya, aku bahagia banget.”

“Kalo gitu aku gapapa.”

Kedua mata Rivan tak mampu berkedip. Seketika ia melihat sisi lembut Shashi yang selama ini tak pernah nampak membuat hatinya melambung tinggi. Shashi yang biasa melempar tatapan sinis berubah menjadi sepasang tatapan teduh dengan senyuman cantik.

Sudah lama Rivan tak merasakan bahagia seperti saat ini.

Jika bisa, Rivan mau menghentikan waktu tepat di momen spesial ini untuk selamanya.


“Kasusnya Erika akan terbantu kalau kasus aku yang 7 tahun lalu juga diungkap?”

Shashi mengangguk pasti, “Dokumen yang dikasih Erika belum bisa jadi bukti yang mendukung untuk menang di pengadilan, aku denger Om Rafi punya link yang kuat sama orang-orang hukum apalagi hakim dan jaksa di pengadilan sini. Masalahnya Erika ini fight sendiri, gak ada yang mau bantu dia.”

Rivan menghela napas panjang, “Tapi aku gak mau kamu kena bahaya, dengan kamu bantu Erika aja itu udah cukup membahayakan gimana kalo kamu ikut nanganin kasus aku?”

“Rivan, aku udah biasa kena bahaya dari ancaman sampai hampir dibunuh pun pernah. Aku gak selemah itu.”

“Aku gak pernah menganggap kamu lemah,” Rivan menatap Shashi dengan serius, “Kamu memang gak lemah, tapi kalo kamu kenapa-kenapa aku yang lemah.”

Mata Shashi memencak lebar.

“Meskipun aku ngelakuin banyak hal bodoh atau memutuskan sesuatu yang konyol, asalkan kamu selamat dan aman, itu cukup.”

Shashi terbiasa hidup sebagai pelindung orang-orang terkasihnya. Punggungnya yang kokoh ternyata dibaliknya ada hati yang rapuh dimana setiap malam ia lampiaskan dalam jeritan tangis pada bantal. Ia tak tahu apakah ada orang yang bisa melihat sisi lainnya dan menjadi pelindung pada saat Shashi lemah.

Sampai Rivan hadir kembali di kehidupannya.

“Kalau gitu lindungin aku,” Shashi memajukan tubuhnya, “Aku udah terlanjur nyemplung ke pusat bahaya dan gak bisa balik lagi, yakinin aku dengan adanya kamu... aku bisa merasa aman.”

Yang dikatakan Jonathan benar.

Shashi memang sangat keras kepala.

Sosok Shashi yang keluar dari taksi membuat senyum sumringah Rivan mengembang. Pria itu langsung berdiri menyambut kedatangan Shashi.

“Duduk aja dulu,” pinta Shashi lalu dituruti Rivan, “Kita gak bisa buang-buang waktu lama jadi langsung aja ke intinya.”

Rivan mengangguk kikuk, “O-Oke kalo gitu mau kita mulai dari mana?”

“Jelasin semuanya, kenapa lo putusin gue tiba-tiba dan lo pacaran sama Erika Tsabita pada saat itu.”

Sebenernya gue tahu alasan yang sebenarnya tapi gue mau denger apa yang Rivan rasakan pada saat itu.

Pria itu menarik napasnya dalam-dalam, “Pada saat itu... aku terpaksa harus akhirin hubungan kita karena Om Rafi udah melibatkan kamu.”

Kedua mata Shashi terbelelak sempurna.

“Kamu tahu sendiri kan gimana aku tersiksanya kerja dibawah tekanan dia dan berusaha untuk keluar dari genggamannya tapi memang tidak semudah itu, sampai puncaknya lagi-lagi dia bikin skenario sendiri untuk setting hubungan aku sama Erika. Aku udah menolak keras tapi dia tahu soal hubungan aku sama kamu, jadi aku takut kamu akan dilibatkan di sini, makanya aku gak nolak untuk mengikuti settingan dia...” Rivan mengusap wajahnya gusar, “Sampai akhirnya dia beneran ngelibatin kamu.”

Shashi masih dibuat bertanya-tanya, ia masih ingat betul bagaimana dulu Rafi meminta Shashi untuk pergi dari rumah Rivan dan mengakhiri reality shownya lebih awal karena hubungannya, “Maksudnya beneran ngelibatin gue?”

“Kamu gak kaget kenapa hutang-hutang keluarga kamu lunas? Itu semua dari Om Rafi.”

Jantung Shashi seperti disambar petir. Hah... masa gue hutang budi sama... Om Rafi?

“Dia ngelakuin itu biar bisa jadiin kamu senjata akhir untuk hancurin aku, aku gak mau kamu kenapa-kenapa karena akal-akalan liciknya jadi mau gak mau... aku harus lepasin kamu.”

Shashi berdiri lalu langsung memeluk erat tubuh Rivan. Hatinya hancur, ia merasa sangat bodoh dan malu sekaligus.

“Sha...chi?” ucap Rivan dengan nada lirih.

Gadis itu melepas sejenak pelukannya, terlihat ada bulir air mata yang membasahi pipinya namun cepat Shashi menghapusnya.

“Gue... minta maaf.”

“Untuk?”

“Semuanya.”

Rivan menggeleng, “Kamu gak salah, memang seharusnya kamu membenci aku kayak gitu biar kamu gak kena bahayanya. Justru aku lega kita bisa ketemu lagi di situasi seperti sekarang.”

Shashi mengambil amplop coklat dari tasnya lalu menyodorkan amplop tersebut kepada Rivan. Ia meminta Rivan membukanya.

“Hah... kamu tahu ini darimana?”

Beberapa lembar kertas berisi artikel berita kasus pelecehan yang dialami Rivan dulu dengan dua lembar analisis Shashi terkait kasus tersebut.

“Gue lagi nanganin kasusnya Erika Tsabita.”

Rivan tersontak, “Kasusnya Erika?”

“Iya, detailnya gue belum bisa jelasin sama lo tapi intinya Erika sempet mention masalah kasus lo dan gue juga cari tahu perusahaan manajemen yang menaungi Mbak Erika... ternyata itu manajemennya Om Rafi, makanya gue minta ketemuan sama lo,” Shashi mengetuk satu jarinya lagi di atas kertas, “Bisa jelasin gak kronologi lengkapnya?”

“Emangnya kasusnya Erika sama aku ada hubungannya?”

Shashi menggeleng, “Bukan, tapi gue mau usut dua kasus ini.”

Rivan praktis berdiri dari tempatnya, “MAKSUD KAMU?!”

“Gue mau bantu bersihin nama baik lo, Rivan.”

“SHASHI KAMU JANGAN GILA!”

Mengenang kepergian sahabat terbaik kita, Ghazaliel Arkananta, tiap album dan buku yang berisi kenangannya tersusun rapih pada sebuah kotak khusus yang diamankan pada kediaman Gama dan Chelsea. Mereka harus melestarikan sejarah, dan tiap memori baik bersama adik tercinta.

Kedua buah hati sudah menyandarkan kepalanya di pangkuannya, tangan halus nan sucinya mengelus pelan anak rambut putra dan putri tercinta. Matanya memejam, memutar ulang memorinya bersama mendiang Ghaza.

“Chel, Chel, tadi gue makan enak di kafe baru daerah Cikarang Baru nanti kita makan kesana ya!”

“Chelsea astaga, jangan marah-marah mulu, skincare jaman sekarang mahal bener!”

“Lo itu cantik di mata dua orang yang tepat, satu di mata calon suami lo dan kedua itu di mata gue.”

“Kebayang nanti anak lo gimana, Chel, pasti dia ngewarisin mata cantik lo.”

Chelsea menitikkan air matanya bersama hati yang teriris lagi oleh kenangan itu. Memori baik yang membuat kita tersenyum dan menangis dalam waktu bersamaan.

“Mamih...” Nadine terbangun dari posisinya setelah satu tetes air mata sang Ibunda ikut membasahi pipinya, “Kalo mamih gak kuat ceritain tentang almarhum Om Ghaza gapapa kok...”

Chelsea menggeleng pelan, “Mamih mulai ya ceritanya....” ia meminta putrinya untuk tidur lagi di pangkuannya.

“Om Ghaza adalah salah satu dari ribuan manusia yang memberikan kebahagiaan untuk Mamih, persahabatan kita yang terjalin 6 tahun lamanya... adalah hal terindah dalam hidup Mamih yang selalu Mamih syukuri.”

Dadanya semakin sesak, tapi Chelsea berusaha melanjutkan ceritanya.

“Mamih merasa bahwa 6 tahun kami mengukir memori indah itu masih kurang cukup untuk dikenang, banyak hal yang ingin mamih lakukan bersama Om Ghaza tapi mau bagaimana lagi, sebagai sahabat aja ternyata Mamih gak tahu kalau Om Ghaza sudah menahan sakit sejak lama... kadang-kadang Mamih suka ngerasa gagal untuk jadi sahabat yang baik.”

Putra bungsunya menoleh, “Mih, kan nama aku sama-sama Ghaza itu terinspirasi dari Om Ghaza kan?”

Chelsea mengangguk, “Betul, sayang.”

“Apa harapan Mamih sama aku dari nama yang sama dengan beliau?”

Wanita itu terhenyak mendengar polosnya pertanyaan Ghaza yang pada saat itu masih berusia 10 tahun. Dengan hangat, Chelsea mengecup hangat kening putra bungsunya.

“Papih dan Mamih berharap, kamu menjadi manusia favorit orang-orang sekitar dan juga alam semesta sebagaimana dulu mendiang Om Ghaza. Kehadirannya memberi warna yang penuh dengan kesan dan kepergiannya meninggalkan kenangan indah yang begitu dalam.”

Ghaza... aku masih inget banget bagaimana percakapan kita dulu, tentang cerita ini... Ghaza dan Chelsea berusia 18 tahun setelah kelulusan SMA-nya....

“Chel,” Ghaza menatap langit dengan sendu, “Seandainya nanti anak lo nanya tentang kita, lo bakal ceritain gue kayak gimana?”

Chelsea bergeming panjang, “Yang jelas gue bakal bilang kalo Ghaza itu makhluk paling rese dan tukang nunggak mie ayam sih.”

Ghaza meresponnya dengan terbahak-bahak, “Sembarangan lo, Chel! Ntar malu dong gue udah jadi millionaire malah dikata pernah ngutang sama tukang mie ayam!”

Itu bukan jawaban Chelsea yang sebenarnya. Tangan kecil sang gadis menangkup dua sisi wajah sahabatnya sambil menatap pasti bagaimana binar mata Ghaza yang perlahan membesar, “Gue bakal bilang sama anak gue, kalo hal terindah dalam hidup gue itu yang paling pertama adalah persahabatan kita, Ghaza, dan itu gak bisa nandingin apapun itu.”

Jantung Ghaza berpacu dengan cepat, bisa saja gadis itu merasakan bagaimana wajah milik sang pemuda memanas. Perlahan tangannya yang lebih besar menggenggam erat punggung tangan Chelsea dan sengaja ia menggeser sedikit ke arah indra penciumannya. Ia menghirup dalam seraya meresapi bagaimana aroma manis dari hand cream rasa cokelat milik Chelsea.

“Lo tahu gak kalo banyak hal di dunia ini tuh yang bermakna sia-sia?”

Chelsea mengernyit, “Maksudnya?”

“Di hidup gue banyak hal yang gue bilang sebagai sebuah kesia-siaan, Chel, tapi satu hal yang gak akan pernah gue sesalin dalam hidup gue....” Ghaza mencengkram kuat tangan Chelsea, “... adalah Chelsea Audrey Wijaya yang menjadi bagian dari hidup gue.”

Chelsea mengulum senyum malu, bagaimana sahabatnya itu terlihat tampan dua kali lipat dari biasanya dengan tatapan dalam itu.

“Best friend forever?” Chelsea menawarkan jari kelingking mungilnya, dan Ghaza mengaitkan jari kelingkingnya sebagai janji yang takkan pernah ia khianati sepanjang hayatnya.

“Iya, best friend forever.”

Itu Jingga, kehadirannya dengan senyum menawan yang kini memberikan rasa bahagia tersendiri bagi Maya. Langkahnya yang cepat menghampiri sang tamu istimewa, dengan sekantung plastik putih berisi minuman yang dia bawa.

“Nih tambahan minuman, siapa tau kamu masih mau yang seger-seger!”

Deja vu....

“Nih tambahan seblak, siapa tau kamu butuh yang seger untuk ngerjain tugas kita!”

Langkah Maya justru terhenti sebelum sampai di hadapan Jingga. Pelupuk matanya meneteskan satu bulir kristal dari satu memori yang menyesakkan di dada.

“Maya?” Jingga terkejut dengan raut wajah Maya yang mendadak sendu. Cepat gadis cantik itu membuyarkan lamunannya dan melukiskan lagi senyuman cerianya.

“Ka-Kak Jingga! Ayo cepetan sini, makanannya keburu dingin!” Maya menarik tangan Jingga sekaligus tangan satunya mencengkram kuat-kuat dadanya, berharap luka dari memori lamanya itu sirna secepatnya jangan sampai merusak momen antara Maya dan Jingga.

Maaf, Ghaza, aku ingin menikmati momen ini sebentar aja....



“Oke, aturannya pas nonton film ini pokoknya gak boleh sedikitpun keluarin air mata, harus ditahan,” jelas Maya.

“Kalo udah keburu netes itu gimana? Tarik lagi air matanya?” tanya Jingga dengan nada meledek.

“Yaudah berarti kalah, gak ada pengecualian!” Maya bersiap-siap untuk memutar film pilihannya, “Udah siap?”

Jingga hanya tergelak sambil menganggukkan kepalanya. Opening film yang sedari awal sudah cukup menyentuh hati dengan setting penuh warna. Jingga melirik sedikit kepada sosok gadis yang sibuk mengunyah potongan chicken pop dengan saus honey mustard sembari fokus dengan film yang ditonton. Fokus pemuda itu terpecah, diantara ia ingin menikmati film yang diputar atau pemandangan gadis disampingnya yang tampak sangat menggemaskan.

Maya menyadari tatapan intens Jingga, “Kakak! Fokus dong sama filmnya, curang tahu kalau gitu!”

Jingga mengulum senyum hangat, tangan sang pemuda bergerak untuk menyisipkan anak rambut Maya ke telinganya, “Cantik.”

Wajah Maya praktis memerah panas. Ia enggan menjawab kalimat puji dari Jingga malah mengambil jarak lebih jauh untuk keselamatan jantungnya. Gadis mana yang tidak salah tingkah ketika dipuji oleh laki-laki si pemilik senyuman termanis di dunia seperti Jingga Alkashya? Bahkan tanpa harus berkata-kata pun, senyumannya bisa membuat Maya pingsan di tempat.

Jingga terkekeh geli, ia ikut terfokus dengan filmnya sembari curi pandang kepada si gadis. Hitung-hitung ini sebuah trik agar ia tak kalah dalam permainan.

Adegan film sudah berada di pertengahan, konflik antara tokoh semakin memuncak dan tentunya hal itu membuat dada kedua insan yang menonton juga ikut merasakan sesak luar biasa. Maya berusaha menahan air matanya begitupun Jingga yang sibuk memaling wajah agar tak tampak satu bulir air matanya sudah jatuh, pemuda itu bermain curang rupanya tapi lebih disayangkan karena Maya tak menyadari akal licik Jingga.

“Ukh... jangan gitu dong, sakit nih dada entar Maya kalah....” gumam Maya dengan suaranya yang semakin purau. Jingga menoleh ke arah Maya sambil menghempas tawa kecilnya.

“Udahlah, kalau kalah mah kalah aja, May,” ejek Jingga.

“Gak boleh, aku gak mau kalah dari Kak Jingga!” seru Maya.

“Udah ini mah fix saya yang menang, Maya.”

“Enggak, kita belum selesai ya!”

“Nangis, nangis, hahaha....!”

“KAK JINGGA IH NYEBELIN BANGET!”

Maya langsung lari memukul lengan kekar Jingga bertubi-tubi, serangan kecil yang tenaganya tak sebanding bukannya membuat Jingga kesakitan melainkan pemuda itu semakin gemas. Ia membiarkan gadisnya menyerang namun tanpa sadar ia menarik lengan Maya sehingga tubuh mungilnya terjatuh di pelukannya.

Situasi berubah canggung seketika.

Perpaduan aroma manis vanila yang mencuat dari tubuh Maya dengan citrus fragrance perfume yang baru saja dibeli oleh Jingga beberapa minggu lalu menciptakan nuansa romansa diantara keduanya. Maya tertahan di posisinya, terasa kedua tangan milik Jingga perlahan mengunci tubuhnya dalam dekapan sang pemuda. Jingga enggan melepas Maya sedikitpun, ia membiarkan gadisnya berada di atas tubuhnya dan meresapi aroma manis Maya hingga jantungnya ikut berdetak kencang.

Buyar sudah konsentrasi mereka, tak ada lagi kompetisi yang diingat melainkan tenggelam dengan kehangatan mereka.

Maya berusaha untuk bangun tapi Jingga cepat menahan gadis itu agar tidak pergi. Kedua iris karamelnya menatap lekat iris legam milik Maya.

“Jangan pergi,” Jingga mengeratkan lagi pelukannya, “Disini aja.”

Rasanya jantung Maya ingin meledak detik itu juga, sampai akhirnya jemari besar Jingga kembali memainkan anak rambut Maya dan meletakkan lagi kepala sang gadis ke dada bidangnya, membiarkan Maya mendengar suara detakkan jantung Jingga yang sudah tak lagi menyesuaikan tempo yang seharusnya.

“Kak... gak berat?” tanya Maya kikuk dengan suara kecilnya.

“Enggak,” jawab Jingga singkat.

Maya meneguk salivanya bulat-bulat, “Kak Jingga....”

“Hm?” Suara bariton Jingga yang semakin serak hampir membuat akal sehat Maya melayang di tempat.

“Fi-Filmnya gak ketonton.”

“Kamu masih mau nonton filmnya?”

“Emangnya Kak Jingga gak mau?”

Jingga dengan usil mencubit pipi Maya dan memejam matanya, “Saya ngantuk, mau tidur duluan aja.”

Maya mendesis lalu dibalas oleh tawaan kecil Jingga yang mempesona, Maya kembali menyandarkan kepalanya di dada Jingga. Aneh rasanya untuk menetap di posisi seperti ini terlebih pelukan Jingga tak mengendur sedikitpun. Apa Jingga tidak merasa kesakitan? Akhir-akhir ini bobot berat badan Maya sedang naik apa tidak merasa keberatan? Maya jadi susah tidur karena tingkah pemuda ajaib di hadapannya.

Tak sadar film yang seharusnya ditonton sudah mencapai ending credit, jarum jam menunjukkan pukul sebelas malam dan mereka masih berada di posisi yang sama. Satu tangan Jingga mulai tergontai sehingga itu dijadikan kesempatan Maya untuk bangkit dari posisinya. Melihat pemuda itu tertidur pulas dengan suara dengkurannya sedikit terdengar, Maya mengambil satu selimut bulu cokelatnya untuk menyelimuti tubuh sang pemuda. Maya menatap wajah tidur Jingga sambil mengagumi tiap inci fitur wajahnya yang sempurna.

Kulit putih, bulu mata lentik dengan hidung yang mancung, sedikit ada kumis halus yang mengitari atas dan bawah bibir. Tangan Maya otomatis mengelus pipi Jingga. Ia mengulum senyum malu, sudah lama ia tidak merasakan jatuh cinta seperti ini.

Memutuskan untuk jatuh cinta dengan Jingga... apakah bisa menjadi awal mula happy ending untuk Maya?

Apa Maya berhak untuk menulis cerita baru lagi demi kebahagiaannya?