End Game
Jingga berdiri di depan pintu lobby mall menantikan sosok wanita yang mengundangnya ke acara premiere. Secara bersamaan kaki jenjang Kay turun dari mobil, sosok Maya bersama Chelsea dan anak-anaknya juga muncul di hadapan Jingga.
Tatapan Jingga dan Maya terkunci cukup lama.
“Ayo,” Kay menuntun Jingga untuk maju dan ia memeluk lengan Jingga.
Maya yang menyaksikan tentu saja geram di dada, tapi ia harus bisa berkepala dingin. Maya masih mau melihat sejauh apa antara Jingga dan Kay.
Sedangkan Chelsea menatap tajam seperti ingin membunuh Jingga detik itu juga.
Acara premiere berlangsung tak begitu lama setelah sambutan dari beberapa petinggi dan sutradara, tak terkecuali Gama yang saat ini sedang memberikan sepatah dua katanya.
“Saya mengucapkan terima kasih sebelumnya, terutama kepada istri tercinta dan dua buah hati saya yang selalu memberikan kekuatan di kala saya sedang merasa jatuh...”
Chelsea memberikan gestur tangan berbentuk hati ke arah Gama dan dibalas pula oleh sang suami. Maya tertawa renyah melihatnya.
Setelah Gama memberikan sepatah dua katanya sekarang giliran Kaynara yang menyampaikan kata sambutan sebagai pemeran utama wanita. Wanita itu menatap lemat sosok Jingga yang duduk paling depan menatapnya intens.
“Sebelumnya terima kasih kepada para hadirin sekalian yang datang pada acara premiere... baik dari pihak keluarga, saudara, teman atau kerabat, juga penonton yang antusias dengan film....”
Maya tak sanggup berada di ruangan itu lama-lama. Ia berlari menuju toilet untuk menenangkan pikiran kusutnya yang tak beraturan.
“Secara khusus juga saya ucapkan terima kasih kepada seseorang yang sudah menemani suka dan duka saya selama 8 tahun lamanya, yang selalu menjadi orang pertama di setiap saya mendapat project dan juga yang menenangkan saya kalau lagi jatuh... Jingga, terima kasih.”
Jingga tersenyum simpul.
“Meskipun kita udah gak sama-sama lagi tapi kamu berhak mendapatkan penghargaan dari aku, Jingga.”
Suasana ruangan berubah menjadi penuh haru.
Chelsea🍒✨ : Maya lo dimana? Chelsea🍒✨ : Filmnya mau dimulai.
Maya keluar dari toilet setelah menghabiskan waktu kurang lebih 15 menit di sana untuk menenangkan pikirannya. Ia terkejut begitu mendapati Jingga sedang bersembunyi di balik tembok—tengah menguping pembicaraan antara Kaynara dengan lawan mainnya, Rafael Amiro.
“Pacar kamu tuh siapa sih? Aku atau Jingga?” decak Rafael.
“Ya kamu gak denger tadi aku ucapin dia sebagai mantan juga ujung-ujungnya?” balas Kay meninggi.
“Tetep aja aku gak suka!”
“Lagipula ya bukan urusan kamu juga aku mau ngucapin untuk siapa!”
“Ya urusan aku lah kamu ngucapinnya buat Jingga, kamu lupa kalo kamu bilang Jingga itu penghalang terbesar semua mimpi kamu?!”
Maya tercengang di tempat, matanya teralihkan kepada wajah sendu Jingga di sana.
“Laki-laki membosankan yang cuman buat kamu merasa gak enak, yang kamu bilang gak pantas untuk bersanding sama kamu ketika sukses nanti, lupa ya sama ucapan sendiri?!” Rafael semakin menekankan kalimat yang pernah diutarakan Kay. Wanita itu mengatup bibirnya rapat-rapat.
Tak lama Jingga muncul di antara percakapan keduanya dengan wajah datar.
“Ternyata memang selama ini saya kurang terus ya di mata kamu, Kaynara?”
Kay terkesiap.
“Jingga, bukan gitu maksud aku—”
“Saya pikir selama ini saya adalah support system utama kamu, tapi ternyata sebaliknya, maaf kalau selama 8 tahun itu saya cuman penghalang mimpi kamu.”
Kay tak sanggup berkata-kata lagi, ia pergi meninggalkan Jingga menuju ruang studio lalu diikuti Rafael. Pemuda itu berdiri sendiri dengan kepala menunduk.
Suara langkah kaki kecil di belakang mengejutkan Jingga sampai ia menoleh ke belakang, mendapati Maya sosok gadis masa depannya.
“Ma-Maaf, aku gak maksud nguping atau gimana—”
Jingga langsung memeluk tubuh Maya erat-erat melepaskan semua luka dari hangat juga wangi manisnya Maya. Kehadiran gadis itu dalam hidupnya memang selalu menjadi obat ketika Jingga merasa sedang dibawah.
“Sakit juga ya, ternyata 8 tahun saya dengan Kay itu cuman buang-buang waktu.”
Maya menggeleng pelan, tangannya menepuk pelan bahu Jingga menenangkan jiwa sang lelaki kasih yang sedang dirujam oleh rasa sakit yang luar biasa.
“Enggak, kak, gak mungkin 8 tahun kalian itu cuman buang-buang waktu...”
“Saya pikir saya adalah orang satu-satunya yang mendukung dia disaat dunia ingin menjatuhkan dia, ternyata saya cuman dianggap parasit.”
Maya mempercepat tepukannya dan membiarkan bahu mungilnya basah karena air mata Jingga.
“Rasanya sakit banget ya? Maaf ya kak, keluarin aja semuanya....”
Tuhan, apakah Engkau menggariskan semesta kami berdua untuk saling membasuh luka satu sama lain?
Jingga mempererat pelukannya, ia menangkup kepala Maya dan mengelus pula rambut halus Maya yang jatuh lurus. Aroma stroberi khas Maya dari rambutnya membuat Jingga tenggelam dalam kehangatannya.
“Semua hal yang datang di kehidupan kita itu pasti ada maknanya kak... Kay kasih kakak pelajaran berharga tentang perasaan cinta dan pengorbanan, dan sekarang kakak sudah selesai belajarnya.”
Pemuda itu mulai melepaskan pelukannya dan menatap wajah Maya lekat.
“Maaf, Maya, kamu harus lihat sisi saya yang lemah kayak gini.”
Maya menggeleng pelan, “Enggak kok, manusia gak melulu harus terlihat kuat, buat aku Kak Jingga tetep keren kok.”
Jingga terkekeh pelan, “Makasih ya, saya bersyukur banget bisa dipertemukan perempuan hebat kayak kamu.”
Maya mencibir, “Lebay banget perempuan hebat, aku juga banyak kekurangannya.”
“Justru itu, Maya,” Jingga meraih tangan Maya, “Kehadiran kamu di hidup saya itu bukan untuk menyempurnakan, saya gak butuh yang sempurna, tapi untuk saling melengkapi kekurangan kamu dan juga saya.”
Jingga mengecup hangat kening sang kekasih hati. Maya memejam mata, menghayati tiap sentuhan lembut Jingga dari kecupan kening juga pelukan eratnya yang memberikan rasa aman.
“Saya juga paham kok gimana sakitnya ditinggal Ghaza, dan saya akan berusaha untuk bisa mengobati luka kamu. Pelan-pelan aja, gak usah buru-buru.”
Maya tertawa, “Jadi konsepnya aku nyembuhin lukanya Kak Jingga terus Kak Jingga juga sebaliknya?”
“Untuk bisa berjalan ya lukanya harus diobatin dulu, Maya....”
Jingga langsung menggandeng jemari Maya.
“Saya males nonton deh, mending kita cari tempat lain yuk?”
“Yuk!”