The Best Moment, Always Be With You
Itu Jingga, kehadirannya dengan senyum menawan yang kini memberikan rasa bahagia tersendiri bagi Maya. Langkahnya yang cepat menghampiri sang tamu istimewa, dengan sekantung plastik putih berisi minuman yang dia bawa.
“Nih tambahan minuman, siapa tau kamu masih mau yang seger-seger!”
Deja vu....
“Nih tambahan seblak, siapa tau kamu butuh yang seger untuk ngerjain tugas kita!”
Langkah Maya justru terhenti sebelum sampai di hadapan Jingga. Pelupuk matanya meneteskan satu bulir kristal dari satu memori yang menyesakkan di dada.
“Maya?” Jingga terkejut dengan raut wajah Maya yang mendadak sendu. Cepat gadis cantik itu membuyarkan lamunannya dan melukiskan lagi senyuman cerianya.
“Ka-Kak Jingga! Ayo cepetan sini, makanannya keburu dingin!” Maya menarik tangan Jingga sekaligus tangan satunya mencengkram kuat-kuat dadanya, berharap luka dari memori lamanya itu sirna secepatnya jangan sampai merusak momen antara Maya dan Jingga.
Maaf, Ghaza, aku ingin menikmati momen ini sebentar aja....
“Oke, aturannya pas nonton film ini pokoknya gak boleh sedikitpun keluarin air mata, harus ditahan,” jelas Maya.
“Kalo udah keburu netes itu gimana? Tarik lagi air matanya?” tanya Jingga dengan nada meledek.
“Yaudah berarti kalah, gak ada pengecualian!” Maya bersiap-siap untuk memutar film pilihannya, “Udah siap?”
Jingga hanya tergelak sambil menganggukkan kepalanya. Opening film yang sedari awal sudah cukup menyentuh hati dengan setting penuh warna. Jingga melirik sedikit kepada sosok gadis yang sibuk mengunyah potongan chicken pop dengan saus honey mustard sembari fokus dengan film yang ditonton. Fokus pemuda itu terpecah, diantara ia ingin menikmati film yang diputar atau pemandangan gadis disampingnya yang tampak sangat menggemaskan.
Maya menyadari tatapan intens Jingga, “Kakak! Fokus dong sama filmnya, curang tahu kalau gitu!”
Jingga mengulum senyum hangat, tangan sang pemuda bergerak untuk menyisipkan anak rambut Maya ke telinganya, “Cantik.”
Wajah Maya praktis memerah panas. Ia enggan menjawab kalimat puji dari Jingga malah mengambil jarak lebih jauh untuk keselamatan jantungnya. Gadis mana yang tidak salah tingkah ketika dipuji oleh laki-laki si pemilik senyuman termanis di dunia seperti Jingga Alkashya? Bahkan tanpa harus berkata-kata pun, senyumannya bisa membuat Maya pingsan di tempat.
Jingga terkekeh geli, ia ikut terfokus dengan filmnya sembari curi pandang kepada si gadis. Hitung-hitung ini sebuah trik agar ia tak kalah dalam permainan.
Adegan film sudah berada di pertengahan, konflik antara tokoh semakin memuncak dan tentunya hal itu membuat dada kedua insan yang menonton juga ikut merasakan sesak luar biasa. Maya berusaha menahan air matanya begitupun Jingga yang sibuk memaling wajah agar tak tampak satu bulir air matanya sudah jatuh, pemuda itu bermain curang rupanya tapi lebih disayangkan karena Maya tak menyadari akal licik Jingga.
“Ukh... jangan gitu dong, sakit nih dada entar Maya kalah....” gumam Maya dengan suaranya yang semakin purau. Jingga menoleh ke arah Maya sambil menghempas tawa kecilnya.
“Udahlah, kalau kalah mah kalah aja, May,” ejek Jingga.
“Gak boleh, aku gak mau kalah dari Kak Jingga!” seru Maya.
“Udah ini mah fix saya yang menang, Maya.”
“Enggak, kita belum selesai ya!”
“Nangis, nangis, hahaha....!”
“KAK JINGGA IH NYEBELIN BANGET!”
Maya langsung lari memukul lengan kekar Jingga bertubi-tubi, serangan kecil yang tenaganya tak sebanding bukannya membuat Jingga kesakitan melainkan pemuda itu semakin gemas. Ia membiarkan gadisnya menyerang namun tanpa sadar ia menarik lengan Maya sehingga tubuh mungilnya terjatuh di pelukannya.
Situasi berubah canggung seketika.
Perpaduan aroma manis vanila yang mencuat dari tubuh Maya dengan citrus fragrance perfume yang baru saja dibeli oleh Jingga beberapa minggu lalu menciptakan nuansa romansa diantara keduanya. Maya tertahan di posisinya, terasa kedua tangan milik Jingga perlahan mengunci tubuhnya dalam dekapan sang pemuda. Jingga enggan melepas Maya sedikitpun, ia membiarkan gadisnya berada di atas tubuhnya dan meresapi aroma manis Maya hingga jantungnya ikut berdetak kencang.
Buyar sudah konsentrasi mereka, tak ada lagi kompetisi yang diingat melainkan tenggelam dengan kehangatan mereka.
Maya berusaha untuk bangun tapi Jingga cepat menahan gadis itu agar tidak pergi. Kedua iris karamelnya menatap lekat iris legam milik Maya.
“Jangan pergi,” Jingga mengeratkan lagi pelukannya, “Disini aja.”
Rasanya jantung Maya ingin meledak detik itu juga, sampai akhirnya jemari besar Jingga kembali memainkan anak rambut Maya dan meletakkan lagi kepala sang gadis ke dada bidangnya, membiarkan Maya mendengar suara detakkan jantung Jingga yang sudah tak lagi menyesuaikan tempo yang seharusnya.
“Kak... gak berat?” tanya Maya kikuk dengan suara kecilnya.
“Enggak,” jawab Jingga singkat.
Maya meneguk salivanya bulat-bulat, “Kak Jingga....”
“Hm?” Suara bariton Jingga yang semakin serak hampir membuat akal sehat Maya melayang di tempat.
“Fi-Filmnya gak ketonton.”
“Kamu masih mau nonton filmnya?”
“Emangnya Kak Jingga gak mau?”
Jingga dengan usil mencubit pipi Maya dan memejam matanya, “Saya ngantuk, mau tidur duluan aja.”
Maya mendesis lalu dibalas oleh tawaan kecil Jingga yang mempesona, Maya kembali menyandarkan kepalanya di dada Jingga. Aneh rasanya untuk menetap di posisi seperti ini terlebih pelukan Jingga tak mengendur sedikitpun. Apa Jingga tidak merasa kesakitan? Akhir-akhir ini bobot berat badan Maya sedang naik apa tidak merasa keberatan? Maya jadi susah tidur karena tingkah pemuda ajaib di hadapannya.
Tak sadar film yang seharusnya ditonton sudah mencapai ending credit, jarum jam menunjukkan pukul sebelas malam dan mereka masih berada di posisi yang sama. Satu tangan Jingga mulai tergontai sehingga itu dijadikan kesempatan Maya untuk bangkit dari posisinya. Melihat pemuda itu tertidur pulas dengan suara dengkurannya sedikit terdengar, Maya mengambil satu selimut bulu cokelatnya untuk menyelimuti tubuh sang pemuda. Maya menatap wajah tidur Jingga sambil mengagumi tiap inci fitur wajahnya yang sempurna.
Kulit putih, bulu mata lentik dengan hidung yang mancung, sedikit ada kumis halus yang mengitari atas dan bawah bibir. Tangan Maya otomatis mengelus pipi Jingga. Ia mengulum senyum malu, sudah lama ia tidak merasakan jatuh cinta seperti ini.
Memutuskan untuk jatuh cinta dengan Jingga... apakah bisa menjadi awal mula happy ending untuk Maya?
Apa Maya berhak untuk menulis cerita baru lagi demi kebahagiaannya?