Ghaza, Sahabat Favorit Kita dan Semesta
Mengenang kepergian sahabat terbaik kita, Ghazaliel Arkananta, tiap album dan buku yang berisi kenangannya tersusun rapih pada sebuah kotak khusus yang diamankan pada kediaman Gama dan Chelsea. Mereka harus melestarikan sejarah, dan tiap memori baik bersama adik tercinta.
Kedua buah hati sudah menyandarkan kepalanya di pangkuannya, tangan halus nan sucinya mengelus pelan anak rambut putra dan putri tercinta. Matanya memejam, memutar ulang memorinya bersama mendiang Ghaza.
“Chel, Chel, tadi gue makan enak di kafe baru daerah Cikarang Baru nanti kita makan kesana ya!”
“Chelsea astaga, jangan marah-marah mulu, skincare jaman sekarang mahal bener!”
“Lo itu cantik di mata dua orang yang tepat, satu di mata calon suami lo dan kedua itu di mata gue.”
“Kebayang nanti anak lo gimana, Chel, pasti dia ngewarisin mata cantik lo.”
Chelsea menitikkan air matanya bersama hati yang teriris lagi oleh kenangan itu. Memori baik yang membuat kita tersenyum dan menangis dalam waktu bersamaan.
“Mamih...” Nadine terbangun dari posisinya setelah satu tetes air mata sang Ibunda ikut membasahi pipinya, “Kalo mamih gak kuat ceritain tentang almarhum Om Ghaza gapapa kok...”
Chelsea menggeleng pelan, “Mamih mulai ya ceritanya....” ia meminta putrinya untuk tidur lagi di pangkuannya.
“Om Ghaza adalah salah satu dari ribuan manusia yang memberikan kebahagiaan untuk Mamih, persahabatan kita yang terjalin 6 tahun lamanya... adalah hal terindah dalam hidup Mamih yang selalu Mamih syukuri.”
Dadanya semakin sesak, tapi Chelsea berusaha melanjutkan ceritanya.
“Mamih merasa bahwa 6 tahun kami mengukir memori indah itu masih kurang cukup untuk dikenang, banyak hal yang ingin mamih lakukan bersama Om Ghaza tapi mau bagaimana lagi, sebagai sahabat aja ternyata Mamih gak tahu kalau Om Ghaza sudah menahan sakit sejak lama... kadang-kadang Mamih suka ngerasa gagal untuk jadi sahabat yang baik.”
Putra bungsunya menoleh, “Mih, kan nama aku sama-sama Ghaza itu terinspirasi dari Om Ghaza kan?”
Chelsea mengangguk, “Betul, sayang.”
“Apa harapan Mamih sama aku dari nama yang sama dengan beliau?”
Wanita itu terhenyak mendengar polosnya pertanyaan Ghaza yang pada saat itu masih berusia 10 tahun. Dengan hangat, Chelsea mengecup hangat kening putra bungsunya.
“Papih dan Mamih berharap, kamu menjadi manusia favorit orang-orang sekitar dan juga alam semesta sebagaimana dulu mendiang Om Ghaza. Kehadirannya memberi warna yang penuh dengan kesan dan kepergiannya meninggalkan kenangan indah yang begitu dalam.”
Ghaza... aku masih inget banget bagaimana percakapan kita dulu, tentang cerita ini... Ghaza dan Chelsea berusia 18 tahun setelah kelulusan SMA-nya....
“Chel,” Ghaza menatap langit dengan sendu, “Seandainya nanti anak lo nanya tentang kita, lo bakal ceritain gue kayak gimana?”
Chelsea bergeming panjang, “Yang jelas gue bakal bilang kalo Ghaza itu makhluk paling rese dan tukang nunggak mie ayam sih.”
Ghaza meresponnya dengan terbahak-bahak, “Sembarangan lo, Chel! Ntar malu dong gue udah jadi millionaire malah dikata pernah ngutang sama tukang mie ayam!”
Itu bukan jawaban Chelsea yang sebenarnya. Tangan kecil sang gadis menangkup dua sisi wajah sahabatnya sambil menatap pasti bagaimana binar mata Ghaza yang perlahan membesar, “Gue bakal bilang sama anak gue, kalo hal terindah dalam hidup gue itu yang paling pertama adalah persahabatan kita, Ghaza, dan itu gak bisa nandingin apapun itu.”
Jantung Ghaza berpacu dengan cepat, bisa saja gadis itu merasakan bagaimana wajah milik sang pemuda memanas. Perlahan tangannya yang lebih besar menggenggam erat punggung tangan Chelsea dan sengaja ia menggeser sedikit ke arah indra penciumannya. Ia menghirup dalam seraya meresapi bagaimana aroma manis dari hand cream rasa cokelat milik Chelsea.
“Lo tahu gak kalo banyak hal di dunia ini tuh yang bermakna sia-sia?”
Chelsea mengernyit, “Maksudnya?”
“Di hidup gue banyak hal yang gue bilang sebagai sebuah kesia-siaan, Chel, tapi satu hal yang gak akan pernah gue sesalin dalam hidup gue....” Ghaza mencengkram kuat tangan Chelsea, “... adalah Chelsea Audrey Wijaya yang menjadi bagian dari hidup gue.”
Chelsea mengulum senyum malu, bagaimana sahabatnya itu terlihat tampan dua kali lipat dari biasanya dengan tatapan dalam itu.
“Best friend forever?” Chelsea menawarkan jari kelingking mungilnya, dan Ghaza mengaitkan jari kelingkingnya sebagai janji yang takkan pernah ia khianati sepanjang hayatnya.
“Iya, best friend forever.”