The Last Mission
Sesuai yang direncanakan, Shashi terjun langsung menuju lokasi yang sudah dikirimkan oleh Rafi. Dua pengawasan dari jarak 2 meter pada lokasi juga chip magnet yang sudah dipasang di jam tangan Shashi sehingga tidak menimbulkan kecurigaan apapun. Shashi datang dengan blazer maroon dan kemeja hitamnya, langkah kakinya penuh percaya diri dengan sorot mata tajam yang menatap sekelilingnya.
Begitu sampai di depan ruangan Rafi, semua barang-barang Shashi diambil dan digeledah—memastikan tidak ada barang berbahaya yang dibawa. Shashi juga melalui body check dan sesuai aba-aba Sera, ia melepas jam tangannya terlebih dahulu sehingga tidak terdeteksi oleh metal detector.
“Masuk!” setelah selesai proses body check, cepat Shashi meraih jam tangannya lalu tubuh gadis itu di dorong kuat-kuat dan langsung menghadap sosok Rafi yang sedang duduk dengan angkuh. Senyuman miring nan liciknya menyambut kedatangan Shashi.
“Selamat datang, Ibu Shashi yang terhormat!” Rafi berdiri dan hendak memeluk tubuh Shashi namun cepat ditepis oleh gadis pemilik rambut sebahu itu. Mata Shashi praktis melotot setelah melihat seorang perempuan cantik yang disekap pada ujung ruangan.
“Mbak Erika?!” lengan Shashi ditahan dua pria bertubuh besar, tubuhnya diposisikan duduk menghadap Rafi.
“Jangan buru-buru dong, kita belum ngobrol lho?”
Shashi mendecih.
“Kita belum bisa turun sekarang?! Posisi Shashi bener-bener terancam sekarang, gue gak mau dia kenapa-kenapa!” Sejak tadi Rivan tidak bisa duduk dengan tenang. Tentu saja, ia khawatir dengan gadis kekasihnya yang harus terjun langsung menerjang sumber bahaya.
“Tenang dulu, semua tim aparat juga udah ada di posisinya kalau terjadi apa-apa,” ucap Sera dengan kepala dingin.
“Udah percaya aja sama Shashi,” Valent menepuk bahu Rivan pelan.
Rivan memencak kesal, sedang hatinya berdoa atas keselamatan Shashi di sana.
Srrk... srrrkk....!
“Gimana kasetnya, Bu Shashi? Apa bisa menjadi bukti kuat untuk menyelesaikan kasus kliennya atau... mengungkap kasus Rivan 7 tahun yang lalu?”
Rivan langsung terperanjat di tempatnya.
“Sebelumnya terima kasih ya, setidaknya saya bisa mendapat clue dari video yang om kirim ke saya, jadi... selama ini kasusnya Rivan itu rekayasa dari Om Rafi ya?”
Valent cepat memencet tombol rekam pada laptopnya dan Rivan semakin menyimak pembicaraan antara Shashi dengan Om Rafi.
“Kalau dari video yang sudah ditonton, bagaimana pendapat Bu Shashi?”
“Kita bandingkan saja dengan ahli hukum dari Om Rafi bagaimana? Siapa tau Om Rafi tidak puas dengan analisis saya.”
“Haduh, Shashi malah ngulur waktu....”
Desahan panjang Sera membuat jantung Rivan tersentak, “Ke-Kenapa, Sera?!”
“Feeling gue gak enak aja, takutnya Om Rafi lagi ngerencanain sesuatu kalau ngulur-ngulur waktu gini.”
Rivan mengacak-acak rambutnya, “Argghhh, harusnya gue aja yang turun langsung bukannya Shashi!”
“Saya percaya kok dengan semua yang kamu katakan sama saya... masa saya meragukan seorang pengacara kondang yang saya besarkan selama ini?”
“Oh begitu? Ya sudah kalau gitu saya akan menyampaikan semua dengan seadanya.”
CKREK!
Suara aneh masuk ke rekaman, dan dada Rivan terasa semakin berguncang.
“Silahkan katakan semuanya, dan saya harap kamu tidak mengecewakan saya ya... atau nyawa antara kamu atau Erika yang jadi taruhan.”
Rivan melempar headphone-nya dan berlari keluar menyusul tempat keberadaan Shashi.
“RIVAN ASTAGA! RIVAN!!!”
Sebuah pistol genggam jenis revolver mengacung tepat di dahi Shashi dengan senyuman licik Rafi yang semakin jelas di wajahnya. Meskipun sedikit terkejut, gadis itu sudah terbiasa menghadapi situasi berbahaya seperti ini. Tak ada rasa gentar sedikitpun dalam diri Shashi.
“Ayo cepat bicara,” Rafi menekankan pistolnya ke dahi Shashi, gadis itu justru menyeringai.
“Sepertinya Bapak Rafi ini orangnya mudah tersinggung, saya jadi takut lho ngomongnya, hahaha....” Shashi tertawa renyah, “Tapi mau gak mau kan saya harus profesional, oke kalau gitu dengar baik-baik apa yang saya katakan dan anda tinggal mengonfirmasi atau menolak perkataan saya yang tidak sesuai dengan fakta, deal?”
Rafi menghempas tawa remehnya, “Deal, saya tidak akan menutup-nutupi fakta yang ada.”
“Oke, pertama... dari CCTV itu terlihat ada seorang perempuan yang jatuh tiba-tiba dan sekumpulan laki-laki di sampingnya mengerumuni, dan Rivan datang dari pintu keluar untuk menyelamatkan tapi tiba-tiba kerah bajunya ditarik sampai posisi mereka di kamera terlihat seolah Rivan mencium perempuan itu, dan di bagian CCTV ini yang dipublikasikan ke media, bukan begitu, Om Rafi?”
Pria baya itu hanya terkekeh, “Yah... kurang lebih begitu, bisa diterima.”
“Dan saya sudah menyelidiki siapa sosok perempuan itu, ternyata dia adalah salah satu mantan artis dari perusahaan anda.”
Perlahan Rafi menarik pistolnya, “Ya.... betul.”
“Jadi anda mengaku kalau kasus Rivan 7 tahun yang lalu... semuanya adalah rekayasa anda?”
Senyuman mengerikan Rafi semakin terlukis, “Mungkin bisa dikatakan....”
Krrt...
”... seperti itu, Ibu Pengacara....!”
DUAR!!
Shashi bergerak cepat menembakkan pistol itu ke arah atas dan menyikut perut pria baya itu hingga jatuh tak berdaya. Gadis itu mengambil alih pistolnya, pria-pria bertubuh besar dengan tinggi hampir 1 meter itu langsung menyerbu Shashi.
DUAK...!! BUK!!
ARGHH...!! HAJAR PEREMPUAN ITU MASA KALIAN KALAH SIH!!!
Pistol yang dipegang Shashi terlempar jauh sampai keluar, tak ada pilihan lagi selain bertarung dengan adu otot. Semua tendangan dan pukulan Shashi yang cepat berhasil menghabisi total 5 laki-laki pemilik tubuh besar bak algojo tapi pertarungan masih belum selesai. Semua anak buah Rafi dari lantai bawah langsung menyusul ruangan utama tapi fokus Shashi bukan pada mereka, melainkan gadis itu langsung lari ke tempat Erika disekap.
“Mbak Erika! Mbak Erika!” Shashi melepas semua ikatan tali yang mengikat seluruh tubuh Erika dan membuka selotip hitam yang membekap mulutnya. Tubuh Erika gemetar hebat sampai wanita itu memeluk erat tubuh Shashi, “Mbak Erika stay di belakang saya ya sampai bantuan datang ke sini!”
Erika mengangguk menuruti perintah Shashi, sedangkan kumpulan anak buah Rafi sudah mendobrak masuk ruangan utama dan mencari mangsanya untuk dihabisi. Shashi maju dengan gagah, tangannya mengepal kuat ke depan lalu meminta lawannya untuk maju satu per satu.
DASAR CEWEK SIALAN!!!
Shashi menendang kuat dada pria lawannya, namun gadis itu lengah begitu ada lawan lainnya dari belakang mencekik lehernya dengan lengan kekar sang lawan. Brengsek, sesek anjir!
DUAKK!!! Shashi terkejut bukan main dengan aksi Erika yang memukul lawannya dengan kayu.
“Haahhh... makasih Mbak Erika!”
Erika kembali berlindung di belakang Shashi. Pertarungan mereka semakin sengit terlebih anak buah Rafi ternyata tak habis-habis menghajar Shashi. Posisinya sekarang terancam. Ia cepat menoleh ke arah Erika, “MBAK ERIKA, TOLONG KELUAR DARI SINI SEKARANG JUGA!!!”
Erika kelimpungan, ia tak berdaya apa-apa untuk menolong Shashi tapi tak tega meninggalkan gadis itu sendirian.
“CEPETAN KELUAR MBAAKK!!!”
Mau tak mau Erika mengikuti perintah Shashi. Wanita itu keluar tergopoh-gopoh dari ruangan tersebut meninggalkan Shashi di sana menghadapi para pria badak sendirian. Tubuhnya sudah lelah, jika memang Shashi harus mengorbankan nyawa di sini, ia sudah tak ada pilihan.
DUAKK!!!
Satu pukulan kuat berhasil menghantam pipi Shashi hingga gadis itu terpental jauh. Ia berusaha bangkit meskipun darah sudah bercucuran dari hidung dan juga batuknya. Dadanya terasa seperti hancur, tangannya lemah tak berdaya lagi. Pria yang barusan menghajar Shashi langsung menarik leher gadis di hadapannya dan mencekik kuat tak membiarkan Shashi bernapas sedikitpun.
“Hehe... mati lo bangsat!” kecam pria itu.
Shashi semakin tak berdaya, hingga di detik ia ingin memejam matanya...
DOR!!
“ANGKAT TANGAN SEMUANYA!!!”
Sera bersama tim aparat datang di waktu yang tepat, tubuh Shashi langsung terjatuh lemah di lantai dan pria bertubuh besar tadi praktis angkat tangan.
“Buset ini... yang hajar Shashi semua apa gimana?!” decak Sera kaget.
Cepat semua pelaku yang ada di ruangan utama di ringkus tak terkecuali Rafi yang sudah tergeletak lemah. Rivan dan Valent menyusul masuk dan mendapati Shashi sudah tak sadarkan diri disana.
“Sha... Shashi?!” Rivan langsung lari menghampiri tubuh lemah gadis kekasihnya, “Shachi... bangun, aduh kok ini darah dimana-mana....” pria itu hampir menangis melihat kondisi Shashi.
“Urgh... ohok, ohok!” Shashi kembali batuk dan memuntahkan darah.
“Tunggu sebentar ya, ini ambulance lagi on the way ke sini,” kata Sera berusaha menenangkan situasi. Valent ikut membantu Rivan untuk mengangkut tubuh Shashi menuju keluar.
Dalam posisi lemahnya, Shashi tersenyum penuh kemenangan.
“KALO KAMU NIKAH SAMA AKU, AKU GAK AKAN NGEBIARIN KAMU HANDLE KASUS YANG BAHAYA, NGERTI KAMU SHASHI?!”
Setelah beristirahat seharian penuh, kondisi Shashi kembali seperti semula. Hanya saja terdapat beberapa bekas luka lebam di bagian wajah dan tulang di pipi juga dada yang sedikit bergeser.
“Gila lu ya, orang baru dipukulin udah bahas nikah aja, gue belum selesein kasusnya Erika Tsabita!” desis Shashi.
“Kasusnya Erika Tsabita udah di handle sama Jo, katanya udah aman biar kamu istirahat dulu!”
“Enak aja itu kerjaan gue, jangan direbut!”
“Heh keras kepala banget, jitak juga nih?!”
“JITAK SINI GUE GAK TAKUT!!”
Rivan menegup salivanya bulat-bulat, “Gak jadi, kamu aja dipukulin orang gak takut.”
Shashi tertawa remeh. Gadis itu berusaha mengunyah bubur makan siangnya sekuat tenaga namun rasa sakit luar biasanya cukup mengganggu.
“Males ah jadi gak mood makan!” gerutu Shashi, “Tapi jujur gue lega banget akhirnya kasus lo terungkap juga.”
Rivan tersenyum hangat, “Iya sama, yang buat aku makin lega... aku gak perlu takut orang-orang di sekitar aku akan merasa terancam.”
Shashi mengulum senyum simpul lalu tangannya mengelus pelan pipi lelaki kasih, “Apapun yang terjadi, Shachi gak bakal ninggalin Rivan jadi jangan ninggalin lagi kayak dulu ya?”
Tangan hangat Rivan menggenggam erat tiap jemari mungil Shashi dan mengecupnya, tatapan keduanya terkunci dan jarak antara wajah mereka semakin terkikis...
“Permisiii, waktunya ganti infus!”
Sontak keduanya langsung menjauh.
“E-Eh kenapa nih kok tiba-tiba canggung?” ekspresi sang wajah suster yang tanpa berdosa itu membuat suasana sejoli itu semakin canggung tak terkendalikan.
“Ga-ga-gapapa kok sus, i-ini tangan saya udah bengkak banget, sakit!”
Suster sialan, padahal tinggal dikit lagi!