My Savior

Sepasang mata antara dua insan itu bertemu dan saling menatap dalam. Kepingan memori lalu yang penuh bahagia dan juga luka kembali terputar, seolah menghadirkan lagi sebuah rasa yang lama terkubur. Ada harapan dari masing-masing insan, akankah semesta memberikan sebuah akhir cerita bahagia bagi keduanya?

Rivan dan Shashi kembali duduk berhadapan. Suasana kali ini canggung dan mereka tak bisa membuka suara sama sekali, tak seperti biasanya yang selalu ada keributan. Shashi hendak mengambil tempat gula yang letaknya lumayan jauh dari posisinya namun cepat Rivan menahan pergelangan tangan Shashi dan menggulung kemejanya yang hampir mengenai kopi.

Jantung Shashi berdegup kencang.

“Lo mau kasih gue surat apa?” tanya Shashi memecah suasana tegang.

“O-Oh iya, aku mau ngasih kamu dua surat ini...” Rivan merogoh dua amplop coklat yang ada di dalam tasnya. Shashi dibuat bertanya-tanya, dikala tangannya meraih entah kenapa ia ragu.

“Surat apa sih ini?” tanya lagi Shashi.

Rivan mengisyaratkan Shashi untuk buka suratnya, lalu begitu Shashi mulai membukanya satu persatu....

“Ini ada nama Raina sama Rio...?”

Amplop coklat itu berisi surat penerimaan audisi Raina dan Rio di perusahaan agensi milik Rivan. Mata Shashi berubah berbinar bahkan hampir menangis.

“Aku sengaja kasih surat mereka lebih lama, bahkan Rio sempet aku tolak tapi karena aku lihat cover songnya di Instagram aku jadi berubah pikiran jadi mereka berdua aku terima.”

“Kenapa lo ngelakuin itu?”

Rivan tersenyum tipis, “Karena ada urusan antara kita yang belum selesai.”

Pemuda itu berdiri lalu mengulurkan tangannya ke arah Shashi, “Aku mau pindah tempat, kita cari tempat makan lain yuk?”

“Eh tapi kita udah duduk di sini—”

Rivan menyergah kalimat Shashi dengan menarik tangannya. Genggaman tangan yang selama ini dirindukan selama 7 tahun akhirnya mereka dapat merasakannya lagi.

Mereka kembali menikmati nuansa romansa setelah sekian lama.


Dengan genggaman tangan yang semakin erat, mereka tak benar-benar berhenti untuk makan siang melainkan berjalan menikmati kota Jakarta dan membeli es krim untuk dimakan berdua. Keberadaan Rivan dan Shashi tentunya mencuri perhatian, bagaimana tidak? Seorang superstar sekelas Rivandy Nathaniel tersorot di area publik dengan seorang wanita. Tak sedikit suara jepretan kamera terdengar tapi mereka acuhkan.

Memori keduanya berputar di masa pacaran dulu, amat sangat membahagiakan.

“Rivan sebentar,” Langkah mereka berhenti di depan McDonald, “Gue laper banget, kita makan di sini dulu ya?”

Rivan tak keberatan untuk mengiyakan. Genggaman tangan yang hangat itu berubah jadi menyesakkan bagi Shashi, mereka melepasnya sejenak tapi Rivan yang tak mau kehilangan wanitanya yang kedua kali beralih merangkul erat Shashi. Sekali lagi, sepasang sejoli itu cukup menyita perhatian sekitar tak terkecuali kasir yang melayani mereka.

“Dua paket burger largenya ya mbak, minumnya coca cola,” pinta Rivan.

“Masnya Rivandy Nathaniel kan? Artis toh?” ujar sang kasir membuat Rivan sedikit kikuk.

“Haha iya betul, kenapa emangnya mbak?” Rivan merangkul lagi Shashi, “Kaget ya saya bawa perempuan sekarang?”

Sang kasir dan staff disana terkesiap. Demi menjaga privasi mereka tak mau banyak komentar—langsung mengarahkan Rivan dan Shashi untuk duduk di tempatnya.

“Udah lama kita gak pacaran gini,” kata Rivan dengan perasaan yang berbunga-bunga.

“Tapi... lo gapapa? Nanti jadi bahan gosip,” balas Shashi.

“Gapapa, udah bukan masanya aku jadi bintang utama sekarang jadi ya aku bebas mau ngelakuin apa aja. Kalo mereka mau masukin kita ke lambe turah juga silahkan, gak akan mengganggu kehidupan aku,” Rivan mendelik, “A-Ah tapi kalo kamu yang terganggu gapapa, ini terakhir kok besok-besok kalo ketemu kita ke tempat yang aman aja—”

Tangan mungil Shashi meraih jemari besar Rivan.

“Lo sendiri bahagia kayak gini, Van?”

Rivan mematung tapi tak lama seutas senyuman tipis terlukis di wajahnya, “Iya, aku bahagia banget.”

“Kalo gitu aku gapapa.”

Kedua mata Rivan tak mampu berkedip. Seketika ia melihat sisi lembut Shashi yang selama ini tak pernah nampak membuat hatinya melambung tinggi. Shashi yang biasa melempar tatapan sinis berubah menjadi sepasang tatapan teduh dengan senyuman cantik.

Sudah lama Rivan tak merasakan bahagia seperti saat ini.

Jika bisa, Rivan mau menghentikan waktu tepat di momen spesial ini untuk selamanya.


“Kasusnya Erika akan terbantu kalau kasus aku yang 7 tahun lalu juga diungkap?”

Shashi mengangguk pasti, “Dokumen yang dikasih Erika belum bisa jadi bukti yang mendukung untuk menang di pengadilan, aku denger Om Rafi punya link yang kuat sama orang-orang hukum apalagi hakim dan jaksa di pengadilan sini. Masalahnya Erika ini fight sendiri, gak ada yang mau bantu dia.”

Rivan menghela napas panjang, “Tapi aku gak mau kamu kena bahaya, dengan kamu bantu Erika aja itu udah cukup membahayakan gimana kalo kamu ikut nanganin kasus aku?”

“Rivan, aku udah biasa kena bahaya dari ancaman sampai hampir dibunuh pun pernah. Aku gak selemah itu.”

“Aku gak pernah menganggap kamu lemah,” Rivan menatap Shashi dengan serius, “Kamu memang gak lemah, tapi kalo kamu kenapa-kenapa aku yang lemah.”

Mata Shashi memencak lebar.

“Meskipun aku ngelakuin banyak hal bodoh atau memutuskan sesuatu yang konyol, asalkan kamu selamat dan aman, itu cukup.”

Shashi terbiasa hidup sebagai pelindung orang-orang terkasihnya. Punggungnya yang kokoh ternyata dibaliknya ada hati yang rapuh dimana setiap malam ia lampiaskan dalam jeritan tangis pada bantal. Ia tak tahu apakah ada orang yang bisa melihat sisi lainnya dan menjadi pelindung pada saat Shashi lemah.

Sampai Rivan hadir kembali di kehidupannya.

“Kalau gitu lindungin aku,” Shashi memajukan tubuhnya, “Aku udah terlanjur nyemplung ke pusat bahaya dan gak bisa balik lagi, yakinin aku dengan adanya kamu... aku bisa merasa aman.”

Yang dikatakan Jonathan benar.

Shashi memang sangat keras kepala.