shinelyght

Tak terasa sekarang jarum jam sudah menunjuk ke arah pukul 18.45 dan kedua insan yang baru saja menghabiskan waktu bersamanya itu akhirnya berhenti di depan rumah berpagar putih itu.

“Makasih ya, Kak Jo, untuk hari ini hehehe... Bella jadi refresh lagi deh!” decak Bella riang.

“Sama-sama, Bel, nanti kalau nanti malem mau video call untuk nyelesein makalah uprak boleh kok, kabarin aku aja ya,” ucap Jonathan lembut.

Bella mengangguk semangat, lalu mereka bergeming sejenak belum mau berpisah. Bella mencuri-curi pandangan ke arah pria kasih yang ada di hadapannya malu-malu, begitupun Jonathan yang tak bisa melepaskan pandangannya sedikitpun dari Isabella. Mereka tenggelam dalam ratap asmaranya masing-masing.

Tanpa sadar, tangan kokoh Jonathan sudah menangkup kedua pipi Isabella lembut. Ia memotong jarak antara mereka sehingga nafasnya saling bersautan hangat, Bella memejam matanya rapat-rapat.

Cup!

Jonathan memberi kecupan singkat di kening Bella dengan penuh cinta.

“Aku sayang banget sama kamu, Bel,” tutur Jonathan membisik lembut.

Wajah Bella langsung memerah tomat, “A-aku... juga sayang Kak Jo...”

Pemuda itu langsung memeluk tubuh mungil kekasihnya erat-erat dan mempersembahkan suara detak jantungnya untuk Bella. Kehangatan Jonathan mampu membius semua rasa lelah dan penat Bella dalam menghadapi sulitnya masa-masa tahun terakhir sekolahnya.

Setelah 15 menit mereka saling berbagi kehangatan, akhirnya Jonathan kembali masuk ke dalam mobilnya lalu berpamitan pulang dengan sang kekasih meskipun hatinya berat untuk mengakhiri hari kebersamaannya.

Tanpa mereka sadari,

Dari jauh sana, ada sosok laki-laki muda berjaket jeans yang menjadi saksi atas keromantisan mereka. Dengan hati pilu, ia harus menelan bulat-bulat sebuah realita...

Pada akhirnya untuk berdamai dan bertingkah baik-baik saja itu ternyata sulit... Bel, apakah pengorbanan terakhir gue kemarin belum cukup untuk mendapatkan hati lo?

“Assalamualaikum, Bang Haidar—” Suara Aisyah tertahan begitu bukan sosok Haidar yang ada di hadapannya dan sedang menanti kehadirannya, melainkan Naresh yang barusan di suguhkan teh manis hangat oleh Mpok Yati.

“Waalaikumsalam, Bang Haidar belum sampai kesini jadi saya duluan yang nyampe,” ujar Naresh kikuk.

Aisyah menjawab oh ria lalu duduk mengambil jarak 4-5 meter menjauhi Naresh.Membiarkan rasa canggung lagi-lagi mendominasi suasana keduanya.

Duh bener-bener canggung banget, enaknya ngomong apaan ya... — Naresh

Ah abang gimana sih, kenapa Kak Naresh disuruh dateng duluan ke rumah kan jadi canggung gini... tau gitu Aisyah juga gak buru-buru pulang! Duh kalau udah berdua gini di luar pekerjaan gini berasa keong banget gue... — Aisyah

“Ehem, Aisyah,” Naresh berinisiatif membunuh kesunyian dengan memanggil gadis di sana, “Maaf tiba-tiba... Bang Haidar suruh kamu pulang cepat gini karena saya yang minta, ada banyak hal yang harus kita bicarakan.”

Aisyah membalas, “Soal... pernikahan kita kah?”

Naresh mengatup mulutnya, lalu ia menghempas kekehnya sebelum akhirnya tergelak tawa karena ungkapan Aisyah.

“Kamu gak sabar banget ya mau nikah sama saya?” goda Naresh dengan smirk khasnya.

Hah kok gini sih...

“Lho... emang kita mau ngomongin apa sih sebenarnya?”

“Kira-kira apa coba?”

“Ya mana saya tahu! Kok jadi balik nanya sih?!”

“Kamu mau banget ngebahas soal pernikahan kita?”

“Ya... kan emang harus segera kita bicarakan... bukannya gitu...?”

Pfft! Naresh menghempas tawa gelinya sampai akhirnya ia terpingkal-pingkal. Ia tak menyangka bahwa gadis di hadapannya akan sejujur ini dalam mengungkapkan perasaannya.

“Bisa sabar sedikit lagi, Aisyah?” hanya itu jawaban yang keluar dari bibir manis Naresh, membuat Aisyah mematung beku di tempatnya, “Kamu benar, kita harus segera membicarakan soal pernikahan kita tapi... disini ada yang lebih penting dari itu...”

Dada Aisyah sedikit terasa sesak, seperti harapan yang melambung tinggi jatuh ke dasar laut, ia merasa bodoh sudah berekspetasi jauh ke arah sana.

“Iya saya tahu,” jawab Aisyah singkat.

“Terima kasih sudah mau mengerti,” respon Naresh dengan lekukan senyum simpulnya, di balas oleh Aisyah anggukan kecil dan senyum kecutnya.

Tak lama kehadiran Eliza menyertai kedua insan itu di ruang tamu. Reflek, wanita yang rambutnya di ikat kuda itu langsunh melayangkan pukulannya di lengan Naresh keras-keras.

“Et dah, kesempatan banget lo dateng kesini cepet-cepet biar bisa berduaan sama Aisyah! Ketahuan Haidar mampus lu, Res!” cicir Eliza.

Naresh hanya mendengus jengkel dan di ikuti oleh ketawa renyah Aisyah.

Lah kok tegang amat sih suasananya, jangan-jangan Aisyah udah di kasih tahu soal chat itu?

“Aisyah udah tahu, Res?”

“Tahu apaan?”

“Itu chat aneh yang lo tunjukkin ke gue.”

Naresh menggeleng cepat, “Enggak kok, nungguin Bang Haidar aja biar bisa sekalian lihat bareng-bareng.”

Aisyah mengernyit dahi, “Chat aneh apa? Ini maksudnya mau ngapain sih?”

Eliza dan Naresh saling beradu tatap, lalu Naresh merogoh ponselnya dan menunjukkan screenshot chatnya, “Ini yang mau kita bicarakan, Aisyah.”

Aisyah mengambil ponsel yang di sodorkan Naresh dan membaca isi chat yang ditunjukkan pemuda itu. Matanya membulat sempurna bahkan gadis itu terkesiap di tempatnya, “I-Ini... ancaman...?”

“Kita masih menyimpulkan itu ancaman.”

“Kenapa harus... Bang Haidar dengan saya...?”

Naresh menghela nafasnya panjang, “Karena target utama dia itu saya, Aisyah.”

Tak lama mereka melangsungkan percakapannya, kehadiran keluarga kecil Haidar dari mobilnya langsung membuat ketiga orang di ruangan itu berdiri menyambut kehadiran sang tuan rumah.

“Duh maaf, saya telat banget ya?” ucap Haidar sambil membawa belanjaannya susah payah, “Mpok... Boleh minta tolong bawain beberapa barang di mobil??”

Di belakang Haidar ada sosok si kembar yang sedang melompat-lompat riang setelah puas jalan-jalan dengan keluarganya. Netra keduanya langsunh menangkap sosok Naresh dengan tantenya yang sedang berdiri berdampingan.

“Ehem, ehem... ciee... Dokter Naresh sama Tante Aisyah...” — Mina

“Ea cie ciee kiw kiw acikiwirr....” — Ibra

Keduanya cuman menatap heran dengan si kembar di hadapannya.

“Lucu banget sih Dokter sama Tante Aisyah, kayak di drakor-drakor gitu kiw kiw...” — Mina

Haidar yang menyadari tingkah usil kedua anaknya langsung cepat membawa kedua tubuh mungilnya ke dalam kamar dan mengunci mereka agar tidak banyak bertingkah di hadapan tamunya.

“Umi, kamu awasin tuh si kembar,” titah Haidar.

“Ya Allah udah kayak pelaku kriminal anakmu, Mas,” cicir Anela.

Setelah Anela memasuki kamar si kembar dan mengikuti perintah sang suami, akhirnya Haidar dengan tenang bisa duduk di hadapan para tamunya.

“Gimana, Res? Kamu mau ngomongin soal apa?” buka Haidar.

Naresh menyodorkan kembali ponselnya ke Haidar dan melihat tampilan layar chat yang ia tunjukkan pula ke Aisyah barusan.

“Ini... chat ancaman?”

“Kemungkinan besar iya, Bang.”

“Tapi kenapa harus Aisyah ikut terlibat?”

Naresh menderu nafasnya kasar, “Karena target utamanya saya.”

Haidar meletakkan lagi ponselnya sambil bergeming panjang meletakkan jarinya dibawah dagu, “Kemungkinan ini orang terdekat kamu, Naresh.”

“Bisa jadi, sekarang kita belum sampai di tahap menyelidiki siapa yang mengirim ini tapi maksud saya untuk mengumpulkan kita semua disini adalah bagaimana caranya untuk bisa melindungi diri seandainya ada bahaya yang mengincar kita...” “... terutama Aisyah.”

Aisyah membelelakkan matanya, tatapan dalam Naresh seketika membuat jantungnya berdesir tak menentu. Ia langsung teringat ungkapan pria di sampingnya, Kalau terjadi apa-apa sama kamu, saya gak akan bisa memaafkan diri saya sendiri. Ternyata memang posisi Naresh saat ini sedang sulit.

Aisyah harus segera menekan harapannya.

“Sebenarnya dari kepolisian kita punya GPS dan alarm untuk jaga-jaga dalam keadaan bahaya. Mungkin kita semua bisa pake itu untuk sementara.” “Barangnya masih ada di kantor, nanti gue kirimin semuanya ke rumah Kak Haidar ya?”

“Ah boleh juga tuh.”

“Dan juga Aisyah, kamu jangan pernah sekali-kali pergi sendiri ya, sekarang kamu harus terus bareng sama orang minimal 2 orang.” “Naresh, lo tanggung jawab atas keselamatan Aisyah.”

Naresh mengangguk mantap, “Oke.”

“Gue akan bantu nyelidikin ini semua sampai tuntas, setidaknya kalau kalian punya petunjuk atau ada informasi baru tolong hubungi gue ya biar proses penyelidikannya lebih cepat.”

“Siap, Eliza.”

Aisyah menggenggam erat ujung bajunya sesak, Ya Allah... kapan ini semua akan berakhir?

Rapat dadakan itu sudah berlangsung sekitar satu jam lebih, dan perdebatan antar dokter terkait masalah medis yang menjadi penyebab kematian Alisya terus saling bersahutan. Yudhis dan Naresh disana tak bisa bicara banyak, karena bagaimanapun pada akhirnya sesuai dengan peraturan yang ada, kalau ada bentuk kelalaian dalam penanganan pasien bahkan sampai menyebabkan kematian, mau tidak mau dokter yang menanganinya harus bertanggung jawab penuh atas tindakannya.

“Kita gak akan bisa simpulkan semuanya sebelum ada proses autopsi, karena jika memang ada kesalahan obat yang diminum pasien dan menyebabkan kematian, Dokter Yudhis selaku dokter yang menangani pasien Alisya ... harus bertanggung jawab atas tindakannya dan dapat di laporkan secara hukum.”

Naresh langsung melotot dan membuka suaranya, “Mohon izin untuk bicara, maaf tapi menurut saya ini bukan murni kesalahan Dokter Yudhis! Disini ada campur tangan Dokter Dimas yang menyarankan resep obat baru ini ketika resep obatnya yang biasa ia berikan di tukar oleh pihak tak diketahui dengan resep obat baru!” “Sebelum menyimpulkan ini kesalahan Dokter Yudhis, alangkah baiknya kita tunggu sampai kita dapat izin untuk mengautopsi jenazah agar bisa mendapat informasi yang lebih jelas!”

Disana ada sosok pria paruh baya yang duduk di depan tengah menatap tajam ke arah Naresh, pemuda itu tak gentar menyuarakan pendapatnya. Yudhis disana sangat merasa tertolong oleh Naresh.

“Anda pikir untuk dapat proses izin autopsi itu mudah, Dokter Naresh?” Rangga mulai membuka mikrofonnya, di balas tatapan elang pemuda yang di sebutkan namanya, “Kelalaian seorang dokter yang menyebabkan melayangnya nyawa pasien itu bisa di bawa ke ranah hukum dan sanksinya ialah di cabut sumpah dokter dan izin praktiknya. Itu sudah ketentuan dasar yang berlaku jadi anda tidak usah menyangkal lagi.”

“Mohon maaf, Pak Direktur, tapi kami keberatan kalau kesalahan ini hanya di beratkan satu pihak sedangkan Dokter Yudhis sendiri awalnya ingin meresepkan obat yang sama seperti sebelumnya tapi tiba-tiba obatnya di tukar dan akhirnya Dokter Yudhis berkonsultasi soal ini dengan Dokter Dimas yang lebih senior dari kami. Sudah sepatutnya Dokter Dimas juga ikut bertanggung jawab.”

Pria berkacamata di samping Rangga itu melotot, “Anak kurang ajar...!” umpatnya.

“Kalau begitu, Dokter Yudhis dengan Dokter Dimas sama-sama harus bertanggung jawab atas tindakannya. Sebelum kasus ini di tutup dan kita dapat hasil autopsi dari pasien Alisya Febri Ayuditha, keduanya kami berhentikan sementara.”

Dokter Dimas sontak menoleh ke arah Rangga yang secara sepihak memutuskan sanksi baginya. Setelah rapat secara resmi di tutup, dengan cepat Dokter Dimas menyusul Rangga yang ada di depannya.

“Pa-Pak Direktur! Kenapa saya ikut di berhentikan?! I-Ini kan... sesuai rencana kita...?!” decak dokter berkacamata itu gusar.

Rangga tersenyum picik, “Sedikit perubahan dari rencana sebelumnya... bukannya itu hal yang wajar dalam strategi bisnis, Dokter Dimas?”

Dokter Dimas melongo shock dengan perubahan ekspresi Rangga yang licik dan penuh akal-akalan. Pria itu merasa dipermainkan setelah apa yang sudah ia lakukan untuk atasannya sesuai dengan rencana mereka.


“Obat haram itu sudah di uji cobakan dengan pasien kamu, Res?!

Naresh menderu nafasnya kasar, “Iya, bang, duh... dan yang di salahkan itu pihak dokter yang menangani pasiennya. Saya gak punya bukti kuat untuk menyeret Rangga dan antek-anteknya langsung ke penjara tapi... argh! Rangga sialan, dia sengaja mengorbankan orang-orang yang gak berdosa bahkan anak kecil sekalipun seperti Alisya!” “Saya harus bicara banyak dengan Eliza, kasus ini harus segera kita usut sampai tuntas!”

“Tadi Eliza saya hubungi agak susah, mungkin masih sibuk, tapi dia menyarankan saya untuk segera cari pengacara untuk jaga-jaga. Sampai sekarang bukti kuat bahwa saya di jebak masih belum ketemu juga.” “Dia juga lagi berusaha untuk terus mengupas tuntas kasus ini, Res, jadi bersabarlah sedikit lagi...”

Naresh hanya bisa diam termenung, semuanya menjadi rumit karena ulah bejat Papa tirinya.

“Nanti... saya bicara juga sama Eliza via chat.”

Rapat dadakan itu sudah berlangsung sekitar satu jam lebih, dan perdebatan antar dokter terkait masalah medis yang menjadi penyebab kematian Alisya terus saling bersahutan. Yudhis dan Naresh disana tak bisa bicara banyak, karena bagaimanapun pada akhirnya sesuai dengan peraturan yang ada, kalau ada bentuk kelalaian dalam penanganan pasien bahkan sampai menyebabkan kematian, mau tidak mau dokter yang menanganinya harus bertanggung jawab penuh atas tindakannya.

“Kita gak akan bisa simpulkan semuanya sebelum ada proses autopsi, karena jika memang ada kesalahan obat yang diminum pasien dan menyebabkan kematian, Dokter Yudhis selaku dokter yang menangani pasien Alisya ... harus bertanggung jawab atas tindakannya dan dapat di laporkan secara hukum.”

Naresh langsung melotot dan membuka suaranya, “Mohon izin untuk bicara, maaf tapi menurut saya ini bukan murni kesalahan Dokter Yudhis! Disini ada campur tangan Dokter Dimas yang menyarankan resep obat baru ini ketika resep obatnya yang biasa ia berikan di tukar oleh pihak tak diketahui dengan resep obat baru!” “Sebelum menyimpulkan ini kesalahan Dokter Yudhis, alangkah baiknya kita tunggu sampai kita dapat izin untuk mengautopsi jenazah agar bisa mendapat informasi yang lebih jelas!”

Disana ada sosok pria paruh baya yang duduk di depan tengah menatap tajam ke arah Naresh, pemuda itu tak gentar menyuarakan pendapatnya. Yudhis disana sangat merasa tertolong oleh Naresh.

“Anda pikir untuk dapat proses izin autopsi itu mudah, Dokter Naresh?” Rangga mulai membuka mikrofonnya, di balas tatapan elang pemuda yang di sebutkan namanya, “Kelalaian seorang dokter yang menyebabkan melayangnya nyawa pasien itu bisa di bawa ke ranah hukum dan sanksinya ialah di cabut sumpah dokter dan izin praktiknya. Itu sudah ketentuan dasar yang berlaku jadi anda tidak usah menyangkal lagi.”

“Mohon maaf, Pak Direktur, tapi kami keberatan kalau kesalahan ini hanya di beratkan satu pihak sedangkan Dokter Yudhis sendiri awalnya ingin meresepkan obat yang sama seperti sebelumnya tapi tiba-tiba obatnya di tukar dan akhirnya Dokter Yudhis berkonsultasi soal ini dengan Dokter Dimas yang lebih senior dari kami. Sudah sepatutnya Dokter Dimas juga ikut bertanggung jawab.”

Pria berkacamata di samping Rangga itu melotot, “Anak kurang ajar...!” umpatnya.

“Kalau begitu, Dokter Yudhis dengan Dokter Dimas sama-sama harus bertanggung jawab atas tindakannya. Sebelum kasus ini di tutup dan kita dapat hasil autopsi dari pasien Alisya Febri Ayuditha, keduanya kami berhentikan sementara.”

Dokter Dimas sontak menoleh ke arah Rangga yang secara sepihak memutuskan sanksi baginya. Setelah rapat secara resmi di tutup, dengan cepat Dokter Dimas menyusul Rangga yang ada di depannya.

“Pa-Pak Direktur! Kenapa saya ikut di berhentikan?! I-Ini kan... sesuai rencana kita...?!” decak dokter berkacamata itu gusar.

Rangga tersenyum picik, “Sedikit perubahan dari rencana sebelumnya... bukannya itu hal yang wajar dalam strategi bisnis, Dokter Dimas?”

Dokter Dimas melongo shock dengan perubahan ekspresi Rangga yang licik dan penuh akal-akalan. Pria itu merasa dipermainkan setelah apa yang sudah ia lakukan untuk atasannya sesuai dengan rencana mereka.


“Obat haram itu sudah di uji cobakan dengan pasien kamu, Res?!

Naresh menderu nafasnya kasar, “Iya, bang, duh... dan yang di salahkan itu pihak dokter yang menangani pasiennya. Saya gak punya bukti kuat untuk menyeret Rangga dan antek-anteknya bertanggung jawab atas tindakannya tapi... argh! Rangga sialan, dia sengaja mengorbankan orang-orang yang gak berdosa bahkan anak kecil sekalipun seperti Alisya!” “Saya harus bicara banyak dengan Eliza, kasus ini harus segera kita usut sampai tuntas!”

“Tadi Eliza saya hubungi agak susah, mungkin masih sibuk, tapi dia menyarankan saya untuk segera cari pengacara untuk jaga-jaga. Sampai sekarang bukti kuat bahwa saya di jebak masih belum ketemu juga.” “Dia juga lagi berusaha untuk terus mengupas tuntas kasus ini, Res, jadi bersabarlah sedikit lagi...”

Naresh hanya bisa diam termenung, semuanya menjadi rumit karena ulah bejat Papa tirinya.

“Nanti... saya bicara juga sama Eliza via chat.”

Kaki pemuda berjas putih itu sedari tadi tak berhenti menghentak lantai, seolah-olah ia sedang berusaha menguasai perasaan gugupnya, Minta maaf gak ya sama Aisyah? Eh tapi buat apa? Duh masa langsung minta dibuka blokirnya? Argh... Parah nih, harusnya gue gak ngomong macem-macem kemaren di chat, Res, lu bego banget emang!

“Ehem,” dehaman singkat gadis berseragam biru laut itu membuat Naresh mendelik, “Kok gak masuk, Dok? Alisya udah nungguin kita di dalem.”

Naresh langsung membenarkan posisinya untuk memimpin, “Minggir, saya duluan yang masuk.”

Dih songong, orang dia yang halangin pintunya.

Aisyah hanya bisa manut dan berjalan di belakang Naresh menuju ranjang paling ujung, disana ada gadis berparas imut dengan topi beanie menutup kepala polosnya.

“Ah, Kak Aisyah, Dokter Naresh!” sahut Alisya riang begitu ia kedatangan dua insan yang sangat ia nantikan, “Sini, Mama Alisya bawa donat madu banyak banget! Kita makan sama-sama yuk?” ajak gadis itu.

Naresh dan Aisyah hanya mengangguk sambil duduk di samping Alisya.

“Alisya udah jarang ketemu Kak Aisyah sama Dokter Naresh sejak fokus kemoterapi. Kangen deh, Alisya mau minta di rawat sama Kak Aisyah tapi gak enak sama Mbak Shinta hehehe... Mbak Shinta juga baik banget sama Alisya soalnya.”

Aisyah tersenyum hangat sambil mencubit pipi gembib Alisya pelan, “Lain kalo mau main sama Kak Aisyah bilang aja ya, Alisya...” ucap Aisyah.

Alisya menoleh ke Naresh, “Alisya maunya kalau ada Kak Aisyah ya ada Dokter Naresh juga. Kalian tuh kayak soulmate yang gak bisa di pisahkan gitu soalnya... hehehe...”

Akhirnya kedua insan yang disebutkan saling melirik satu sama lain, lalu membuang mukanya agar tak terlihat sedang menahan gugup yang dibuat gadis kecil di hadapannya ini.

“Ih, kok lihat-lihatan gitu sih? Cieeee....” — Alisya

“Enggak, biasa aja kok.” — Naresh

“Ih lucu banget sih Kak Aisyah sama Dokter Naresh, kayak itu lho drama jadulnya Mama Alisya, Descendants of the Sun, cuman bedanya ini antar dokter sama perawat, hahahaha...” — Alisya

“Ih kamu apaan sih, Alisya! Song Joong Ki sama Dokter Naresh udah kayak langit dan bumi tahu!” — Aisyah

“Heh, enak aja, saya juga gak kalah ganteng kok sama dia!” — Naresh

“Kalo di bandingin sama Song Joong Ki ya situ kalah!” — Aisyah

“Oho, bisa-bisanya kamu bilang begitu sama calon suami kamu, Aisyah? Hati saya terluka dengarnya...” — Naresh

Aisyah terkesiap lalu refleks membekap mulut Naresh rapat-rapat di depan Alisya tapi sayangnya terlambat, “Ha-hah? Calon...suami? Kak Aisyah... sa-sama Dokter Naresh... mau menikah?” Alisya ikut menutup mulutnya kaget.

Naresh dengan entengnya menjawab, “Iya, kita mau menikah dalam waktu dekat ini.”

Aisyah kembali menganga sambil melayangkan satu pukulan di lengan Naresh, “Ish! Situ aja belum ngelamar sempet-sempetnya ngomong gitu di depan Alisya!” bisik Aisyah mendesis.

“Kenapa? Omongan itu doa, Aisyah.”

“Ya tapi kan masih banyak yang belum tahu! Ember banget sih mulutnya?!”

“Justru orang-orang harus tahu kalo kamu itu punya saya, Aisyah, biar gak ada buaya yang coba-coba deketin kamu.”

“Justru situ sendiri yang buaya! Ih, sebel! sebel!”

“Aw! Sakit! Jangan mukul mulu, udah tahu tenaga kamu barbar!”

“Biarin! Sampe pingsrot lagi kalo bisa!”

Alisya langsung tertawa terbahak-bahak hingga perutnya terasa nyeri, “Haduh... lucu banget sih kalian berdua sumpah, Alisya gak kuat ih...” “Semoga nanti Alisya bisa hadirin ya pernikahan kalian, pasti bakal gemes banget.”

Aisyah hanya menghela nafasnya panjang, “Hah... doain ya, Alisya, semoga semuanya lancar.”

“Aamiin, Kak Aisyah!”

Naresh dengan usilnya mendekati telinga Alisya dan membisik, “Nanti Alisya jadi tamu VIP-nya Dokter sama Kak Aisyah, mau gak?”

Alisya dengan mata berbinar-binar mengangguk semangat, “Mau banget, Dok!”

“Makanya harus sembuh ya?”

“Siap, abis ini Alisya langsung minum obat kebetulan ada obat yang harus Alisya minum sebelum operasi!”

“Nah bagus, semangat Alisya!”

“Semangat! Yey!”

Naresh dan Alisya saling beradu tos dan keduanya pun melangkah keluar dari kamar Alisya.

“Aisyah,” Naresh menghentikan langkah Aisyah dengan panggilannya, lalu ia berlari kecil menghadapi gadis kasihnya, “Kenapa sih kamu harus ngejauhin saya sampai segininya? Kamu gak kangen apa sama saya?”

Aisyah mendecih, “Enggak.”

“Ya Allah, kok gitu sih?”

“Ya untuk apa saya mengikuti perasaan rindu dengan orang yang belum pantas saya rindukan?”

Naresh cemberut sambil mendengus kesal, “Bisa-bisanya kamu sedingin ini sama saya, bisa gak sih sabaran dikit? Emang kamu pikir saya gak mau cepat-cepat bisa nikahin kamu apa?” “Kalo bisa nikah besok mah saya udah nikahin kamu detik itu juga, Aisyah.”

Lagi-lagi gadis di hadapannya hanya tertawa renyah sambil menatap remeh sosok pemuda pemilik paras tampan berkulit putih bak susu itu, NYUT...! Aisyah menancap sebelah pipi tofu Naresh dengan tutup pulpennya, “Kalo gitu, Dokter juga harus sabar sampai kita sampai ke tahap situ.” “Bisa kan?”

Naresh diam mematung tak mampu menjawab, Aisyah hanya melempar senyuman usilnya dan melangkah maju mendahului Naresh duluan dari tempatnya. Pemuda itu dibuat beku setelah satu pencetan yang melayang dari pulpen gadis pujaan hatinya.

Argh sial... bisa-bisanya Aisyah... AHH GUE BENERAN MAU DIBUAT GILAAAA...!!

Tepatnya, tanggal 20 Mei 2006 dimana hari itu adalah momentum penting sepanjang hidup Naresh Ishaaq, dimana laki-laki itu dengan senyum lebarnya menantikan hari pelepasan Taman Kanak-kanak. Tangan mungilnya menggenggam erat tangan sang Ibunda,

“Mah, akhirnya Papa pulang dari Australia ya! Naresh gak sabar mau lihat wajah asli Papanya Naresh!” sahut riang anak lelaki itu.

Sang Ibunda tersenyum hangat sambil mencubit kedua pipi buah hatinya, “Iya sayang... nanti kita main ke Dufan bertiga ya?”

“Asik! Naresh mau nonton Space War yang lagi rame itu, Mah! Temen-temen Naresh udah nonton semuanya!”

Sang Ibunda mengangguk pelan sambil mengelus lembut pucuk rambut putra kecilnya itu.

Sesi pengambilan sertifikat dimulai dari siswa paling kecil, yaitu dari Kelompok Bermain, Taman Kanak-kanak Kecil hingga Taman Kanak-kanak Besar. Naresh dengan penuh antusias berbaris di belakang kawannya sambil terus melambaikan tangannya ke arah sang Ibunda.

“Naresh Ishaaq, dari kelas TK B3...”

Begitu nama Naresh dipanggil, langkah kaki kecilnya cepat menaiki tiap anak tangga menuju atas panggung, mengambil sertifikat kelulusannya dengan senyuman bahagianya sambil mengecup tangan sang kepala sekolah ramah.

Naresh menoleh lagi ke tempat duduk Ibunya, namun disana tak ada lagi orang disana. Laki-laki itu mengernyit dahi terheran-heran dan cepat lari mencari keberadaan sang Ibunda yang hilang entah kemana.

“Mama? Mama? Mama!” Naresh terus memanggil Mamanya kelimpungan.

Tak terasa langkah kakinya itu terhenti di depan pos satpam gedung kelulusannya, Naresh sengaja naik ke dalam posnya dan mempertanyakan keberadaan sang Ibunda, “Pak, lihat Mama saya gak?!”

“Mamanya adek emang gimana orangnya?”

“Mama saya... rambutnya pendek seleher, pake baju warna merah ada bunga-bunganya sama... ah pake kacamata merah juga!”

“Waduh, saya gak lihat, dek, maaf ya... kalau mau telepon aja gimana? Inget gak nomer Mamanya?”

Perhatian Naresh teralihkan ke sebuah siaran berita yang di tayangkan televisi tabung kecil di dalam posnya, KECELAKAAN PESAWAT AST-177 DARI AUSTRALIA MENUJU JAKARTA, 177 PENUMPANG TEWAS DAN 15 ORANG DI NYATAKAN HILANG

“Wah, wah... kecelakaan pesawat lagi nih, kok rame ya...”

“Jadi takut juga kalau harus pulang naik pesawat ya.”

“Iya...”

Naresh masih belum mengerti apa-apa, semuanya masih berjalan biasa saja sampai akhirnya Naresh melewatkan sesi foto bersama keluarga dan di jemput oleh beberapa orang berjas utusan Ibundanya.

Ia harus menerima kenyataan bahwa ayahnya turut menjadi korban yang di nyatakan hilang dalam kecelakaan pesawat barusan yang Naresh lihat di berita.

Harapannya untuk bisa melihat wajah sang ayahanda tlah pupus sudah. Sejak saat itu, Mamanya tak mengizinkan ada bayang-bayang sang ayahanda dalam benak anak dan dirinya, lalu dengan egoisnya, Mama Naresh memutuskan untuk menikah lagi agar bisa melupakan sosok mendiang ayahnya Naresh.

Naresh harus menelan nasibnya yang tak pernah mengenali wajah asli dari ayah kandungnya, selama 29 tahun ia hidup di muka bumi ini.


“Naresh... maafin Mama ya...”

“Maaf untuk apa, Ma?”

“Soal... Papa kamu...”

Naresh dewasa, tepatnya berusia 23 tahun itu mengerutkan kedua alisnya, “Om Rangga kenapa, Ma?”

“Bukan Papa Rangga... tapi Papa kamu, Naresh... “

Jantung Naresh langsung tersentak. Tangan lemah wanita paruh baya itu lagi-lagi hanya bisa meraih pipi lembut putranya dengan tatapan nanar, “Maaf... kalau selama ini Mama bersikeras menghapus sosok Papa dari hidup kamu, Naresh...” “Kehilangan Papa adalah sebuah malapetaka besar bagi hidup Mama... Papa... adalah satu-satunya pria yang Mama cintai dan sulit rasanya untuk melepas kepergian Papa kamu...” “Dan kepergian itu pun tak bisa kita berpamitan dengan baik, bukan begitu nak?”

Naresh mengangguk lesu. Sejak Papanya yang dinyatakan hilang dalam insiden kecelakaan pesawat itu hingga saat ini, semuanya masih menjadi tanda tanya besar. Ia bahkan tak bisa melihat wajah asli Papanya ketika hidup dan liang lahatnya pun tak bisa ia kunjungi karena mungkin tubuh ayahnya itu sudah pupus di bawa air laut. Naresh tak menyangka Mamanya akan menyinggung masalah Papanya lagi setelah sekian lama Mamanya mengubur dalam-dalam dari memorinya.

“Naresh... mau lihat wajah Papa?”

Naresh membelelakkan kedua matanya, “Gimana caranya?”

“Mungkin Omah masih simpan foto pernikahan Papa dan Mama dulu, kalau kamu mau... kamu bisa kesana dan minta fotonya.”

Naresh mengangguk mengiyakan arahan sang Mama yang memberinya petunjuk tentang pengungkapan wajah sang ayah kandung yang tak pernah ia jumpai sejak bayi, namun sayangnya begitu Naresh mengikuti arahan Mamanya dan bertemu Omahnya disana, Naresh tidak mendapatkan hasil apa-apa. Omahnya bilang, demi kesehatan mental putrinya dulu yang kehilangan suami, terpaksa keluarganya membakar semua hal yang berbau tentang ayah kandung dari Naresh. Pemuda itu memutuskan untuk membunuh rasa penasarannya dan fokus dengan apa yang ada di depan matanya, seperti menemani Ibunya berobat dan mengerjakan skripsinya agar bisa cepat wisuda lalu menjalani koas untuk mewujudkan cita-citanya menjadi seorang dokter.

Gak ada gunanya gue mempertanyakan sesuatu yang udah terkubur dalam-dalam, kalau memang sudah saatnya gue tahu nanti kebenaran itu akan terungkap sendiri.

Bella dan kawan-kawan setelah menyelesaikan kelasnya dan melewatkan waktu setengah jam dari waktu perkiraan, yaitu jam 7 tepat. Mereka semua pulang ke rumah masing-masing kecuali Isabella yang masih asyik makan ngemil-ngemil di rumah Citra, “Bel, gak balik lu?”

“Ntar ah, nunggu Papih aja.”

“Yaudah nanti gue pesenin ojek online ya.”

“Gak usah lah, gue jalan kaki aja, Cit.”

“Eh gila udah malem sis, mending pake ojek aja.”

“Gak ah gue mau olahraga malem, abis ini gue balik kok.”

Bella merapihkan barangnya cepat sambil menyomot satu sate ayam yang ada di meja makan Citra tanpa pamit.

“Alah siah si koplok, ITU GIGITAN TERAKHIR GUE, ISABELLAAAAA!!!!”


Aduh iya juga ya, kalau mencekam gini mending naik ojek aja... ah udahlah, kayak sekali dua kali gue jalan malem-malem gini.

Bella mempercepat langkahnya menuju jogging, ia menghirup udara malam dan berusaha menguasai perasaan takutnya dengan cuek bebek.

Tep...

Tep...

Tep...

Gadis itu menghentikan langkah kakinya sebentar, ia menoleh ke belakang namun tak menemukan siapa-siapa di belakangnya. Duh perasaan gue gak enak...

Bella mempercepat lagi langkahnya hingga berlari kecil. Langkah di belakangnya ikut cepat hingga akhirnya insting defensif gadis berambut panjang itu langsung menyala hebat dan SYUTT!! Bella sukses menendang wajah seseorang di belakangnya.

“Ah bener kan anjing, heh, maneh saha koplok?!”

Laki-laki asing berwajah bengis itu mengusap hidungnya yang bercucuran darah. Ia tersenyum creepy sambil menatap lemat-lemat Bella.

“Geulis bageur... kakinya mantep juga nih...” SING! Mata Bella memencak begitu ada pisau besar yang mengacung di hadapannya, “Hayo mana sini kakinya lagi...”

Sekujur tubuh Bella langsung membeku bahkan untuk melangkahkan kakinya pun ia tak mampu saking gemetarnya. Tubuh Bella langsung terjatuh ke belakang, lututnya melemas tak berdaya, Bella tak bisa berkata apa-apa selain meneguk ludahnya bulat-bulat.

“Lho kok diem? Om suka lho sama tendangan mautnya... hihihi...”

Gusti Ya Allah... hamba pasrah kalo emang hari ini maut hamba...

BRUKK!!! DUAKKK!!!!

Mata Bella terbelelak lebar-lebar setelah ada pemuda yang dengan gagahnya menendang tubuh pria bengis itu keras-keras hingga terpental jauh dari jangkauan Isabella. Pemuda berkaos oblong putih dan celana cino pendek selutut khasnya yang sangat Bella kenali...

”...Abi?”

Abidzar langsung memapah tubuh Bella, “Lo gapapa, Bel?!”

Bella diam kelu dan mengangguk lesu. Di tengah pembicaraan mereka, pria bengis itu bangkit lagi dan meraih pisau yang terlempar jauh dari tempatnya. Abi dengan cekatan langsung menahan tangan pria itu yang hendak menikamnya dari belakang lalu mendorongnya lagi hingga terlempar.

“AKH, BANGSAT!!”

Abi mengumpat kencang-kencang ketika mendapati tangannya yang berdarah hingga menetes ke ujung jarinya.

“A-Abi, tangannya luka!”

“Udah, gapapa, Bel, segini mah kecil,” Mata Abi lagi-lagi menatap geram orang di hadapannya, “Heh bangsat, urusan lo sama gue belum kelar ya. Lo berani nyentuh cewek gue berarti lo beneran nyari mati sama gue!”

NINUNINUNINUNINUU!!!

Pria bertopi kupluk hitam itu langsung terkesiap dan lari terbirit-birit dari tempatnya. Abi menoleh ke belakang cepat, “Bel, lu panggil polisi?!”

“Kagak, ini suara sirine polisi dari YouTube.”

Abi mendecih remeh sambil tertawa geli, “Anak dongo,” lalu Abi tanpa ragu meraih tangan mungil Bella dan mengajaknya pulang ke rumah bersamanya. Sorot mata pemuda berparas tampan itu seolah meyakinkan hati gadis kasihnya bahwa Bella akan selalu aman bersamanya.

Hati Bella menghangat, perasaan rindu dan aman yang ada di hatinya melebur jadi satu.

Bella bahagia.


“A-Aw! Sakit, Bel!”

“Ih sabar, nanti infeksi kalau di biarin!”

“Atuh pelan-pelan, Bel! Ini tuh pisau gede yang nancep lho!”

“Ari maneh naha gak mau ke rumah sakit?!”

“Gak ah, repot soalnya.”

Bella mendengus kesal sambil menekan luka tangan Abi hingga empunya merintih kesakitan.

“Pelan-pelan anjrit!”

“SABAR ANJING!!”

Abi mengatup mulutnya rapat-rapat.

Bella merekat lukanya pelan-pelan dan setelah semuanya selesai, ia merapihkan lagi barang-barang P3K nya. Abi melihat punggung mungil Bella dari kejauhan, setelah sekian lama akhirnya atmosfer rumah gadis kasihnya itu ia hirup kembali. Kebersamaannya yang sempat hilang karena konflik hatinya yang belum jua usai. Kalau boleh jujur, Abi masih cinta dengan Bella, tapi melihat Bella yang bahagia tanpanya... membuat pemuda itu kembali merenung soal cintanya yang bertepuk sebelah tangan.

Taruhan nyawanya ini pun nanti akan menjadi angin lalu bagi Bella.

“Abi mau minum apa? Ada coklat jahe sama sekoteng nih tadi Mamih bikin.”

“Coklat jahe boleh, Bel.”

“Bentar ya, Bella seduh dulu.”

Biasanya mereka gak secanggung ini, tapi setelah berapa purnama persahabatan mereka pupus. Abi yang biasanya selalu punya topik untuk berbicara banyak hal dengan Bella seketika otaknya kosong kehabisan topik.

“Nih,” Bella menyuguhkan satu cangkir coklat jahe berukuran sedang di hadapan Abi, “Hati-hati masih panas.”

“Iya, makasih, Bel...”

Akhirnya mereka sunyi lagi.

Mereka membisu seribu bahasa dalam ruangan yang biasanya menjadi tempat canda tawanya. Kehangatan yang dulu mereka saling berbagi seketika lenyap setelah saling membalik badan kemarin, dan rasanya sulit untuk mengembalikan situasi seperti semula.

Abi berinisiatif untuk membunuh kesunyian ini.

“Bel,” panggil Abi dengan suara puraunya.

“Hm?” Bella menyahut namun kedua matanya enggan menatap pemuda di sampingnya.

“Gimana... persiapan PTN? Gue denger lo daftar SNMPTN.”

“Ya gitu aja.”

“Daftar FKUI?”

“Iya.”

“Sama apa?”

“FKUI aja.”

“Kenapa gak daftar FK UNPAD juga? Bagus juga kok disitu.”

“Maunya ke Jakarta, gak mau ke Bandung.”

Abi tahu bahwa gadis ini sedikit terobsesi dengan semua yang berbau ibukota negerinya itu, Bella ingin sekali keluar dari tempat kelahirannya itu.

“Oh yaudah atuh, soalnya peluang masuknya lebih gede aja ke UNPAD, tapi kalau Bella maunya ke Jakarta yaudah.” “Abi juga nanti SBMPTN ambilnya FHUI aja kok.”

Bella tak menjawab, kepalanya menunduk bisu dan netranya sedikit melirik ke arah laki-laki berahang tajam itu, setelah mereka tak bersua sekian lama... ternyata kalau di lihat-lihat Abi memang sudah tumbuh menjadi seorang laki-laki dewasa sekarang. Fitur wajahnya yang tegas dan tubuh atletisnya itu patut Bella acungi dua jempol. Seandainya mereka tidak bersahabat sejak kecil, mungkin Bella akan jatuh hati dengan pesona 'mantan' sahabatnya itu.

Abi menyadari tatapan intens gadis di sebelahnya dan menoleh ke arah Bella. Gadis itu tersontak lalu ekor matanya langsung melirik ke sembarang arah agar Abi tak menangkap basah tatapan dalamnya itu. Mereka akhirnya saling bertukar tatapan, netra sayu Abi memandang seluruh fitur wajah cantik Bella lalu terhenti ke bibir merahnya yang merekah.

Tanpa lelaki itu sadari, Abi menyisipkan anak rambut Bella ke telinga mungilnya, lalu menangkup rahang wajah gadisnya perlahan. Ibu jarinya yang kasar itu mengelus lembut pipi Bella, lalu pemuda itu mendekat ke wajahnya Bella hingga jarak mereka hanya tinggal sejengkal...

Bella hanya bisa memejam mata.

“ASSALAMUALAIKUM!!!”

JEDUG!!

“Aw!!”

“AKH!!”

Bukannya momen romantis yang di dapatkan, malahan kedua insan itu saling membenturkan kepala hingga mereka merintih kesakitan.

“Lho, ada Abi ternyata disini? Fuuh... Papih lega euy,” ucap Papih tanpa rasa berdosa sedikitpun karena sudah mengacaukan momen penting kedua anak muda itu.

“Nih, Papih sama Mamih bawain bolu artis! Enak yeuh, Abi juga ikut makan sini!” Mamih mengayunkan satu kantung plastik berisi oleh-oleh bolu artis yang ia sebut tadi.

“Punten, Pih, Mamih, Abi pulang aja sekarang.”

“Eh si bodor, makan heula atuh sini! Baru juga kita nyampe!”

“Ah gapapa, Abi lupa matiin kompor soalnya baru inget!” Abi berbohong demi mencari alasan untuk bisa segera pulang.

“BOCAH EDAN, BURUAN MATIIN KOMPORNYA, SIA REK JADI GEMBEL DI KOLONG JEMBATAN??!!” pekik Papih shock.

“Hehehe iya, Pih, Mih, Abi pamit ya, Assalamualaikum!”

“Waalaikumsalam, hati-hati yah kasep!” sahut Mamih dari dapur.

Papih memicingkan kedua netranya itu ketika melihat perban tebal yang mengikat lengannya, “Eta si Abi kenapa tangannya di perban gitu?” tanya Papih heran.

Bella memutuskan untuk diam. Ia tak mau Papihnya itu ikut khawatir.

Tapi...

Momen barusan adalah momen yang tak terduga dalam hidupnya, selama mengenal sosok Abidzar Ahmad Kale, sahabat kecilnya.

“Bu Bella, hari ini ikut rapat untuk PAS kan?”

“Iya, ikut, saya mau koreksi nilai satu kelas lagi, duluan aja.”

“Yaudah saya duluan ya,”

“Oke.”

Bella merenggangkan kedua tangannya hingga bunyi pangkal tulangnya itu bersentak. Ia menatap lagi kertas koreksiannya yang sudah ia coret dengan tinta merahnya. Ia membuka lagi jadwal kegiatannya hari ini, “Setelah rapat...ah ngajar anak kelas 12 IPA 2 ya...” akhirnya wanita itu segera mengikat kuda rambutnya dan segera melangkahkan kakinya menuju ruangan rapat.


Ah iya juga, sebentar lagi anak-anak kelas 12 pengumuman SNMPTN ya... berarti mereka juga jam KBM-nya udah mau habis, kira-kira untuk persiapan SBMPTN anak-anak gue buka bimbingan privat aja ya selain bimbel dari sekolah.

Bella membuka pintu kelasnya, “Siang semuanya...!” sahut Bella riang sambil meletakkan buku dan berkas-berkas kertasnya di atas meja depan. Kedua netra wanita berparas ayu itu segera menatap seluruh penjuru ruangan kelas XI IPA 2 itu bersamaan, “Sebentar lagi pengumuman SNMPTN, karena Ibu gak mau kalian tegang jadi hari ini kita sesi sharing dulu yuk??” “Yuk sini kalian tanya-tanya apapun itu soal SNMPTN atau tentang Ibu pribadi juga boleh, hahaha...”

“Serius boleh pribadi nih, Bu?”

“Iya boleh.”

“Ibu single apa taken?”

Semua gelak tawa anak didiknya pecah memenuhi ruangan kelas. Bella yang cuman bisa mengelus dada mendengarnya, mau tak mau menjawab sesuai kenyataan, “Ibu... masih single.”

“Ya ampun masa sih, cewek secantik Bu Bella masih single?”

Serentak sorakan ceriwis murid-muridnya bergema.

“Iya anak-anakku... emang kenapa kalau Ibu single gitu?”

“Mau memantaskan diri untuk mendampingi Bu Bella.”

“Gayamu bocah, nilai Biologi kamu aja masih di bawah KKM.”

Lagi-lagi serentak tawa canda muridnya bergema.

“Ibu, Ibu mau nanya dong!”

“Iya, apa?”

“Dulu waktu SMA, Bu Bella ikutan SNMPTN juga gak?”

Bella bergeming sejenak, selintas ia mengingat lagi memori SMA-nya pada saat momen penting itu di masa mudanya, “Iya, dulu Ibu juga ikut SNMPTN.”

“Dapet gak?”

Bella mengulum senyum sambil menggeleng pelan, “Sayangnya enggak,” wanita itu berdiri dari kursinya, “Berhubung kalian mau pengumuman SNMPTN, disini Ibu mau kasih sedikit pesan ya agar kalian tidak terbebani selama masa penyeleksian perguruan tinggi ini.” “Masing-masing dari kita punya impian masing-masing termasuk kampus impian. Dari kecil kita sudah punya mimpi untuk menjadi dokter, guru, polisi atau pilot dan semakin kita tumbuh berkembang, impian kita ikut berubah dan pada akhirnya, bukan kampus impian yang menjadi tujuan akhir kita, tapi kampus adalah langkah awal menuju masa depan impian kamu.” “Jadi gak perlu pusing karena gak masuk PTN impian, pada akhirnya nanti pun setelah kamu lulus kuliah, kamu masih menghadapi dunia kerja sesuai bidang yang kalian kuasai, bukan sesuai kampus almameter kalian.” “Catet ya, kesuksesan bukan dari tempat kuliah kalian tapi kesuksesan itu ada pada tangan kalian masing-masing. Jadi jangan pernah kecil hati kalau gak dapet PTN impian kalian.”

SET! Satu siswinya mengangkat tangan, “Kalau gitu, Bu, boleh gak kasih kita tips biar gak tegang sampai pengumuman SNMPTN nanti?”

Bella tersenyum simpul.

“Tipsnya perkuat jalur langit kalian tanpa menaruh ekspetasi apa-apa, perjuangkan perjuangan kalian sesungguhnya nanti di SBMPTN karena... kegagalan Ibu pada saat itu adalah berharap lebih dengan jalur SNMPTN sampai lupa belajar SBMPTN.” “Jangan sampai pengalaman Ibu ini terulang sama kalian.”

“Bu Bella, hari ini ikut rapat untuk PAS kan?”

“Iya, ikut, saya mau koreksi nilai satu kelas lagi, duluan aja.”

“Yaudah saya duluan ya,”

“Oke.”

Bella merenggangkan kedua tangannya hingga bunyi pangkal tulangnya itu bersentak. Ia menatap lagi kertas koreksiannya yang sudah ia coret dengan tinta merahnya. Ia membuka lagi jadwal kegiatannya hari ini, “Setelah rapat...ah ngajar anak kelas 12 IPA 2 ya...” akhirnya wanita itu segera mengikat kuda rambutnya dan segera melangkahkan kakinya menuju ruangan rapat.


Ah iya juga, sebentar lagi anak-anak kelas 12 pengumuman SNMPTN ya... berarti mereka juga jam KBM-nya udah mau habis, kira-kira untuk persiapan SBMPTN anak-anak gue buka bimbingan privat aja ya selain bimbel dari sekolah.

Bella membuka pintu kelasnya, “Siang semuanya...!” sahut Bella riang sambil meletakkan buku dan berkas-berkas kertasnya di atas meja depan. Kedua netra wanita berparas ayu itu segera menatap seluruh penjuru ruangan kelas XI IPA 2 itu bersamaan, “Sebentar lagi pengumuman SNMPTN, karena Ibu gak mau kalian tegang jadi hari ini kita sesi sharing dulu yuk??” “Yuk sini kalian tanya-tanya apapun itu soal SNMPTN atau tentang Ibu pribadi juga boleh, hahaha...”

“Serius boleh pribadi nih, Bu?”

“Iya boleh.”

“Ibu single apa taken?”

Semua gelak tawa anak didiknya pecah memenuhi ruangan kelas. Bella yang cuman bisa mengelus dada mendengarnya, mau tak mau menjawab sesuai kenyataan, “Ibu... masih single.”

“Ya ampun masa sih, cewek secantik Bu Bella masih single?”

Serentak sorakan ceriwis murid-muridnya bergema.

“Iya anak-anakku... emang kenapa kalau Ibu single gitu?”

“Mau memantaskan diri untuk mendampingi Bu Bella.”

“Gayamu bocah, nilai Biologi kamu aja masih di bawah KKM.”

Lagi-lagi serentak tawa canda muridnya bergema.

“Ibu, Ibu mau nanya dong!”

“Iya, apa?”

“Dulu waktu SMA, Bu Bella ikutan SNMPTN juga gak?”

Bella bergeming sejenak, selintas ia mengingat lagi memori SMA-nya pada saat momen penting itu di masa mudanya, “Iya, dulu Ibu juga ikut SNMPTN.”

“Dapet gak?”

Bella mengulum senyum sambil menggeleng pelan, “Sayangnya enggak,” wanita itu berdiri dari kursinya, “Berhubung kalian mau pengumuman SNMPTN, disini Ibu mau kasih sedikit pesan ya agar kalian tidak terbebani selama masa penyeleksian perguruan tinggi ini.” “Masing-masing dari kita punya impian masing-masing termasuk kampus impian. Dari kecil kita sudah punya mimpi untuk menjadi dokter, guru, polisi atau pilot dan semakin kita tumbuh berkembang, impian kita ikut berubah dan pada akhirnya, bukan kampus impian yang menjadi tujuan akhir kita, tapi kampus adalah langkah awal menuju masa depan impian kamu.” “Jadi gak perlu pusing karena gak masuk PTN impian, pada akhirnya nanti pun setelah kamu lulus kuliah, kamu masih menghadapi dunia kerja sesuai bidang yang kalian kuasai, bukan sesuai kampus almameter kalian.” “Catet ya, kesuksesan bukan dari tempat kuliah kalian tapi kesuksesan itu ada pada tangan kalian masing-masing. Jadi jangan pernah kecil hati kalau gak dapet PTN impian kalian.”

SET! Satu siswinya mengangkat tangan, “Kalau gitu, Bu, boleh gak kasih kita tips biar gak tegang sampai pengumuman SNMPTN nanti?”

Bella tersenyum simpul.

“Tipsnya perkuat jalur langit kalian tanpa menaruh ekspetasi apa-apa, perjuangkan perjuangan kalian sesungguhnya nanti di SBMPTN karena... kegagalan Ibu pada saat itu adalah berharap lebih dengan jalur SNMPTN sampai lupa belajar SBMPTN.” “Jangan sampai pengalaman Ibu ini terulang sama kalian.”

“Assalamualaikum.”

“Waalaikumsalam, Bang Haidar.”

Haidar dengan blazer krem dan tentengan kertas berisi kue untuk pemuda yang ia jenguk hari ini, wajah berbinar Naresh langsung terlihat begitu Haidar menyodorkan kantung kertas berisi cinnamon roll favoritnya itu.

“Bang Haidar kok tahu sih saya suka cinnamon roll??” sahut Naresh girang.

“Oh ya? Saya cari aja yang deket kampus, syukurlah kalau kamu suka.”

“Tau gak, Bang? Ini mah udah fix banget sih.”

“Apa?”

“Ikatan batin antara kita sebagai calon saudara ipar udah kuat banget ini.”

Haidar refleks melayangkan satu jentikkan di kening Naresh keras-keras hingga pemuda itu merintih kesakitan.

“Gak usah ngomong ngawur, sembuh dulu aja sampai benar-benar pulih.”

Kedua buah hatinya itu Haidar toleh dan mereka tampaknya masih asyik dengan tontonan film kartun yang sengaja Naresh tayangkan di televisinya, “Anak-anak anteng, Res?”

“Anteng aja kalau ada tontonan mah.”

“Gak buat ulah?”

“Enggak, Bang, santai aja.”

Haidar menghela nafas leganya singkat, “Oh iya, Res, sebenarnya banyak hal yang mau saya sampaikan sama kamu ya terkait urusan bisnis kita terutama tentang perusahaan farmasi gelap itu, dan kemarin saya udah bicara banyak sama Eliza soal itu dan beberapa hal.” “Salah satunya ya saya dengar... kamu masih berhubungan ya sama Jovian?”

Nafas Naresh tersekat begitu nama Jovian keluar dari bibir Haidar, seketika mengingatkan momen terakhir ketika Eliza menjenguknya disini dan bertemu Jovian setelah sekian lama. Dirinya masih sulit menerima fakta bahwa sahabatnya sejak SMA itu adalah laki-laki brengsek yang berani menghamili perempuan dan kabur ke luar negeri karena tidak ingin bertanggung jawab atas tindakannya.

“Kamu sudah tahu kan tentang Jovian?” tanya lagi Haidar meyakinkan.

“Iya, Bang, tapi... masih sulit percaya karena kita udah temenan dari SMA belum lagi dia udah bantu saya banyak untuk penyelidikan Perusahaan Farmasi Yeoreum ini.” “Jadi anak yang selalu ditenteng Angel itu... anaknya Jovian, bukan Bang Adit?”

Haidar mengangguk pelan, “Alhamdulillah, meskipun Angel melalui banyak hal sulit sebelumnya tapi Allah dengan penuh kasih sayang memberikan cahaya-Nya agar Angel bisa berubah menjadi wanita yang lebih baik dari sebelumnya lalu bertemu Adit sehingga mereka bisa hidup damai sekarang.” “Adit sudah tahu hal ini dan dia meminta kamu untuk jangan terlalu melibatkan Jovian karena kita gak akan pernah tahu seperti apa sosok Jovian sekarang setelah dia tega meninggalkan perempuan yang sudah ia hamili.”

Naresh hanya diam termenung, Ya setelah tahu itu semua, gue juga jadi gak mau terlalu berurusan sama Jovian tapi... peran dia sekarang penting untuk bantu gue ngungkapin semua kebusukan Rangga dan antek-anteknya.

“Ya jaga jarak aja sih, Res, bukannya menjauh lalu memutus tali silaturahmi karena itu kan sebenarnya bukan urusan kamu ya. Hanya saja saya mau kamu lebih berhati-hati aja.”

“Iya bang, saya paham—”

KRUYUUKKK...

Wajah Naresh sedikit memerah begitu suara perutnya itu bergemuruh kencang hingga calon kakak iparnya itu mendengar dan terpingkal-pingkal.

“Kamu belum makan siang? Hahaha” Haidar masih tertawa geli.

“Be-Belum... saya mau makan tapi gak bisa...” Naresh menunjukkan kedua tangannya, dimana tangan kirinya itu di perban rekat dan tangan kanannya yang di infus sehingga jarinya kaku, “Saya susah makannya, biasanya di suapin sama suster tapi saya belum sempet panggil.”

Tiba-tiba dengan inisiatifnya, Haidar segera mengambil piring jatah makan siangnya Naresh yang masih terbungkus plastik itu dengan peralatan makannya, “Yaudah kalo gitu saya aja yang suapin,” Haidar sudah siap mengaduk makanannya berupa bubur dan ayam kecap, tangannya menyendok satu suap bubur itu dan menyodorkannya ke dalam mulut Naresh dengan hati-hati.

“Ma-Makasih, lho, Bang...”

“Susah ya kalo sakit gini mau ngapa-ngapain tuh, makan aja harus di suapin.”

“Ya gimana bang, namanya juga takdir.”

“Anggep aja saya baik hati gini karena ungkapan terima kasih saya karena kamu udah menyelamatkan nyawa adik saya, bagaimanapun juga saya berhutang budi sama kamu.”

“Ah, enggak juga kok, bang—”

BRAAKK!!

Keduanya terperanjat di tempatnya begitu sosok wanita berambut panjang lurus itu bersama sang Ibunda dari si kembar itu datang ke kamar penuh kejutan.

“U-Umi?!” sontak Haidar seolah tertangkap basah, Anela dengan mata membesar ikut terkesiap melihat suaminya itu sedang menyuapi pemuda di hadapannya karena ini momen langka Haidar terlihat romantis dengan laki-laki yang hendak mendekati adiknya.

“Waduh... Abi... kok manis banget sih sama Naresh...” sontak Anela dengan nada jahilnya.

“Umi, ini Naresh kasihan soalnya tangannya gak bisa di gerakin—”

“Iya gapapa, santai aja, Abi... daripada aku kan yang nyuapin?”

Eliza ikut terkekeh renyah seraya menatap remeh pemuda yang sedang di rawat itu, “Oh jadi sengaja pendekatan lewat orang dalem ya? Emang ya, Naresh bajingannya masih suka kumat kadang-kadang.”

“Eliza, jangan ngomong sembarangan—”

“Kalau Kak Haidar tahu soal Aisyah kemarin kira-kira gimana ya reaksinya...” cicir Eliza dengan nada provokasinya, Haidar mengerut alisnya heran begitu Eliza menyebut nama adiknya itu.

“Aisyah kenapa, Liz?”

Eliza tersenyum penuh arti sambil menatap wajah tegang Naresh yang sudah bercucuran keringat dingin, “Hmm... gak ada apa-apa sih, cuman siklus anak muda yang di mabuk cinta aja, ya gak, Res?”

Naresh mencibir bibirnya dan memberi isyarat kepada Eliza agar wanita itu tutup mulutnya. Meskipun pemuda itu sendiri gak tahu hal apa yang akan Eliza bocorkan, tapi untuk jaga-jaga wanita itu harus diberi peringatan keras agar tak bicara sembarangan.

“Oke kalo gitu, gimana kalau kita langsung bicara ke intinya aja? Bukannya Naresh juga punya informasi penting tentang kasus kita hari ini?”


“Hah? Ini perusahaan yang sudah di blacklist sama negara? tapi kenapa masih bisa dapet link dari Indonesia?”

Eliza memaparkan banyak rangkuman dan daftar-daftar isi dari informasi yang dibutuhkan keduanya.

“Gak di Indonesia doang, tapi dari Koreanya sendiri pun Perusahaan Farmasi Yeoreum ini juga udah di blacklist tapi karena backingan 'gelap'-nya mampu nge-backup catatan hitamnya ya jadi masih berkeliaran bebas terutama di black market satu Asia. Gue gak tahu motifnya apa tapi memang di antara semua negara, Indonesia tuh negara terakhir yang baru buka pintu untuk terobosan obat barunya.” “Gue gak bisa jelaskan bahan dari obat itu dari segi medis, tapi kalo di simpulkan, obat itu di rancang bukan sekedar menyembuhkan layaknya obat pada umumnya tapi... disini memang ada niat terselubung di dalamnya.”

Naresh menimpali, “Ini bagian dari pengedaran narkotika serentak satu Nusantara kan?”

Eliza menjentikkan jarinya, “Cakep, bener lo, Res,” wanita itu membuka lagi halaman berikutnya, “Perusahaan Yeoreum itu sengaja mengambil beberapa potensi pasar besar dari beberapa grup perusahaan yang berpengaruh satu Indonesia seperti PT. Soetomo Group dan sebenarnya, gue merasa terlalu bodoh kalau grup perusahaan sebesar itu bisa terjebak ke black market kayak gini.” “Aku cuman peringatin Kak Haidar aja kalau ini sangat riskan untuk sekali terjun ke dunia bisnis gelap seperti ini, apalagi perusahaan ini juga terkenal punya backingan yakuza dan mafia perusahaan-perusahaan besar.”

Haidar mengusap wajahnya frustasi, “Astagfirullah, emang ini salah saya yang teledor... bisa-bisanya Pak Romi menjerumuskan perusahaan Eyang ke pusaran gelap seperti ini...”

“Nah, buat lo, Res... gue udah menyimpulkan semua informasi lo terutama tentang keterlibatan yayasan lo dengan perusahaan itu, dan peran lo juga cukup beresiko...” “Karena mereka menargetkan pasien lo sebagai kelinci percobaan obat mereka.”

Naresh membelelakkan matanya, seketika ia ingat percakapan Rangga dan Pak Romi tempo lalu soal operasi Anela.

“Dan kalo ada apa-apa dalam proses pengobatan pasien lo, lo dan para rekan medis lainnya bisa di tuntut atas tuduhan malpraktik.”

Eliza langsung menutup rapat-rapat bukunya.

“Sampai saat ini baru itu yang bisa saya jelaskan berdasarkan pengamatan saya, dan untuk itu mohon kerjasamanya agar kita bisa menarik antek-antek perusahaan biadab itu.” “Oh ya, Res, gua mau peringatin lo satu hal.”

Naresh mendelik, “Apa?”

“Jangan libatkan Jovian dalam kasus kita,” Eliza menatap tajam kedua netra Naresh, “Lo harus tahu kalo meniduri perempuan dalam keadaan tak sadar itu termasuk tindakan kriminal, apalagi sampai hamil dan dia meninggalkan perempuan beserta anaknya, itu udah bukan lagi tindakan manusia kriminal tapi itu tindakan yang jauh lebih bengis dari orang kriminal sekalipun.” “Jadi lo gak bisa percaya sepenuhnya sama manusia bejat kayak Jovian.”

Naresh di ambang keraguan bersamaan Eliza yang mengambil langkah keluar dari kamarnya untuk mengangkat ponselnya yang sejak tadi tak berhenti bergetar.