Keterlibatan
“Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam, Bang Haidar.”
Haidar dengan blazer krem dan tentengan kertas berisi kue untuk pemuda yang ia jenguk hari ini, wajah berbinar Naresh langsung terlihat begitu Haidar menyodorkan kantung kertas berisi cinnamon roll favoritnya itu.
“Bang Haidar kok tahu sih saya suka cinnamon roll??” sahut Naresh girang.
“Oh ya? Saya cari aja yang deket kampus, syukurlah kalau kamu suka.”
“Tau gak, Bang? Ini mah udah fix banget sih.”
“Apa?”
“Ikatan batin antara kita sebagai calon saudara ipar udah kuat banget ini.”
Haidar refleks melayangkan satu jentikkan di kening Naresh keras-keras hingga pemuda itu merintih kesakitan.
“Gak usah ngomong ngawur, sembuh dulu aja sampai benar-benar pulih.”
Kedua buah hatinya itu Haidar toleh dan mereka tampaknya masih asyik dengan tontonan film kartun yang sengaja Naresh tayangkan di televisinya, “Anak-anak anteng, Res?”
“Anteng aja kalau ada tontonan mah.”
“Gak buat ulah?”
“Enggak, Bang, santai aja.”
Haidar menghela nafas leganya singkat, “Oh iya, Res, sebenarnya banyak hal yang mau saya sampaikan sama kamu ya terkait urusan bisnis kita terutama tentang perusahaan farmasi gelap itu, dan kemarin saya udah bicara banyak sama Eliza soal itu dan beberapa hal.” “Salah satunya ya saya dengar... kamu masih berhubungan ya sama Jovian?”
Nafas Naresh tersekat begitu nama Jovian keluar dari bibir Haidar, seketika mengingatkan momen terakhir ketika Eliza menjenguknya disini dan bertemu Jovian setelah sekian lama. Dirinya masih sulit menerima fakta bahwa sahabatnya sejak SMA itu adalah laki-laki brengsek yang berani menghamili perempuan dan kabur ke luar negeri karena tidak ingin bertanggung jawab atas tindakannya.
“Kamu sudah tahu kan tentang Jovian?” tanya lagi Haidar meyakinkan.
“Iya, Bang, tapi... masih sulit percaya karena kita udah temenan dari SMA belum lagi dia udah bantu saya banyak untuk penyelidikan Perusahaan Farmasi Yeoreum ini.” “Jadi anak yang selalu ditenteng Angel itu... anaknya Jovian, bukan Bang Adit?”
Haidar mengangguk pelan, “Alhamdulillah, meskipun Angel melalui banyak hal sulit sebelumnya tapi Allah dengan penuh kasih sayang memberikan cahaya-Nya agar Angel bisa berubah menjadi wanita yang lebih baik dari sebelumnya lalu bertemu Adit sehingga mereka bisa hidup damai sekarang.” “Adit sudah tahu hal ini dan dia meminta kamu untuk jangan terlalu melibatkan Jovian karena kita gak akan pernah tahu seperti apa sosok Jovian sekarang setelah dia tega meninggalkan perempuan yang sudah ia hamili.”
Naresh hanya diam termenung, Ya setelah tahu itu semua, gue juga jadi gak mau terlalu berurusan sama Jovian tapi... peran dia sekarang penting untuk bantu gue ngungkapin semua kebusukan Rangga dan antek-anteknya.
“Ya jaga jarak aja sih, Res, bukannya menjauh lalu memutus tali silaturahmi karena itu kan sebenarnya bukan urusan kamu ya. Hanya saja saya mau kamu lebih berhati-hati aja.”
“Iya bang, saya paham—”
KRUYUUKKK...
Wajah Naresh sedikit memerah begitu suara perutnya itu bergemuruh kencang hingga calon kakak iparnya itu mendengar dan terpingkal-pingkal.
“Kamu belum makan siang? Hahaha” Haidar masih tertawa geli.
“Be-Belum... saya mau makan tapi gak bisa...” Naresh menunjukkan kedua tangannya, dimana tangan kirinya itu di perban rekat dan tangan kanannya yang di infus sehingga jarinya kaku, “Saya susah makannya, biasanya di suapin sama suster tapi saya belum sempet panggil.”
Tiba-tiba dengan inisiatifnya, Haidar segera mengambil piring jatah makan siangnya Naresh yang masih terbungkus plastik itu dengan peralatan makannya, “Yaudah kalo gitu saya aja yang suapin,” Haidar sudah siap mengaduk makanannya berupa bubur dan ayam kecap, tangannya menyendok satu suap bubur itu dan menyodorkannya ke dalam mulut Naresh dengan hati-hati.
“Ma-Makasih, lho, Bang...”
“Susah ya kalo sakit gini mau ngapa-ngapain tuh, makan aja harus di suapin.”
“Ya gimana bang, namanya juga takdir.”
“Anggep aja saya baik hati gini karena ungkapan terima kasih saya karena kamu udah menyelamatkan nyawa adik saya, bagaimanapun juga saya berhutang budi sama kamu.”
“Ah, enggak juga kok, bang—”
BRAAKK!!
Keduanya terperanjat di tempatnya begitu sosok wanita berambut panjang lurus itu bersama sang Ibunda dari si kembar itu datang ke kamar penuh kejutan.
“U-Umi?!” sontak Haidar seolah tertangkap basah, Anela dengan mata membesar ikut terkesiap melihat suaminya itu sedang menyuapi pemuda di hadapannya karena ini momen langka Haidar terlihat romantis dengan laki-laki yang hendak mendekati adiknya.
“Waduh... Abi... kok manis banget sih sama Naresh...” sontak Anela dengan nada jahilnya.
“Umi, ini Naresh kasihan soalnya tangannya gak bisa di gerakin—”
“Iya gapapa, santai aja, Abi... daripada aku kan yang nyuapin?”
Eliza ikut terkekeh renyah seraya menatap remeh pemuda yang sedang di rawat itu, “Oh jadi sengaja pendekatan lewat orang dalem ya? Emang ya, Naresh bajingannya masih suka kumat kadang-kadang.”
“Eliza, jangan ngomong sembarangan—”
“Kalau Kak Haidar tahu soal Aisyah kemarin kira-kira gimana ya reaksinya...” cicir Eliza dengan nada provokasinya, Haidar mengerut alisnya heran begitu Eliza menyebut nama adiknya itu.
“Aisyah kenapa, Liz?”
Eliza tersenyum penuh arti sambil menatap wajah tegang Naresh yang sudah bercucuran keringat dingin, “Hmm... gak ada apa-apa sih, cuman siklus anak muda yang di mabuk cinta aja, ya gak, Res?”
Naresh mencibir bibirnya dan memberi isyarat kepada Eliza agar wanita itu tutup mulutnya. Meskipun pemuda itu sendiri gak tahu hal apa yang akan Eliza bocorkan, tapi untuk jaga-jaga wanita itu harus diberi peringatan keras agar tak bicara sembarangan.
“Oke kalo gitu, gimana kalau kita langsung bicara ke intinya aja? Bukannya Naresh juga punya informasi penting tentang kasus kita hari ini?”
“Hah? Ini perusahaan yang sudah di blacklist sama negara? tapi kenapa masih bisa dapet link dari Indonesia?”
Eliza memaparkan banyak rangkuman dan daftar-daftar isi dari informasi yang dibutuhkan keduanya.
“Gak di Indonesia doang, tapi dari Koreanya sendiri pun Perusahaan Farmasi Yeoreum ini juga udah di blacklist tapi karena backingan 'gelap'-nya mampu nge-backup catatan hitamnya ya jadi masih berkeliaran bebas terutama di black market satu Asia. Gue gak tahu motifnya apa tapi memang di antara semua negara, Indonesia tuh negara terakhir yang baru buka pintu untuk terobosan obat barunya.” “Gue gak bisa jelaskan bahan dari obat itu dari segi medis, tapi kalo di simpulkan, obat itu di rancang bukan sekedar menyembuhkan layaknya obat pada umumnya tapi... disini memang ada niat terselubung di dalamnya.”
Naresh menimpali, “Ini bagian dari pengedaran narkotika serentak satu Nusantara kan?”
Eliza menjentikkan jarinya, “Cakep, bener lo, Res,” wanita itu membuka lagi halaman berikutnya, “Perusahaan Yeoreum itu sengaja mengambil beberapa potensi pasar besar dari beberapa grup perusahaan yang berpengaruh satu Indonesia seperti PT. Soetomo Group dan sebenarnya, gue merasa terlalu bodoh kalau grup perusahaan sebesar itu bisa terjebak ke black market kayak gini.” “Aku cuman peringatin Kak Haidar aja kalau ini sangat riskan untuk sekali terjun ke dunia bisnis gelap seperti ini, apalagi perusahaan ini juga terkenal punya backingan yakuza dan mafia perusahaan-perusahaan besar.”
Haidar mengusap wajahnya frustasi, “Astagfirullah, emang ini salah saya yang teledor... bisa-bisanya Pak Romi menjerumuskan perusahaan Eyang ke pusaran gelap seperti ini...”
“Nah, buat lo, Res... gue udah menyimpulkan semua informasi lo terutama tentang keterlibatan yayasan lo dengan perusahaan itu, dan peran lo juga cukup beresiko...” “Karena mereka menargetkan pasien lo sebagai kelinci percobaan obat mereka.”
Naresh membelelakkan matanya, seketika ia ingat percakapan Rangga dan Pak Romi tempo lalu soal operasi Anela.
“Dan kalo ada apa-apa dalam proses pengobatan pasien lo, lo dan para rekan medis lainnya bisa di tuntut atas tuduhan malpraktik.”
Eliza langsung menutup rapat-rapat bukunya.
“Sampai saat ini baru itu yang bisa saya jelaskan berdasarkan pengamatan saya, dan untuk itu mohon kerjasamanya agar kita bisa menarik antek-antek perusahaan biadab itu.” “Oh ya, Res, gua mau peringatin lo satu hal.”
Naresh mendelik, “Apa?”
“Jangan libatkan Jovian dalam kasus kita,” Eliza menatap tajam kedua netra Naresh, “Lo harus tahu kalo meniduri perempuan dalam keadaan tak sadar itu termasuk tindakan kriminal, apalagi sampai hamil dan dia meninggalkan perempuan beserta anaknya, itu udah bukan lagi tindakan manusia kriminal tapi itu tindakan yang jauh lebih bengis dari orang kriminal sekalipun.” “Jadi lo gak bisa percaya sepenuhnya sama manusia bejat kayak Jovian.”
Naresh di ambang keraguan bersamaan Eliza yang mengambil langkah keluar dari kamarnya untuk mengangkat ponselnya yang sejak tadi tak berhenti bergetar.