Jaga-jaga
“Assalamualaikum, Bang Haidar—” Suara Aisyah tertahan begitu bukan sosok Haidar yang ada di hadapannya dan sedang menanti kehadirannya, melainkan Naresh yang barusan di suguhkan teh manis hangat oleh Mpok Yati.
“Waalaikumsalam, Bang Haidar belum sampai kesini jadi saya duluan yang nyampe,” ujar Naresh kikuk.
Aisyah menjawab oh ria lalu duduk mengambil jarak 4-5 meter menjauhi Naresh.Membiarkan rasa canggung lagi-lagi mendominasi suasana keduanya.
Duh bener-bener canggung banget, enaknya ngomong apaan ya... — Naresh
Ah abang gimana sih, kenapa Kak Naresh disuruh dateng duluan ke rumah kan jadi canggung gini... tau gitu Aisyah juga gak buru-buru pulang! Duh kalau udah berdua gini di luar pekerjaan gini berasa keong banget gue... — Aisyah
“Ehem, Aisyah,” Naresh berinisiatif membunuh kesunyian dengan memanggil gadis di sana, “Maaf tiba-tiba... Bang Haidar suruh kamu pulang cepat gini karena saya yang minta, ada banyak hal yang harus kita bicarakan.”
Aisyah membalas, “Soal... pernikahan kita kah?”
Naresh mengatup mulutnya, lalu ia menghempas kekehnya sebelum akhirnya tergelak tawa karena ungkapan Aisyah.
“Kamu gak sabar banget ya mau nikah sama saya?” goda Naresh dengan smirk khasnya.
Hah kok gini sih...
“Lho... emang kita mau ngomongin apa sih sebenarnya?”
“Kira-kira apa coba?”
“Ya mana saya tahu! Kok jadi balik nanya sih?!”
“Kamu mau banget ngebahas soal pernikahan kita?”
“Ya... kan emang harus segera kita bicarakan... bukannya gitu...?”
Pfft! Naresh menghempas tawa gelinya sampai akhirnya ia terpingkal-pingkal. Ia tak menyangka bahwa gadis di hadapannya akan sejujur ini dalam mengungkapkan perasaannya.
“Bisa sabar sedikit lagi, Aisyah?” hanya itu jawaban yang keluar dari bibir manis Naresh, membuat Aisyah mematung beku di tempatnya, “Kamu benar, kita harus segera membicarakan soal pernikahan kita tapi... disini ada yang lebih penting dari itu...”
Dada Aisyah sedikit terasa sesak, seperti harapan yang melambung tinggi jatuh ke dasar laut, ia merasa bodoh sudah berekspetasi jauh ke arah sana.
“Iya saya tahu,” jawab Aisyah singkat.
“Terima kasih sudah mau mengerti,” respon Naresh dengan lekukan senyum simpulnya, di balas oleh Aisyah anggukan kecil dan senyum kecutnya.
Tak lama kehadiran Eliza menyertai kedua insan itu di ruang tamu. Reflek, wanita yang rambutnya di ikat kuda itu langsunh melayangkan pukulannya di lengan Naresh keras-keras.
“Et dah, kesempatan banget lo dateng kesini cepet-cepet biar bisa berduaan sama Aisyah! Ketahuan Haidar mampus lu, Res!” cicir Eliza.
Naresh hanya mendengus jengkel dan di ikuti oleh ketawa renyah Aisyah.
Lah kok tegang amat sih suasananya, jangan-jangan Aisyah udah di kasih tahu soal chat itu?
“Aisyah udah tahu, Res?”
“Tahu apaan?”
“Itu chat aneh yang lo tunjukkin ke gue.”
Naresh menggeleng cepat, “Enggak kok, nungguin Bang Haidar aja biar bisa sekalian lihat bareng-bareng.”
Aisyah mengernyit dahi, “Chat aneh apa? Ini maksudnya mau ngapain sih?”
Eliza dan Naresh saling beradu tatap, lalu Naresh merogoh ponselnya dan menunjukkan screenshot chatnya, “Ini yang mau kita bicarakan, Aisyah.”
Aisyah mengambil ponsel yang di sodorkan Naresh dan membaca isi chat yang ditunjukkan pemuda itu. Matanya membulat sempurna bahkan gadis itu terkesiap di tempatnya, “I-Ini... ancaman...?”
“Kita masih menyimpulkan itu ancaman.”
“Kenapa harus... Bang Haidar dengan saya...?”
Naresh menghela nafasnya panjang, “Karena target utama dia itu saya, Aisyah.”
Tak lama mereka melangsungkan percakapannya, kehadiran keluarga kecil Haidar dari mobilnya langsung membuat ketiga orang di ruangan itu berdiri menyambut kehadiran sang tuan rumah.
“Duh maaf, saya telat banget ya?” ucap Haidar sambil membawa belanjaannya susah payah, “Mpok... Boleh minta tolong bawain beberapa barang di mobil??”
Di belakang Haidar ada sosok si kembar yang sedang melompat-lompat riang setelah puas jalan-jalan dengan keluarganya. Netra keduanya langsunh menangkap sosok Naresh dengan tantenya yang sedang berdiri berdampingan.
“Ehem, ehem... ciee... Dokter Naresh sama Tante Aisyah...” — Mina
“Ea cie ciee kiw kiw acikiwirr....” — Ibra
Keduanya cuman menatap heran dengan si kembar di hadapannya.
“Lucu banget sih Dokter sama Tante Aisyah, kayak di drakor-drakor gitu kiw kiw...” — Mina
Haidar yang menyadari tingkah usil kedua anaknya langsung cepat membawa kedua tubuh mungilnya ke dalam kamar dan mengunci mereka agar tidak banyak bertingkah di hadapan tamunya.
“Umi, kamu awasin tuh si kembar,” titah Haidar.
“Ya Allah udah kayak pelaku kriminal anakmu, Mas,” cicir Anela.
Setelah Anela memasuki kamar si kembar dan mengikuti perintah sang suami, akhirnya Haidar dengan tenang bisa duduk di hadapan para tamunya.
“Gimana, Res? Kamu mau ngomongin soal apa?” buka Haidar.
Naresh menyodorkan kembali ponselnya ke Haidar dan melihat tampilan layar chat yang ia tunjukkan pula ke Aisyah barusan.
“Ini... chat ancaman?”
“Kemungkinan besar iya, Bang.”
“Tapi kenapa harus Aisyah ikut terlibat?”
Naresh menderu nafasnya kasar, “Karena target utamanya saya.”
Haidar meletakkan lagi ponselnya sambil bergeming panjang meletakkan jarinya dibawah dagu, “Kemungkinan ini orang terdekat kamu, Naresh.”
“Bisa jadi, sekarang kita belum sampai di tahap menyelidiki siapa yang mengirim ini tapi maksud saya untuk mengumpulkan kita semua disini adalah bagaimana caranya untuk bisa melindungi diri seandainya ada bahaya yang mengincar kita...” “... terutama Aisyah.”
Aisyah membelelakkan matanya, tatapan dalam Naresh seketika membuat jantungnya berdesir tak menentu. Ia langsung teringat ungkapan pria di sampingnya, Kalau terjadi apa-apa sama kamu, saya gak akan bisa memaafkan diri saya sendiri. Ternyata memang posisi Naresh saat ini sedang sulit.
Aisyah harus segera menekan harapannya.
“Sebenarnya dari kepolisian kita punya GPS dan alarm untuk jaga-jaga dalam keadaan bahaya. Mungkin kita semua bisa pake itu untuk sementara.” “Barangnya masih ada di kantor, nanti gue kirimin semuanya ke rumah Kak Haidar ya?”
“Ah boleh juga tuh.”
“Dan juga Aisyah, kamu jangan pernah sekali-kali pergi sendiri ya, sekarang kamu harus terus bareng sama orang minimal 2 orang.” “Naresh, lo tanggung jawab atas keselamatan Aisyah.”
Naresh mengangguk mantap, “Oke.”
“Gue akan bantu nyelidikin ini semua sampai tuntas, setidaknya kalau kalian punya petunjuk atau ada informasi baru tolong hubungi gue ya biar proses penyelidikannya lebih cepat.”
“Siap, Eliza.”
Aisyah menggenggam erat ujung bajunya sesak, Ya Allah... kapan ini semua akan berakhir?