shinelyght

Aisyah tergopoh-gopoh lari ke kamar VIP no 15 dimana Naresh di rawat disana.

BRAK!!

Ketiga orang di dalamnya sontak kaget dengan gebrakan pintu dari luar.

“Ibrahim! Aminah!” sahut Aisyah dengan nafas ngos-ngosan.

Tak ada yang salah disana, hanya sepasang anak kecil yang duduk di kedua sisi ranjang Naresh dengan buku dongeng yang sedang Naresh bacakan.

“Harus banget ya gebrak pintu kayak satpol PP mau ngegrebek?” cicir Naresh dengan nada sinisnya.

Mina menimpal, “Tante Aisyah! Kok gak bilang sih kalo Dokter Naresh di rawat disini?! Tau gitu kan kita disini aja daritadi sambil nungguin Abi pulang,” protes gadis kecil itu.

Naresh memberikan buku besarnya itu ke Ibra, “Kalian baca sendiri dulu gih di sofa sana, nanti saya beliin donat mau ya?”

Serentak keduanya menjawab, “MAUU!!!”

Naresh terkekeh geli dan netranya kembali menatap dalam gadis berseragam biru pastel itu di sampingnya intens dari ujung kepala sampai ujung kaki.

“Kenapa ngelihatin saya kayak gitu?” desis Aisyah.

“Kemarin kamu dateng kesini?”

Aisyah menggeleng cepat, “Enggak!” jawab Aisyah berbohong.

“Gak usah bohong, kakak kamu yang bilang kok kamu kesini kemarin sore,” Naresh membuka ponselnya dan menunjukkan satu potret layar yang menampilkan nama kontaknya astagfirullah, “Saya buat dosa apa sama kamu sampe-sampe nama kontak saya kamu kasih nama begini?”

Aisyah langsung gelagapan begitu Naresh menangkap basahnya soal nama kontak yang ia tulis di ponselnya. Aduh mampus, kok bisa sih Kak Naresh tahu gue nulisin nama kontaknya astaghfirullah?!

“Kamu pikir saya malapetaka ya yang bikin kamu tuh bawaannya pengen istighfar?”

“Dok, dulu tuh saya—”

“Sekarang saya bukan Dokter Naresh, saya pasien.”

Aisyah menghela nafas panjang, “Kak Naresh tuh dulu emang banyak dosa sama saya! Nyebelin, diktator, cuek, kaku, mulutnya tajem!!”

Naresh menganga lebar, “Hah, itu kan dulu karena memang saya harus menegaskan hubungan kita sebagai rekan kerja! Sekarang saya sudah memperlakukan kamu istimewa pun nama kontak saya tetep aja 'astagfirullah'!!”

“Enggak, Kak Naresh tetep sama kok!”

“Aisyah, kamu itu saya perlakukan sangat spesial gak seperti rekan-rekan yang lain!”

“Yaudah kalau gitu kenapa Kak Naresh memperlakukan saya spesial?! Bukannya harus profesional?!”

“Karena saya suka sama kamu!!”

Seketika suasana kamar VIP no 15 itu senyap. Nafas Aisyah tercekat dan Naresh sendiri masih tak melepas pandangannya dari paras gadis mungil di hadapannya.

“Saya suka sama kamu, Aisyah!! Saya juga gak tahu kenapa tiba-tiba saya gak bisa pegang kata-kata sendiri ketika harus berhadapan sama kamu!! Oke, saya minta maaf kalau dulu kasar sama kamu, tapi sekarang saya sedang berusaha jujur dengan perasaan saya!” “Mulai detik ini, saya akan memperlakukan kamu sebaik-baiknya!”

“Hah, justru karena Kak Naresh gak bisa pegang kata-katanya sendiri, saya gak percaya sama semua omongan Kak Naresh!” “Suka? Kak Naresh suka sama saya? Omong kosong. Kemarin aja masih sempet pelukan sama cewek lain!”

Ah tuhkan, Aisyah lihat gue sama Vero...

“Aisyah, saya akan jelasin semuanya soal kemarin. Veronica, mantan tunangan saya tiba-tiba datang kesini padahal saya sudah mencegah dia untuk datang tapi dia tetap bersikeras kesini. Dia meluk saya itu juga atas inisiatif dia sendiri dan mungkin dia ngelakuin itu karena ada kamu! Dia sengaja melakukan itu di depan kamu, Aisyah! Hubungan saya dengan Veronica beneran udah putus!” “Aisyah, banyak hal yang harus saya selesaikan satu per satu agar kita bisa sama-sama dengan damai. Saya sendiri masih dalam pantauan si Rangga dan antek-anteknya termasuk Veronica sehingga bisa membahayakan kamu kalau mereka tahu kamu adalah orang yang berharga bagi saya!” “Saya akan mengutuk diri saya kalau kamu kenapa-kenapa, Aisyah... makanya saya mau mempertaruhkan nyawa saya demi kamu seperti sekarang...”

Aisyah diam mematung dengan seribu pertanyaan di benaknya. Ungkapan Naresh terdengar tulus, tapi masih tak bisa menghilangkan rasa ragu di dalam hati gadis kasihnya itu.

“Saya mohon bersabar sedikit lagi, kali ini saya pegang kata-kata saya. Begitu semua urusan ini selesai, kita menikah, Aisyah!”

Aisyah terkesiap, “Eh, bahkan aku belum jawab soal perasaan Kak Naresh!”

“Bukannya kamu nunggu lamaran saya?!”

Naresh membuka ponselnya lagi dan menampilkan tampilan chat Aisyah ketika Naresh koma tempo lalu.

Astagaaa...!! Aisyah, kamu bego banget, huweeee!!

“Saya gak perlu lagi tunggu jawaban kamu kan?!” Naresh mendesak lagi gadis itu hingga kepala Aisyah rasanya mau meledak di tempat, “Kamu gak akan bisa menghindar dari saya, Aisyah, sampai ujung dunia pun saya akan mencari kamu jadi jangan pernah ada pikiran untuk kabur dari sisi saya.” “Kamu sudah janji untuk selalu ada di samping saya selamanya!”

Wajah Aisyah sudah memerah padam bak kepiting rebus, ia langsung menyambar ponselnya yang masih dipegang dua ponakannya itu lalu berlari keluar tanpa meninggalkan sepatah kata pun. Aisyah sumpah, kamu kok bisa sebego itu sih?! Aduh, gue udah gak ada muka lagi sama Kak Naresh! Huwaaa... malu banget, malu banget, MALU BANGETTT!!!!

Meanwhile Ibra dan Mina di kamar...

“Ibra, kamu inget gak drakor yang umi tonton kemarin? adegannya mirip tau kayak gini.”

“Ah masa sih?”

“Iya, jadi cowoknya tuh nembak sambil teriak-teriak gitu biar ceweknya denger.”

“Tapi... di drama itu ceweknya tuli, Mina, terus cowoknya meluk dari belakang buat ngasih tau perasaannya...”

“Dokter Naresh mana bisa meluk Tante Aisyah, orang tangannya di infus gitu...”

“Iya juga sih...”

“Kalau Abi lihat, dunia bakal gonjang-ganjing gak sih, Bra?”

“Pasti, Mina, kita jangan kasih tahu Abi soal ini. Kita harus lindungin Dokter Naresh.”

“Oke, oke ini rahasia kita ya, Bra.”

“Siap.”

“Udah tenang, Syah?”

Aisyah mengangguk lesu seraya melahap potongan sushi terakhirnya dengan tatapan kosong.

Ya ampun, udah berapa lama gue gak ngerasain patah hati ya? Gue terlalu sibuk sama pekerjaan jadi gak punya waktu mikirin cowok, dan sekarang... gue harus hadepin anak muda yang abis patah hati gara-gara cowok, gumam Eliza dalam hati, Yah baguslah gue yang nemenin Aisyah patah hati disini daripada Kak Haidar langsung kan? Bisa-bisa di buat koma yang kedua kalinya si Naresh.

“Maaf, tadi Aisyah tiba-tiba nangis... Aisyah sendiri gak tahu harus nangis karena apa...” ucap gadis berkerudung itu lesu.

“Kalau mau cerita ya cerita aja gak usah malu, kita kan udah kenal lama jadi santai aja,” Eliza meneguk ocha dinginnya itu cepat, “Patah hati bukan aib kok.”

Aisyah menoleh, “Si-Siapa yang patah hati?!”

“Kamu lah, siapa lagi?”

Aisyah mengerucut bibirnya manyun, “Ih... Aisyah gak patah hati...”

“Ya terus kamu nangis gara-gara apa dong?”

Gadis itu menghela nafas panjang, “Apa ya... cuman... melihat sesuatu yang menyakitkan aja...”

“Kenapa? Naresh selingkuh? Kalo dia selingkuh mau aku pukul kepalanya ampe koma lagi?”

“Eh jangan dong, Kak Eliza! Ih serem banget...”

Eliza ketawa geli, “Bercanda, tangan aku gak selemes itu buat mukul orang.” “Apa yang membuat kamu sakit sampai nangis sesegukan kayak tadi, Syah?”

Aisyah kembali memandang bayangan wajahnya dari genangan air mineral yang ada di gelas cembungnya. Bayangan pahit yang ia lihat di rumah sakit tadi kembali terbayang di kepalanya.

“Pernah gak sih kak, ketika kita udah mau yakin dengan satu orang tiba-tiba runtuh gitu aja?” Aisyah mulai buka suara.

Eliza menghempas senyum miringnya, “Aku udah lama gak berhubungan sama cowok, jadi udah lupa rasa itu, Syah, hahaha...” “Tapi ya mungkin hal yang membuat keyakinan kamu sama Naresh runtuh itu yang membuat kamu sakit, ya kan?”

Aisyah ikut terkekeh pelan, “Yah gimana ya kak... Jujur aja, Aisyah gak pernah ngerasain jatuh cinta sebelumnya. Aisyah gak pernah tahu gimana rasanya jatuh cinta dan kalau boleh berharap, seharusnya Aisyah gak usah merasakan jatuh cinta kalau ternyata cuman bikin Aisyah sakit, gelisah gak karuan gini.” “Padahal dia udah berani nyatain perasaannya langsung ke Bang Haidar... tapi dia gak pernah mau meyakinkan Aisyah sendiri.”

Eliza hanya tertawa geli melihat wajah cemberut Aisyah yang menggemaskan itu.

“Kira-kira, rasa sakit sama senangnya lebih banyakan mana?”

Aisyah menoleh, “Eh?”

“Setelah kamu merasakan jatuh cinta, kira-kira lebih banyak senangnya atau sakitnya?”

Gadis itu kembali merenungkan perkataan wanita cantik berjas putihclassy itu, bayang-bayang memori kebersamaannya dengan Naresh itu berputar lagi dalam kepalanya. Senyum jumawa pria itu, tiap ucapannya yang mampu membuat jantung gadis itu berdebar dan bagaimana sigapnya pria itu ketika Aisyah membutuhkan sesuatu.

Apakah itu saat-saat bahagianya setelah merasakan jatuh cinta?

“Aisyah, kakak bicara ini sama kamu dengan posisi sebagai seorang kakak ya meskipun aku sendiri single. Jatuh cinta itu bagi aku anugrah, Syah, manusia dengan berbagai pikirannya itu bisa menjadikan jatuh cinta itu sebagai salah satu pengaruh besar dalam hidup kita.” “Salah satunya menjadi kekuatan,” Eliza menuangkan lagi ocha dingin ke dalam gelas cembungnya, “Kamu bisa lihat sendiri kakak ipar kamu.”

Aisyah tersentak dengan kalimat terakhir Eliza yang menyebut kakak iparnya, Anela, membuatnya ingat kembali bagaimana Anela dulu begitu mencintai abangnya hingga Allah gariskan jodoh di antara keduanya.

“Anela bisa menjadi sosok wanita sholehah yang baik dan tangguh seperti sekarang ini salah satunya karena kekuatan jatuh cinta. Ya mana pernah deh kebayang sama kita kalau seorang Anela yang dulunya hobi dugem terus selalu ngulang matkul agama, tiba-tiba jadi gigih belajar agama di pesantren biar bisa mengimbangi seorang ustadz muda yang dulu dia taksir berat?” “Kalau kamu bisa mengambil hikmah dari jatuh cinta yang kamu sebutkan tadi, itu bisa jadi anugrah terindah untuk kamu, Aisyah, dan itu berlaku untuk semua aspek ya gak cuman persoalan jatuh cinta.” “Semua yang terjadi itu selalu ada hikmah di baliknya, jadi jangan pernah stuck dengan satu sisi masalah aja.” “Lagipula, menurut aku sayang aja kalau kamu melepas Naresh cuman karena satu pandangan menyakitkan itu lalu melupakan semua apa yang udah dia berikan sama kamu, salah satunya taruhan nyawa. Naresh kan sekarang sakit karena untuk ngelindungin kamu.”

Aisyah bukannya lega, tapi ia semakin memajukan bibirnya manyun.

”... Gimana Aisyah gak ragu coba kak...? Dia aja masih sempet-sempetnya pelukan sama cewek, mana di cium pipinya.”

OHOK! OHOK! Eliza langsung tersedak dengan suapan sushinya sendiri, “Ha-hah?! Buset itu cowok masih aja!”

“Makanya Aisyah langsung pundung, Kak Eliza...!”

“Siapa ceweknya?!”

“Ada mantan tunangannya...”

“NARESH SEMPET TUNANGAN?!”

“Sempet, tapi udah putus... malahan Aisyah juga gak tahu sebenarnya udah putus atau enggak, soalnya tadi masih bilang sayang sama Kak Naresh!”

Eliza cuman bisa geleng-geleng kepala speechless, Untung aja gue yang nemenin Aisyah galau, kalo Kak Haidar yang denger... duh, Res, Res... anak itik gini aja masih lo obrak-abrik hatinya.

“Udah deh, kamu makan aja yang banyak, Syah, mumpung aku traktir, gak usah di pikirin lah itu buaya, oke?”

Padahal gue mau nanya satu hal penting sama Aisyah... malahan kudu nemenin bocah ngegalauin buaya kelas kakap modelan Naresh, ya elah... ntar aja lah nanyanya sama Naresh aja langsung.

“Udah tenang, Syah?”

Aisyah mengangguk lesu seraya melahap potongan sushi terakhirnya dengan tatapan kosong.

Ya ampun, udah berapa lama gue gak ngerasain patah hati ya? Gue terlalu sibuk sama pekerjaan jadi gak punya waktu mikirin cowok, dan sekarang... gue harus hadepin anak muda yang abis patah hati gara-gara cowok, gumam Eliza dalam hati, Yah baguslah gue yang nemenin Aisyah patah hati disini daripada Kak Haidar langsung kan? Bisa-bisa di buat koma yang kedua kalinya si Naresh.

“Maaf, tadi Aisyah tiba-tiba nangis... Aisyah sendiri gak tahu harus nangis karena apa...” ucap gadis berkerudung itu lesu.

“Kalau mau cerita ya cerita aja gak usah malu, kita kan udah kenal lama jadi santai aja,” Eliza meneguk ocha dinginnya itu cepat, “Patah hati bukan aib kok.”

Aisyah menoleh, “Si-Siapa yang patah hati?!”

“Kamu lah, siapa lagi?”

Aisyah mengerucut bibirnya manyun, “Ih... Aisyah gak patah hati...”

“Ya terus kamu nangis gara-gara apa dong?”

Gadis itu menghela nafas panjang, “Apa ya... cuman... melihat sesuatu yang menyakitkan aja...”

“Kenapa? Naresh selingkuh? Kalo dia selingkuh mau aku pukul kepalanya ampe koma lagi?”

“Eh jangan dong, Kak Eliza! Ih serem banget...”

Eliza ketawa geli, “Bercanda, tangan aku gak selemes itu buat mukul orang.” “Apa yang membuat kamu sakit sampai nangis sesegukan kayak tadi, Syah?”

Aisyah kembali memandang bayangan wajahnya dari genangan air mineral yang ada di gelas cembungnya. Bayangan pahit yang ia lihat di rumah sakit tadi kembali terbayang di kepalanya.

“Pernah gak sih kak, ketika kita udah mau yakin dengan satu orang tiba-tiba runtuh gitu aja?” Aisyah mulai buka suara.

Eliza menghempas senyum miringnya, “Aku udah lama gak berhubungan sama cowok, jadi udah lupa rasa itu, Syah, hahaha...” “Tapi ya mungkin hal yang membuat keyakinan kamu sama Naresh runtuh itu yang membuat kamu sakit, ya kan?”

Aisyah ikut terkekeh pelan, “Yah gimana ya kak... Jujur aja, Aisyah gak pernah ngerasain jatuh cinta sebelumnya. Aisyah gak pernah tahu gimana rasanya jatuh cinta dan kalau boleh berharap, seharusnya Aisyah gak usah merasakan jatuh cinta kalau ternyata cuman bikin Aisyah sakit, gelisah gak karuan gini.” “Padahal dia udah berani nyatain perasaannya langsung ke Bang Haidar... tapi dia gak pernah mau meyakinkan Aisyah sendiri.”

Eliza hanya tertawa geli melihat wajah cemberut Aisyah yang menggemaskan itu.

“Kira-kira, rasa sakit sama senangnya lebih banyakan mana?”

Aisyah menoleh, “Eh?”

“Setelah kamu merasakan jatuh cinta, kira-kira lebih banyak senangnya atau sakitnya?”

Gadis itu kembali merenungkan perkataan wanita cantik berjas putihclassy itu, bayang-bayang memori kebersamaannya dengan Naresh itu berputar lagi dalam kepalanya. Senyum jumawa pria itu, tiap ucapannya yang mampu membuat jantung gadis itu berdebar dan bagaimana sigapnya pria itu ketika Aisyah membutuhkan sesuatu.

Apakah itu saat-saat bahagianya setelah merasakan jatuh cinta?

“Aisyah, kakak bicara ini sama kamu dengan posisi sebagai seorang kakak ya meskipun aku sendiri single. Jatuh cinta itu bagi aku anugrah, Syah, manusia dengan berbagai pikirannya itu bisa menjadikan jatuh cinta itu sebagai salah satu pengaruh besar dalam hidup kita.” “Salah satunya menjadi kekuatan,” Eliza menuangkan lagi ocha dingin ke dalam gelas cembungnya, “Kamu bisa lihat sendiri kakak ipar kamu.”

Aisyah tersentak dengan kalimat terakhir Eliza yang menyebut kakak iparnya, Anela, membuatnya ingat kembali bagaimana Anela dulu begitu mencintai abangnya hingga Allah gariskan jodoh di antara keduanya.

“Anela bisa menjadi sosok wanita sholehah yang baik dan tangguh seperti sekarang ini salah satunya karena kekuatan jatuh cinta. Ya mana pernah deh kebayang sama kita kalau seorang Anela yang dulunya hobi dugem terus selalu ngulang matkul agama, tiba-tiba jadi gigih belajar agama di pesantren biar bisa mengimbangi seorang ustadz muda yang dulu dia taksir berat?” “Kalau kamu bisa mengambil hikmah dari jatuh cinta yang kamu sebutkan tadi, itu bisa jadi anugrah terindah untuk kamu, Aisyah, dan itu berlaku untuk semua aspek ya gak cuman persoalan jatuh cinta.” “Semua yang terjadi itu selalu ada hikmah di baliknya, jadi jangan pernah stuck dengan satu sisi masalah aja.” “Lagipula, menurut aku sayang aja kalau kamu melepas Naresh cuman karena satu pandangan menyakitkan itu lalu melupakan semua apa yang udah dia berikan sama kamu, salah satunya taruhan nyawa. Naresh kan sekarang sakit karena untuk ngelindungin kamu.”

Aisyah bukannya lega, tapi ia semakin memajukan bibirnya manyun.

”... Gimana Aisyah gak ragu coba kak...? Dia aja masih sempet-sempetnya pelukan sama cewek, mana di cium pipinya.”

OHOK! OHOK! Eliza langsung tersedak dengan suapan sushinya sendiri, “Ha-hah?! Buset itu cowok masih aja!”

“Makanya Aisyah langsung pundung, Kak Eliza...!”

“Siapa ceweknya?!”

“Ada mantan tunangannya...”

“NARESH SEMPET TUNANGAN?!”

“Sempet, tapi udah putus... malahan Aisyah juga gak tahu sebenarnya udah putus atau enggak, soalnya tadi masih bilang sayang sama Kak Naresh!”

Eliza cuman bisa geleng-geleng kepala speechless, Untung aja gue yang nemenin Aisyah galau, kalo Kak Haidar yang denger... duh, Res, Res... anak itik gini aja masih lo obrak-abrik hatinya.

“Udah deh, kamu makan aja yang banyak, Syah, mumpung aku traktir, gak usah di pikirin lah itu buaya, oke?”

Padahal gue mau nanya satu hal penting sama Aisyah... malahan kudu nemenin bocah galau, ya elah... ntar aja lah nanyanya sama Naresh aja langsung.

“Udah tenang, Syah?”

Aisyah mengangguk lesu seraya melahap potongan sushi terakhirnya dengan tatapan kosong.

Ya ampun, udah berapa lama gue gak ngerasain patah hati ya? Gue terlalu sibuk sama pekerjaan jadi gak punya waktu mikirin cowok, dan sekarang... gue harus hadepin anak muda yang abis patah hati gara-gara cowok, gumam Eliza dalam hati, Yah baguslah gue yang nemenin Aisyah patah hati disini daripada Kak Haidar langsung kan? Bisa-bisa di buat koma yang kedua kalinya si Naresh.

“Maaf, tadi Aisyah tiba-tiba nangis... Aisyah sendiri gak tahu harus nangis karena apa...” ucap gadis berkerudung itu lesu.

“Kalau mau cerita ya cerita aja gak usah malu, kita kan udah kenal lama jadi santai aja,” Eliza meneguk ocha dinginnya itu cepat, “Patah hati bukan aib kok.”

Aisyah menoleh, “Si-Siapa yang patah hati?!”

“Kamu lah, siapa lagi?”

Aisyah mengerucut bibirnya manyun, “Ih... Aisyah gak patah hati...”

“Ya terus kamu nangis gara-gara apa dong?”

Gadis itu menghela nafas panjang, “Apa ya... cuman... melihat sesuatu yang menyakitkan aja...”

“Kenapa? Naresh selingkuh? Kalo dia selingkuh mau aku pukul kepalanya ampe koma lagi?”

“Eh jangan dong, Kak Eliza! Ih serem banget...”

Eliza ketawa geli, “Bercanda, tangan aku gak selemes itu buat mukul orang.” “Apa yang membuat kamu sakit sampai nangis sesegukan kayak tadi, Syah?”

Aisyah kembali memandang bayangan wajahnya dari genangan air mineral yang ada di gelas cembungnya. Bayangan pahit yang ia lihat di rumah sakit tadi kembali terbayang di kepalanya.

“Pernah gak sih kak, ketika kita udah mau yakin dengan satu orang tiba-tiba runtuh gitu aja?” Aisyah mulai buka suara.

Eliza menghempas senyum miringnya, “Aku udah lama gak berhubungan sama cowok, jadi udah lupa rasa itu, Syah, hahaha...” “Tapi ya mungkin hal yang membuat keyakinan kamu sama Naresh runtuh itu yang membuat kamu sakit, ya kan?”

Aisyah ikut terkekeh pelan, “Yah gimana ya kak... Jujur aja, Aisyah gak pernah ngerasain jatuh cinta sebelumnya. Aisyah gak pernah tahu gimana rasanya jatuh cinta dan kalau boleh berharap, seharusnya Aisyah gak usah merasakan jatuh cinta kalau ternyata cuman bikin Aisyah sakit, gelisah gak karuan gini.” “Padahal dia udah berani nyatain perasaannya langsung ke Bang Haidar... tapi dia gak pernah mau meyakinkan Aisyah sendiri.”

Eliza hanya tertawa geli melihat wajah cemberut Aisyah yang menggemaskan itu.

“Kira-kira, rasa sakit sama senangnya lebih banyakan mana?”

Aisyah menoleh, “Eh?”

“Setelah kamu merasakan jatuh cinta, kira-kira lebih banyak senangnya atau sakitnya?”

Gadis itu kembali merenungkan perkataan wanita cantik berjas putihclassy itu, bayang-bayang memori kebersamaannya dengan Naresh itu berputar lagi dalam kepalanya. Senyum jumawa pria itu, tiap ucapannya yang mampu membuat jantung gadis itu berdebar dan bagaimana sigapnya pria itu ketika Aisyah membutuhkan sesuatu.

Apakah itu saat-saat bahagianya setelah merasakan jatuh cinta?

“Aisyah, kakak bicara ini sama kamu dengan posisi sebagai seorang kakak ya meskipun aku sendiri single. Jatuh cinta itu bagi aku anugrah, Syah, manusia dengan berbagai pikirannya itu bisa menjadikan jatuh cinta itu sebagai salah satu pengaruh besar dalam hidup kita.” “Salah satunya menjadi kekuatan,” Eliza menuangkan lagi ocha dingin ke dalam gelas cembungnya, “Kamu bisa lihat sendiri kakak ipar kamu.”

Aisyah tersentak dengan kalimat terakhir Eliza yang menyebut kakak iparnya, Anela, membuatnya ingat kembali bagaimana Anela dulu begitu mencintai abangnya hingga Allah gariskan jodoh di antara keduanya.

“Anela bisa menjadi sosok istri sholehah yang penurut seperti sekarang ini salah satunya karena kekuatan jatuh cinta. Ya mana pernah deh kebayang sama kita kalau seorang Anela yang dulunya hobi dugem terus selalu ngulang matkul agama, tiba-tiba jadi gigih belajar agama di pesantren biar bisa mengimbangi seorang ustadz muda yang dulu dia taksir berat?” “Kalau kamu bisa mengambil hikmah dari jatuh cinta yang kamu sebutkan tadi, itu bisa jadi anugrah terindah untuk kamu, Aisyah, dan itu berlaku untuk semua aspek ya gak cuman persoalan jatuh cinta.” “Semua yang terjadi itu selalu ada hikmah di baliknya, jadi jangan pernah stuck dengan satu sisi masalah aja.” “Lagipula, menurut aku sayang aja kalau kamu melepas Naresh cuman karena satu pandangan menyakitkan itu lalu melupakan semua apa yang udah dia berikan sama kamu, salah satunya taruhan nyawa. Naresh kan sekarang sakit karena untuk ngelindungin kamu.”

Aisyah bukannya lega, tapi ia semakin memajukan bibirnya manyun.

”... Gimana Aisyah gak ragu coba kak...? Dia aja masih sempet-sempetnya pelukan sama cewek, mana di cium pipinya.”

OHOK! OHOK! Eliza langsung tersedak dengan suapan sushinya sendiri, “Ha-hah?! Buset itu cowok masih aja!”

“Makanya Aisyah langsung pundung, Kak Eliza...!”

“Siapa ceweknya?!”

“Ada mantan tunangannya...”

“NARESH SEMPET TUNANGAN?!”

“Sempet, tapi udah putus... malahan Aisyah juga gak tahu sebenarnya udah putus atau enggak, soalnya tadi masih bilang sayang sama Kak Naresh!”

Eliza cuman bisa geleng-geleng kepala speechless, Untung aja gue yang nemenin Aisyah galau, kalo Kak Haidar yang denger... duh, Res, Res... anak itik gini aja masih lo obrak-abrik hatinya.

“Udah deh, kamu makan aja yang banyak, Syah, mumpung aku traktir, gak usah di pikirin lah itu buaya, oke?”

Padahal gue mau nanya satu hal penting sama Aisyah... malahan kudu nemenin bocah galau, ya elah... ntar aja lah nanyanya sama Naresh aja langsung.

Aisyah tahu darimana ya gue mau ngelamar dia? Masa sih Bang Haidar cerita? Kayaknya dia bukan tipe orang yang bocor, tapi apapun itu memang seharusnya gue cepet gerak sih. Arif nyerah bukan berarti gak ada halangan lagi di depan.

Tok... tok...

Lamunan panjang Naresh langsung buyar begitu ia kedatangan tamu wanita cantik berambut panjang bergelombang. Senyuman manisnya itu yang sukses membius para kaum adam, justru membuat Naresh memasang wajah pasi karena muak dengan kehadirannya

“Udah saya bilang, jangan ganggu saya kenapa kamu masih bersikeras kesini sih?” desis laki-laki bersurai hitam itu sinis.

“Lho, kamu bilang gitu pas aku udah nyampe kesini. Kamu mau aku muter balik gitu?” jawab wanita pemilik nama Veronica Susanti itu enteng.

“Muter balik dan jangan pernah ada pikiran untuk kesini sama sekali, itu yang saya mau.”

“Oh kalo gitu aku menolak, aku udah beliin kamu cinnamon roll kesukaan kamu soalnya.”

Begitu wanita yang akrab dipanggil Vero itu meletakkan satu kantung kertas berisi cinnamon roll di atas laci meja berdiameter sekitar 800x396 mm. PATS! Naresh langsung menebas kantung itu hingga terjatuh ke lantai dengan tatapan tajamnya ke Vero.

“Saya gak butuh. Keluar kamu.”

Vero hanya tersenyum simpul miring, memungut kembali kantung kertas itu dan meletakkannya di atas mejanya.

Ekor matanya melirik ke arah gadis berkerudung di belakang pintu sana yang tengah mengintip kebersamaanya dengan Naresh.

Ide licik mulai terlintas di kepalanya...

SET! GREP! Tanpa permisi, Vero menarik tubuh Naresh dan memeluknya erat sambil sengaja menatap tajam ke arah gadis mungil di belakangnya yang hanya bisa membelelakkan kedua matanya bulat-bulat.

“Cepat sembuh ya, sayang...” tak lupa Vero memberikan jejak kecupan singkat di pipi Naresh hingga pria itu diam mematung kaget.

Gadis cantik di belakang pintu sana bersembunyi sambil meremas ujung pakaiannya pahit. Dadanya terasa di rujam oleh seribu tombak, air matanya tertahan di ujung ekor netra cantiknya dan ia memutuskan untuk pergi dari situ agar luka tak semakin dalam di benaknya.

“Aisyah?” Langkah Aisyah di tahan Eliza yang baru saja sampai di lobi rumah sakit, “Kamu mau kemana? Naresh ada di atas?”

Aisyah menundukkan kepalanya muram.

“Syah?”

Bukannya menjawab, malahan gadis itu menangis terisak-isak di hadapan Eliza bahkan Aisyah menjatuhkan wajahnya itu di bahu bidang Eliza, membiarkan air matanya membasahi jas putih milik Eliza.

Lah... bau-baunya abis patah hati nih bocah...

“Aisyah, mau makan diluar gak? Biar kakak yang traktir.”

Aisyah mengangguk samar dan masih terus menangis di bahu Eliza.

“Yaudah ayo, kita makan yang enak ya malam ini.”

Aisyah tahu darimana ya gue mau ngelamar dia? Masa sih Bang Haidar cerita? Kayaknya dia bukan tipe orang yang bocor, tapi apapun itu memang seharusnya gue cepet gerak sih. Arif nyerah bukan berarti gak ada halangan lagi di depan.

Tok... tok...

Lamunan panjang Naresh langsumg buyar begitu ia kedatangan tamu wanita cantik berambut panjang bergelombang. Senyuman manisnya itu yang sukses membius para kaum adam, justru membuat Naresh memasang wajah pasi karena muak dengan kehadirannya

“Udah saya bilang, jangan ganggu saya kenapa kamu masih bersikeras kesini sih?” desis laki-laki bersurai hitam itu sinis.

“Lho, kamu bilang gitu pas aku udah nyampe kesini. Kamu mau aku muter balik gitu?” jawab wanita pemilik nama Veronica Susanti itu enteng.

“Muter balik dan jangan pernah ada pikiran untuk kesini sama sekali, itu yang saya mau.”

“Oh kalo gitu aku menolak, aku udah beliin kamu cinnamon roll kesukaan kamu soalnya.”

Begitu wanita yang akrab dipanggil Vero itu meletakkan satu kantung kertas berisi cinnamon roll di atas laci meja berdiameter sekitar 800x396 mm. PATS! Naresh langsung menebas kantung itu hingga terjatuh ke lantai dengan tatapan tajamnya ke Vero.

“Saya gak butuh. Keluar kamu.”

Vero hanya tersenyum simpul miring, memungut kembali kantung kertas itu dan meletakkannya di atas mejanya.

Ekor matanya melirik ke arah gadis berkerudung di belakang pintu sana yang tengah mengintip kebersamaanya dengan Naresh.

Ide licik mulai terlintas di kepalanya...

SET! GREP! Tanpa permisi, Vero menarik tubuh Naresh dan memeluknya erat sambil sengaja menatap tajam ke arah gadis mungil di belakangnya yang hanya bisa membelelakkan kedua matanya bulat-bulat.

“Cepat sembuh ya, sayang...” tak lupa Vero memberikan jejak kecupan singkat di pipi Naresh hingga pria itu diam mematung kaget.

Gadis cantik di belakang pintu sana bersembunyi sambil meremas ujung pakaiannya pahit. Dadanya terasa di rujam oleh seribu tombak, air matanya tertahan di ujung ekor netra cantiknya dan ia memutuskan untuk pergi dari situ agar luka tak semakin dalam di benaknya.

“Aisyah?” Langkah Aisyah di tahan Eliza yang baru saja sampai di lobi rumah sakit, “Kamu mau kemana? Naresh ada di atas?”

Aisyah menundukkan kepalanya muram.

“Syah?”

Bukannya menjawab, malahan gadis itu menangis terisak-isak di hadapan Eliza bahkan Aisyah menjatuhkan wajahnya itu di bahu bidang Eliza, membiarkan air matanya membasahi jas putih milik Eliza.

Lah... bau-baunya abis patah hati nih bocah...

“Aisyah, mau makan diluar gak? Biar kakak yang traktir.”

Aisyah mengangguk samar dan masih terus menangis di bahu Eliza.

“Yaudah ayo, kita makan yang enak ya malam ini.”

“Aisyah,”

“Ya?”

“Saya laper.”

Jovian mendecih remeh begitu melihat wajah manja Naresh di hadapan gadis muda yang sedang telaten mencampur aduk bubur plain yang di campur sop ayam bening.

“Bisa-bisanya lo curi kesempatan ya, Res, pas lo sakit gini,” sindir Jovian geleng-geleng.

“Apa sih? Aisyah kan perawat jadi dia harus ikutin apa kata pasien.”

“Aisyah lagi off bro, masih aja mau nyangkal lo ah.”

Naresh hanya mendengus jengkel dan memfokuskan lagi dirinya untuk melahap satu suap dari Aisyah.

“Ack! Masih panas supnya...” lirih Naresh manja.

“Oh iya di dinginin sebentar ya,” Aisyah mengayunkan pelan satu sendok buburnya itu hingga uap yang di atasnya berhenti mengebul. Naresh mengulum senyum manisnya lebar, bagaimana tidak? Ia sangat bahagia begitu wanita kasihnya dengan setia mendampinginya seperti saat ini.

CKREK!!

Ketiganya sontak menoleh ke arah pintu masuk dan mendapati sosok wanita cantik berambut lurus jatuh itu tengah menjepret kebersamaan Naresh dan Aisyah.

“Wah, asik banget nih jadi laporan tambahan buat Kak Haidar.”

Eliza tertawa remeh.

“Gimana kondisi lu, Res? Udah jauh lebih baik kan?” Eliza mulai mengambil beberapa peralatannya seperti buku dan alat perekam suara sebagai dokumentasi pekerjaannya, “Gue mau minta keterangan kesaksian lo selama di TKP, dari awal kejadian sampai terakhir kali yang lo inget.”

Naresh mendeham, “Buset dah pelan-pelan apa, gue gini-gini orang sakit, Liz.”

“Oh? Kelihatannya lo udah gak sakit kok? Kecuali tadi sih buat manja-manjaan sama Aisyah.”

Naresh skakmat dan netranya menghindari kontak dari Aisyah.

“Eliza?”

Eliza mendelik begitu suara bariton di belakangnya itu menyebut namanya.

“Ah, gue ampe gak sadar ada orang lain disini,” Eliza tersenyum penuh arti.

Jovian dengan senyum sapanya mengulurkan tangannya ke Eliza, “Lama gak jumpa, ya, gue denger lo jadi detektif di kepolisian pusat. Keren.”

Wanita itu menghempas senyum kecilnya dan maju dua langkah dari tempatnya mendekati Jovian.

“Iya ya, lama gak jumpa...”

SET, PLAAKKKK!!!!

Naresh dan Aisyah langsung terkesiap begitu menyaksikan satu tamparan keras yang melayang tepat di pipi Jovian hingga pria itu jatuh terpental.

”... Cowok brengsek.”

Aisyah yang hendak menolong Jovian langsung terhentak ke belakang karena tarikan Eliza, lalu Eliza tak segan-segan menarik kerah baju Jovian dan memberikan tatapan membunuh terhadap pria yang pernah merusak masa depan sahabatnya itu.

“Sangat di sayangkan dalam negeri kita yang tercinta ini, kita harus kedatangan laki-laki sampah yang berhasil merenggut masa depan orang, tapi dia dengan sangat tidak tahu diri masih aja berkeliaran bak anjing liar tanpa perasaan dosa sedikit pun...” Eliza lagi-lagi mendekatkan wajahnya ke Jovian, “Lo... harus bayar semua perbuatan lo, Jovian...”

Aisyah dan Naresh diam mematung karena tak mengerti situasi mencekam antara Jovian dan Eliza, “Eliza! Lo apa-apaan sih ngehajar orang gak salah kayak gitu?!” Naresh menyahut.

“Apa? Orang gak bersalah?” Eliza menghentak kepala Jovian hingga terbentur ke lantai dan berjalan gagah menuju Naresh, “Lo gak tahu apa yang diperbuat sama Jovian selama ini?”

“A-Apa?!”

Eliza mendekati telinga Naresh, “Lo gak tahu ya... sahabat lo ini... kabur keluar negeri karena habis ngehamilin cewek?”

Mata Naresh membulat sempurna dan Aisyah yang tak mendengar kalimat itu hanya bisa celingukan takut.

“Ngehamilin cewek? Lo gila, Liz! Siapa yang di hamilin Jovi?!”

Eliza tersenyum miring, “Lo gak heran dulu kenapa Jovian pergi keluar negeri itu barengan dengan berita hilangnya Angel?”

Naresh shock bukan main.

“Anak yang sekarang Angel besarkan penuh cinta itu... sangat disayangkan, harus memiliki seorang ayah biologis yang brengsek dan gak tahu malu seperti Jovian.”

Aisyah di izinkan oleh Dokter Arif untuk memasuki ruangan ICU dan mendampingi Naresh yang masih terlelap dengan tidur panjangnya. Gadis itu tak bisa menahan tangisannya yang sudah di ujung tanduk, satu bulirnya lolos dan terjatuh di punggung tangan pemuda yang masih belum bergerak.

“Kak Naresh...” lirih Aisyah dengan suara purau.

Aisyah duduk di samping Naresh dan terus menatap kedua mata Naresh yang masih terpejam rapat sehingga menampilkan bulu mata lentiknya. Ia berharap Naresh segera membuka matanya dan menyambut kehadirannya saat ini.

“Aisyah, kamu janji kan untuk selalu sama-sama dengan saya?”

“Itu janji kamu seumur hidup lho.”

“Iya, saya janji kok untuk selalu ada di saat kamu butuh, dan itu janji saya seumur hidup...”

Lagi-lagi air mata gadis itu mengalir deras hingga kepalanya menunduk di sisi ranjang. Isakkannya itu semakin kencang memenuhi satu ruangan, tak ada yang bisa mendengarnya disini selain Aisyah dan juga Naresh yang masih berada di ambang kesadarannya.

“Kak Naresh... bangun kak... bangun... kakak harus tepatin janji kakak... kakak udah janji sama Aisyah untuk selalu ada di saat Aisyah butuh kan?” “Aisyah butuh Kak Naresh juga di sisi Aisyah... gak cuman di saat genting tapi selamanya... Aisyah mau Kak Naresh selalu ada untuk Aisyah itu selamanya...”

Aisyah masih menangis terisak-isak disana.

PUK!

Aisyah sontak bangun begitu tangan besar kokoh yang di infus itu menepuk pelan pucuk kepalanya. Mata sayu pemuda itu tengah bersusah payah untuk terbuka dan melihat wajah cantik milik gadis kasihnya.

“Ka-Kak Naresh??!!” Aisyah langsung bangkit dari duduknya. Naresh lagi-lagi menarik tangannya pelan sambil menatap geli Aisyah dengan kekehan kecilnya.

“Se-Sebentar, Aisyah panggil dulu Dokter Arif, ya!”

Aisyah bergegas lari dari ruangan ICU untuk mencari keberadaan Dokter Arif.


“Alhamdulillah, kondisi Naresh udah jauh lebih membaik setelah bed rest total, sekarang tinggal tunggu kondisinya untuk lebih stabil lagi baru bisa di bawa ke ruangan biasa,” ucap Dokter Arif menghembus nafasnya lega, Aisyah ikut senang mendengarnya. Naresh menatap teduh gadis di sampingnya bahkan ia tak mau melepas sedikitpun pandangannya dari Aisyah.

Kehadiran Aisyah sekarang benar-benar menjadi kekuatan besar bagi Naresh untuk melawan sakitnya.

“U-Ukh...” begitu Naresh hendak bangun, tubuhnya mendelik kesakitan dan akhirnya berakhir jatuh lagi di atas ranjangnya.

“Kak Naresh! Aduh, jangan duduk dulu! Kakak harus terus istirahat baring kayak gini!”

Aisyah menyelimutkan kembali tubuh Naresh dan menepuk pelan balutan selimut yang menghangatkan pemuda itu di tengah dinginnya ruangan serba putih berbau alkohol itu. Aisyah hanya memberikan senyuman hangat lebarnya kepads Naresh sehingga kedua netranya itu menyipit.

Aisyah... saya dengar semuanya yang kamu katakan tadi sama saya... Apa perlu... kita benar-benar mendeklarasikan kebersamaan kita secara resmi, Syah?

“Res, lo pernah gak sih merasakan jatuh cinta yang bikin lo tuh kayak mau ngorbanin segalanya untuk orang yang lo cintai itu?”

Naresh muda, tepatnya ketika berusia 20 tahun hanya tertawa terbahak-bahak mendengar kalimat itu keluar dari Arif pada masa kuliahnya dan pemuda itu hanya menertawakan remeh ungkapan kawannya itu.

“Hari gini masih percaya cinta dan pengorbanan?” “Kalo memang itu ada dan terjadi di kehidupan gue, gue gak akan sekedar ngorbanin materi tapi bahkan nyawa sekalipun gue korbanin buat cewek itu.”

Di ambang kesadarannya yang mulai melemah, bayang-bayang masa mudanya yang pernah mengutarakan kalimat itu kembali di putarkan memori dalam ingatannya. Kalau di ingat-ingat, tubuh Naresh tiba-tiba bergerak sendiri untuk menjadi tameng dari tikaman pisau Leon yang di targetkan kepada Aisyah.

Inikah... pengorbanan yang dulu ia tertawakan?

“Dok, detak jantungnya sudah mulai melemah.”

“Tolong pisau bedahnya, sus. Sedikit lagi selesai.”

“Dok, Dok!”

Suara bising itu kian menjauh dari pendengarannya dan Naresh kembali tenggelam dengan tidurnya lebih lama...


Aisyah tak berhenti mendoakan atas kesembuhan Naresh yang saat ini sedang di tindak operasi oleh Dokter Arif. Air matanya terus bercucuran tanpa henti, hatinya terasa di cobak-cabik sampai sesak mendominasi dadanya.

“Ya Allah... maafin Aisyah kalau masih banyak buat dosa, kalau Aisyah masih suka nyusahin orang sekitar... hamba mohon, Ya Allah... sembuhkan Kak Naresh... berikanlah keajaiban-Mu untuk kesembuhan Kak Naresh, Ya Allah...”

Anela dan Angel yang turut mendampingi Aisyah disana ikut berdoa untuk kebaikan Naresh.

“Kak... ini salah Aisyah yang ceroboh, kalo aja Aisyah biarin hape Aisyah di toilet dan gak ke dalem...”

“Udah, Syah, kamu gak salah... Naresh yang memang ingin menyelamatkan kamu...”

“Tapi kalo aja aku gak pergi ke dalam lagi, Kak Naresh gak akan jadi korbannya...”

“Enggak sayang, udah ya, sini, sini...”

DRAK!!, Dokter Arif keluar dari ruangan operasi dan segera melepas masker bedahnya dengan menderu nafas kasar.

“Do-Dokter, gimana keadaannya Dokter Naresh?!” decak Aisyah sesegukan.

“Tenang dulu ya, biar saya jelaskan semuanya. Pisau yang menancap perut Nares lumayan cukup dalam dan hampir mengenai organ vitalnya, Naresh juga sempat mengalami pendarahan yang cukup banyak jadi kondisinya saat ini masih belum stabil meskipun operasinya berjalan lancar.” “Sementara waktu Naresh di rawat dulu di ruangan ICU untuk terus mendapatkan perawatan intensif sampai dia benar-benar pulih.”

Lutut Aisyah seketika lemas hingga rubuh ke lantai. Tangisannya semakin menjadi-jadi dan Anela memeluk erat tubuh ringkuh adik iparnya, begitu Dokter Arif pergi melewati gadis itu, ia menoleh sedikit dan memandangi Aisyah dari jauh dengan tatapan nanarnya...

Ternyata... perihal mencintai dan pengorbanan, gue masih kalah jauh sama Naresh... Kalo gue terus mengharapkan hati Aisyah untuk gue, bukankah itu yang namanya tidak tahu diri?

Dokter Arif hanya bisa melangkah pergi bersama hati yang pada akhirnya harus ia tutup rapat-rapat.

Aisyah dengan langkah canggungnya memasuki lobi rumah sakit dan membuat rekan-rekan nersnya itu terkejut bukan main dengan penampilan Aisyah sekarang.

“Syah...? Kamu mau kemana?” sontak Juwita tercengang.

“Aisyah... kamu cantik banget, mau kemana?” imbuh Mbak Shinta tak kalah melongo, di ikuti Brian yang ikut menganga terpukau dengan pesona Aisyah.

Tak lama kehadiran Aisyah disana, sosok Naresh dengan jas merah maroon dan kemeja hitam di dalamnya hadir di belakang Aisyah bersama Bu Winda, pesona Naresh tak kalah mengguncangkan hati rekan-rekan ners di sana. Perpaduan Naresh dengan Aisyah yang bak pasangan serasi dari kisah dongeng itu membuat mereka tak berhenti mendecak kagum.

“Duh, Dokter, kenapa janjiannya di rumah sakit segala sih? Kenapa gak di tempat lain aja, kan saya malu di lihatin gini...” keluh Aisyah.

“Kalo saya jemput kamu ke rumah berlawanan arah dan jauh, lagipula kenapa kamu harus malu? Saya aja cuek pake jas kayak gini di lihatin banyak orang,” jawab Naresh, “Dan hari ini kamu tampil cantik, apa yang harus di permasalahkan?”

Wajah Aisyah langsung memerah padam mendengar kalimat pujian itu terlontar dari bibir Naresh.

“Ish... Dokter mah sempet-sempetnya...”

Naresh hanya menghempas senyum miring, ia lanjut mendorong kursi roda Bu Winda dan menuntun Bu Winda ke dalam mobil ambulans.

“Kita kesana pake ambulans sesuai prosedur medis. Nanti pulangnya juga pake mobil ambulans,” ujar Naresh, dan Aisyah mengangguk paham sambil terus memeriksa isi oksigen yang Bu Winda pakai dan berbagai alat medis lainnya. Memastikan semuanya aman agar perjalanan Bu Winda tidak ada kendala sedikitpun.

“Bu Winda... kalau ada yang kurang nyaman atau apa bilang aja sama Aisyah ya? Karena kita harus mengikuti prosedur medis yang sudah di arahkan Dokter Arif.”

Bu Winda tersenyum lembut, “Iya, terima kasih ya nak... untung aja Ibu bisa ketemu suster yang baik hati, penyabar dan berjiwa besar seperti kamu... terima kasih banyak ya nak sudah mau bantu Ibu untuk mewujudkan keinginan Ibu...” “Ibu janji ini permohonan terakhir Ibu, setelah itu Ibu gak nakal lagi kalo disuruh terapi, atau minum obat... Serius deh...”

Aisyah terkekeh, lalu jari kelingking Bu Winda mengacung dan dibalas Aisyah dengan kaitan jari kelingking mungilnya sambil terkekeh geli bersama.

Kalo gak salah, si Arif bilang pasien 446 ini pasien yang problematic kan? Memang Aisyah itu wanita yang unik dan penuh kejutan. Mustahil kalo semua orang gak sayang dengan anak ini.


Aisyah dan Naresh membawa Bu Winda ke dalam ruangan resepsi yang sudah di penuhi oleh banyak orang. Wanita paruh baya itu seketika mencoba berdiri dari tempatnya, namun dengan cekatan Naresh menahan tubuh ringkuh Bu Winda agar tetap duduk di kursi rodanya.

“Kita lihat dari sini ya, Bu...” bisik Naresh lembut, lalu Bu Winda hanya bisa menghela nafasnya pasrah dan membiarkan dokter muda di belakangnya itu menuntun kursi rodanya pergi sesuai arahannya sendiri.

“Ah, itu pengantinnya kan? Mbak Laras cantik banget ya pake baju adat Jawa gitu!” decak Aisyah sambil menunjuk sepasang kekasih yang sudah saling mengikat janji sah itu dan kini tengah berdiri di pelaminan menyambut tamu-tamu yang berdatangan, hati Bu Winda seketika terenyuh melihat anak gadisnya itu di balut dengan gaun pernikahan adat Jawanya yang begitu cantik dan anggun.

“Laras anakku...” ucap Bu Winda dengan tatapan sendunya, Naresh langsung membawa Bu Winda menuju bawah pelaminan putrinya, dan begitu sepasang ibu-anak itu saling bertukar tatapan, satu tetes air mata seketika lolos dari pelupuk mata keduanya deras.

“Ibu...?”

“Laras....”

“Ibuu...!!!”

Wanita pemilik nama Laras itu langsung berlari menuju bawah pelaminan, menghampiri tempat Ibunya yang tak bisa menjangkau putrinya di atas pelaminan sana, Laras memeluk erat tubuh Ibunya yang sudah lama tak ia jumpai.

“Ibu kangen sama anak gadis Ibu, Laras... Ibu mau lihat Laras pakai baju pengantin...”

“Ya ampun, Ibu... Setelah ini Laras sama Mas Dimas mau jenguk Ibu di rumah sakit... Kok Ibu bisa kesini?”

Bu Winda menunjukkan telapak tangannya kearah dua insan yang jauh ada di belakangnya, “Ibu di bantu sama dua orang baik disana, yang satu itu namanya Aisyah, dia perawat yang sangat baik dan penyabar, kalo yang satu itu dokter temennya Dokter Arif... pacarnya Aisyah.”

Laras hanya menjawab oh ria sambil terus memasang wajah senyum suka citanya setelah bertemu sang Ibunda.

Dari kejauhan sana, Aisyah dan Naresh ikut terhenyak dengan suasana haru antara Bu Winda dengan putrinya, Laras. Meskipun sang Ibunda hanya bisa datang sebagai tamu resepsi, tapi bisa terlihat jelas bahwa Bu Winda sangat bahagia dengan momen hari ini.

“Alhamdulillah ya, Dok, meskipun Bu Winda hanya bisa menghadiri pernikahan anaknya sebagai tamu resepsi tapi bisa terlihat sangat jelas bahwa Bu Winda bahagia sekali bisa bertemu anaknya, Mbak Laras juga ternyata lebih ramah daripada kemarin waktu saya telepon,” kata Aisyah sambil menghayati momen haru antara Bu Winda dengan Laras disana.

Naresh ikut tersenyum teduh, “Iya, mereka sedang sama-sama bahagia, Syah.”

Tak lama mereka bercakap singkat, sosok Laras dengan balutan gaun pengantinnya menghampiri kedua insan itu dengan hati-hati.

“Saya ingin mengucapkan terima kasih banyak sudah mendampingi Ibu saya sampai mau repot-repot kesini, mohon maaf kalau sebelumnya... saya sempat tidak sopan dengan Mbak Aisyah...”

“Ah, iya, gapapa Mbak Laras... saya paham kok, syukurlah kalau Mbak Laras senang dengan kehadiran Bu Winda disini...”

Laras tersenyum simpul, “Iya... pada hari itu, memang saya... agak sedikit gegabah dengan Ibu saya. Saya terlalu mengikuti emosi sampai berani memusuhi Ibu saya berbulan-bulan, tapi begitu malamnya sebelum saya menikah... tiba-tiba hati saya sakit sekali karena tak ada Ibu di sisi saya. Saya malu untuk menelpon Ibu duluan, jadi saya berencana mau jenguk Ibu dengan suami saya ke rumah sakit setelah resepsi selesai tapi ternyata Ibu datang kesini duluan dengan Mbak dan Masnya...”

Keduanya hanya mengangguk sopan dan mengulum senyum tipisnya sambil membalas jabat tangan Laras.

“Ah iya, kalau begitu... ini saya berikan buket bunganya khusus untuk Mbak Aisyah dan mas pacarnya, semoga kalian cepet nyusul yah!”

Senyuman mereka seketika pudar dan berubah menjadi wajah canggung satu sama lain.


Tak terasa jarum jam sudah menunjukkan angka setengah 7, dan acara resepsi pernikahan Laras sudah hampir selesai. Aisyah dan Naresh menghabiskan waktu kurang lebih 2 jam setengah dengan perasaan canggung yang luar biasa, mereka tak bisa saling menikmati acara kondangan seperti biasanya, seolah ada pikiran lain yang mengganggu keduanya.

Bisa-bisanya kita dikira pasangan sama Mbak Laras, emang gue lengket banget apa gimana sih sama Kak Naresh? Duh jadi canggung gini deh. — Aisyah

Duh gimana cara ngomongnya ya soal Arif? Dari tadi gue pengen ngomongin soal itu sama Aisyah tapi... kalo terus di situasi kayak gini mana bisa? Masa sih harus lewat chat? Kalau ngomongin soal itu di rumah sakit, kesannya gue gak profesional banget. — Naresh

Mereka hanya kalut dengan pikirannya masing-masing dalam bisu.

DRRT...DRRRT

Ponsel Naresh bergetar menandakan alarm pulang.

“Maaf, Bu Winda, sudah waktunya pulang...” Naresh mencolek bahu Bu Winda yang masih asyik berbincang dengan keluarganya, sekelibat ekspresi wajah Bu Winda langsung kecewa namun tak ada pilihan lagi selain menuruti perkataan sang dokter yang kini bertanggung jawab atas keselamatannya.

15 menit setelah Naresh menghubungi pihak rumah sakit, tak lama mobil ambulansnya mendarat di depan gedung serbaguna yang menjadi lokasi pernikahan Laras itu. Bu Winda melambaikan tangan ke arah anaknya, namun begitu Naresh hendak menutup pintunya, Aisyah cepat menahan tangan kokoh itu agar membiarkan dirinya keluar sebentar.

“Hape saya ketinggalan di toilet, Dok! Saya ambil dulu, kalo mau duluan ya duluan aja biar saya hubungi kakak saya untuk jemput!” sergah Aisyah.

“Lah kamu gimana sih? Bisa-bisanya barang sepenting itu ketinggalan!” decak Naresh kesal.

“Makanya duluan aja, Dok, nanti saya pulangnya sama Bang Haidar kok!”

Tanpa ba-bi-bu lagi, Aisyah langsung turun dari mobil ambulans dan berlari cepat menuju dalam gedung untuk mengambil barang pentingnya yang tertinggal di toilet. Lokasi gedung depan menuju toilet cukup jauh, perlu tenaga ektra untuk lari sampai kesana. kalau bukan karena ponselnya itu, Aisyah juga ogah bersusah payah seperti ini.

“Hah... untung aja masih ada nih hapenya, langsung aja telpon Bang Haidar ah—”

*GREP!!!

Tiba-tiba ada yang membekap mulut Aisyah dari belakang hingga gadis itu kelimpungan membebaskan dirinya, namun sayang tenaga orang di belakangnya itu jauh lebih kuat dari gadis malang itu.

Begitu Aisyah sukses membebaskan mulutnya itu...

“KYAAAAAAAAAA!!!”

Dari luar sana, Naresh bisa mendengar jelas jeritan yang ada di dalam gedung tersebut. Pada akhirnya, Naresh juga ikut turun dari ambulans menyusul Aisyah dan membiarkan Bu Winda itu pergi bersama mobilnya agar cepat di tempatkan pada kamarnya. Untung saja mobil ambulans itu berangkat bersama dokter IGD yang ikut bertanggung jawab atas keselamatan pasiennya itu.

Naresh langsung tergopoh-gopoh lari ke dalam gedung, menyahut nama Aisyah berkali-kali dan mencari sosok gadis berbalut gaun pink pastel yang seharusnya sudah kembali dari urusannya.

“Aisyah!!! Kamu lagi apa—”

Mata Naresh melotot begitu melihat Aisyah gemetaran di sudut ruangan sambil menggenggam erat dompet berliannya itu, dan di hadapannya ada sosok pria yang di tutup masker hitam tengah tersungkur kesakitan karena hantaman hebat di kepalanya yang tentunya itu berasal dari jurus pukulan maut Aisyah.

“AISYAH!!”

Aisyah mendongak lalu cepat ia lari menyusul Naresh, namun sayangnya pria bermasker itu lebih cekatan dan menarik paksa tangan Aisyah hingga gadis itu terjatuh di dekatnya.

“Aisyah... kok kamu gitu sih sama aku... kamu lupa ya kalo kamu itu milik aku, Syah?”

Naresh geram melihat wanita kasihnya itu jatuh kesakitan, pemuda itu langsung menendang jauh wajah pria itu hingga kepalanya terpental membentur pintu toilet.

“Kyaaa!” jerit Aisyah kaget.

“JANGAN SENTUH CEWEK GUA ANJING!!!” gertak Naresh dengan darah yang meletup-letup di ubun-ubunnya.

Aisyah kaget dengan amukan Naresh barusan, umpatannya itu tak pernah ia duga akan keluar dari sosok dokter muda yang ia kenal sangat menjunjung tinggi sopan santun.

Pria bermasker itu berusaha bangkit, lalu ia melepas masker yang mengganggu saluran nafasnya...

“Le-Leon?!” Naresh dan Aisyah shock bukan main dengan sosok pria yang baru saja membahayakan nyawa Aisyah.

“Ah... gimana nih, bukannya menyakiti pasien itu melanggar etika dokter ya, Dokter Naresh yang terhormat...?”

Senyuman psycho yang dimiliki pria bersurai coklat terang itu membuat Aisyah bergedik ngeri, ia tak menyangka bahwa sosok Leon yang dulunya adalah pasien yang ia layani itu berubah menjadi monster menyeramkan yang hendak menculiknya barusan.

“Leon, jangan sentuh Aisyah!!!” gertak Naresh sekali lagi.

“Saya gak akan sentuh Aisyah kok...”

SYUT!!

Leon menampilkan pisau lipatnya di hadapan Naresh, “Gimana kalo kita main-main sebentar...” mata Leon beralih ke arah sampingnya, “...Aisyah sayang?”

Mata Naresh terbelelak lebar setelah Leon melayangkan pisaunya ke arah Aisyah cepat...

GREP!! CRRTTT!!!

“AAAAAKKKKK!!!!!”

Tes... tes...

Darah segar mengalir deras dari pisau yang menancap dalam ke perut sebelah kanan Naresh. Tubuh pemuda itu langsung rubuh di pangkuan Aisyah bahkan malangnya Naresh langsung terkulai memejam matanya tak sadarkan diri.

“DOK?! DOKTER NARESH??!! ASTAGFIRULLAH HAL ADZIM!!!”

Tak ada garis penyesalan sedikitpun yang tergambar di wajah Leon, dan parahnya, ternyata Leon punya satu pisau lipatnya lagi untuk menargetkan sasaran utamanya yakni Aisyah.

“Aisyah pilih... Aisyah mau ikut nyusul Dokter Naresh atau ikut aku—”

DUAAKKKK!!!!!

Layangan kaki sosok pria berparas eksotis tiba-tiba mendarat ke pipi Leon hingga tubuhnya terpental jauh hingga ke ujung ruangan.

“A-ABANG?!” Aisyah memekik lagi, sosok Haidar dan Adit di belakangnya langsung menghampiri Naresh yang sudah tak sadarkan diri bersama aliran darah yang sejak tadi tak berhenti mengalir deras.

“Dit, gua udah panggil ambulans, sebentar lagi dateng jadi tolong bawa Naresh sama Aisyah keluar dulu, sekalian hubungin polisi terdekat untuk dateng kesini...” “... sebelum cecunguk ini beneran mati di tangan gue...” kecam Haidar dengan tatapan tajamnya yang membunuh kedua netra Leon.

Haidar mengambil pisau lipatnya yang sempat mengacung ke hadapan adik kesayangannya itu lalu melemparnya jauh-jauh hingga keluar ruangan toilet itu.

“Kamu siapanya Aisyah?”

“Aisyah itu punya gua—”

BUAKK!! Haidar mendaratkan lagi kepalan tinjunya hingga Leon tersungkur dan batuk mengeluarkan darah dari kerongkongannya.

“Kamu pikir adik saya barang, HAH??!!!”

Haidar benar-benar murka dengan peristiwa hari ini yang menimpa Aisyah, belum lagi Naresh menjadi korban jiwa karena kebengisan Leon, pemuda itu hanya mati rasa dengan pukulan Haidar yang barusan mendarat di pipinya.

“Mau lo bunuh gua disini pun... Aisyah tetap punya gua—”

“Kamu bosen hidup ya?”

“JUSTRU LO YANG NYARI MATI SAMA GUA BANGSAT—”

DOR!!

Leon sontak bangkit begitu melihat wanita berjas hitam yang kini mengacung pistolnya ke arah wajahnya mantap. Wanita itu sengaja menarik pistolnya ke atap sebagai peringatan pertama.

“Leon Adhiaksa Jaya, anda resmi kami tangkap terkait kasus percobaan penculikan dan pembunuhan dengan senjata tajam sehingga menimbulkan jatuhnya korban jiwa.” “Kurang lebih sih sanksinya bisa 15 tahun penjara, tapi kita bisa lihat nanti di pengadilan. Siapa tahu bisa nambah.”

Kalian masih ingat Eliza kan?

“Kak Haidar, coba mundur dulu ke belakang, biar aku yang urus bocah sialan satu ini,” Eliza cepat menancapkan pistolnya itu dalam keadaan ngambang di bawah tengkuk Leon, “Ah... bagaimana bisa ya anak tunggal dari direktur perusahaan tekstil terbesar satu Surabaya ini bisa jadi pelaku kriminal hanya karena satu perempuan? Bodoh gak sih? Bodoh banget ya?” Eliza mendekat ke telinganya, “Dan salahnya, kamu mengusik orang yang salah, nak... kamu bener-bener nyari mati karena udah berani nyentuh Aisyah.”

Eliza mentiarap kuat-kuat tangan Leon kebawah dan memborgol kedua tangannya hingga terkunci sempurna, “SIGIT! EZRA! CEPET BANTU GUE BAWA CURUT INI MASUK KE MOBIL!! GUE BELUM PUAS NYIKSA INI ANAK SATU!!!”

Kedua pria berseragam coklat itu bergegas menarik tubuh Leon dan membawanya ke dalam mobil sesuai perintah Eliza sebagai pimpinan detektif polisi wanita.

“Kamu serius mau siksa anak itu, Liz?” Haidar mengernyit dahi.

“Pengennya sih gitu, ah tapi kasihan deh, anak manja gitu di geplak sekali ntar langsung gegar otak,” balas Eliza sambil tertawa renyah, “Ah iya, Aisyah mana? Udah di bawa pulang ya? Soalnya aku mau minta keterangannya dulu.”

“Aisyah... kayaknya tadi dia pergi duluan ikut ambulans.”

Aisyah di dalam ambulansnya, gadis itu meraung-raung menangisi tubuh Naresh yang tersungkur lemah dan tak sadarkan diri akibat kelalaiannya. Aisyah tentu menyalahkan dirinya atas peristiwa ini, situasi yang membahayakannya seketika menjadi malapetaka pula bagi orang sekitarnya...

Dan kenapa harus Naresh yang terkena malapetaka itu...?

“Dok... bangun, Dok... maafin Aisyah...”