Aisyah dengan langkah canggungnya memasuki lobi rumah sakit dan membuat rekan-rekan nersnya itu terkejut bukan main dengan penampilan Aisyah sekarang.
“Syah...? Kamu mau kemana?” sontak Juwita tercengang.
“Aisyah... kamu cantik banget, mau kemana?” imbuh Mbak Shinta tak kalah melongo, di ikuti Brian yang ikut menganga terpukau dengan pesona Aisyah.
Tak lama kehadiran Aisyah disana, sosok Naresh dengan jas merah maroon dan kemeja hitam di dalamnya hadir di belakang Aisyah bersama Bu Winda, pesona Naresh tak kalah mengguncangkan hati rekan-rekan ners di sana. Perpaduan Naresh dengan Aisyah yang bak pasangan serasi dari kisah dongeng itu membuat mereka tak berhenti mendecak kagum.
“Duh, Dokter, kenapa janjiannya di rumah sakit segala sih? Kenapa gak di tempat lain aja, kan saya malu di lihatin gini...” keluh Aisyah.
“Kalo saya jemput kamu ke rumah berlawanan arah dan jauh, lagipula kenapa kamu harus malu? Saya aja cuek pake jas kayak gini di lihatin banyak orang,” jawab Naresh, “Dan hari ini kamu tampil cantik, apa yang harus di permasalahkan?”
Wajah Aisyah langsung memerah padam mendengar kalimat pujian itu terlontar dari bibir Naresh.
“Ish... Dokter mah sempet-sempetnya...”
Naresh hanya menghempas senyum miring, ia lanjut mendorong kursi roda Bu Winda dan menuntun Bu Winda ke dalam mobil ambulans.
“Kita kesana pake ambulans sesuai prosedur medis. Nanti pulangnya juga pake mobil ambulans,” ujar Naresh, dan Aisyah mengangguk paham sambil terus memeriksa isi oksigen yang Bu Winda pakai dan berbagai alat medis lainnya. Memastikan semuanya aman agar perjalanan Bu Winda tidak ada kendala sedikitpun.
“Bu Winda... kalau ada yang kurang nyaman atau apa bilang aja sama Aisyah ya? Karena kita harus mengikuti prosedur medis yang sudah di arahkan Dokter Arif.”
Bu Winda tersenyum lembut, “Iya, terima kasih ya nak... untung aja Ibu bisa ketemu suster yang baik hati, penyabar dan berjiwa besar seperti kamu... terima kasih banyak ya nak sudah mau bantu Ibu untuk mewujudkan keinginan Ibu...”
“Ibu janji ini permohonan terakhir Ibu, setelah itu Ibu gak nakal lagi kalo disuruh terapi, atau minum obat... Serius deh...”
Aisyah terkekeh, lalu jari kelingking Bu Winda mengacung dan dibalas Aisyah dengan kaitan jari kelingking mungilnya sambil terkekeh geli bersama.
Kalo gak salah, si Arif bilang pasien 446 ini pasien yang problematic kan? Memang Aisyah itu wanita yang unik dan penuh kejutan. Mustahil kalo semua orang gak sayang dengan anak ini.
Aisyah dan Naresh membawa Bu Winda ke dalam ruangan resepsi yang sudah di penuhi oleh banyak orang. Wanita paruh baya itu seketika mencoba berdiri dari tempatnya, namun dengan cekatan Naresh menahan tubuh ringkuh Bu Winda agar tetap duduk di kursi rodanya.
“Kita lihat dari sini ya, Bu...” bisik Naresh lembut, lalu Bu Winda hanya bisa menghela nafasnya pasrah dan membiarkan dokter muda di belakangnya itu menuntun kursi rodanya pergi sesuai arahannya sendiri.
“Ah, itu pengantinnya kan? Mbak Laras cantik banget ya pake baju adat Jawa gitu!” decak Aisyah sambil menunjuk sepasang kekasih yang sudah saling mengikat janji sah itu dan kini tengah berdiri di pelaminan menyambut tamu-tamu yang berdatangan, hati Bu Winda seketika terenyuh melihat anak gadisnya itu di balut dengan gaun pernikahan adat Jawanya yang begitu cantik dan anggun.
“Laras anakku...” ucap Bu Winda dengan tatapan sendunya, Naresh langsung membawa Bu Winda menuju bawah pelaminan putrinya, dan begitu sepasang ibu-anak itu saling bertukar tatapan, satu tetes air mata seketika lolos dari pelupuk mata keduanya deras.
“Ibu...?”
“Laras....”
“Ibuu...!!!”
Wanita pemilik nama Laras itu langsung berlari menuju bawah pelaminan, menghampiri tempat Ibunya yang tak bisa menjangkau putrinya di atas pelaminan sana, Laras memeluk erat tubuh Ibunya yang sudah lama tak ia jumpai.
“Ibu kangen sama anak gadis Ibu, Laras... Ibu mau lihat Laras pakai baju pengantin...”
“Ya ampun, Ibu... Setelah ini Laras sama Mas Dimas mau jenguk Ibu di rumah sakit... Kok Ibu bisa kesini?”
Bu Winda menunjukkan telapak tangannya kearah dua insan yang jauh ada di belakangnya, “Ibu di bantu sama dua orang baik disana, yang satu itu namanya Aisyah, dia perawat yang sangat baik dan penyabar, kalo yang satu itu dokter temennya Dokter Arif... pacarnya Aisyah.”
Laras hanya menjawab oh ria sambil terus memasang wajah senyum suka citanya setelah bertemu sang Ibunda.
Dari kejauhan sana, Aisyah dan Naresh ikut terhenyak dengan suasana haru antara Bu Winda dengan putrinya, Laras. Meskipun sang Ibunda hanya bisa datang sebagai tamu resepsi, tapi bisa terlihat jelas bahwa Bu Winda sangat bahagia dengan momen hari ini.
“Alhamdulillah ya, Dok, meskipun Bu Winda hanya bisa menghadiri pernikahan anaknya sebagai tamu resepsi tapi bisa terlihat sangat jelas bahwa Bu Winda bahagia sekali bisa bertemu anaknya, Mbak Laras juga ternyata lebih ramah daripada kemarin waktu saya telepon,” kata Aisyah sambil menghayati momen haru antara Bu Winda dengan Laras disana.
Naresh ikut tersenyum teduh, “Iya, mereka sedang sama-sama bahagia, Syah.”
Tak lama mereka bercakap singkat, sosok Laras dengan balutan gaun pengantinnya menghampiri kedua insan itu dengan hati-hati.
“Saya ingin mengucapkan terima kasih banyak sudah mendampingi Ibu saya sampai mau repot-repot kesini, mohon maaf kalau sebelumnya... saya sempat tidak sopan dengan Mbak Aisyah...”
“Ah, iya, gapapa Mbak Laras... saya paham kok, syukurlah kalau Mbak Laras senang dengan kehadiran Bu Winda disini...”
Laras tersenyum simpul, “Iya... pada hari itu, memang saya... agak sedikit gegabah dengan Ibu saya. Saya terlalu mengikuti emosi sampai berani memusuhi Ibu saya berbulan-bulan, tapi begitu malamnya sebelum saya menikah... tiba-tiba hati saya sakit sekali karena tak ada Ibu di sisi saya. Saya malu untuk menelpon Ibu duluan, jadi saya berencana mau jenguk Ibu dengan suami saya ke rumah sakit setelah resepsi selesai tapi ternyata Ibu datang kesini duluan dengan Mbak dan Masnya...”
Keduanya hanya mengangguk sopan dan mengulum senyum tipisnya sambil membalas jabat tangan Laras.
“Ah iya, kalau begitu... ini saya berikan buket bunganya khusus untuk Mbak Aisyah dan mas pacarnya, semoga kalian cepet nyusul yah!”
Senyuman mereka seketika pudar dan berubah menjadi wajah canggung satu sama lain.
Tak terasa jarum jam sudah menunjukkan angka setengah 7, dan acara resepsi pernikahan Laras sudah hampir selesai. Aisyah dan Naresh menghabiskan waktu kurang lebih 2 jam setengah dengan perasaan canggung yang luar biasa, mereka tak bisa saling menikmati acara kondangan seperti biasanya, seolah ada pikiran lain yang mengganggu keduanya.
Bisa-bisanya kita dikira pasangan sama Mbak Laras, emang gue lengket banget apa gimana sih sama Kak Naresh? Duh jadi canggung gini deh. — Aisyah
Duh gimana cara ngomongnya ya soal Arif? Dari tadi gue pengen ngomongin soal itu sama Aisyah tapi... kalo terus di situasi kayak gini mana bisa? Masa sih harus lewat chat? Kalau ngomongin soal itu di rumah sakit, kesannya gue gak profesional banget. — Naresh
Mereka hanya kalut dengan pikirannya masing-masing dalam bisu.
DRRT...DRRRT
Ponsel Naresh bergetar menandakan alarm pulang.
“Maaf, Bu Winda, sudah waktunya pulang...” Naresh mencolek bahu Bu Winda yang masih asyik berbincang dengan keluarganya, sekelibat ekspresi wajah Bu Winda langsung kecewa namun tak ada pilihan lagi selain menuruti perkataan sang dokter yang kini bertanggung jawab atas keselamatannya.
15 menit setelah Naresh menghubungi pihak rumah sakit, tak lama mobil ambulansnya mendarat di depan gedung serbaguna yang menjadi lokasi pernikahan Laras itu. Bu Winda melambaikan tangan ke arah anaknya, namun begitu Naresh hendak menutup pintunya, Aisyah cepat menahan tangan kokoh itu agar membiarkan dirinya keluar sebentar.
“Hape saya ketinggalan di toilet, Dok! Saya ambil dulu, kalo mau duluan ya duluan aja biar saya hubungi kakak saya untuk jemput!” sergah Aisyah.
“Lah kamu gimana sih? Bisa-bisanya barang sepenting itu ketinggalan!” decak Naresh kesal.
“Makanya duluan aja, Dok, nanti saya pulangnya sama Bang Haidar kok!”
Tanpa ba-bi-bu lagi, Aisyah langsung turun dari mobil ambulans dan berlari cepat menuju dalam gedung untuk mengambil barang pentingnya yang tertinggal di toilet. Lokasi gedung depan menuju toilet cukup jauh, perlu tenaga ektra untuk lari sampai kesana. kalau bukan karena ponselnya itu, Aisyah juga ogah bersusah payah seperti ini.
“Hah... untung aja masih ada nih hapenya, langsung aja telpon Bang Haidar ah—”
*GREP!!!“
Tiba-tiba ada yang membekap mulut Aisyah dari belakang hingga gadis itu kelimpungan membebaskan dirinya, namun sayang tenaga orang di belakangnya itu jauh lebih kuat dari gadis malang itu.
Begitu Aisyah sukses membebaskan mulutnya itu...
“KYAAAAAAAAAA!!!”
Dari luar sana, Naresh bisa mendengar jelas jeritan yang ada di dalam gedung tersebut. Pada akhirnya, Naresh juga ikut turun dari ambulans menyusul Aisyah dan membiarkan Bu Winda itu pergi bersama mobilnya agar cepat di tempatkan pada kamarnya. Untung saja mobil ambulans itu berangkat bersama dokter IGD yang ikut bertanggung jawab atas keselamatan pasiennya itu.
Naresh langsung tergopoh-gopoh lari ke dalam gedung, menyahut nama Aisyah berkali-kali dan mencari sosok gadis berbalut gaun pink pastel yang seharusnya sudah kembali dari urusannya.
“Aisyah!!! Kamu lagi apa—”
Mata Naresh melotot begitu melihat Aisyah gemetaran di sudut ruangan sambil menggenggam erat dompet berliannya itu, dan di hadapannya ada sosok pria yang di tutup masker hitam tengah tersungkur kesakitan karena hantaman hebat di kepalanya yang tentunya itu berasal dari jurus pukulan maut Aisyah.
“AISYAH!!”
Aisyah mendongak lalu cepat ia lari menyusul Naresh, namun sayangnya pria bermasker itu lebih cekatan dan menarik paksa tangan Aisyah hingga gadis itu terjatuh di dekatnya.
“Aisyah... kok kamu gitu sih sama aku... kamu lupa ya kalo kamu itu milik aku, Syah?”
Naresh geram melihat wanita kasihnya itu jatuh kesakitan, pemuda itu langsung menendang jauh wajah pria itu hingga kepalanya terpental membentur pintu toilet.
“Kyaaa!” jerit Aisyah kaget.
“JANGAN SENTUH CEWEK GUA ANJING!!!” gertak Naresh dengan darah yang meletup-letup di ubun-ubunnya.
Aisyah kaget dengan amukan Naresh barusan, umpatannya itu tak pernah ia duga akan keluar dari sosok dokter muda yang ia kenal sangat menjunjung tinggi sopan santun.
Pria bermasker itu berusaha bangkit, lalu ia melepas masker yang mengganggu saluran nafasnya...
“Le-Leon?!” Naresh dan Aisyah shock bukan main dengan sosok pria yang baru saja membahayakan nyawa Aisyah.
“Ah... gimana nih, bukannya menyakiti pasien itu melanggar etika dokter ya, Dokter Naresh yang terhormat...?”
Senyuman psycho yang dimiliki pria bersurai coklat terang itu membuat Aisyah bergedik ngeri, ia tak menyangka bahwa sosok Leon yang dulunya adalah pasien yang ia layani itu berubah menjadi monster menyeramkan yang hendak menculiknya barusan.
“Leon, jangan sentuh Aisyah!!!” gertak Naresh sekali lagi.
“Saya gak akan sentuh Aisyah kok...”
SYUT!!
Leon menampilkan pisau lipatnya di hadapan Naresh, “Gimana kalo kita main-main sebentar...” mata Leon beralih ke arah sampingnya, “...Aisyah sayang?”
Mata Naresh terbelelak lebar setelah Leon melayangkan pisaunya ke arah Aisyah cepat...
GREP!!
CRRTTT!!!
“AAAAAKKKKK!!!!!”
Tes... tes...
Darah segar mengalir deras dari pisau yang menancap dalam ke perut sebelah kanan Naresh. Tubuh pemuda itu langsung rubuh di pangkuan Aisyah bahkan malangnya Naresh langsung terkulai memejam matanya tak sadarkan diri.
“DOK?! DOKTER NARESH??!! ASTAGFIRULLAH HAL ADZIM!!!”
Tak ada garis penyesalan sedikitpun yang tergambar di wajah Leon, dan parahnya, ternyata Leon punya satu pisau lipatnya lagi untuk menargetkan sasaran utamanya yakni Aisyah.
“Aisyah pilih... Aisyah mau ikut nyusul Dokter Naresh atau ikut aku—”
DUAAKKKK!!!!!
Layangan kaki sosok pria berparas eksotis tiba-tiba mendarat ke pipi Leon hingga tubuhnya terpental jauh hingga ke ujung ruangan.
“A-ABANG?!” Aisyah memekik lagi, sosok Haidar dan Adit di belakangnya langsung menghampiri Naresh yang sudah tak sadarkan diri bersama aliran darah yang sejak tadi tak berhenti mengalir deras.
“Dit, gua udah panggil ambulans, sebentar lagi dateng jadi tolong bawa Naresh sama Aisyah keluar dulu, sekalian hubungin polisi terdekat untuk dateng kesini...”
“... sebelum cecunguk ini beneran mati di tangan gue...” kecam Haidar dengan tatapan tajamnya yang membunuh kedua netra Leon.
Haidar mengambil pisau lipatnya yang sempat mengacung ke hadapan adik kesayangannya itu lalu melemparnya jauh-jauh hingga keluar ruangan toilet itu.
“Kamu siapanya Aisyah?”
“Aisyah itu punya gua—”
BUAKK!! Haidar mendaratkan lagi kepalan tinjunya hingga Leon tersungkur dan batuk mengeluarkan darah dari kerongkongannya.
“Kamu pikir adik saya barang, HAH??!!!”
Haidar benar-benar murka dengan peristiwa hari ini yang menimpa Aisyah, belum lagi Naresh menjadi korban jiwa karena kebengisan Leon, pemuda itu hanya mati rasa dengan pukulan Haidar yang barusan mendarat di pipinya.
“Mau lo bunuh gua disini pun... Aisyah tetap punya gua—”
“Kamu bosen hidup ya?”
“JUSTRU LO YANG NYARI MATI SAMA GUA BANGSAT—”
DOR!!
Leon sontak bangkit begitu melihat wanita berjas hitam yang kini mengacung pistolnya ke arah wajahnya mantap. Wanita itu sengaja menarik pistolnya ke atap sebagai peringatan pertama.
“Leon Adhiaksa Jaya, anda resmi kami tangkap terkait kasus percobaan penculikan dan pembunuhan dengan senjata tajam sehingga menimbulkan jatuhnya korban jiwa.”
“Kurang lebih sih sanksinya bisa 15 tahun penjara, tapi kita bisa lihat nanti di pengadilan. Siapa tahu bisa nambah.”
Kalian masih ingat Eliza kan?
“Kak Haidar, coba mundur dulu ke belakang, biar aku yang urus bocah sialan satu ini,” Eliza cepat menancapkan pistolnya itu dalam keadaan ngambang di bawah tengkuk Leon, “Ah... bagaimana bisa ya anak tunggal dari direktur perusahaan tekstil terbesar satu Surabaya ini bisa jadi pelaku kriminal hanya karena satu perempuan? Bodoh gak sih? Bodoh banget ya?” Eliza mendekat ke telinganya, “Dan salahnya, kamu mengusik orang yang salah, nak... kamu bener-bener nyari mati karena udah berani nyentuh Aisyah.”
Eliza mentiarap kuat-kuat tangan Leon kebawah dan memborgol kedua tangannya hingga terkunci sempurna, “SIGIT! EZRA! CEPET BANTU GUE BAWA CURUT INI MASUK KE MOBIL!! GUE BELUM PUAS NYIKSA INI ANAK SATU!!!”
Kedua pria berseragam coklat itu bergegas menarik tubuh Leon dan membawanya ke dalam mobil sesuai perintah Eliza sebagai pimpinan detektif polisi wanita.
“Kamu serius mau siksa anak itu, Liz?” Haidar mengernyit dahi.
“Pengennya sih gitu, ah tapi kasihan deh, anak manja gitu di geplak sekali ntar langsung gegar otak,” balas Eliza sambil tertawa renyah, “Ah iya, Aisyah mana? Udah di bawa pulang ya? Soalnya aku mau minta keterangannya dulu.”
“Aisyah... kayaknya tadi dia pergi duluan ikut ambulans.”
Aisyah di dalam ambulansnya, gadis itu meraung-raung menangisi tubuh Naresh yang tersungkur lemah dan tak sadarkan diri akibat kelalaiannya. Aisyah tentu menyalahkan dirinya atas peristiwa ini, situasi yang membahayakannya seketika menjadi malapetaka pula bagi orang sekitarnya...
Dan kenapa harus Naresh yang terkena malapetaka itu...?
“Dok... bangun, Dok... maafin Aisyah...”