Naresh, 2006

Tepatnya, tanggal 20 Mei 2006 dimana hari itu adalah momentum penting sepanjang hidup Naresh Ishaaq, dimana laki-laki itu dengan senyum lebarnya menantikan hari pelepasan Taman Kanak-kanak. Tangan mungilnya menggenggam erat tangan sang Ibunda,

“Mah, akhirnya Papa pulang dari Australia ya! Naresh gak sabar mau lihat wajah asli Papanya Naresh!” sahut riang anak lelaki itu.

Sang Ibunda tersenyum hangat sambil mencubit kedua pipi buah hatinya, “Iya sayang... nanti kita main ke Dufan bertiga ya?”

“Asik! Naresh mau nonton Space War yang lagi rame itu, Mah! Temen-temen Naresh udah nonton semuanya!”

Sang Ibunda mengangguk pelan sambil mengelus lembut pucuk rambut putra kecilnya itu.

Sesi pengambilan sertifikat dimulai dari siswa paling kecil, yaitu dari Kelompok Bermain, Taman Kanak-kanak Kecil hingga Taman Kanak-kanak Besar. Naresh dengan penuh antusias berbaris di belakang kawannya sambil terus melambaikan tangannya ke arah sang Ibunda.

“Naresh Ishaaq, dari kelas TK B3...”

Begitu nama Naresh dipanggil, langkah kaki kecilnya cepat menaiki tiap anak tangga menuju atas panggung, mengambil sertifikat kelulusannya dengan senyuman bahagianya sambil mengecup tangan sang kepala sekolah ramah.

Naresh menoleh lagi ke tempat duduk Ibunya, namun disana tak ada lagi orang disana. Laki-laki itu mengernyit dahi terheran-heran dan cepat lari mencari keberadaan sang Ibunda yang hilang entah kemana.

“Mama? Mama? Mama!” Naresh terus memanggil Mamanya kelimpungan.

Tak terasa langkah kakinya itu terhenti di depan pos satpam gedung kelulusannya, Naresh sengaja naik ke dalam posnya dan mempertanyakan keberadaan sang Ibunda, “Pak, lihat Mama saya gak?!”

“Mamanya adek emang gimana orangnya?”

“Mama saya... rambutnya pendek seleher, pake baju warna merah ada bunga-bunganya sama... ah pake kacamata merah juga!”

“Waduh, saya gak lihat, dek, maaf ya... kalau mau telepon aja gimana? Inget gak nomer Mamanya?”

Perhatian Naresh teralihkan ke sebuah siaran berita yang di tayangkan televisi tabung kecil di dalam posnya, KECELAKAAN PESAWAT AST-177 DARI AUSTRALIA MENUJU JAKARTA, 177 PENUMPANG TEWAS DAN 15 ORANG DI NYATAKAN HILANG

“Wah, wah... kecelakaan pesawat lagi nih, kok rame ya...”

“Jadi takut juga kalau harus pulang naik pesawat ya.”

“Iya...”

Naresh masih belum mengerti apa-apa, semuanya masih berjalan biasa saja sampai akhirnya Naresh melewatkan sesi foto bersama keluarga dan di jemput oleh beberapa orang berjas utusan Ibundanya.

Ia harus menerima kenyataan bahwa ayahnya turut menjadi korban yang di nyatakan hilang dalam kecelakaan pesawat barusan yang Naresh lihat di berita.

Harapannya untuk bisa melihat wajah sang ayahanda tlah pupus sudah. Sejak saat itu, Mamanya tak mengizinkan ada bayang-bayang sang ayahanda dalam benak anak dan dirinya, lalu dengan egoisnya, Mama Naresh memutuskan untuk menikah lagi agar bisa melupakan sosok mendiang ayahnya Naresh.

Naresh harus menelan nasibnya yang tak pernah mengenali wajah asli dari ayah kandungnya, selama 29 tahun ia hidup di muka bumi ini.


“Naresh... maafin Mama ya...”

“Maaf untuk apa, Ma?”

“Soal... Papa kamu...”

Naresh dewasa, tepatnya berusia 23 tahun itu mengerutkan kedua alisnya, “Om Rangga kenapa, Ma?”

“Bukan Papa Rangga... tapi Papa kamu, Naresh... “

Jantung Naresh langsung tersentak. Tangan lemah wanita paruh baya itu lagi-lagi hanya bisa meraih pipi lembut putranya dengan tatapan nanar, “Maaf... kalau selama ini Mama bersikeras menghapus sosok Papa dari hidup kamu, Naresh...” “Kehilangan Papa adalah sebuah malapetaka besar bagi hidup Mama... Papa... adalah satu-satunya pria yang Mama cintai dan sulit rasanya untuk melepas kepergian Papa kamu...” “Dan kepergian itu pun tak bisa kita berpamitan dengan baik, bukan begitu nak?”

Naresh mengangguk lesu. Sejak Papanya yang dinyatakan hilang dalam insiden kecelakaan pesawat itu hingga saat ini, semuanya masih menjadi tanda tanya besar. Ia bahkan tak bisa melihat wajah asli Papanya ketika hidup dan liang lahatnya pun tak bisa ia kunjungi karena mungkin tubuh ayahnya itu sudah pupus di bawa air laut. Naresh tak menyangka Mamanya akan menyinggung masalah Papanya lagi setelah sekian lama Mamanya mengubur dalam-dalam dari memorinya.

“Naresh... mau lihat wajah Papa?”

Naresh membelelakkan kedua matanya, “Gimana caranya?”

“Mungkin Omah masih simpan foto pernikahan Papa dan Mama dulu, kalau kamu mau... kamu bisa kesana dan minta fotonya.”

Naresh mengangguk mengiyakan arahan sang Mama yang memberinya petunjuk tentang pengungkapan wajah sang ayah kandung yang tak pernah ia jumpai sejak bayi, namun sayangnya begitu Naresh mengikuti arahan Mamanya dan bertemu Omahnya disana, Naresh tidak mendapatkan hasil apa-apa. Omahnya bilang, demi kesehatan mental putrinya dulu yang kehilangan suami, terpaksa keluarganya membakar semua hal yang berbau tentang ayah kandung dari Naresh. Pemuda itu memutuskan untuk membunuh rasa penasarannya dan fokus dengan apa yang ada di depan matanya, seperti menemani Ibunya berobat dan mengerjakan skripsinya agar bisa cepat wisuda lalu menjalani koas untuk mewujudkan cita-citanya menjadi seorang dokter.

Gak ada gunanya gue mempertanyakan sesuatu yang udah terkubur dalam-dalam, kalau memang sudah saatnya gue tahu nanti kebenaran itu akan terungkap sendiri.