shinelyght

Keluarga Haidar sudah sampai di tempat Mina akan tinggal selama di Budapest. Apartemen yang ditinggali cukup eksklusif dengan ruangan tamu, dapur, kamar tidur dan kamar mandi dalam satu tempat.

“Boleh juga sponsor lu, kak,” celetuk Ibra sambil membanting tubuhnya di atas ranjang empuk yang terpasang sprei putih dengan rapih.

“Wah hotelnya cukup jauh juga ya dari sini, kamu gapapa sendirian? gak mau tidur dulu di hotel selama kita disini?” ujar Haidar khawatir dengan putrinya itu.

Mina menggeleng, “Besok aku udah harus ke sekolahnya, kalau jauh-jauh takut kesiangan hehe... lagipula aku juga harus cepat beradaptasi disini, Bi,” tutur gadis itu.

Haidar cuman menghela nafasnya kasar, “Ya sudah kalau gitu, ini 10 menit lagi kita di jemput sama Om Adit jadi kamu rapihin dulu aja barang-barang kamu disini.”

Anela langsung sigap mengambil beberapa tumpukan baju putrinya, “Sini, umi bantu rapihin.”

Tatapan Mina masih kosong, mengingat punggung sosok pria yang sangat ia kenali bersama seorang wanita yang menggandeng tangannya mesra. Jantungnya berdegup tak menentu, rasa penasaran di campur dengan sesak yang kembali merujam dadanya.

Masa iya, seorang Bang Husein melanggar janjinya?

“Kak, ini baju kamu ....” Ucapan Anela terhenti begitu ia menangkap Mina diam terpaku dengan mata kosongnya, “Aminah?”

“E-Eh, iya, umi! Ini baju Mina kenapa?”

Anela meletakkan lagi bajunya, “Nak, kamu cari udara gih sama Ibra. Biar umi yang rapihin semuanya.”

“Eh gapapa, umi, masa umi yang rapihin sendiri sih?!”

“Gapapa, kamu kayaknya lagi banyak pikiran. Ibra...! Kalian berdua cari udara gih keluar, jalan-jalan aja sekitar apartemen biar kakakmu ini kenal sama tempat tinggalnya!” pinta Anela yang langsung di jawab dengan ucapan 'siap' oleh putra jagoannya itu.

“Ayo, kak, kita jalan keluar!” tanpa ba-bi-bu lagi Ibra menarik tangan Mina keluar kamar.


“Jangan lama-lama kita disini, sebentar lagi Om Adit jemput kita buat makan siang disana.”

Ibra tak menggubris, dia sibuk mengemut esnya dan meremas bungkusannya sekuat tenaga.

“Lo tuh nyari apa sih disini?”

Mina mengernyit, “Hah?”

“Lo masih ngarepin Bang Husein ya?”

Ucapan Ibra menyentak jantung Mina. Laki-laki itu melempar sampahnya ke dalam tong sampah lalu melangkah mendekati kakaknya dengan tatapan tajam.

“Lo gak siap ya ketemu Bang Husein?”

“Apaan sih, Ibra, gak ada angin, gak ada apa kok kamu introgasi aku kayak gini?!”

“Kentara banget muka lo lagi mikirin sesuatu, dan gue kembaran lo,” Ibra menyandar punggungnya ke tembok bata yang dingin menepis lelah, “Ampe sekarang dada gue sakit, pasti sekarang lo lagi mikirin Bang Husein kan?”

Kalau Ibra tahu apa yang aku lihat tadi... pasti dia bakalan murka banget ....

“Pilih ya, kak.”

“Apa?”

“Pilih, gue gebukin Bang Husein sampai koma atau mati sekalian?”

Mina terkesiap, “Heh! Ibrahim!!”

“Songong lo, Bra! yang ada gue yang gebukin lo sampai mati!!”

Kedua netra Mina langsung menoleh ke arah sumber suara yang menghadirkan sosok pria bertubuh tegap 177 cm dengan balutan sweater biru muda dan jaket putih, senyuman cengirnya yang menampilkan bulan sabit khas di matanya...

Husein.

“Kalau mau adu otot ayo sini, kebetulan gue baru selesai nge-gym nih! Hahahaa!”

Senyuman sumringah Ibra langsung terlukis di wajahnya dan kedua sahabat itu saling berpelukan erat melepas rindu setelah 12 tahun tak bersua.

“WUIH GILA BANG HUSEIN!!”

“Hahahaha! What's up, brother?! wah, pantesan lo pede ngajakin gue berantem makin keras otot lu, Bra! Hahahahaha!!”

Perhatian Husein langsung teralihkan ke arah Mina yang berdiri mematung menatapnya kaget, pemuda itu langsung berjalan lagi menghampiri gadis yang dulu pernah sangat ia cintai...

“Mina... apa kabar?” ucap Husein pelan.

“Baik. Bang Husein gimana?” balas Mina kikuk.

“Baik juga, aku dengar kamu bakalan tinggal disini ya selama 3 bulan?”

Mina mengangguk pelan, “I-Iya...”

Husein merentang kedua tangannya, “Welcome to Budapest

Rasa rindu bercampur sesak mendominasi dada Mina saat ini. Beribu-ribu pertanyaan yang muncul bergantian di kepalanya membuat gadis itu sulit untuk mengungkapkan bagaimana ia sangat merindukan sosok laki-laki yang ada di hadapannya sekarang.

Bayangkan, Mina menahan rindu selama 12 tahun.

Dan pahitnya...

Bayangan punggung lelaki yang persis dengan outfit look yang di gunakan Husein sekarang, bersama seorang wanita— yang ia temui di jalan barusan kembali merujam dadanya.

“Lu datang sendiri?” tanya Ibra.

“Enggak, sama Ayah cuman dia tadi langsung nyamperin Om Haidar di atas.” “Kalian langsung ikut gue ke mobil aja, paling bentar lagi mereka juga turun.”

Husein kembali menatap inci wajah Mina lekat, “Mina.”

“Eh, i-iya?”

Pemuda itu tersenyum, “Ah enggak... kamu ....”

Mina meneguk ludahnya bulat-bulat.

“Kamu memang selalu cantik ya.”

Ibra mendecak kesal, “Wah baru ketemu sempat-sempatnya lo ngemodus sama kakak gue? Beneran ngajak berantem lo, Bang?”

“Lah lo baru naik pangkat jadi pawangnya Mina apa gimana?”

“Sialan lo, udah bikin kakak gue galau 12 tahun sempat-sempatnya ketemu langsung ngegombal.”

Husein terkekeh, “Gue gak gombal, emang itu fakta.”

Pipi Mina semakin memerah padam bak kepiting rebus.

“Udah yuk, kita langsung ke mobil aja.”

Bang Husein... apa cuman perasaanku aja kamu sedikit berubah?

Beberapa tahun kemudian... Mina dan Ibrahim berusia 25 tahun...

“Lho, Azura belum pulang? Papa jemputnya telat ya nak?”

Suara lembut itu datang dari seorang wanita cantik yang dibalut hijab pink pastel, dia adalah gadis kecil yang dulu kita kenal sebagai Aminah Haliza Azzahra.

Ya, dia adalah Mina yang sudah dewasa.

“Papa sebentar lagi datang, Bu Mina... jadi Azura disuruh tunggu disini...” ucap lagi gadis kecil itu, Mina menghela nafasnya sambil membantu muridnya itu merapihkan barang-barang di tasnya dengan telaten.

“Ya sudah kalau gitu tungguinnya bareng Ibu ya, mau main di luar?” ajak Mina lagi sambil menggandeng tangan Azura, mereka melangkah keluar menuju taman bermain sekolahnya.

Tak di sangka sosok yang ditunggu sudah datang, Ayah dari Azura, muridnya Mina sudah datang dengan tergopoh-gopoh, “Azura sayang!”

Gadis kecil itu langsung berlari memeluk ayahnya erat-erat. Mina terhenyak, ia jadi teringat fakta di balik lelahnya ayah Azura yang harus menjemput putrinya itu sepulang kerja. Azura merupakan anak piatu yang sudah di tinggal Ibunya sejak lahir, dan Azura sering menceritakan bagaimana kerja keras ayahnya yang pagi hingga malam memenuhi kebutuhan putri semata wayangnya seorang diri.

“Terima kasih ya, Bu Mina! Ayo, Azura salim dulu terus bilang makasih sama Bu Mina!” pinta sang ayah.

Azura berlari kecil lagi ke arah Mina, “Bu Mina, terima kasih!”

“Iya, Azura, sama-sama...”

“Ibu, ibu!”

“Ya sayang?”

“Bu Mina mau gak jadi mamanya Azura?”

Waduh...


“Terima aja sih, lumayan kan dapet satu gratis satu.”

Mina langsung melempar bantal oranye kecilnya ke wajah Ibra.

“Rese lo!”

“Lah bener kan? Umi suka ceritain gimana sakitnya melahirkan, nah kalo lu dapetin duda anak satu gak usah mikir-mikir lagi kudu punya anak!”

Mina memicing matanya sebal, “Sependek itu pemikiran lo, Bra? Please deh, lo tuh udah gede.”

Ibra mencibir kakaknya ngejek, “Ya itu solusi cepat namanya, kalo gamau yaudah bukan urusan gue.”

Sejak kecil hingga sekarang mereka tetap adalah sepasang saudara kembar yang tak pernah satu suara namun saling menyandar satu sama lain. Mina yang berceloteh lalu di balas semprul oleh adik kembarnya, Ibra.

Mungkin barusan kalian melihat sosok Ibra yang masih tengil seperti dulu waktu dirinya masih kecil, tapi lain cerita kalau sudah berada di depan hadapan banyak orang untuk mempresentasikan desain bangunan artistiknya yang sudah di akui oleh se-Nusantara. Karisma seorang Ibra yang di turunkan sang ayah juga tak kalah kuat dan sukses memikat banyak kaum hawa.

Sayangnya entah apa alasannya, Ibra masih betah melajang hingga sekarang.

Mina kembali menatap laptop di pangkuannya, membuka beberapa e-mail masuk dari sang editor yang menagih naskah tenggat waktunya.

“Ya ampun, deadline-nya masih lama tapi gue udah di tagih-tagih kayak gini sama si Desra!” Mina mengeluh lagi kesahnya sambil mengibas rambut sepunggungnya emosi.

“Kan promosi buku lu yang kemarin masih belum selesai?” tanya Ibra.

“Makanya! Argh, bikin stres aja nih!”

“Block aja udah.”

Mina memutar bola matanya malas, “Lemes banget mulut lo, Bra, asli.”

Ibra terkekeh geli dan dia beranjak dari tempatnya menuju kamar tidurnya meninggalkan Mina sendirian disana.

Mina mengambil ponselnya yang ada di sisi tempat duduknya, ia membuka satu kontak yang biasa menjadi tempat keluh kesahnya...

” Bang Husein “

Hah... udah berapa tahun gue cuman bisa numpahin keluh kesah disini, udah Mina, lupain dulu soal Bang Husein! Fokus aja sama kerjaan!

TING!!

Notifikasi e-mail masuk berdentang singkat membuat Mina ketar-ketir—karena takut itu e-mail tagihan dari editornya.

Dear Aminah Haliza Azzahra,

Thank you for applying your article on our official website, SunriseKids, and we would like to invite you to teach about Indonesia Cultural in our school for 3 months at Sunrise International Primary School, Hungary, Budapest...

“HAAAHHHHHHH???!!!!”

Pekikan Mina mengejutkan seisi rumah bahkan sampai seluruh keluarganya serempak keluar dari kamarnya.

“Kenapa, Mina?!”

“Woy kenape lu?!”

“Ya ampun, Mina, kamu kenapa—”

“MINA DI UNDANG KE BUDAPEST!!!”

Haidar, ayah Mina mengerut kedua alisnya, “Ha-hah? Apa?”

“MINA DI UNDANG UNTUK NGAJAR DI SEKOLAH INTERNASIONAL DI BUDAPEST SELAMA 3 BULAN, BII!!” decak lagi Mina kegirangan.

Ibra menganga, “Lu-lu di undang buat ngajar di Budapest?”

“IYAA, YA AMPUNNN!! SENENG BANGET, PADAHAL MINA KAN NGE-SUBMIT ARTIKEL DI WEBSITE ITU KARENA DISURUH DESRAA!!” “Fix aku harus kasih tau Desra dulu!”

Ketiga orang yang diberi kabar masih mematung, sampai 5 menit kemudian...

“HEH, KAMU MAU TINGGAL DI BUDAPEST 3 BULAN SENDIRIAN?? YANG BENER AJA KAMU!!” — Haidar

“Lho emang kenapa sih?! 3 bulan doang kok!! Fasilitas juga semuanya di kasih sama pihak sana!!” — Mina

“Mas! Disana kan ada Kak Adit sama Angel! Kita hubungi aja mereka!” — Anela

“Udah fix, Abi, kita gak bisa biarin nih Mina sendirian dulu disana jadi kita kudu liburan sekeluarga disana sekalian mampir ke tempatnya Om Adit!” — Ibra

“Seenak jidat kamu kalo ngomong, emang kamu pikir Abi gak ada kerjaan disini?” — Haidar

“Ih bener juga ya, Mas, liburan 2 minggu disana cukup kali... tempatnya bagus-bagus deh.” — Anela

“Ah kalian ini otaknya liburan mulu, kalau memang harus kesana juga kan untuk memastikan Mina aman disana!” — Haidar

“Jadi kita pergi gak nih, Bi?!” — Ibra

“Ya... ya mau gimana lagi, kalau memang 2 minggu cukup untuk mastiin Mina aman semuanya.” — Haidar

“Yey!! Suamiku memang yang terbaik!! Ibra, akhirnya kita bisa liburan ke tempatnya Tante Angel!! Aku mau hubungin Angel dulu disana!” — Anela

“Oh ya aku juga harus hubungin Bang Trian dulu buat hold proyek yang di minta Om Jeffry.” — Ibra

Mina geleng-geleng heran,

“Anu, tolong ya... ini Mina ke Budapest bukan untuk liburan oi... ini Mina buat kerjaan .... “

“Sini duduk nak.”

Ibra meneguk salivanya bulat-bulat, ia canggung duduk di samping abinya— di kursi kayu panjang yang tak bersekat sehingga tak ada jarak yang bisa ia buat dengan sengaja.

“Tegang amat.”

“Takut di sidak.”

“Hah?”

“Abi kan gitu, ngajak Ibra ngomong kalau Ibra ngelakuin kesalahan aja.”

Ucapan putranya itu langsung menohok dada pria itu. Ya Allah, ternyata ini yang selalu Maryam ingatkan sama saya...

“Menurut kamu, sekarang kamu melakukan kesalahan?”

Ibra menggeleng, “Enggak sih.”

“Kata siapa?”

Ibra mengatup bibirnya rapat-rapat.

Haidar menepuk lagi kursi sebelahnya, “Sini mendekat kamu.”

Ibra mengangguk lesu seraya menggeser tubuhnya mendekati abinya, lalu dengan cepat Haidar merangkul putranya erat-erat dan membiarkan putranya menyandar di bahu luasnya. Ibra terkejut bukan main, kalau di ingat-ingat, terakhir kali ia bersandar seperti ini dengan abinya itu sudah cukup lama. Ibra sangat jarang membuka diri atau mendekati abinya karena bagi dia, abinya itu hanya terus menuntut kesempurnaan dalam dirinya bahkan semi merampas kebebasan hidupnya. Ibra hanya bisa bermanja-manja dengan uminya bahkan setiap Ibra habis di marahi abinya, dengan sigap sang ibunda tercinta masuk ke kamar Ibra dan mendekap anak lelakinya itu hingga terlelap.

Rasanya aneh, pikir Ibra. Kehangatan ini seperti kehangatan yang tak langsung juga memberikan kekuatan bagi dirinya, tak kalah hebat dengan kehangatan sang ibunda.

“Ibrahim,” Haidar membuka suara, tangannya terus mengelus pelan pucuk kepala anak lanangnya itu, “Kamu tahu kalau Abi sangat sayang sama kamu?”

Ibra terdiam.

“Abi... tidak pernah terpikir kalau saat ini Abi memiliki anak laki-laki hebat yang akan memiliki bahu sekuat kamu.”

Dada Ibra seketika sesak.

“Semakin kamu tumbuh, maka semakin banyak hal baru yang akan datang di kehidupan kamu termasuk dengan rintangan hidup. Abi tahu kamu melalui banyak hal yang mungkin Abi gak tahu, tapi Abi selalu menegaskan kamu satu hal yang sangat penting untuk menjadi senjata kamu menghadapi dunia, nak.” “Yaitu prinsip agama.”

Ibra kembali menenggelamkan dirinya dalam kehangatan sang ayah.

“Kita gak akan tahu kedepannya seperti apa, yang Abi pikirkan saat ini adalah mempersiapkan kamu sebagai seorang imam yang kuat dan suatu saat nanti, kamu akan menggantikan posisi Abi disini.”

“Maksud Abi apa?”

Haidar tersenyum, “Ya kan Abi semakin lama akan menua, Ibra... untuk contoh kecilnya, misalnya ketika shalat jamaah nanti, mungkin ada masanya punggung Abi sudah sakit-sakitan untuk menjadi imam, dan disitulah kamu harus menggantikan posisi Abi untuk menjadi imam.” “Itu berpengaruh dengan segala aspek, karena laki-laki di ciptakan dengan tulang rusuk yang kokoh dan akan menerima amanah yang lebih besar dari seorang wanita, bahkan ketika Abi sudah tiada... otomatis kamu yang akan mengambil peran laki-laki yang memimpin di sini.”

“Abi! Ngomongnya gitu dah bikin Ibra takut!”

“Jangan takut, karena ini bicara fakta. Kamu harus terima fakta sepahit apapun itu, Ibra.”

Ibra mengerucut bibirnya kesal. Haidar cuman terkekeh geli melihat putranya yang mendadak cemberut.

“Wajah kamu tuh cetakan Abi, tapi sifat pundungan Umi juga ikut nurun ke kamu ya, hahahaha...”

Ini pertama kalinya Haidar tertawa lepas, berdua dengan Ibra. Anak lelaki itu memencak, tak sadar ia juga ikut tertawa karena omongan ayahnya.

“Kayaknya gak ada sifat Abi yang nurun ke Ibra.”

“Ada kok.”

“Apa?”

Haidar menjentik pelan kening putranya, “Berlagak sok kuat, terkadang kamu suka begitu, Ibra, persis kayak Abi.”

Senyuman Ibra seketika memudar, ucapan itu seolah mengetuk pintu hati nurani Ibra untuk menumpahkan semua rasa lelahnya kepada sang ayah.

“Abi, Ibra... boleh jujur gak?”

“Boleh, kenapa?”

Ibra mulai memposisikan tubuhnya tegap.

“Jujur aja, Ibra... suka iri sama Mina, Bi.”

Haidar menoleh kaget.

“Kayaknya Mina tuh benar-benar anak perempuan yang bisa di andalkan banyak orang, bahkan Abi sendiri juga kayaknya lebih sayang sama Mina daripada sama Ibra. sedangkan Ibra, entah kenapa di mata Abi... Ibra ini selalu salah. Ibra nih kayak anak nakal yang selalu buat ulah, padahal senakal-nakalnya Ibra... Ibra gak pernah terjerumus dengan hal-hal yang lebih buruk kayak ngerokok, pergaulan bebas bahkan nilai Ibra juga gak jelek-jelek amat.” “Terakhir aja kemarin waktu Ujian Nasional, Abi cuman muji ke Mina sedangkan ke Ibra, Abi bilang harus di pertahankan atau tingkatkan. Abi kayak nuntut Ibra buat jadi titisan Albert Einstein.”

“Abi juga bilang gitu sama Mina, nak.”

“Tapi Abi mujinya ke Mina doang, ke Ibra enggak. Ibra gak pernah dengar Abi panggil Ibra dengan sebutan 'anak sholeh Abi' atau 'anak pintar Abi' seperti yang Abi lakukan ke Mina, kalau nggak nama doang, ya nama lengkap kalau lagi marah.”

Haidar menghela nafas panjangnya, ternyata saya masih melakukan banyak kesalahan sebagai seorang ayah...

“Abi,” panggil Ibra lagi dengan suara bergetar.

“Ya, nak?” respon sang ayah.

“Emang menurut Abi, Ibra ini... anak yang nakal banget ya?”

Haidar mengusap wajahnya gusar, “Hah... bukan nak, begini ya, Ibra, mungkin cara Abi memperlakukan kamu dengan kakakmu itu sedikit berbeda karena Abi pikir kamu adalah anak lelaki yang harus di didik dengan cara laki-laki sedangkan Mina itu anak perempuan maka Abi harus mendidik Mina dengan kelembutan. Itu terlepas dari sifat kamu yang memang usil, dan sedikitpun di kepala Abi, tak pernah ada kata Ibra ini adalah anak nakal.” “Kamu itu anak Abi yang unik, hebat dan membanggakan.”

Haidar mengusap lagi rambut ikal Ibra dengan lembut, “Abi minta maaf kalau ada perilaku yang melukai hati kamu, nak. tapi kamu harus tahu satu hal, kalau Abi sangat sayang dengan kalian dan tak ada perbandingan sama sekali di antara kalian.” “Kalian semua anak-anak Abi yang membanggakan. Titik.”

Bukannya lega, justru tangisan Ibra pecah di pelukan sang ayah bahkan dia meraung kencang di dada Haidar.

“HUWAAAAA ABIII!!!”

“Eh jangan kencang-kencang nangisnya! Nanti abi diomelin sama umi kamu!”

“BIARIN, ABI KAN SUKA NGOMELIN IBRA, GANTIAN BIAR UMI YANG NGOMELIN ABII!! HUWEEEEE!!!”

Haidar menghempas nafasnya, “Hadeuh, dasar bocah tengil. Persis kayak umi kamu.”

Dalam tangisnya, Ibra menyempatkan membisik satu kalimat ajaib yang juga menyentuh hati Haidar...

“Abi... hiks...” “Ibra sayang banget sama Abi... Ibra sayang sama Abi, seluas alam semesta dan seisinya...”

Mereka saling menangis bersama menumpahkan kasih sayang yang selama ini mereka sembunyikan rapat-rapat.

Sedangkan di balik tembok sana, Anela juga ikut menangis terharu dengan momen antara ayah dan anak di taman belakang sana. Ia tak menyangka kalau putranya itu selama ini merasa tersisihkan. Ibra memang anak yang ceria, tapi persis seperti ayahnya, dia lebih suka memendam rasa sakitnya itu sendirian.

Arka turun dari tangga, kedua netranya itu menangkap punggung mungil Shashi yang sedang menatap lurus TV berukuran 72 inchi itu lemat-lemat. Seketika ia terbayang buku diary yang sempat ia baca itu. Meskipun Arka memperlakukan Shashi dingin, tapi setelah ia mengetahui beberapa hal dari gadis itu membuat hatinya sedikit terenyuh.

“Film apa?” suara purau Arka mengejutkan Shashi dari belakang, “Serius amat nontonnya.”

“Ini kak, Hospital Playlist sumpah lucu banget! Hahaha...!!”

“Tentang dokter?”

“Iyaa! Jadi teman dari kuliah gitu yang sama-sama jadi dokter terus mereka bikin band buat senang-senang. Ini drama slice of life sih tentang keseharian dokter gitu.”

Mata Arka menyipit, tangannya meraih remot yang ada di meja hadapannya cepat. “Cara setting pengaturannya gimana, nih?” tanya pemuda itu.

Shashi mengernyit heran, “Hah? Setting apa kak?”

“Ah gak jadi, ini nih.”

Arka memijit tombol kuning yang ada di remot lalu mengganti pengaturan subtitle bahasa Indonesia menjadi bahasa Inggris tanpa seizin Shashi.

“Hah?! Kok bahasa Inggris?!”

“Nonton drakor juga sambil belajar, biasain pakai subtitle bahasa Inggris.”

Shashi mengerucut bibirnya cemberut, “Ish, Kak Arka... kenapa sih gak biarin aku istirahat seharii... aja...”

“Ini istirahat kok, cuman ya sekalian belajar lah.”

Shashi merengut lagi sebal, “Ah sini remotnya, pusing kalo harus pakai bahasa Inggris!” tangannya terus meraih remot yang di bawah kuasa Arka tapi lelaki itu terus mengangkat remotnya tinggi-tinggi membuat Shashi kewalahan.

“Nurut aja sih! Udah nonton sana!”

“Gak mau ah! Balikin remotnya!”

“Mending ganti subtitle atau gue matiin TV-nya?!”

“Kak Arka rese ih! Balikin sini!”

“Eh awas, awas, Shashi!”

DUK!! KYAA BRUK!!

Tubuh keduanya terjungkang ke belakang sofa yang berubah mode jadi tempat tidur, Shashi mengangkat tubuhnya susah payah dan matanya terbelelak begitu ia mendapati dirinya yang sedang menindih tubuh Arka bahkan kedua netranya kini saling beradu. Deruan nafas Arka menerpa pipi merah Shashi, dengan cepat kedua insan itu segera bangun dari posisinya dan mengambil jarak 2 meter dari kedua tempatnya. Suasana canggung mulai memenuhi ruangan tengah, jantung Shashi terus berdetak tak menentu. Aroma maskulin Arka seolah menempel di kepalanya membuat wajahnya memerah panas.

“Gue bilang juga nurut, batu banget sih,” sergah Arka sambil meletakkan remot tersebut di sisi kirinya, “Udah tonton aja, biasain nonton pakai subtitle bahasa Inggris!”

Shashi cuman bisa mengangguk pasrah. Fokusnya juga sudah mulai buyar karena insiden tadi jadi tak ada gunanya melawan Arka.

“Ecie... Kak Arka sama Kak Shashi habis ngapain tadi?”

Suara cempreng Emily dari belakang mengejutkan dua insan yang namanya di panggil barusan. Mereka melotot ke arah Emily yang tengah menyaksikan tingkah keduanya bak adegan drama Korea, “Daripada nontonin dramanya kayaknya lebih asik nontonin kalian berdua.”

“Emily, masuk kamar sana!” titah Arka kikuk.

“Ogah, aku juga mau nonton cuman dari belakang sini HEHEHE, ayo monggo silahkan dilanjutkan, saya bantu kawal sampai jadian.”

“Emily!”

“Kak, beneran deh. Hidup lu tuh kaku banget sumpah, sekali-kali jadi anak muda gapapa lah.”

Shashi cuman mengulum senyum malu dengan tangan mungilnya yang berusaha menutupi sunggingan bibirnya. Arka melengos sebal, lelaki itu memasang airpods-nya lagi dan memutar audiobooknya keras-keras.

Emily terkekeh geli.

Et dah si Kak Arka... padahal dia gak nonton filmnya tapi tetep duduk disana nemenin Kak Shashi, hihihi, lucu banget...


Shashi berhasil menyelesaikan 5 episode dramanya sampai tamat. Ia melihat angka jam di ponselnya yang menunjukkan pukul 12 malam...

TUK!

Bahu gadis itu tersontak, Shashi menoleh sedikit ke arah sampingnya yang sudah di sambut dengan senggolan pucuk kepala Arka. Ternyata lelaki itu terlelap, bahkan sudah sangat dalam tidurnya. Lagi-lagi jantung Shashi berdesir, ia berusaha untuk bergerak sepelan mungkin agar Arka tak terbangun.

“Ehm... Arka... udah belajar, Bun...”

Arka menarik tangan Shashi, ia menidurkan lagi kepalanya di bahu Shashi dan memeluk lengan mungil gadis di sampingnya erat.

Aduh... gue harus gimana...

Shashi akhirnya tak berdaya untuk melepas tangan Arka yang mengalung erat di lengannya itu, sampai akhirnya malam membiarkan keduanya tenggelam dengan bunga tidurnya...

Dan Arka mengutuk dirinya pada keesokan hari.

Bella merenggangkan kakinya di atas kursi kayu panjangnya, menyantap susu yang sudah ia seduh dan menikmati hirupan udara dari taman belakang yang menerpa wajahnya.

Tuk!

“Alah siah... Bi, kalau ini tumpah aing pukul siah ampe metong,” kecam wanita itu di hadapan laki-laki berparas tampan yang melempar tawa kekehnya seraya ambil posisi juga di sampingnya.

“Ah... emang paling enak tuh kalo weekend habisin waktu bareng istri malem-malem di rumah...” cicir Abi sambil memejam matanya rileks, “Tissa udah tidur kan?”

“Udah, tadi dia lagi aktif banget makanya tepar.”

Abi langsung menarik lengan Bella dan menjatuhkan kepala mungil istrinya di dekapan dadanya.

“Sini dong, udah lama gak manja-manjaan berdua kayak gini,” Abi gak berhenti menciumi pucuk kepala Bella, “Hah... tenang banget kalau udah di samping kamu tuh, Yang...”

Bella mengulum senyum malunya, ia ikut menenggelamkan dirinya dalam romansa hangat di bawah sinar bintang malam. Mereka saling memejam mata dan terhenyak dengan suasana yang mereka ciptakan. Kepingan kenangan mereka mulai berputar bak film memori. Kehangatan yang dulu mereka sering dapatkan sebagai sahabat dan terus berlanjut sampai saat ini, setelah sah mengikat janji sebagai suami istri.

“Bi.”

“Hm?”

“Waktu berjalan dengan cepat ya.”

Abi cuman ketawa geli, “Hahaha, iya...”

“Masih kayak kemarin kita berantem terus pisah sampai 5 tahun. Kerasa banget dulu nyeseknya gimana.”

Abi membuka matanya, “Haha... ya dulu kita masih muda banget soalnya.”

“Emang kita udah tua sekarang??”

“Belum sih.”

Bella mengeratkan lagi tangannya di lengan Abi, “Kita ngelaluin banyak hal, Bi, sampai akhirnya bisa sampai disini...”

“Iya ya...”

“Ngelihat Agus sama Adis sekarang jadi keinget juga perjuangan kita dulu, Bi, waktu kamu yang pendem perasaan kamu bertahun-tahun dan aku yang nungguin kamu juga bertahun-tahun... gak semudah itu bisa sampai di titik ini...” “Aku bersyukur banget bisa sama kamu disini...”

Abi mengulum senyum simpulnya, mengecup pelan kening istrinya dan tangan kokohnya itu merogoh buku saku kecilnya yang hendak ia persembahkan untuk sang istri.

“Apa ini, Bi?”

“Catatan akhir kita.”

Bella mengernyit dan membuka buku itu perlahan...

Jakarta, 31 Desember 2029...

Rasanya masih mimpi ketika melihat ponsel yang sudah di gandrungi notifikasi dari Isabella, wanita pujaan hati yang sudah menjadi ibu dari kedua anakku,

Ketika kakiku menancap gas pulang dan membayangkan wajah sang istri dan anak gadisku yang sudah menantikan kepulanganku, aku gak bisa berhenti tersenyum.

Harapakanku dulu untuk membalikkan 360 derajat nasibku yang dulu aku perjuangkan benar-benar menjadi kenyataan...

Ayah, Bunda, lihat anakmu sekarang... anakmu sudah bahagia sekarang. Aku harap kalian bisa tersenyum lega disana... maaf kalau dulu ketika aku sedih selalu datang ke tempat kalian...

Ini catatan terakhir dari ceritaku, cerita tentang perjuangan hidup dan cinta, juga mimpi, karena setelah ini, aku akan membuka halaman baru untuk kehidupan selanjutnya bersama keluarga kecilku dan diriku yang sekarang.

Isabella, Tissa dan juga adek... terima kasih sudah menjadi bagian hidup seorang Abidzar Ahmad Kale. Kalian adalah mimpi yang sudah terwujud sempurna...

Terima kasih, Tuhan... dan juga semesta-Mu yang tlah kau hendaki untuk memberi akhir kisah sebagai penghilang rasa sakit dan lelahku...

Kini sudah kuresmikan untuk membuka halaman cerita baru dari kisah panjangku...

Abidzar Ahmad Kale

Bella menitikkan satu bulir air mata harunya dan memeluk erat tubuh kekar suaminya. Abi tersontak sejenak, lalu membalas pelukan istrinya dengan hangat sambil menepuk-nepuk punggung Bella pelan.

“Aku sayang banget sama kamu, Bi... aku cintaaa banget sama kamu...”

“Sama aku juga.”

“Terima kasih juga, sudah menjadi pelangi di kehidupan Bella selama ini...”

Abi melepas pelukan istrinya dan mengelus pipi lembut wanita di hadapannya, perlahan ia mendekati wajah Bella yang kian memerah lalu menuju bibir mungilnya.

Langit malam kini menjadi saksi cinta murni dari kedua insan yang tlah di satukan oleh takdir.

Dan dengan ini, kisah mereka selesai sampai disini.

— reply 2020 ; END — 🧚‍♀️ 16 Juli 2021 🧚‍♀️

Agus duduk dengan gugup sambil terus menyesap kopi hitamnya kikuk. Ia mengedar netranya ke sekeliling, berharap orang yang akan ia temui ini segera datang agar tak banyak makan waktu percuma. Ia hendak mengambil ponselnya di saku, namun tak lama sosok wanita cantik berambut sebahu ikal muncul di hadapannya.

“Kang Agus?” tanya wanita itu.

Agus segera berdiri, menyalami wanita itu dengan ramah, “Ah betul, Tiana ya?”

“Iya betul.”

Senyuman teduhnya yang dipoles lipstick merah muda glossy, Agus tak bisa bohong kalau wanita yang ada di hadapannya itu sangat cantik. Satria memang tak salah memperkenalkan Tiana kepadanya tapi... memang hati Agus yang bermasalah.

Adisty masih terus melekat di hatinya.

“Kang Agus katanya mau berangkat ke Malaysia ya?”

“Iya.”

“Kapan?”

“Besok malam.”

“Cepet juga yah... padahal kita baru ketemu sekali, hehe...”

Agus cuman tersenyum simpul. Perlahan percakapan kedua insan itu semakin intens dan mengalir lancar, Agus berusaha untuk tidak menutup hatinya, ia akan mulai melangkahkan kakinya menuju halaman baru. Usianya kini sudah bukan lagi tentang kaitan masa lalu, Agus sudah harus move on secepatnya.

BRAKK!!!

“Sialan lo, lo pikir siapa bisa ngerendahin teman gue hah???!!!”

Agus dan Tiana sontak menoleh ke belakangnya, semua perhatian satu kafe tertuju kepada murka dari seorang wanita yang wajahnya sangat di kenali Agus.

“Duh, Bel, gak usah emosi—”

“LO PIKIR LO HEBAT HAH??!! DENGAN SIKAP LO YANG KAYAK GINI JUSTRU MEMPERJELAS KALAU MEMANG ADIS GAK PANTES DAPETIN LAKI-LAKI BRENGSEK KAYAK LO!! ADISTY TUH CEWEK BAIK-BAIK, SIALAN LO!!”

“Wah siapa nih emak-emak?! Orang gila!”

“Orang gilaa??!!”

GREPP!! DUAKK!!! Wanita yang membuat kericuhan itu langsung menjambak rambut tipis lelaki di hadapannya dan melayangkan lututnya tepat pada sasaran yaitu wajah lelaki tersebut. Seisi kafe menjerit kaget, sontak Agus langsung lari ke arah sumber keributan.

“Astaga, Bella! Apa-apaan sih lo??!!” pekik Agus.

Kedua wanita itu melotot lebar-lebar, “A-Agus??!!” Adisty ada disana, tak percaya akan kehadiran Agus disana dan Bella juga masih menganga dengan lawannya yang sudah terkapar di bawah kakinya. Bella langsung di tarik keluar kafe, bersama Adisty dan Agus meninggalkan urusan yang harusnya ia selesaikan.

Tiana dari tempatnya, diam mematung.


“Bel, kalau Abi tahu kelakuan lo habis siah!” Agus terus menceramahi Bella sepanjang jalan.

“Bawel! Lagian dia ngerendahin Adis! Masa tahu gak—”

Adisty dengan cepat bekap mulut Bella rapat-rapat, “Ah iya, biasalah si Bella sumbunya pendek bener! Sebel dikit langsung di baku hantam orangnya! Bel, kalo orangnya kenapa-kenapa kudu tanggung jawab lho!”

“Ngapain?! Duit dia lebih banyak daripada laki gue!”

Kedua kawan Bella cuman bisa menghela nafas panjang.

Akhirnya Agus memberanikan diri untuk menatap lurus mantan kekasihnya, begitupun Adisty. Meskipun dalam diam, lagi-lagi setruman dalam hatinya mulai menyengat keduanya, rasa rindu yang bergejolak bersama kenangan yang terus terbayang.

“Dis, tadi... laki-laki itu siapa?” yang keluar malahan kalimat itu dari bibir Agus, Adisty tersontak.

“Dia... anaknya kenalan Papa, tadinya mau di jodohin sama aku.” jawab Adisty.

“O-Oh? Terus?”

“Ya gak jadi, kan dipukulin Bella tadi.”

Bella menyergah, “Heh, maneh gelo nya?! Ya kali lo mau nikah sama cowok sakit jiwa kayak dia?! Mendingan Agus kemana-mana!!” tak sadar kalimat itu keluar dari bibir Bella di tengah situasi seperti saat ini, ia cepat-cepat menutup bibirnya dan merutuk mulut embernya.

Agus langsung menarik tangan Adisty, mengajaknya ke ujung tempat yang jaraknya lumayan jauh dari Bella.

“Gus?!” sentak Adisty.

“Apa yang kamu sembunyiin dari aku selama ini, Dis?!”

Adisty membulatkan matanya, “Hah?! A-Apaan sih—”

“Alasan kita putus masih belum jelas, aku tahu memang ada alasan tapi tolong kasih tahu aku kenapa kamu memutuskan untuk mengakhiri hubungan kita?!” “Aku gak halangin kamu kalau memang mau pergi dari aku, tapi tolong kasih tahu aku alasan yang jelas, alasan kamu pergi—”

“Aku sakit, Agus!!”

Agus mengernyit, “Ha-hah?”

“Aku sakit, dan aku gak mau kamu... ikut menanggung bebanku ini, kamu pantas untuk bahagia meskipun tanpa aku, Gus...”

“Sakit apa emang?”

“Gus, tolong—”

“Sakit apa?”

Nada suara Agus yang semakin dalam itu menyudutkan Adisty.

“Aku... mandul, Gus.”

Sekali lagi jantung Agus tersentak.

“Aku... mandul, Gus...aku gak akan bisa membuat kamu bahagia. Aku cuman jadi aib terbesar kamu—”

GREP! Agus memeluk erat ringkuh pelik wanita pujaan hatinya, kehangatan lalu yang sudah lama tak mereka rasakan kembali mengalir. Tangan besar Agus menepuk pelan pundak Adis.

“Kenapa kamu lebih memilih bertahan sendirian, Dis? Sedangkan kamu selama ini punya aku yang gak akan pergi kemana-mana...”

“Gak mau, Gus, aku gak mau karena sakit ini jadi membebani orang yang aku sayang. Biar aku yang tanggung semua ini, mungkin ini memang sudah jadi ujian yang harus aku hadapi sendiri. Kamu berbahagialah dengan wanita pilihanmu, Gus, kamu laki-laki baik. Kamu pantas dapat wanita yang lebih baik dari aku.”

“Kalau wanita pilihan aku itu kamu gimana?'

“Agus... tolong—”

“Dis, hati aku tetap gak berubah. Aku mau kamu yang akan menemani aku sepanjang hidup sampai titik di masa-masa tua kita, soal anak itu rejeki dari Yang Maha Kuasa. Kalau mau kita masih bisa berupaya, biar itu jadi urusan nanti tapi sekarang, aku tetap menginginkan kamu.” “Ayo kita nikah, Dis.”

Tangan Agus menggenggam erat tangan Adis, seiring eratnya genggaman tangan sang pria, pilu hati Adis semakin terasa hingga air matanya jatuh satu per satu. Bibirnya kelu untuk menjawab, karena hati Adis sendiri juga tak bisa memungkiri bahwa ia masih sangat mencintai pria di hadapannya.

“Ayo kita hidup bahagia sama-sama, Dis...”

“Agus... aku takut...”

“Jangan takut, ada aku, Dis. Kita hadapin semuanya berdua ya?”

Tangis haru Adis tak terbendung lagi, ia langsung lompat memeluk pria kasihnya erat-erat.

“Aku sayang sama kamu, Gus...”

“Aku juga, Dis.”

Meanwhile Isabella...

“Halo, Yang, jemput aku dong nih. Males banget jadi nyamuk disini.”

“Eh, aku masih meeting sama klien—”

“Abidzar, Jemput.”

“Oke siap dilaksanakan, Nyonya.”

Agus duduk dengan gugup sambil terus menyesap kopi hitamnya kikuk. Ia mengedar netranya ke sekeliling, berharap orang yang akan ia temui ini segera datang agar tak banyak makan waktu percuma. Ia hendak mengambil ponselnya di saku, namun tak lama sosok wanita cantik berambut sebahu ikal muncul di hadapannya.

“Kang Agus?” tanya wanita itu.

Agus segera berdiri, menyalami wanita itu dengan ramah, “Ah betul, Tiana ya?”

“Iya betul.”

Senyuman teduhnya yang dipoles lipstick merah muda glossy, Agus tak bisa bohong kalau wanita yang ada di hadapannya itu sangat cantik. Satria memang tak salah memperkenalkan Tiana kepadanya tapi... memang hati Agus yang bermasalah.

Adisty masih terus melekat di hatinya.

“Kang Agus katanya mau berangkat ke Malaysia ya?”

“Iya.”

“Kapan?”

“Besok malam.”

“Cepet juga yah... padahal kita baru ketemu sekali, hehe...”

Agus cuman tersenyum simpul. Perlahan percakapan kedua insan itu semakin intens dan mengalir lancar, Agus berusaha untuk tidak menutup hatinya, ia akan mulai melangkahkan kakinya menuju halaman baru. Usianya kini sudah bukan lagi tentang kaitan masa lalu, Agus sudah harus move on secepatnya.

BRAKK!!!

“Sialan lo, lo pikir siapa bisa ngerendahin teman gue hah???!!!”

Agus dan Tiana sontak menoleh ke belakangnya, semua perhatian satu kafe tertuju kepada murka dari seorang wanita yang wajahnya sangat di kenali Agus.

“Duh, Bel, gak usah emosi—”

“LO PIKIR LO HEBAT HAH??!! DENGAN SIKAP LO YANG KAYAK GINI JUSTRU MEMPERJELAS KALAU MEMANG ADIS GAK PANTES DAPETIN LAKI-LAKI BRENGSEK KAYAK LO!! ADISTY TUH CEWEK BAIK-BAIK, SIALAN LO!!”

“Wah siapa nih emak-emak?! Orang gila!”

“Orang gilaa??!!”

GREPP!! DUAKK!!! Wanita yang membuat kericuhan itu langsung menjambak rambut tipis lelaki di hadapannya dan melayangkan lututnya tepat pada sasaran yaitu wajah lelaki tersebut. Seisi kafe menjerit kaget, sontak Agus langsung lari ke arah sumber keributan.

“Astaga, Bella! Apa-apaan sih lo??!!” pekik Agus.

Kedua wanita itu melotot lebar-lebar, “A-Agus??!!” Adisty ada disana, tak percaya akan kehadiran Agus disana dan Bella juga masih menganga dengan lawannya yang sudah terkapar di bawah kakinya. Bella langsung di tarik keluar kafe, bersama Adisty dan Agus meninggalkan urusan yang harusnya ia selesaikan.

Tiana dari tempatnya, diam mematung.


“Bel, kalau Abi tahu kelakuan lo habis siah!” Agus terus menceramahi Bella sepanjang jalan.

“Bawel! Lagian dia ngerendahin Adis! Masa tahu gak—”

Adisty dengan cepat bekap mulut Bella rapat-rapat, “Ah iya, biasalah si Bella sumbunya pendek bener! Sebel dikit langsung di baku hantam orangnya! Bel, kalo orangnya kenapa-kenapa kudu tanggung jawab lho!”

“Ngapain?! Duit dia lebih banyak daripada laki gue!”

Kedua kawan Bella cuman bisa menghela nafas panjang.

Akhirnya Agus memberanikan diri untuk menatap lurus mantan kekasihnya, begitupun Adisty. Meskipun dalam diam, lagi-lagi setruman dalam hatinya mulai menyengat keduanya, rasa rindu yang bergejolak bersama kenangan yang terus terbayang.

“Dis, tadi... laki-laki itu siapa?” yang keluar malahan kalimat itu dari bibir Agus, Adisty tersontak.

“Dia... anaknya kenalan Papa, tadinya mau di jodohin sama aku.” jawab Adisty.

“O-Oh? Terus?”

“Ya gak jadi, kan dipukulin Bella tadi.”

Bella menyergah, “Heh, maneh gelo nya?! Ya kali lo mau nikah sama cowok sakit jiwa kayak dia?! Mendingan Agus kemana-mana!!” tak sadar kalimat itu keluar dari bibir Bella di tengah situasi seperti saat ini, ia cepat-cepat menutup bibirnya dan merutuk mulut embernya.

Agus langsung menarik tangan Adisty, mengajaknya ke ujung tempat yang jaraknya lumayan jauh dari Bella.

“Gus?!” sentak Adisty.

“Apa yang kamu sembunyiin dari aku selama ini, Dis?!”

Adisty membulatkan matanya, “Hah?! A-Apaan sih—”

“Alasan kita putus masih belum jelas, aku tahu memang ada alasan tapi tolong kasih tahu aku kenapa kamu memutuskan untuk mengakhiri hubungan kita?!” “Aku gak halangin kamu kalau memang mau pergi dari aku, tapi tolong kasih tahu aku alasan yang jelas, alasan kamu pergi—”

“Aku sakit, Agus!!”

Agus mengernyit, “Ha-hah?”

“Aku sakit, dan aku gak mau kamu... ikut menanggung bebanku ini, kamu pantas untuk bahagia meskipun tanpa aku, Gus...”

“Sakit apa emang?”

“Gus, tolong—”

“Sakit apa?”

Nada suara Agus yang semakin dalam itu menyudutkan Adisty.

“Aku... mandul, Gus.”

Sekali lagi jantung Agus tersentak.

“Aku... mandul, Gus...aku gak akan bisa membuat kamu bahagia. Aku cuman jadi aib terbesar kamu—”

GREP! Agus memeluk erat ringkuh pelik wanita pujaan hatinya, kehangatan lalu yang sudah lama tak mereka rasakan kembali mengalir. Tangan besar Agus menepuk pelan pundak Adis.

“Kenapa kamu lebih memilih bertahan sendirian, Dis? Sedangkan kamu selama ini punya aku yang gak akan pergi kemana-mana...”

“Gak mau, Gus, aku gak mau karena sakit ini jadi membebani orang yang aku sayang. Biar aku yang tanggung semua ini, mungkin ini memang sudah jadi ujian yang harus aku hadapi sendiri. Kamu berbahagialah dengan wanita pilihanmu, Gus, kamu laki-laki baik. Kamu pantas dapat wanita yang lebih baik dari aku.”

“Kalau wanita pilihan aku itu kamu gimana?'

“Agus... tolong—”

“Dis, hati aku tetap gak berubah. Aku mau kamu yang akan menemani aku sepanjang hidup sampai titik di masa-masa tua kita, soal anak itu rejeki dari Yang Maha Kuasa. Kalau mau kita masih bisa berupaya, biar itu jadi urusan nanti tapi sekarang, aku tetap menginginkan kamu.” “Ayo kita nikah, Dis.”

Tangan Agus menggenggam erat tangan Adis, seiring eratnya genggaman tangan sang pria, pilu hati Adis semakin terasa hingga air matanya jatuh satu per satu. Bibirnya kelu untuk menjawab, karena hati Adis sendiri juga tak bisa memungkiri bahwa ia masih sangat mencintai pria di hadapannya.

“Ayo kita hidup bahagia sama-sama, Dis...”

“Agus... aku takut...”

“Jangan takut, ada aku, Dis. Kita hadapin semuanya berdua ya?”

Tangis haru Adis tak terbendung lagi, ia langsung lompat memeluk pria kasihnya erat-erat.

“Aku sayang sama kamu, Gus...”

“Aku juga, Dis.”

Meanwhile Isabella...

“Halo, Yang, jemput aku dong nih. Males banget jadi nyamuk disini.”

“Eh, aku masih meeting sama klien—”

“Abidzar, Jemput.”

“Oke siap dilaksanakan, Nyonya.”

Agus duduk dengan gugup sambil terus menyesap kopi hitamnya kikuk. Ia mengedar netranya kepada sekeliling, berharap orang yang akan ia temui ini segera datang agar tak banyak makan waktu percuma. Ia hendak mengambil ponselnya di saku, namun tak lama sosok wanita cantik berambut sebahu ikal muncul di hadapannya.

“Kang Agus?” tanya wanita itu.

Agus segera berdiri, menyalami wanita itu dengan ramah, “Ah betul, Tiana ya?”

“Iya betul.”

Senyuman teduhnya yang dipoles lipstick merah muda glossy , Agus tak bisa bohong kalau wanita yang ada di hadapannya itu sangat cantik. Satria memang tak salah memperkenalkan Tiana kepadanya tapi... memang hatinya yang ada salah.

Adisty masih terus melekat di dadanya.

“Kang Agus katanya mau berangkat ke Malaysia ya?”

“Iya.”

“Kapan?”

“Besok malam.”

“Cepet juga yah... padahal kita baru ketemu sekali, hehe...”

Agus cuman tersenyum simpul. Perlahan percakapan kedua insan itu semakin intens dan mengalir lancar, Agus berusaha untuk tidak menutup hatinya, ia akan mulai melangkahkan kakinya menuju halaman baru. Usianya kini sudah bukan lagi tentang kaitan masa lalu, Agus sudah harus move on secepatnya.

BRAKK!!!

“Sialan lo, lo pikir siapa bisa ngerendahin teman gue hah???!!!”

Agus dan Tiana sontak menoleh ke belakangnya, semua perhatian satu kafe tertuju kepada murka dari seorang wanita yang wajahnya sangat di kenali Agus.

“Duh, Bel, gak usah emosi—”

“LO PIKIR LO HEBAT HAH??!! DENGAN SIKAP LO YANG KAYAK GINI JUSTRU MEMPERJELAS KALAU MEMANG ADIS GAK PANTES DAPETIN LAKI-LAKI BRENGSEK KAYAK LO!! ADISTY TUH CEWEK BAIK-BAIK, SIALAN LO!!”

“Wah siapa nih emak-emak?! Orang gila!”

“Orang gilaa??!!”

GREPP!! DUAKK!!! Wanita yang membuat kericuhan itu langsung menjambak rambut tipis lelaki di hadapannya dan melayangkan lututnya tepat pada sasaran yaitu wajah lelaki tersebut. Seisi kafe menjerit kaget, sontak Agus langsung lari ke arah sumber keributan.

“Astaga, Bella! Apa-apaan sih lo??!!” pekik Agus.

Kedua wanita itu melotot lebar-lebar, “A-Agus??!!” Adisty ada disana, tak percaya akan kehadiran Agus disana dan Bella juga masih menganga dengan lawannya yang sudah terkapar di bawah kakinya. Bella langsung di tarik keluar kafe, bersama Adisty dan Agus meninggalkan urusan yang harusnya ia selesaikan.

Tiana dari tempatnya, diam mematung.


“Bel, kalau Abi tahu kelakuan lo habis siah!” Agus terus menceramahi Bella sepanjang jalan.

“Bawel! Lagian dia ngerendahin Adis! Masa tahu gak—”

Adisty dengan cepat bekap mulut Bella rapat-rapat, “Ah iya, biasalah si Bella sumbunya pendek bener! Sebel dikit langsung di baku hantam orangnya! Bel, kalo orangnya kenapa-kenapa kudu tanggung jawab lho!”

“Ngapain?! Duit dia lebih banyak daripada laki gue!”

Kedua kawan Bella cuman bisa menghela nafas panjang.

Akhirnya Agus memberanikan diri untuk menatap lurus mantan kekasihnya, begitupun Adisty. Meskipun dalam diam, lagi-lagi setruman dalam hatinya mulai menyengat keduanya, rasa rindu yang bergejolak bersama kenangan yang terus terbayang.

“Dis, tadi... laki-laki itu siapa?” yang keluar malahan kalimat itu dari bibir Agus, Adisty tersontak.

“Dia... anaknya kenalan Papa, tadinya mau di jodohin sama aku.” jawab Adisty.

“O-Oh? Terus?”

“Ya gak jadi, kan dipukulin Bella tadi.”

Bella menyergah, “Heh, maneh gelo nya?! Ya kali lo mau nikah sama cowok sakit jiwa kayak dia?! Mendingan Agus kemana-mana!!” tak sadar kalimat itu keluar dari bibir Bella di tengah situasi seperti saat ini, ia cepat-cepat menutup bibirnya dan merutuk mulut embernya.

Agus langsung menarik tangan Adisty, mengajaknya ke ujung tempat yang jaraknya lumayan jauh dari Bella.

“Gus?!” sentak Adisty.

“Apa yang kamu sembunyiin dari aku selama ini, Dis?!”

Adisty membulatkan matanya, “Hah?! A-Apaan sih—”

“Alasan kita putus masih belum jelas, aku tahu memang ada alasan tapi tolong kasih tahu aku kenapa kamu memutuskan untuk mengakhiri hubungan kita?!” “Aku gak halangin kamu kalau memang mau pergi dari aku, tapi tolong kasih tahu aku alasan yang jelas, alasan kamu pergi—”

“Aku sakit, Agus!!”

Agus mengernyit, “Ha-hah?”

“Aku sakit, dan aku gak mau kamu... ikut menanggung bebanku ini, kamu pantas untuk bahagia meskipun tanpa aku, Gus...”

“Sakit apa emang?”

“Gus, tolong—”

“Sakit apa?”

Nada suara Agus yang semakin dalam itu menyudutkan Adisty.

“Aku... mandul, Gus.”

Sekali lagi jantung Agus tersentak.

“Aku... mandul, Gus...aku gak akan bisa membuat kamu bahagia. Aku cuman jadi aib terbesar kamu—”

GREP! Agus memeluk erat ringkuh pelik wanita pujaan hatinya, kehangatan lalu yang sudah lama tak mereka rasakan kembali mengalir. Tangan besar Agus menepuk pelan pundak Adis.

“Kenapa kamu lebih memilih bertahan sendirian, Dis? Sedangkan kamu selama ini punya aku yang gak akan pergi kemana-mana...”

“Gak mau, Gus, aku gak mau karena sakit ini jadi membebani orang yang aku sayang. Biar aku yang tanggung semua ini, mungkin ini memang sudah jadi ujian yang harus aku hadapi sendiri. Kamu berbahagialah dengan wanita pilihanmu, Gus, kamu laki-laki baik. Kamu pantas dapat wanita yang lebih baik dari aku.”

“Kalau wanita pilihan aku itu kamu gimana?'

“Agus... tolong—”

“Dis, hati aku tetap gak berubah. Aku mau kamu yang akan menemani aku sepanjang hidup sampai titik di masa-masa tua kita, soal anak itu rejeki dari Yang Maha Kuasa. Kalau mau kita masih bisa berupaya, biar itu jadi urusan nanti tapi sekarang, aku tetap menginginkan kamu.” “Ayo kita nikah, Dis.”

Tangan Agus menggenggam erat tangan Adis, seiring eratnya genggaman tangan sang pria, pilu hati Adis semakin terasa hingga air matanya jatuh satu per satu. Bibirnya kelu untuk menjawab, karena hati Adis sendiri juga tak bisa memungkiri bahwa ia masih sangat mencintai pria di hadapannya.

“Ayo kita hidup bahagia sama-sama, Dis...”

“Agus... aku takut...”

“Jangan takut, ada aku, Dis. Kita hadapin semuanya berdua ya?”

Tangis haru Adis tak terbendung lagi, ia langsung lompat memeluk pria kasihnya erat-erat.

“Aku sayang sama kamu, Gus...”

“Aku juga, Dis.”

Meanwhile Isabella...

“Halo, Yang, jemput aku dong nih. Males banget jadi nyamuk disini.”

“Eh, aku masih meeting sama klien—”

“Abidzar, Jemput.”

“Oke siap dilaksanakan, Nyonya.”

Images

Adit mempersilahkan gadis berhijab pink pastel itu memasuki pintu kaca kafenya lalu ia masuk ke dalam staff office untuk memanggil bosnya yang akan mewawancara Ghaitsa.

“Oh ini temennya Adit?” sang bos tak berhenti mengulum senyum penuh arti, “Emang deh, Adit, kalo soal cewek nyarinya sekaligus buat jadi calon bini ye.”

Adit memukul lengan bosnya ringan malu, sambil garuk-garuk kepalanya bingung di depan sang pujaan hati. Ghaitsa menanggapi guyonan itu dengan uluman senyum kecil, sambil kembali fokus ke arah calon bosnya yang sedang membaca CV miliknya satu per satu tiap baris.

“Kamu anak BEM?” tanya sang bos kepada Ghaitsa.

“I-Iya, Mas.”

“Sibuk gak? Maksud aku, takut kamu kecapekan gitu soalnya kamu bakalan dapet shift sore sampai malam kayak Adit.”

“Enggak, kok, Mas! Saya masih bisa atur waktu untuk soal itu!”

“Yakin?”

“Iya!”

Pria itu meletakkan lagi CV-nya dalam map milik Ghaitsa, “Oke, kita lihat besok ya. Kamu datang jam 5 untuk trial dulu selama seminggu kalau udah cocok, kamu bisa jadi pelayan disini.” “Karena kamu temennya Adit, jadi Adit yang bertanggungjawab disini.”

Adit mengacung jempolnya siap, tak lama bel berdentang lagi di depan pintu dan kedua netra dari seorang gadis cantik di sana membuat Adit terkesiap belum lagi gadis itu langsung lari memeluknya erat-erat.

“Adududuh, Yumna! Yumna!”

“Adit lagi kerja ya?! Katanya mau nganter temen—”

Mata Yumna langsung menangkap ke arah gadis berhijab yang tengah menatapnya.

“Itu... temen Adit?” suara Yumna mulai purau.

“Iya,” jawab Adit singkat.

“Temen mana? Yumna gak pernah tahu.”

“Temen Rohis.”

“Yumna kenal semua temen Rohis Adit.”

“Emang semua temen Adit harus kamu kenal ya?”

Jawaban Adit membuat dada Yumna tersentak.

Dari belakang sana tak di sangka ada kedua pemuda yang tentu Adit sangat kenal. Adrian dan Dimas langsung mempercepat langkahnya untuk merangkul akrab si bungsu di kosannya, namun perhatian Adrian teralihkan ke wajah sendu sang gadis cantik yang ada di hadapan Adit.

“Oh, Yumna ya?” panggil Adrian, di balas senyuman simpul singkat Yumna yang langsung mencari tempat duduk di ujung belakang sana.

“Kita ngobrol disini aja ya, Kak” Yumna memberi aba-aba untuk Adrian agar duduk di depannya. Gadis itu kembali melirik sang lelaki bermata sipit asal Yogyakarta itu yang tengah bersenda gurau dengan gadis berhijab yang tak ia kenal. Hatinya mendadak perih, senyuman Adit tak pernah selebar itu ketika bersamanya.

“Jadi gimana, Yumna?” kalimat Adrian terhenti setelah tatapan nanar Yumna sukses mencuri perhatiannya, ia mengikuti arahan netra cantik Yumna yang masih terpaku ke arah Adit. Pemuda itu langsung peka dengan situasi,

Sialan juga si bungsu, diem-diem bikin anak gadis orang galau gitu, mana cakep lagi.

Bukan Adrian kalau tidak memanfaatkan keadaan.

“Ehem.”

Yumna tersontak lalu ia cepat-cepat menghadap Adrian lagi, “Eh iya kak?”

“Kok gitu banget ngelihatin Adit?”

Gadis itu mengatup bibirnya rapat-rapat, ia lanjut memberikan senyuman lebarnya sambil mengambil satu buku bersampul merah muda, “Ayo kita omongin soal project kita.”

Adrian menghempas tawa kecilnya, ia mengangguk mengikuti pinta sang gadis dan mengurung niatnya untuk mengambil 'peluang' yang baginya sedang terbuka lebar-lebar.

Meanwhile Dimas...

“Adrian biadab... yang salah parkir siapa, kenapa gue yang kudu repot pindahin motornya anjing...”

Images

Adit mempersilahkan gadis berhijab pink pastel itu memasuki pintu kaca kafenya lalu ia masuk ke dalam staff office untuk memanggil bosnya yang akan mewawancara Ghaitsa.

“Oh ini temennya Adit?” sang bos tak berhenti mengulum senyum penuh arti, “Emang deh, Adit, kalo soal cewek nyarinya sekaligus buat jadi calon bini ye.”

Adit memukul lengan bosnya ringan malu, sambil garuk-garuk kepalanya bingung di depan sang pujaan hati. Ghaitsa menanggapi guyonan itu dengan uluman senyum kecil, sambil kembali fokus ke arah calon bosnya yang sedang membaca CV miliknya satu per satu tiap baris.

“Kamu anak BEM?” tanya sang bos kepada Ghaitsa.

“I-Iya, Mas.”

“Sibuk gak? Maksud aku, takut kamu kecapekan gitu soalnya kamu bakalan dapet shift sore sampai malam kayak Adit.”

“Enggak, kok, Mas! Saya masih bisa atur waktu untuk soal itu!”

“Yakin?”

“Iya!”

Pria itu meletakkan lagi CV-nya dalam map milik Ghaitsa, “Oke, kita lihat besok ya. Kamu datang jam 5 untuk trial dulu selama seminggu kalau udah cocok, kamu bisa jadi pelayan disini.” “Karena kamu temennya Adit, jadi Adit yang bertanggungjawab disini.”

Adit mengacung jempolnya siap, tak lama bel berdentang lagi di depan pintu dan kedua netra dari seorang gadis cantik di sana membuat Adit terkesiap belum lagi gadis itu langsung lari memeluknya erat-erat.

“Adududuh, Yumna! Yumna!”

“Adit lagi kerja ya?! Katanya mau nganter temen—”

Mata Yumna langsung menangkap ke arah gadis berhijab yang tengah menatapnya.

“Itu... temen Adit?” suara Yumna mulai purau.

“Iya,” jawab Adit singkat.

“Temen mana? Yumna gak pernah tahu.”

“Temen Rohis.”

“Yumna kenal semua temen Rohis Adit.”

“Emang semua temen Adit harus kamu kenal ya?”

Jawaban Adit membuat dada Yumna tersentak.

Dari belakang sana tak di sangka ada kedua pemuda yang tentu Adit sangat kenal. Adrian dan Dimas langsung mempercepat langkahnya untuk merangkul akrab si bungsu di kosannya, namun perhatian Adrian teralihkan ke wajah sendu sang gadis cantik yang ada di hadapan Adit.

“Oh, Yumna ya?” panggil Adrian, di balas senyuman simpul singkat Yumna yang langsung mencari tempat duduk di ujung belakang sana.

“Kita ngobrol disini aja ya, Kak” Yumna memberi aba-aba untuk Adrian agar duduk di depannya. Gadis itu kembali melirik sang lelaki bermata sipit asal Yogyakarta itu yang tengah bersenda gurau dengan gadis berhijab yang tak ia kenal. Hatinya mendadak perih, senyuman Adit tak pernah selebar itu ketika bersamanya.

“Jadi gimana, Yumna?” kalimat Adrian terhenti setelah tatapan nanar Yumna sukses mencuri perhatiannya, ia mengikuti arahan netra cantik Yumna yang masih terpaku ke arah Adit. Pemuda itu langsung peka dengan situasi,

Sialan juga si bungsu, diem-diem bikin anak gadis orang galau gitu, mana cakep lagi.

Bukan Adrian kalau tidak memanfaatkan keadaan.

“Ehem.”

Yumna tersontak lalu ia cepat-cepat menghadap Adrian lagi, “Eh iya kak?”

“Kok gitu banget ngelihatin Adit?”

Gadis itu mengatup bibirnya rapat-rapat, ia lanjut memberikan senyuman lebarnya sambil mengambil satu buku bersampul merah muda, “Ayo kita omongin soal project kita.”

Adrian menghempas tawa kecilnya, ia mengangguk mengikuti pinta sang gadis dan mengurung niatnya untuk mengambil 'peluang' yang baginya sedang terbuka lebar-lebar.

Meanwhile Dimas...

“Adrian biadab... yang salah parkir siapa, kenapa gue yang kudu repot pindahin motornya anjing...”