shinelyght

“Proyeknya aman kan? Gak ada campur tangan politik atau antek-anteknya?”

“Bersih, Bra, ini emang pure pembangunan komplek perumahan baru di sektor yang udah deal dari jaman Eyang Indra.”

“Terus ini ada persetujuan pemindahan sekolah maksudnya buat apa?”

“Ini planning aja dari anak-anak katanya buat naikin harga, kita harus ada strategi—”

“Bangun sekolah atau pindahin sekolah? Ini sekolah elit, gue tahu mulai ada campur politik nih. Segala staf menteri pendidikan ikut campur maksudnya apa?” “Gue juga bagian dari pimpinan PT. Soetomo Group, kalau ada satu orang aja yang mau main kotor di perusahaan kita, gua pecat secara tidak terhormat. Paham?”

Seisi ruangan meeting online senyap bahkan satu per satu karyawannya mematikan kamera gemetar.

Itulah sosok Ibrahim yang kalian kenal sebagai anak yang banyak tingkah dan tengil. Dia tumbuh menjadi pemuda yang sangat tegas dan tak segan-segan menindaki apapun yang menurutnya menyimpang dari prinsip agama dan keadilan, meskipun ia bukan secara resmi menjabat sebagai Direktur dari PT. Soetomo Group tapi dia tetap berperan sebagai shadow-leader yang ikut bertanggung jawab atas perusahaan keluarganya itu.

“Gue mau bangun komplek khusus juga untuk para pasutri muda yang baru merintis. Biasanya pasangan-pasangan muda yang baru nikah tuh lagi susah-susahnya nyari rumah yang sesuai sama budget, jadi komplek ini juga mau gue adakan prioritas untuk para pasutri muda juga rumah-rumah asrama yatim di blok C,” imbuhnya lagi sambil melepas kacamatanya, “Ada yang mau bicara?”

Trian membuka speaker, “Untuk bagian blok A nya itu beberapa udah ada investor yang naruh modal di kita, Bra.”

“Setelah gue balik dari Budapest, kita adain rapat besar sama para investor. Banyak hal yang harus gue sampaikan.” “Ajak juga Om Jeffry biar dia saksiin langsung kerja kita.”

Ibra langsung menegapkan posisi duduknya lagi, “Untuk gambaran besarnya udah kita bahas ya, nanti malam gue kirim semua desainnya tinggal kalian finishing lagi, begitu gue balik kita tinggal buat presentasinya.” “Oke kalo gitu sekian, have a nice day semua, Wassalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.”

“Waalaikumsalam Warahmatullahi Wabarakatuh... Terima kasih Pak Ibra...”

“Selamat liburan, ya, Pak Ibra...”

Ibra keluar dari ruangan meeting lalu cepat dia menutup laptopnya dengan hempasan nafas kasar.

“Yaudah lah, sekali-kali gue liburan. Kalau ada salah dikit tinggal gue semprot nih antek-antek kotornya.”

Pemuda bersurai coklat tua itu memasukkan laptopnya ke dalam tas laptop tipis yang ia tenteng. Ia berdiri merapihkan sampahnya lalu membayar semua minumannya.

Eh iya, kata Bang Husein kalau bayar di kafe harus sisihin untuk tipnya ya...

Ibra melebihkan uang bayarannya sebelum di serahkan kepada kasir lalu ia melangkah lagi keluar untuk menjemput kakaknya yang mungkin jarak tempuhnya 3 km dari kafe.

DUK! DUK!!

BRUUUKKKK!!!

DRRK! BRAK!

“Arghh!!” Ibra memekik begitu laptopnya terlempar dari tangannya lalu matanya kembali membulat ketika wanita aneh bergaun putih menarik tangannya dan mengajaknya lari bersembunyi di balik sekat gang kecil. Tubuhnya terhimpit hingga keduanya saling terdekap, jantung Ibra berdesir tak menentu karena aroma feminin yang mendempet tubuhnya.

Ya Allah... ini bukan keinginan hamba, serius... ini cewek siapa sih??!!

“Errr... excuse me—”

“Ssstt...!” Bibir Ibra di bekap rapat-rapat oleh tangan mungilnya.

Sarap nih cewek!

Ibra langsung teringat tas laptop yang terlempar tadi. Ia membuang barang berharganya karena ulah wanita aneh yang tak dikenalnya ini dan mau marah pun rasanya tak sanggup.

Kalau boleh jujur, wanita ini terlalu cantik untuk di marahi.

“Ah... that shit old man ....”

Ibra mengerut kedua alisnya heran, akhirnya tubuh lelaki itu terlepas dari dekapan wanita yang menghimpitnya.

“Ah, i'm so sorry... i don't really mean it,” Wanita itu hendak pergi namun di tahan oleh Ibra.

“You just broke my laptop.”

“So-sorry?”

“You. just. broke. my. LAPTOP!”

Tatapan mata Ibra semakin menusuk seiring laki-laki itu menunjukkan tentengan tas laptopnya barusan yang terpental tepat di hadapan wajah wanita tersebut. Tak tanggung-tanggung, Ibra menunjukkan layar laptopnya yang sudah hancur karena ulah wanita tadi.

“O-oh my god, i'm so sorry, sir, i'll pay for the repair, or do i need to get you a new laptop?!”

Ibra mendesis kesal, “It's not about the laptop, but the data— Arghhh!! gue niat liburan kenapa malah apes gini sih??!!”

Wanita itu mengernyit, “Orang... Indonesia?”

Bukannya lega justru Ibra menganga, “Owalah cok orang Indonesia si mbaknya! Mbak! Ini laptop saya gimana?! Mau tanggung jawab kayak gimana ini kalau udah hancur gini?! Ini banyak data-data penting di laptop saya!!”

“Mas, serius saya akan ganti rugi semuanya mau biaya perbaikan atau ganti laptop baru, pokoknya saya akan tanggung jawab!”

“Saya juga mampu dua-duanya!”

“Terus maunya apa?!”

Keduanya beradu tatap tajam.

“Duh gini aja deh, Masnya pegang kartu nama saya disitu ada nomor telepon saya jadi kalau mas sewaktu-waktu butuh sesuatu hubungi saya ya mas!” “Beneran ini saya sibuk banget, saya anggap itu hutang jadi jangan lupa ya mas! Mari!!”

“Wey! Wey!!”

Wanita tadi sukses kabur dari kecaman Ibra dan meninggalkan kartu nama berwarna putih berimitasi emas cantik dengan ukiran nama yang tertera...

“Roseanne Blanché? Ini serius orang Indonesia?” “Yaudah gue tandain.”

“Proyeknya aman kan? Gak ada campur tangan politik atau antek-anteknya?”

“Bersih, Bra, ini emang pure pembangunan komplek perumahan baru di sektor yang udah deal dari jaman Eyang Indra.”

“Terus ini ada persetujuan pemindahan sekolah maksudnya buat apa?”

“Ini planning aja dari anak-anak katanya buat naikin harga, kita harus ada strategi—”

“Bangun sekolah atau pindahin sekolah? Ini sekolah elit, gue tahu mulai ada campur politik nih. Segala staf menteri pendidikan ikut campur maksudnya apa?” “Gue juga bagian dari pimpinan PT. Soetomo Group, kalau ada satu orang aja yang mau main kotor di perusahaan kita, gua pecat secara tidak terhormat. Paham?”

Seisi ruangan meeting online senyap bahkan satu per satu karyawannya mematikan kamera gemetar.

Itulah sosok Ibrahim yang kalian kenal sebagai anak yang banyak tingkah dan tengil. Dia tumbuh menjadi pemuda yang sangat tegas dan tak segan-segan menindaki apapun yang menurutnya menyimpang dari prinsip agama dan keadilan, meskipun ia bukan secara resmi menjabat sebagai Direktur dari PT. Soetomo Group tapi dia tetap berperan sebagai shadow-leader yang ikut bertanggung jawab atas perusahaan keluarganya itu.

“Gue mau bangun komplek khusus juga untuk para pasutri muda yang baru merintis. Biasanya pasangan-pasangan muda yang baru nikah tuh lagi susah-susahnya nyari rumah yang sesuai sama budget, jadi komplek ini juga mau gue adakan prioritas untuk para pasutri muda juga rumah-rumah asrama yatim di blok C,” imbuhnya lagi sambil melepas kacamatanya, “Ada yang mau bicara?”

Trian membuka speaker, “Untuk bagian blok A nya itu beberapa udah ada investor yang naruh modal di kita, Bra.”

“Setelah gue balik dari Budapest, kita adain rapat besar sama para investor. Banyak hal yang harus gue sampaikan.” “Ajak juga Om Jeffry biar dia saksiin langsung kerja kita.”

Ibra langsung menegapkan posisi duduknya lagi, “Untuk gambaran besarnya udah kita bahas ya, nanti malam gue kirim semua desainnya tinggal kalian finishing lagi, begitu gue balik kita tinggal buat presentasinya.” “Oke kalo gitu sekian, have a nice day semua, Wassalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.”

“Waalaikumsalam Warahmatullahi Wabarakatuh... Terima kasih Pak Ibra...”

“Selamat liburan, ya, Pak Ibra...”

Ibra keluar dari ruangan meeting lalu cepat dia menutup laptopnya dengan hempasan nafas kasar.

“Yaudah lah, sekali-kali gue liburan. Kalau ada salah dikit tinggal gue semprot nih antek-antek kotornya.”

Pemuda bersurai coklat tua itu memasukkan laptopnya ke dalam tas laptop tipis yang ia tenteng. Ia berdiri merapihkan sampahnya lalu membayar semua minumannya.

Eh iya, kata Bang Husein kalau bayar di kafe harus sisihin untuk tipnya ya...

Ibra melebihkan uang bayarannya sebelum di serahkan kepada kasir lalu ia melangkah lagi keluar untuk menjemput kakaknya yang mungkin jarak tempuhnya 3 km dari kafe.

DUK! DUK!!

BRUUUKKKK!!!

DRRK! BRAK!

“Arghh!!” Ibra memekik begitu laptopnya terlempar dari tangannya lalu matanya kembali membulat ketika wanita aneh bergaun putih menarik tangannya dan mengajaknya lari bersembunyi di balik sekat gang kecil. Tubuhnya terhimpit hingga keduanya saling terdekap, jantung Ibra berdesir tak menentu karena aroma feminin yang mendempet tubuhnya.

Ya Allah... ini bukan keinginan hamba, serius... ini cewek siapa sih??!!

“Errr... excuse me—”

“Ssstt...!” Bibir Ibra di bekap rapat-rapat oleh tangan mungilnya.

Sarap nih cewek!

Ibra langsung teringat tas laptop yang terlempar tadi. Ia membuang barang berharganya karena ulah wanita aneh yang tak dikenalnya ini dan mau marah pun rasanya tak sanggup.

Kalau boleh jujur, wanita ini terlalu cantik untuk di marahi.

“Ah... that shit old man ....”

Ibra mengerut kedua alisnya heran, akhirnya tubuh lelaki itu terlepas dari dekapan wanita yang menghimpitnya.

“Ah, i'm so sorry... i don't really mean it,” Wanita itu hendak pergi namun di tahan oleh Ibra.

“You just broke my laptop.”

“So-sorry?”

“You. just. broke. my. LAPTOP!”

Tatapan mata Ibra semakin menusuk seiring laki-laki itu menunjukkan tentengan tas laptopnya barusan yang terpental tepat di hadapan wajah wanita tersebut. Tak tanggung-tanggung, Ibra menunjukkan layar laptopnya yang sudah hancur karena ulah wanita tadi.

“O-oh my god, i'm so sorry, sir, i'll pay for the repair, or do i need to get you a new laptop?!”

Ibra mendesis kesal, “It's not about the laptop, but the data— Arghhh!! gue niat liburan kenapa malah apes gini sih??!!”

Wanita itu mengernyit, “Orang... Indonesia?”

Bukannya lega justru Ibra menganga, “Owalah cok orang Indonesia si mbaknya! Mbak! Ini laptop saya gimana?! Mau tanggung jawab kayak gimana ini kalau udah hancur gini?! Ini banyak data-data penting di laptop saya!!”

“Mas, serius saya akan ganti rugi semuanya mau biaya perbaikan atau ganti laptop baru, pokoknya saya akan tanggung jawab!”

“Saya juga mampu dua-duanya!”

“Terus maunya apa?!”

Keduanya beradu tatap tajam.

“Duh gini aja deh, Masnya pegang kartu nama saya disitu ada nomor telepon saya jadi kalau mas sewaktu-waktu butuh sesuatu hubungi saya ya mas!” “Beneran ini saya sibuk banget, saya anggap itu hutang jadi jangan lupa ya mas! Mari!!”

“Wey! Wey!!”

Wanita tadi sukses kabur dari kecaman Ibra dan meninggalkan kartu nama berwarna putih berimitasi emas cantik dengan ukiran nama yang tertera...

“Roseanne Blanché? Ini serius orang Indonesia?” “Yaudah gue tandain.”

“Proyeknya aman kan? Gak ada campur tangan politik atau antek-anteknya?”

*“Bersih, Bra, ini emang pure pembangunan komplek perumahan baru di sektor yang udah deal dari jaman Eyang Indra.”*

“Terus ini ada persetujuan pemindahan sekolah maksudnya buat apa?”

“Ini planning aja dari anak-anak katanya buat naikin harga, kita harus ada strategi—”

“Bangun sekolah atau pindahin sekolah? Ini sekolah elit, gue tahu mulai ada campur politik nih. Segala staf menteri pendidikan ikut campur maksudnya apa?” “Gue juga bagian dari pimpinan PT. Soetomo Group, kalau ada satu orang aja yang mau main kotor di perusahaan kita, gua pecat secara tidak terhormat. Paham?”

Seisi ruangan meeting online senyap bahkan satu per satu karyawannya mematikan kamera gemetar.

Itulah sosok Ibrahim yang kalian kenal sebagai anak yang banyak tingkah dan tengil. Dia tumbuh menjadi pemuda yang sangat tegas dan tak segan-segan menindaki apapun yang menurutnya menyimpang dari prinsip agama dan keadilan, meskipun ia bukan secara resmi menjabat sebagai Direktur dari PT. Soetomo Group tapi dia tetap berperan sebagai shadow-leader yang ikut bertanggung jawab atas perusahaan keluarganya itu.

“Gue mau bangun komplek khusus juga untuk para pasutri muda yang baru merintis. Biasanya pasangan-pasangan muda yang baru nikah tuh lagi susah-susahnya nyari rumah yang sesuai sama budget, jadi komplek ini juga mau gue adakan prioritas untuk para pasutri muda juga rumah-rumah asrama yatim di blok C,” imbuhnya lagi sambil melepas kacamatanya, “Ada yang mau bicara?”

Trian membuka speaker, “Untuk bagian blok A nya itu beberapa udah ada investor yang naruh modal di kita, Bra.”

“Setelah gue balik dari Budapest, kita adain rapat besar sama para investor. Banyak hal yang harus gue sampaikan.” “Ajak juga Om Jeffry biar dia saksiin langsung kerja kita.”

Ibra langsung menegapkan posisi duduknya lagi, “Untuk gambaran besarnya udah kita bahas ya, nanti malam gue kirim semua desainnya tinggal kalian finishing lagi, begitu gue balik kita tinggal buat presentasinya.” “Oke kalo gitu sekian, have a nice day semua, Wassalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.”

“Waalaikumsalam Warahmatullahi Wabarakatuh... Terima kasih Pak Ibra...”

“Selamat liburan, ya, Pak Ibra...”

Ibra keluar dari ruangan meeting lalu cepat dia menutup laptopnya dengan hempasan nafas kasar.

“Yaudah lah, sekali-kali gue liburan. Kalau ada salah dikit tinggal gue semprot nih antek-antek kotornya.”

Pemuda bersurai coklat tua itu memasukkan laptopnya ke dalam tas laptop tipis yang ia tenteng. Ia berdiri merapihkan sampahnya lalu membayar semua minumannya.

Eh iya, kata Bang Husein kalau bayar di kafe harus sisihin untuk tipnya ya...

Ibra melebihkan uang bayarannya sebelum di serahkan kepada kasir lalu ia melangkah lagi keluar untuk menjemput kakaknya yang mungkin jarak tempuhnya 3 km dari kafe.

DUK! DUK!!

BRUUUKKKK!!!

DRRK! BRAK!

“Arghh!!” Ibra memekik begitu laptopnya terlempar dari tangannya lalu matanya kembali membulat ketika wanita aneh bergaun putih menarik tangannya dan mengajaknya lari bersembunyi di balik sekat gang kecil. Tubuhnya terhimpit hingga keduanya saling terdekap, jantung Ibra berdesir tak menentu karena aroma feminin yang mendempet tubuhnya.

Ya Allah... ini bukan keinginan hamba, serius... ini cewek siapa sih??!!

“Errr... excuse me—”

“Ssstt...!” Bibir Ibra di bekap rapat-rapat oleh tangan mungilnya.

Sarap nih cewek!

Ibra langsung teringat tas laptop yang terlempar tadi. Ia membuang barang berharganya karena ulah wanita aneh yang tak dikenalnya ini dan mau marah pun rasanya tak sanggup.

Kalau boleh jujur, wanita ini terlalu cantik untuk di marahi.

“Ah... that shit old man ....”

Ibra mengerut kedua alisnya heran, akhirnya tubuh lelaki itu terlepas dari dekapan wanita yang menghimpitnya.

“Ah, i'm so sorry... i don't really mean it,” Wanita itu hendak pergi namun di tahan oleh Ibra.

“You just broke my laptop.”

“So-sorry?”

“You. just. broke. my. LAPTOP!”

Tatapan mata Ibra semakin menusuk seiring laki-laki itu menunjukkan tentengan tas laptopnya barusan yang terpental tepat di hadapan wajah wanita tersebut. Tak tanggung-tanggung, Ibra menunjukkan layar laptopnya yang sudah hancur karena ulah wanita tadi.

“O-oh my god, i'm so sorry, sir, i'll pay for the repair, or do i need to get you a new laptop?!”

Ibra mendesis kesal, “It's not about the laptop, but the data— Arghhh!! gue niat liburan kenapa malah apes gini sih??!!”

Wanita itu mengernyit, “Orang... Indonesia?”

Bukannya lega justru Ibra menganga, “Owalah cok orang Indonesia si mbaknya! Mbak! Ini laptop saya gimana?! Mau tanggung jawab kayak gimana ini kalau udah hancur gini?! Ini banyak data-data penting di laptop saya!!”

“Mas, serius saya akan ganti rugi semuanya mau biaya perbaikan atau ganti laptop baru, pokoknya saya akan tanggung jawab!”

“Saya juga mampu dua-duanya!”

“Terus maunya apa?!”

Keduanya beradu tatap tajam.

“Duh gini aja deh, Masnya pegang kartu nama saya disitu ada nomor telepon saya jadi kalau mas sewaktu-waktu butuh sesuatu hubungi saya ya mas!” “Beneran ini saya sibuk banget, saya anggap itu hutang jadi jangan lupa ya mas! Mari!!”

“Wey! Wey!!”

Wanita tadi sukses kabur dari kecaman Ibra dan meninggalkan kartu nama berwarna putih berimitasi emas cantik dengan ukiran nama yang tertera...

“Roseanne Blanché? Ini serius orang Indonesia?” “Yaudah gue tandain.”

Bersama deruan angin musim dingin, keluarga Haidar di sambut hangat oleh seorang wanita paruh baya berjilbab panjang yang rupanya itu tak berubah.

“OMG ANGELL!!” Tentu yang teriak kegirangan itu Anela setelah sekian lama tak bersua dengan sahabat sejak kuliahnya itu.

“Ya ampun, Anela, gue kangen banget sama lo...!!”

Kedua wanita itu langsung saling mencuit berbagi cerita melepas rindu, begitupun kedua laki-laki yang rambutnya itu sudah mulai memutih, Haidar dengan kacamata bulatnya langsung mengelap lensanya yang berembun, Angel menyuguhkan chamomile tea dan Langos, makanan khas Hungaria yang disajikan dengan roti pipih di taburi topping keju, krim asam, kacang, coklat. Proses pembuatan langos ini menggunakan metode panggang menggunakan tungku dan masih tradisional sekali sehingga tidak mengandung minyak goreng berlebihan.

“Wuih apa nih namanya?”

“Langos, ini cemilan favoritnya Husein.”

Mina menoleh ke arah Husein yang duduk di sampingnya. Pemuda itu memang terlihat memakan roti khas Hungaria itu dengan sangat lahap.

“Nah... kalau ini adalah makanan favorit orang sini kalau lagi musim dingin...”

TREK! Angel meletakkan lagi satu sajian yang berkuah merah oranye pekat, bentuknya persis seperti gulai merah dan aroma pedasnya juga cukup mencuat indra penciuman.

“Ini namanya Beef Goulash, bentuk rasanya mirip kok kayak kuah di Sumatra yang mericanya kuat.”

Begitu Ibra mencicipi sajian goulash yang di hidangkan, “Ah iya, pedes euy! tapi enak kalau di makan pas dingin-dingin gini!” “Jadi keinget seblak!”

Satu ruangan makan langsung tertawa terbahak-bahak mendengar celetukan Ibra.

“Abis ini mau jalan-jalan gak lihat kota Budapest?” usul Angel.

“Tapi kalo lagi hari Minggu gini suka ramai wisatanya, Bun,” timpal Adit.

“Iya sih...”

Husein langsung membuka suara, “Enggak juga kok, tadi aku ketemu sama temen deket Buda Castle gak begitu ramai. Udaranya mumpung lagi segar jadi mending kita ajak jalan-jalan aja?”

Mina tersentak lagi, Temen katanya? jangan-jangan tadi yang Mina lihat itu... masa sih cuman temen sampai gandengan gitu?

“Tuh, Yah, mending kita ajak aja mereka jalan-jalan.”

Adit mengangguk nurut, “Hah... oke kalo gitu, tapi satu mobil cukup ini 7 orang?”

Husein buka suara lagi, “Yang anak muda mah jalan aja! Ya gak, Bra, Mina?”

Keduanya tersontak, terutama Ibra yang gak setuju, “Ah elah capek gua!”

“Ye badan udah berotot gitu masa jalan-jalan keliling kota gak sanggup? Mina gapapa kan kalau kita jalan?”

Mina cuman mengangguk kikuk bingung.

“Berarti misah nih ya para anak muda?”

Husein mengacung jempolnya mantap.

“Oke, mari bapak-ibu kita ke mobil duluan kalo gitu” Adit mempersilahkan Haidar dan Anela keluar duluan menuju mobilnya, meninggalkan ketiga anak muda yang tengah bantu membereskan piring kotor yang ada di meja.

“Udah, Mina, taruh aja disitu nanti aku yang cuci,” tutur Husein.

“Gapapa, biar Mina yang cuciin sekalian,” Mina menepis tangan Husein yang terus merebut piringnya dan akhirnya mereka berakhir berdiri sampingan untuk mengurus urusan piring.

Sial, makanya gue ogah jalan bertiga sama mereka ujung-ujungnya gue yang jadi nyamuk!! — Ibra


“Wah... pemandangannya bagus banget kalau di lihat dari sini ya!!”

Mina tak berhenti mendecak kagum dengan pemandangan yang di suguhkan dari tempat bernama Fisherman's Bastion, yang letaknya berada di bagian distrik Istana Buda.

“Tempat ini namanya Fisherman’s Bastion, Mina... disini ada tujuh menara yang menggambarkan tujuh suku Magyar, suku asli di Hongaria. Dinding Istana Buda dulunya dilindungi para nelayan, itulah kenapa bangunan tempat ini dinamakan Fisherman’s Bastion...” jelas Husein.

Mina mengangguk paham. ia cepat merogoh sakunya lalu menyodorkan kameranya ke Husein, “Bang Husein boleh fotoin Mina gak disini?”

Husein tersenyum teduh, “Boleh, sini.”

Mina berpose manis di hadapan kamera yang memotretnya. Husein terhenyak sejenak.

“Sebentar, Mina,” Husein mengambil ponselnya dari saku jaketnya.

“Eh, kok foto pake hape Bang Husein juga??” tanya Mina heran.

Husein cuman membalasnya lagi dengan senyuman simpul, “Gapapa, pengen ngeabadiin momen bagus aja.” “Ayo pose lagi, satu... dua... tiga ....”

CKREK! Wajah cantik Mina sukses di abadikan ponsel Husein. Pria itu menatap lemat-lemat senyuman lebar Mina yang membuat jantungnya berdegup kencang. Mina langsung berlari ke arah Husein, “Mana? Mina mau lihat!”

Mina mengambil kameranya juga ponsel Husein yang menampilkan jepretan posenya.

“Ih ini bagus banget! Kirimin ke aku dong!”

Husein cepat menarik ponselnya, “No-Nomor aku kan ganti, Mina.”

“Hah? Bukannya enggak? Kata Ibra, Bang Husein nomornya masih aktif.”

Husein mengatup bibirnya rapat-rapat.

“Gapapa, itu nomor darurat aja, sebutin nomor kamu biar aku simpen ulang.”

Mina cuman memanggut kepalanya, “Yaudah, nih nomor aku,” gadis itu menyodorkan nomor ponselnya ke Husein. Setelah lelaki itu menyimpan kontak Mina, ia langsung menyimpan ponselnya lagi ke dalam saku jaketnya dan kembali mengajak gadis itu berkeliling.

Mereka melupakan satu orang di belakangnya.

“Argh... gue mau balik ke hotel aja lah anjir! Jauh-jauh kesini cuman buat jadi nyamuk!” “HEH SEMPRUL TUNGGUIN GUE, ASIK BERDUAAN AJA LU PADA!!!!”

Bersama deruan angin musim dingin, keluarga Haidar di sambut hangat oleh seorang wanita paruh baya berjilbab panjang yang rupanya itu tak berubah.

“OMG ANGELL!!” Tentu yang teriak kegirangan itu Anela setelah sekian lama tak bersua dengan sahabat sejak kuliahnya itu.

“Ya ampun, Anela, gue kangen banget sama lo...!!”

Kedua wanita itu langsung saling mencuit berbagi cerita melepas rindu, begitupun kedua laki-laki yang rambutnya itu sudah mulai memutih, Haidar dengan kacamata bulatnya langsung mengelap lensanya yang berembun, Angel menyuguhkan chamomile tea dan Langos, makanan khas Hungaria yang disajikan dengan roti pipih di taburi topping keju, krim asam, kacang, coklat. Proses pembuatan langos ini menggunakan metode panggang menggunakan tungku dan masih tradisional sekali sehingga tidak mengandung minyak goreng berlebihan.

“Wuih apa nih namanya?”

“Langos, ini cemilan favoritnya Husein.”

Mina menoleh ke arah Husein yang duduk di sampingnya. Pemuda itu memang terlihat memakan roti khas Hungaria itu dengan sangat lahap.

“Nah... kalau ini adalah makanan favorit orang sini kalau lagi musim dingin...”

TREK! Angel meletakkan lagi satu sajian yang berkuah merah oranye pekat, bentuknya persis seperti gulai merah dan aroma pedasnya juga cukup mencuat indra penciuman.

“Ini namanya Beef Goulash, bentuk rasanya mirip kok kayak kuah di Sumatra yang mericanya kuat.”

Begitu Ibra mencicipi sajian goulash yang di hidangkan, “Ah iya, pedes euy! tapi enak kalau di makan pas dingin-dingin gini!” “Jadi keinget seblak!”

Satu ruangan makan langsung tertawa terbahak-bahak mendengar celetukan Ibra.

“Abis ini mau jalan-jalan gak lihat kota Budapest?” usul Angel.

“Tapi kalo lagi hari Minggu gini suka ramai wisatanya, Bun,” timpal Adit.

“Iya sih...”

Husein langsung membuka suara, “Enggak juga kok, tadi aku ketemu sama temen deket Buda Castle gak begitu ramai. Udaranya mumpung lagi segar jadi mending kita ajak jalan-jalan aja?”

Mina tersentak lagi, Temen katanya? jangan-jangan tadi yang Mina lihat itu... masa sih cuman temen sampai gandengan gitu?

“Tuh, Yah, mending kita ajak aja mereka jalan-jalan.”

Adit mengangguk nurut, “Hah... oke kalo gitu, tapi satu mobil cukup ini 7 orang?”

Husein buka suara lagi, “Yang anak muda mah jalan aja! Ya gak, Bra, Mina?”

Keduanya tersontak, terutama Ibra yang gak setuju, “Ah elah capek gua!”

“Ye badan udah berotot gitu masa jalan-jalan keliling kota gak sanggup? Mina gapapa kan kalau kita jalan?”

Mina cuman mengangguk kikuk bingung.

“Berarti misah nih ya para anak muda?”

Husein mengacung jempolnya mantap.

“Oke, mari bapak-ibu kita ke mobil duluan kalo gitu” Adit mempersilahkan Haidar dan Anela keluar duluan menuju mobilnya, meninggalkan ketiga anak muda yang tengah bantu membereskan piring kotor yang ada di meja.

“Udah, Mina, taruh aja disitu nanti aku yang cuci,” tutur Husein.

“Gapapa, biar Mina yang cuciin sekalian,” Mina menepis tangan Husein yang terus merebut piringnya dan akhirnya mereka berakhir berdiri sampingan untuk mengurus urusan piring.

Sial, makanya gue ogah jalan bertiga sama mereka ujung-ujungnya gue yang jadi nyamuk!! — Ibra


“Wah... pemandangannya bagus banget kalau di lihat dari sini ya!!”

Mina tak berhenti mendecak kagum dengan pemandangan yang di suguhkan dari tempat bernama Fisherman's Bastion, yang letaknya berada di bagian distrik Istana Buda.

“Tempat ini namanya Fisherman’s Bastion, Mina... disini ada tujuh menara yang menggambarkan tujuh suku Magyar, suku asli di Hongaria. Dinding Istana Buda dulunya dilindungi para nelayan, itulah kenapa bangunan tempat ini dinamakan Fisherman’s Bastion...” jelas Husein.

Mina mengangguk paham. ia cepat merogoh sakunya lalu menyodorkan kameranya ke Husein, “Bang Husein boleh fotoin Mina gak disini?”

Husein tersenyum teduh, “Boleh, sini.”

Mina berpose manis di hadapan kamera yang memotretnya. Husein terhenyak sejenak.

“Sebentar, Mina,” Husein mengambil ponselnya dari saku jaketnya.

“Eh, kok foto pake hape Bang Husein juga??” tanya Mina heran.

Husein cuman membalasnya lagi dengan senyuman simpul, “Gapapa, pengen ngeabadiin momen bagus aja.” “Ayo pose lagi, satu... dua... tiga ....”

CKREK! Wajah cantik Mina sukses di abadikan ponsel Husein. Pria itu menatap lemat-lemat senyuman lebar Mina yang membuat jantungnya berdegup kencang. Mina langsung berlari ke arah Husein, “Mana? Mina mau lihat!”

Mina mengambil kameranya juga ponsel Husein yang menampilkan jepretan posenya.

“Ih ini bagus banget! Kirimin ke aku dong!”

Husein cepat menarik ponselnya, “No-Nomor aku kan ganti, Mina.”

“Hah? Bukannya enggak? Kata Ibra, Bang Husein nomornya masih aktif.”

Husein mengatup bibirnya rapat-rapat.

“Gapapa, itu nomor darurat aja, sebutin nomor kamu biar aku simpen ulang.”

Mina cuman memanggut kepalanya, “Yaudah, nih nomor aku,” gadis itu menyodorkan nomor ponselnya ke Husein. Setelah lelaki itu menyimpan kontak Mina, ia langsung menyimpannya lagi ke dalam saku jaketnya dan kembali mengajak gadis itu berkeliling.

Mereka melupakan satu orang di belakangnya.

“Argh... gue mau balik ke hotel ajalah anjir! Jauh-jauh kesini cuman buat jadi nyamuk!” “HEH SEMPRUL TUNGGUIN GUE, ASIK BERDUAAN AJA LU PADA!!!!”

Bersama deruan angin musim dingin, keluarga Haidar di sambut hangat oleh seorang wanita paruh baya berjilbab panjang yang rupanya itu tak berubah.

“OMG ANGELL!!” Tentu yang teriak kegirangan itu Anela setelah sekian lama tak bersua dengan sahabat sejak kuliahnya itu.

“Ya ampun, Anela, gue kangen banget sama lo...!!”

Kedua wanita itu langsung saling mencuit berbagi cerita melepas rindu, begitupun kedua laki-laki yang rambutnya itu sudah mulai memutih, Haidar dengan kacamata bulatnya langsung mengelap lensanya yang berembun, Angel menyuguhkan chamomile tea dan Langos, makanan khas Hungaria yang disajikan dengan roti pipih di taburi topping keju, krim asam, kacang, coklat. Proses pembuatan langos ini menggunakan metode panggang menggunakan tungku dan masih tradisional sekali sehingga tidak mengandung minyak goreng berlebihan.

“Wuih apa nih namanya?”

“Langos, ini cemilan favoritnya Husein.”

Mina menoleh ke arah Husein yang duduk di sampingnya. Pemuda itu memang terlihat memakan roti khas Hungaria itu dengan sangat lahap.

“Nah... kalau ini adalah makanan favorit orang sini kalau lagi musim dingin...”

TREK! Angel meletakkan lagi satu sajian yang berkuah merah oranye pekat, bentuknya persis seperti gulai merah dan aroma pedasnya juga cukup mencuat indra penciuman.

“Ini namanya Beef Goulash, bentuk rasanya mirip kok kayak kuah di Sumatra yang mericanya kuat.”

Begitu Ibra mencicipi sajian goulash yang di hidangkan, “Ah iya, pedes euy! tapi enak kalau di makan pas dingin-dingin gini!” “Jadi keinget seblak!”

Satu ruangan makan langsung tertawa terbahak-bahak mendengar celetukan Ibra.

“Abis ini mau jalan-jalan gak lihat kota Budapest?” usul Angel.

“Tapi kalo lagi hari Minggu gini suka ramai wisatanya, Bun,” timpal Adit.

“Iya sih...”

Husein langsung membuka suara, “Enggak juga kok, tadi aku ketemu sama temen deket Buda Castle gak begitu ramai. Udaranya mumpung lagi segar jadi mending kita ajak jalan-jalan aja?”

Mina tersentak lagi, Temen katanya? jangan-jangan tadi yang Mina lihat itu... masa sih cuman temen sampai gandengan gitu?

“Tuh, Yah, mending kita ajak aja mereka jalan-jalan.”

Adit mengangguk nurut, “Hah... oke kalo gitu, tapi satu mobil cukup ini 7 orang?”

Husein buka suara lagi, “Yang anak muda mah jalan aja! Ya gak, Bra, Mina?”

Keduanya tersontak, terutama Ibra yang gak setuju, “Ah elah capek gua!”

“Ye badan udah berotot gitu masa jalan-jalan keliling kota gak sanggup? Mina gapapa kan kalau kita jalan?”

Mina cuman mengangguk kikuk bingung.

“Berarti misah nih ya para anak muda?”

Husein mengacung jempolnya mantap.

“Oke, mari bapak-ibu kita ke mobil duluan kalo gitu” Adit mempersilahkan Haidar dan Anela keluar duluan menuju mobilnya, meninggalkan ketiga anak muda yang tengah bantu membereskan piring kotor yang ada di meja.

“Udah, Mina, taruh aja disitu nanti aku yang cuci,” tutur Husein.

“Gapapa, biar Mina yang cuciin sekalian,” Mina menepis tangan Husein yang terus merebut piringnya dan akhirnya mereka berakhir berdiri sampingan untuk mengurus urusan piring.

Sial, makanya gue ogah jalan bertiga sama mereka ujung-ujungnya gue yang jadi nyamuk!! — Ibra


“Wah... pemandangannya bagus banget kalau di lihat dari sini ya!!”

Mina tak berhenti mendecak kagum dengan pemandangan yang di suguhkan dari tempat bernama Fisherman's Bastion, yang letaknya berada di bagian distrik Istana Buda.

“Tempat ini namanya Fisherman’s Bastion, Mina... disini ada tujuh menara yang menggambarkan tujuh suku Magyar, suku asli di Hongaria. Dinding Istana Buda dulunya dilindungi para nelayan, itulah kenapa bangunan tempat ini dinamakan Fisherman’s Bastion...” jelas Husein.

Mina merogoh sakunya dan menyodorkan kameranya ke Husein, “Bang Husein boleh fotoin Mina gak disini?”

Husein tersenyum teduh, “Boleh, sini.”

Mina berpose manis di hadapan kamera yang memotretnya. Husein terhenyak sejenak.

“Sebentar, Mina,” Husein mengambil ponselnya dari saku jaketnya.

“Eh, kok foto pake hape Bang Husein juga??” tanya Mina heran.

Husein cuman membalasnya lagi dengan senyuman simpul, “Gapapa, pengen ngeabadiin momen bagus aja.” “Ayo pose lagi, satu... dua... tiga ....”

CKREK! Wajah cantik Mina sukses di abadikan ponsel Husein. Pria itu menatap lemat-lemat senyuman lebar Mina yang membuat jantungnya berdegup kencang. Mina langsung berlari ke arah Husein, “Mana? Mina mau lihat!”

Mina mengambil kameranya juga ponsel Husein yang menampilkan jepretan posenya.

“Ih ini bagus banget! Kirimin ke aku dong!”

Husein cepat menarik ponselnya, “No-Nomor aku kan ganti, Mina.”

“Hah? Bukannya enggak? Kata Ibra, Bang Husein nomornya masih aktif.”

Husein mengatup bibirnya rapat-rapat.

“Gapapa, itu nomor darurat aja, sebutin nomor kamu biar aku simpen ulang.”

Mina cuman memanggut kepalanya, “Yaudah, nih nomor aku,” gadis itu menyodorkan nomor ponselnya ke Husein. Setelah lelaki itu menyimpan kontak Mina, ia langsung menyimpannya lagi ke dalam saku jaketnya dan kembali mengajak gadis itu berkeliling.

Mereka melupakan satu orang di belakangnya.

“Argh... gue mau balik ke hotel ajalah anjir! Jauh-jauh kesini cuman buat jadi nyamuk!” “HEH SEMPRUL TUNGGUIN GUE, ASIK BERDUAAN AJA LU PADA!!!!”

Bersama deruan angin musim dingin, keluarga Haidar di sambut hangat oleh seorang wanita paruh baya berjilbab panjang yang rupanya itu tak berubah.

“OMG ANGELL!!” Tentu yang teriak kegirangan itu Anela setelah sekian lama tak bersua dengan sahabat sejak kuliahnya itu.

“Ya ampun, Anela, gue kangen banget sama lo...!!”

Kedua wanita itu langsung saling mencuit berbagi cerita melepas rindu, begitupun kedua laki-laki yang rambutnya itu sudah mulai memutih, Haidar dengan kacamata bulatnya langsung mengelap lensanya yang berembun, Angel menyuguhkan chamomile tea dan Langos, makanan khas Hungaria yang disajikan dengan roti pipih di taburi topping keju, krim asam, kacang, coklat. Proses pembuatan langos ini menggunakan metode panggang menggunakan tungku dan masih tradisional sekali sehingga tidak mengandung minyak goreng berlebihan.

“Wuih apa nih namanya?”

“Langos, ini cemilan favoritnya Husein.”

Mina menoleh ke arah Husein yang duduk di sampingnya. Pemuda itu memang terlihat memakan roti khas Hungaria itu dengan sangat lahap.

“Nah... kalau ini adalah makanan favorit orang sini kalau lagi musim dingin...”

TREK! Angel meletakkan lagi satu sajian yang berkuah merah oranye pekat, bentuknya persis seperti gulai merah dan aroma pedasnya juga cukup mencuat indra penciuman.

“Ini namanya Beef Goulash, bentuk rasanya mirip kok kayak kuah di Sumatra yang mericanya kuat.”

Begitu Ibra mencicipi sajian goulash yang di hidangkan, “Ah iya, pedes euy! tapi enak kalau di makan pas dingin-dingin gini!” “Jadi keinget seblak!”

Satu ruangan makan langsung tertawa terbahak-bahak mendengar celetukan Ibra.

“Abis ini mau jalan-jalan gak lihat kota Budapest?” usul Angel.

“Tapi kalo lagi hari Minggu gini suka ramai wisatanya, Bun,” timpal Adit.

“Iya sih...”

Husein langsung membuka suara, “Enggak juga kok, tadi aku ketemu sama temen deket Buda Castle gak begitu ramai. Udaranya mumpung lagi segar jadi mending kita ajak jalan-jalan aja?”

Mina tersentak lagi, Temen katanya? jangan-jangan tadi yang Mina lihat itu... masa sih cuman temen sampai gandengan gitu?

“Tuh, Yah, mending kita ajak aja mereka jalan-jalan.”

Adit mengangguk nurut, “Hah... oke kalo gitu, tapi satu mobil cukup ini 7 orang?”

Husein buka suara lagi, “Yang anak muda mah jalan aja! Ya gak, Bra, Mina?”

Keduanya tersontak, terutama Ibra yang gak setuju, “Ah elah capek gua!”

“Ye badan udah berotot gitu masa jalan-jalan keliling kota gak sanggup? Mina gapapa kan kalau kita jalan?”

Mina cuman mengangguk kikuk bingung.

“Berarti misah nih ya para anak muda?”

Husein mengacung jempolnya mantap.

“Oke, mari bapak-ibu kita ke mobil duluan kalo gitu” Adit mempersilahkan Haidar dan Anela keluar duluan menuju mobilnya, meninggalkan ketiga anak muda yang tengah bantu membereskan piring kotor yang ada di meja.

“Udah, Mina, taruh aja disitu nanti aku yang cuci,” tutur Husein.

“Gapapa, biar Mina yang cuciin sekalian,” Mina menepis tangan Husein yang terus merebut piringnya dan akhirnya mereka berakhir berdiri sampingan untuk mengurus urusan piring.

Sial, makanya gue ogah jalan bertiga sama mereka ujung-ujungnya gue yang jadi nyamuk!! — Ibra


“Wah... pemandangannya bagus banget kalau di lihat dari sini ya!!”

Mina tak berhenti mendecak kagum dengan pemandangan yang di suguhkan dari tempat bernama Fisherman's Bastion, yang letaknya berada di bagian distrik Istana Buda.

“Tempat ini namanya Fisherman’s Bastion, Mina... disini ada tujuh menara yang menggambarkan tujuh suku Magyar, suku asli di Hongaria. Dinding Istana Buda dulunya dilindungi para nelayan, itulah kenapa bangunan tersebut dinamakan Fisherman’s Bastion...” jelas Husein.

Mina merogoh sakunya dan menyodorkan kameranya ke Husein, “Bang Husein boleh fotoin Mina gak disini?”

Husein tersenyum teduh, “Boleh, sini.”

Mina berpose manis di hadapan kamera yang memotretnya. Husein terhenyak sejenak.

“Sebentar, Mina,” Husein mengambil ponselnya dari saku jaketnya.

“Eh, kok foto pake hape Bang Husein juga??” tanya Mina heran.

Husein cuman membalasnya lagi dengan senyuman simpul, “Gapapa, pengen ngeabadiin momen bagus aja.” “Ayo pose lagi, satu... dua... tiga ....”

CKREK! Wajah cantik Mina sukses di abadikan ponsel Husein. Pria itu menatap lemat-lemat senyuman lebar Mina yang membuat jantungnya berdegup kencang. Mina langsung berlari ke arah Husein, “Mana? Mina mau lihat!”

Mina mengambil kameranya juga ponsel Husein yang menampilkan jepretan posenya.

“Ih ini bagus banget! Kirimin ke aku dong!”

Husein cepat menarik ponselnya, “No-Nomor aku kan ganti, Mina.”

“Hah? Bukannya enggak? Kata Ibra, Bang Husein nomornya masih aktif.”

Husein mengatup bibirnya rapat-rapat.

“Gapapa, itu nomor darurat aja, sebutin nomor kamu biar aku simpen ulang.”

Mina cuman memanggut kepalanya, “Yaudah, nih nomor aku,” gadis itu menyodorkan nomor ponselnya ke Husein. Setelah lelaki itu menyimpan kontak Mina, ia langsung menyimpannya lagi ke dalam saku jaketnya dan kembali mengajak gadis itu berkeliling.

Mereka melupakan satu orang di belakangnya.

“Argh... gue mau balik ke hotel ajalah anjir! Jauh-jauh kesini cuman buat jadi nyamuk!” “HEH SEMPRUL TUNGGUIN GUE, ASIK BERDUAAN AJA LU PADA!!!!”

Keluarga Haidar sudah sampai di tempat Mina akan tinggal selama di Budapest. Apartemen yang ditinggali Mina cukup eksklusif dengan ruangan tamu, dapur, kamar tidur dan kamar mandi dalam satu tempat.

“Boleh juga sponsor lu, kak,” celetuk Ibra sambil membanting tubuhnya di atas ranjang empuk yang terpasang sprei putih dengan rapih.

“Wah hotelnya cukup jauh juga ya dari sini, kamu gapapa sendirian? gak mau tidur dulu di hotel selama kita disini?” ujar Haidar khawatir dengan putrinya itu.

Mina menggeleng, “Besok aku udah harus ke sekolahnya, kalau jauh-jauh takut kesiangan hehe... lagipula aku juga harus cepat beradaptasi disini, Bi,” tutur gadis itu.

Haidar cuman menghela nafasnya kasar, “Ya sudah kalau gitu, ini 10 menit lagi kita di jemput sama Om Adit jadi kamu rapihin dulu aja barang-barang kamu disini.”

Anela langsung sigap mengambil beberapa tumpukan baju putrinya, “Sini, umi bantu rapihin.”

Tatapan Mina masih kosong, mengingat punggung sosok pria yang sangat ia kenali bersama seorang wanita yang menggandeng tangannya mesra. Jantungnya berdegup tak menentu, rasa penasaran di campur dengan sesak yang kembali merujam dadanya.

Masa iya, seorang Bang Husein melanggar janjinya?

“Kak, ini baju kamu ....” Ucapan Anela terhenti begitu ia menangkap Mina diam terpaku dengan mata kosongnya, “Aminah?”

“E-Eh, iya, umi! Ini baju Mina kenapa?”

Anela meletakkan lagi bajunya, “Nak, kamu cari udara gih sama Ibra. Biar umi yang rapihin semuanya.”

“Eh gapapa, umi, masa umi yang rapihin sendiri sih?!”

“Gapapa, kamu kayaknya lagi banyak pikiran. Ibra...! Kalian berdua cari udara gih keluar, jalan-jalan aja sekitar apartemen biar kakakmu ini kenal sama tempat tinggalnya!” pinta Anela yang langsung di jawab dengan ucapan 'siap' oleh putra jagoannya itu.

“Ayo, kak, kita jalan keluar!” tanpa ba-bi-bu lagi Ibra menarik tangan Mina keluar kamar.


“Jangan lama-lama kita disini, sebentar lagi Om Adit jemput kita buat makan siang disana.”

Ibra tak menggubris, dia sibuk mengemut esnya dan meremas bungkusannya sekuat tenaga.

“Lo tuh nyari apa sih disini?”

Mina mengernyit, “Hah?”

“Lo masih ngarepin Bang Husein ya?”

Ucapan Ibra menyentak jantung Mina. Laki-laki itu melempar sampahnya ke dalam tong sampah lalu melangkah mendekati kakaknya dengan tatapan tajam.

“Lo gak siap ya ketemu Bang Husein?”

“Apaan sih, Ibra, gak ada angin, gak ada apa kok kamu introgasi aku kayak gini?!”

“Kentara banget muka lo lagi mikirin sesuatu, dan gue kembaran lo,” Ibra menyandar punggungnya ke tembok bata yang dingin menepis lelah, “Ampe sekarang dada gue sakit, pasti sekarang lo lagi mikirin Bang Husein kan?”

Kalau Ibra tahu apa yang aku lihat tadi... pasti dia bakalan murka banget ....

“Pilih ya, kak.”

“Apa?”

“Pilih, gue gebukin Bang Husein sampai koma atau mati sekalian?”

Mina terkesiap, “Heh! Ibrahim!!”

“Songong lo, Bra! yang ada gue yang gebukin lo sampai mati!!”

Kedua netra Mina langsung menoleh ke arah sumber suara yang menghadirkan sosok pria bertubuh tegap 177 cm dengan balutan sweater biru muda dan jaket krem terang, senyuman cengirnya yang menampilkan bulan sabit khas di matanya...

Husein.

“Kalau mau adu otot ayo sini, kebetulan gue baru selesai nge-gym nih! Hahahaa!”

Senyuman sumringah Ibra langsung terlukis di wajahnya dan kedua sahabat itu saling berpelukan erat melepas rindu setelah 12 tahun tak bersua.

“WUIH GILA BANG HUSEIN!!”

“Hahahaha! What's up, brother?! wah, pantesan lo pede ngajakin gue berantem makin keras otot lu, Bra! Hahahahaha!!”

Perhatian Husein langsung teralihkan ke arah Mina yang berdiri mematung menatapnya kaget, pemuda itu langsung berjalan lagi menghampiri gadis yang dulu pernah sangat ia cintai...

“Mina... apa kabar?” ucap Husein pelan.

“Baik. Bang Husein gimana?” balas Mina kikuk.

“Baik juga, aku dengar kamu bakalan tinggal disini ya selama 3 bulan?”

Mina mengangguk pelan, “I-Iya...”

Husein merentang kedua tangannya, “Welcome to Budapest.”

Rasa rindu bercampur sesak mendominasi dada Mina saat ini. Beribu-ribu pertanyaan yang muncul bergantian di kepalanya membuat gadis itu sulit untuk mengungkapkan bagaimana ia sangat merindukan sosok laki-laki yang ada di hadapannya sekarang.

Bayangkan, Mina menahan rindu selama 12 tahun.

Dan pahitnya...

Bayangan punggung lelaki yang persis dengan outfit look yang di gunakan Husein sekarang, bersama seorang wanita— yang ia temui di jalan tadi beberapa waktu silam kembali merujam dadanya.

“Lu datang sendiri?” tanya Ibra.

“Enggak, sama Ayah cuman dia tadi langsung nyamperin Om Haidar di atas.” “Kalian langsung ikut gue ke mobil aja, paling bentar lagi mereka juga turun.”

Husein kembali menatap inci wajah Mina lekat, “Mina.”

“Eh, i-iya?”

Pemuda itu tersenyum, “Ah enggak... kamu ....”

Mina meneguk ludahnya bulat-bulat.

“Kamu memang selalu cantik ya.”

Ibra mendecak kesal, “Wah baru ketemu sempat-sempatnya lo ngemodus sama kakak gue? Beneran ngajak berantem lo, Bang?”

“Lah lo baru naik pangkat jadi pawangnya Mina apa gimana?”

“Sialan lo, udah bikin kakak gue galau 12 tahun sempat-sempatnya ketemu langsung ngegombal.”

Husein terkekeh, “Gue gak gombal, emang itu fakta.”

Pipi Mina semakin memerah padam bak kepiting rebus.

“Udah yuk, kita langsung ke mobil aja.”

Bang Husein... apa cuman perasaanku aja kamu sedikit berubah?

Keluarga Haidar sudah sampai di tempat Mina akan tinggal selama di Budapest. Apartemen yang ditinggali Mina cukup eksklusif dengan ruangan tamu, dapur, kamar tidur dan kamar mandi dalam satu tempat.

“Boleh juga sponsor lu, kak,” celetuk Ibra sambil membanting tubuhnya di atas ranjang empuk yang terpasang sprei putih dengan rapih.

“Wah hotelnya cukup jauh juga ya dari sini, kamu gapapa sendirian? gak mau tidur dulu di hotel selama kita disini?” ujar Haidar khawatir dengan putrinya itu.

Mina menggeleng, “Besok aku udah harus ke sekolahnya, kalau jauh-jauh takut kesiangan hehe... lagipula aku juga harus cepat beradaptasi disini, Bi,” tutur gadis itu.

Haidar cuman menghela nafasnya kasar, “Ya sudah kalau gitu, ini 10 menit lagi kita di jemput sama Om Adit jadi kamu rapihin dulu aja barang-barang kamu disini.”

Anela langsung sigap mengambil beberapa tumpukan baju putrinya, “Sini, umi bantu rapihin.”

Tatapan Mina masih kosong, mengingat punggung sosok pria yang sangat ia kenali bersama seorang wanita yang menggandeng tangannya mesra. Jantungnya berdegup tak menentu, rasa penasaran di campur dengan sesak yang kembali merujam dadanya.

Masa iya, seorang Bang Husein melanggar janjinya?

“Kak, ini baju kamu ....” Ucapan Anela terhenti begitu ia menangkap Mina diam terpaku dengan mata kosongnya, “Aminah?”

“E-Eh, iya, umi! Ini baju Mina kenapa?”

Anela meletakkan lagi bajunya, “Nak, kamu cari udara gih sama Ibra. Biar umi yang rapihin semuanya.”

“Eh gapapa, umi, masa umi yang rapihin sendiri sih?!”

“Gapapa, kamu kayaknya lagi banyak pikiran. Ibra...! Kalian berdua cari udara gih keluar, jalan-jalan aja sekitar apartemen biar kakakmu ini kenal sama tempat tinggalnya!” pinta Anela yang langsung di jawab dengan ucapan 'siap' oleh putra jagoannya itu.

“Ayo, kak, kita jalan keluar!” tanpa ba-bi-bu lagi Ibra menarik tangan Mina keluar kamar.


“Jangan lama-lama kita disini, sebentar lagi Om Adit jemput kita buat makan siang disana.”

Ibra tak menggubris, dia sibuk mengemut esnya dan meremas bungkusannya sekuat tenaga.

“Lo tuh nyari apa sih disini?”

Mina mengernyit, “Hah?”

“Lo masih ngarepin Bang Husein ya?”

Ucapan Ibra menyentak jantung Mina. Laki-laki itu melempar sampahnya ke dalam tong sampah lalu melangkah mendekati kakaknya dengan tatapan tajam.

“Lo gak siap ya ketemu Bang Husein?”

“Apaan sih, Ibra, gak ada angin, gak ada apa kok kamu introgasi aku kayak gini?!”

“Kentara banget muka lo lagi mikirin sesuatu, dan gue kembaran lo,” Ibra menyandar punggungnya ke tembok bata yang dingin menepis lelah, “Ampe sekarang dada gue sakit, pasti sekarang lo lagi mikirin Bang Husein kan?”

Kalau Ibra tahu apa yang aku lihat tadi... pasti dia bakalan murka banget ....

“Pilih ya, kak.”

“Apa?”

“Pilih, gue gebukin Bang Husein sampai koma atau mati sekalian?”

Mina terkesiap, “Heh! Ibrahim!!”

“Songong lo, Bra! yang ada gue yang gebukin lo sampai mati!!”

Kedua netra Mina langsung menoleh ke arah sumber suara yang menghadirkan sosok pria bertubuh tegap 177 cm dengan balutan sweater biru muda dan jaket krem terang, senyuman cengirnya yang menampilkan bulan sabit khas di matanya...

Husein.

“Kalau mau adu otot ayo sini, kebetulan gue baru selesai nge-gym nih! Hahahaa!”

Senyuman sumringah Ibra langsung terlukis di wajahnya dan kedua sahabat itu saling berpelukan erat melepas rindu setelah 12 tahun tak bersua.

“WUIH GILA BANG HUSEIN!!”

“Hahahaha! What's up, brother?! wah, pantesan lo pede ngajakin gue berantem makin keras otot lu, Bra! Hahahahaha!!”

Perhatian Husein langsung teralihkan ke arah Mina yang berdiri mematung menatapnya kaget, pemuda itu langsung berjalan lagi menghampiri gadis yang dulu pernah sangat ia cintai...

“Mina... apa kabar?” ucap Husein pelan.

“Baik. Bang Husein gimana?” balas Mina kikuk.

“Baik juga, aku dengar kamu bakalan tinggal disini ya selama 3 bulan?”

Mina mengangguk pelan, “I-Iya...”

Husein merentang kedua tangannya, “Welcome to Budapest

Rasa rindu bercampur sesak mendominasi dada Mina saat ini. Beribu-ribu pertanyaan yang muncul bergantian di kepalanya membuat gadis itu sulit untuk mengungkapkan bagaimana ia sangat merindukan sosok laki-laki yang ada di hadapannya sekarang.

Bayangkan, Mina menahan rindu selama 12 tahun.

Dan pahitnya...

Bayangan punggung lelaki yang persis dengan outfit look yang di gunakan Husein sekarang, bersama seorang wanita— yang ia temui di jalan barusan kembali merujam dadanya.

“Lu datang sendiri?” tanya Ibra.

“Enggak, sama Ayah cuman dia tadi langsung nyamperin Om Haidar di atas.” “Kalian langsung ikut gue ke mobil aja, paling bentar lagi mereka juga turun.”

Husein kembali menatap inci wajah Mina lekat, “Mina.”

“Eh, i-iya?”

Pemuda itu tersenyum, “Ah enggak... kamu ....”

Mina meneguk ludahnya bulat-bulat.

“Kamu memang selalu cantik ya.”

Ibra mendecak kesal, “Wah baru ketemu sempat-sempatnya lo ngemodus sama kakak gue? Beneran ngajak berantem lo, Bang?”

“Lah lo baru naik pangkat jadi pawangnya Mina apa gimana?”

“Sialan lo, udah bikin kakak gue galau 12 tahun sempat-sempatnya ketemu langsung ngegombal.”

Husein terkekeh, “Gue gak gombal, emang itu fakta.”

Pipi Mina semakin memerah padam bak kepiting rebus.

“Udah yuk, kita langsung ke mobil aja.”

Bang Husein... apa cuman perasaanku aja kamu sedikit berubah?

Keluarga Haidar sudah sampai di tempat Mina akan tinggal selama di Budapest. Apartemen yang ditinggali Mina cukup eksklusif dengan ruangan tamu, dapur, kamar tidur dan kamar mandi dalam satu tempat.

“Boleh juga sponsor lu, kak,” celetuk Ibra sambil membanting tubuhnya di atas ranjang empuk yang terpasang sprei putih dengan rapih.

“Wah hotelnya cukup jauh juga ya dari sini, kamu gapapa sendirian? gak mau tidur dulu di hotel selama kita disini?” ujar Haidar khawatir dengan putrinya itu.

Mina menggeleng, “Besok aku udah harus ke sekolahnya, kalau jauh-jauh takut kesiangan hehe... lagipula aku juga harus cepat beradaptasi disini, Bi,” tutur gadis itu.

Haidar cuman menghela nafasnya kasar, “Ya sudah kalau gitu, ini 10 menit lagi kita di jemput sama Om Adit jadi kamu rapihin dulu aja barang-barang kamu disini.”

Anela langsung sigap mengambil beberapa tumpukan baju putrinya, “Sini, umi bantu rapihin.”

Tatapan Mina masih kosong, mengingat punggung sosok pria yang sangat ia kenali bersama seorang wanita yang menggandeng tangannya mesra. Jantungnya berdegup tak menentu, rasa penasaran di campur dengan sesak yang kembali merujam dadanya.

Masa iya, seorang Bang Husein melanggar janjinya?

“Kak, ini baju kamu ....” Ucapan Anela terhenti begitu ia menangkap Mina diam terpaku dengan mata kosongnya, “Aminah?”

“E-Eh, iya, umi! Ini baju Mina kenapa?”

Anela meletakkan lagi bajunya, “Nak, kamu cari udara gih sama Ibra. Biar umi yang rapihin semuanya.”

“Eh gapapa, umi, masa umi yang rapihin sendiri sih?!”

“Gapapa, kamu kayaknya lagi banyak pikiran. Ibra...! Kalian berdua cari udara gih keluar, jalan-jalan aja sekitar apartemen biar kakakmu ini kenal sama tempat tinggalnya!” pinta Anela yang langsung di jawab dengan ucapan 'siap' oleh putra jagoannya itu.

“Ayo, kak, kita jalan keluar!” tanpa ba-bi-bu lagi Ibra menarik tangan Mina keluar kamar.


“Jangan lama-lama kita disini, sebentar lagi Om Adit jemput kita buat makan siang disana.”

Ibra tak menggubris, dia sibuk mengemut esnya dan meremas bungkusannya sekuat tenaga.

“Lo tuh nyari apa sih disini?”

Mina mengernyit, “Hah?”

“Lo masih ngarepin Bang Husein ya?”

Ucapan Ibra menyentak jantung Mina. Laki-laki itu melempar sampahnya ke dalam tong sampah lalu melangkah mendekati kakaknya dengan tatapan tajam.

“Lo gak siap ya ketemu Bang Husein?”

“Apaan sih, Ibra, gak ada angin, gak ada apa kok kamu introgasi aku kayak gini?!”

“Kentara banget muka lo lagi mikirin sesuatu, dan gue kembaran lo,” Ibra menyandar punggungnya ke tembok bata yang dingin menepis lelah, “Ampe sekarang dada gue sakit, pasti sekarang lo lagi mikirin Bang Husein kan?”

Kalau Ibra tahu apa yang aku lihat tadi... pasti dia bakalan murka banget ....

“Pilih ya, kak.”

“Apa?”

“Pilih, gue gebukin Bang Husein sampai koma atau mati sekalian?”

Mina terkesiap, “Heh! Ibrahim!!”

“Songong lo, Bra! yang ada gue yang gebukin lo sampai mati!!”

Kedua netra Mina langsung menoleh ke arah sumber suara yang menghadirkan sosok pria bertubuh tegap 177 cm dengan balutan sweater biru muda dan jaket putih, senyuman cengirnya yang menampilkan bulan sabit khas di matanya...

Husein.

“Kalau mau adu otot ayo sini, kebetulan gue baru selesai nge-gym nih! Hahahaa!”

Senyuman sumringah Ibra langsung terlukis di wajahnya dan kedua sahabat itu saling berpelukan erat melepas rindu setelah 12 tahun tak bersua.

“WUIH GILA BANG HUSEIN!!”

“Hahahaha! What's up, brother?! wah, pantesan lo pede ngajakin gue berantem makin keras otot lu, Bra! Hahahahaha!!”

Perhatian Husein langsung teralihkan ke arah Mina yang berdiri mematung menatapnya kaget, pemuda itu langsung berjalan lagi menghampiri gadis yang dulu pernah sangat ia cintai...

“Mina... apa kabar?” ucap Husein pelan.

“Baik. Bang Husein gimana?” balas Mina kikuk.

“Baik juga, aku dengar kamu bakalan tinggal disini ya selama 3 bulan?”

Mina mengangguk pelan, “I-Iya...”

Husein merentang kedua tangannya, “Welcome to Budapest

Rasa rindu bercampur sesak mendominasi dada Mina saat ini. Beribu-ribu pertanyaan yang muncul bergantian di kepalanya membuat gadis itu sulit untuk mengungkapkan bagaimana ia sangat merindukan sosok laki-laki yang ada di hadapannya sekarang.

Bayangkan, Mina menahan rindu selama 12 tahun.

Dan pahitnya...

Bayangan punggung lelaki yang persis dengan outfit look yang di gunakan Husein sekarang, bersama seorang wanita— yang ia temui di jalan barusan kembali merujam dadanya.

“Lu datang sendiri?” tanya Ibra.

“Enggak, sama Ayah cuman dia tadi langsung nyamperin Om Haidar di atas.” “Kalian langsung ikut gue ke mobil aja, paling bentar lagi mereka juga turun.”

Husein kembali menatap inci wajah Mina lekat, “Mina.”

“Eh, i-iya?”

Pemuda itu tersenyum, “Ah enggak... kamu ....”

Mina meneguk ludahnya bulat-bulat.

“Kamu memang selalu cantik ya.”

Ibra mendecak kesal, “Wah baru ketemu sempat-sempatnya lo ngemodus sama kakak gue? Beneran ngajak berantem lo, Bang?”

“Lah lo baru naik pangkat jadi pawangnya Mina apa gimana?”

“Sialan lo, udah bikin kakak gue galau 12 tahun sempat-sempatnya ketemu langsung ngegombal.”

Husein terkekeh, “Gue gak gombal, emang itu fakta.”

Pipi Mina semakin memerah padam bak kepiting rebus.

“Udah yuk, kita langsung ke mobil aja.”

Bang Husein... apa cuman perasaanku aja kamu sedikit berubah?