Wanita Yang Kau Pilih
Agus duduk dengan gugup sambil terus menyesap kopi hitamnya kikuk. Ia mengedar netranya kepada sekeliling, berharap orang yang akan ia temui ini segera datang agar tak banyak makan waktu percuma. Ia hendak mengambil ponselnya di saku, namun tak lama sosok wanita cantik berambut sebahu ikal muncul di hadapannya.
“Kang Agus?” tanya wanita itu.
Agus segera berdiri, menyalami wanita itu dengan ramah, “Ah betul, Tiana ya?”
“Iya betul.”
Senyuman teduhnya yang dipoles lipstick merah muda glossy , Agus tak bisa bohong kalau wanita yang ada di hadapannya itu sangat cantik. Satria memang tak salah memperkenalkan Tiana kepadanya tapi... memang hatinya yang ada salah.
Adisty masih terus melekat di dadanya.
“Kang Agus katanya mau berangkat ke Malaysia ya?”
“Iya.”
“Kapan?”
“Besok malam.”
“Cepet juga yah... padahal kita baru ketemu sekali, hehe...”
Agus cuman tersenyum simpul. Perlahan percakapan kedua insan itu semakin intens dan mengalir lancar, Agus berusaha untuk tidak menutup hatinya, ia akan mulai melangkahkan kakinya menuju halaman baru. Usianya kini sudah bukan lagi tentang kaitan masa lalu, Agus sudah harus move on secepatnya.
BRAKK!!!
“Sialan lo, lo pikir siapa bisa ngerendahin teman gue hah???!!!”
Agus dan Tiana sontak menoleh ke belakangnya, semua perhatian satu kafe tertuju kepada murka dari seorang wanita yang wajahnya sangat di kenali Agus.
“Duh, Bel, gak usah emosi—”
“LO PIKIR LO HEBAT HAH??!! DENGAN SIKAP LO YANG KAYAK GINI JUSTRU MEMPERJELAS KALAU MEMANG ADIS GAK PANTES DAPETIN LAKI-LAKI BRENGSEK KAYAK LO!! ADISTY TUH CEWEK BAIK-BAIK, SIALAN LO!!”
“Wah siapa nih emak-emak?! Orang gila!”
“Orang gilaa??!!”
GREPP!! DUAKK!!! Wanita yang membuat kericuhan itu langsung menjambak rambut tipis lelaki di hadapannya dan melayangkan lututnya tepat pada sasaran yaitu wajah lelaki tersebut. Seisi kafe menjerit kaget, sontak Agus langsung lari ke arah sumber keributan.
“Astaga, Bella! Apa-apaan sih lo??!!” pekik Agus.
Kedua wanita itu melotot lebar-lebar, “A-Agus??!!” Adisty ada disana, tak percaya akan kehadiran Agus disana dan Bella juga masih menganga dengan lawannya yang sudah terkapar di bawah kakinya. Bella langsung di tarik keluar kafe, bersama Adisty dan Agus meninggalkan urusan yang harusnya ia selesaikan.
Tiana dari tempatnya, diam mematung.
“Bel, kalau Abi tahu kelakuan lo habis siah!” Agus terus menceramahi Bella sepanjang jalan.
“Bawel! Lagian dia ngerendahin Adis! Masa tahu gak—”
Adisty dengan cepat bekap mulut Bella rapat-rapat, “Ah iya, biasalah si Bella sumbunya pendek bener! Sebel dikit langsung di baku hantam orangnya! Bel, kalo orangnya kenapa-kenapa kudu tanggung jawab lho!”
“Ngapain?! Duit dia lebih banyak daripada laki gue!”
Kedua kawan Bella cuman bisa menghela nafas panjang.
Akhirnya Agus memberanikan diri untuk menatap lurus mantan kekasihnya, begitupun Adisty. Meskipun dalam diam, lagi-lagi setruman dalam hatinya mulai menyengat keduanya, rasa rindu yang bergejolak bersama kenangan yang terus terbayang.
“Dis, tadi... laki-laki itu siapa?” yang keluar malahan kalimat itu dari bibir Agus, Adisty tersontak.
“Dia... anaknya kenalan Papa, tadinya mau di jodohin sama aku.” jawab Adisty.
“O-Oh? Terus?”
“Ya gak jadi, kan dipukulin Bella tadi.”
Bella menyergah, “Heh, maneh gelo nya?! Ya kali lo mau nikah sama cowok sakit jiwa kayak dia?! Mendingan Agus kemana-mana!!” tak sadar kalimat itu keluar dari bibir Bella di tengah situasi seperti saat ini, ia cepat-cepat menutup bibirnya dan merutuk mulut embernya.
Agus langsung menarik tangan Adisty, mengajaknya ke ujung tempat yang jaraknya lumayan jauh dari Bella.
“Gus?!” sentak Adisty.
“Apa yang kamu sembunyiin dari aku selama ini, Dis?!”
Adisty membulatkan matanya, “Hah?! A-Apaan sih—”
“Alasan kita putus masih belum jelas, aku tahu memang ada alasan tapi tolong kasih tahu aku kenapa kamu memutuskan untuk mengakhiri hubungan kita?!” “Aku gak halangin kamu kalau memang mau pergi dari aku, tapi tolong kasih tahu aku alasan yang jelas, alasan kamu pergi—”
“Aku sakit, Agus!!”
Agus mengernyit, “Ha-hah?”
“Aku sakit, dan aku gak mau kamu... ikut menanggung bebanku ini, kamu pantas untuk bahagia meskipun tanpa aku, Gus...”
“Sakit apa emang?”
“Gus, tolong—”
“Sakit apa?”
Nada suara Agus yang semakin dalam itu menyudutkan Adisty.
“Aku... mandul, Gus.”
Sekali lagi jantung Agus tersentak.
“Aku... mandul, Gus...aku gak akan bisa membuat kamu bahagia. Aku cuman jadi aib terbesar kamu—”
GREP! Agus memeluk erat ringkuh pelik wanita pujaan hatinya, kehangatan lalu yang sudah lama tak mereka rasakan kembali mengalir. Tangan besar Agus menepuk pelan pundak Adis.
“Kenapa kamu lebih memilih bertahan sendirian, Dis? Sedangkan kamu selama ini punya aku yang gak akan pergi kemana-mana...”
“Gak mau, Gus, aku gak mau karena sakit ini jadi membebani orang yang aku sayang. Biar aku yang tanggung semua ini, mungkin ini memang sudah jadi ujian yang harus aku hadapi sendiri. Kamu berbahagialah dengan wanita pilihanmu, Gus, kamu laki-laki baik. Kamu pantas dapat wanita yang lebih baik dari aku.”
“Kalau wanita pilihan aku itu kamu gimana?'
“Agus... tolong—”
“Dis, hati aku tetap gak berubah. Aku mau kamu yang akan menemani aku sepanjang hidup sampai titik di masa-masa tua kita, soal anak itu rejeki dari Yang Maha Kuasa. Kalau mau kita masih bisa berupaya, biar itu jadi urusan nanti tapi sekarang, aku tetap menginginkan kamu.” “Ayo kita nikah, Dis.”
Tangan Agus menggenggam erat tangan Adis, seiring eratnya genggaman tangan sang pria, pilu hati Adis semakin terasa hingga air matanya jatuh satu per satu. Bibirnya kelu untuk menjawab, karena hati Adis sendiri juga tak bisa memungkiri bahwa ia masih sangat mencintai pria di hadapannya.
“Ayo kita hidup bahagia sama-sama, Dis...”
“Agus... aku takut...”
“Jangan takut, ada aku, Dis. Kita hadapin semuanya berdua ya?”
Tangis haru Adis tak terbendung lagi, ia langsung lompat memeluk pria kasihnya erat-erat.
“Aku sayang sama kamu, Gus...”
“Aku juga, Dis.”
Meanwhile Isabella...
“Halo, Yang, jemput aku dong nih. Males banget jadi nyamuk disini.”
“Eh, aku masih meeting sama klien—”
“Abidzar, Jemput.”
“Oke siap dilaksanakan, Nyonya.”