Yang Terbaik Bagimu (Haidar-Ibrahim)
“Sini duduk nak.”
Ibra meneguk salivanya bulat-bulat, ia canggung duduk di samping abinya— di kursi kayu panjang yang tak bersekat sehingga tak ada jarak yang bisa ia buat dengan sengaja.
“Tegang amat.”
“Takut di sidak.”
“Hah?”
“Abi kan gitu, ngajak Ibra ngomong kalau Ibra ngelakuin kesalahan aja.”
Ucapan putranya itu langsung menohok dada pria itu. Ya Allah, ternyata ini yang selalu Maryam ingatkan sama saya...
“Menurut kamu, sekarang kamu melakukan kesalahan?”
Ibra menggeleng, “Enggak sih.”
“Kata siapa?”
Ibra mengatup bibirnya rapat-rapat.
Haidar menepuk lagi kursi sebelahnya, “Sini mendekat kamu.”
Ibra mengangguk lesu seraya menggeser tubuhnya mendekati abinya, lalu dengan cepat Haidar merangkul putranya erat-erat dan membiarkan putranya menyandar di bahu luasnya. Ibra terkejut bukan main, kalau di ingat-ingat, terakhir kali ia bersandar seperti ini dengan abinya itu sudah cukup lama. Ibra sangat jarang membuka diri atau mendekati abinya karena bagi dia, abinya itu hanya terus menuntut kesempurnaan dalam dirinya bahkan semi merampas kebebasan hidupnya. Ibra hanya bisa bermanja-manja dengan uminya bahkan setiap Ibra habis di marahi abinya, dengan sigap sang ibunda tercinta masuk ke kamar Ibra dan mendekap anak lelakinya itu hingga terlelap.
Rasanya aneh, pikir Ibra. Kehangatan ini seperti kehangatan yang tak langsung juga memberikan kekuatan bagi dirinya, tak kalah hebat dengan kehangatan sang ibunda.
“Ibrahim,” Haidar membuka suara, tangannya terus mengelus pelan pucuk kepala anak lanangnya itu, “Kamu tahu kalau Abi sangat sayang sama kamu?”
Ibra terdiam.
“Abi... tidak pernah terpikir kalau saat ini Abi memiliki anak laki-laki hebat yang akan memiliki bahu sekuat kamu.”
Dada Ibra seketika sesak.
“Semakin kamu tumbuh, maka semakin banyak hal baru yang akan datang di kehidupan kamu termasuk dengan rintangan hidup. Abi tahu kamu melalui banyak hal yang mungkin Abi gak tahu, tapi Abi selalu menegaskan kamu satu hal yang sangat penting untuk menjadi senjata kamu menghadapi dunia, nak.” “Yaitu prinsip agama.”
Ibra kembali menenggelamkan dirinya dalam kehangatan sang ayah.
“Kita gak akan tahu kedepannya seperti apa, yang Abi pikirkan saat ini adalah mempersiapkan kamu sebagai seorang imam yang kuat dan suatu saat nanti, kamu akan menggantikan posisi Abi disini.”
“Maksud Abi apa?”
Haidar tersenyum, “Ya kan Abi semakin lama akan menua, Ibra... untuk contoh kecilnya, misalnya ketika shalat jamaah nanti, mungkin ada masanya punggung Abi sudah sakit-sakitan untuk menjadi imam, dan disitulah kamu harus menggantikan posisi Abi untuk menjadi imam.” “Itu berpengaruh dengan segala aspek, karena laki-laki di ciptakan dengan tulang rusuk yang kokoh dan akan menerima amanah yang lebih besar dari seorang wanita, bahkan ketika Abi sudah tiada... otomatis kamu yang akan mengambil peran laki-laki yang memimpin di sini.”
“Abi! Ngomongnya gitu dah bikin Ibra takut!”
“Jangan takut, karena ini bicara fakta. Kamu harus terima fakta sepahit apapun itu, Ibra.”
Ibra mengerucut bibirnya kesal. Haidar cuman terkekeh geli melihat putranya yang mendadak cemberut.
“Wajah kamu tuh cetakan Abi, tapi sifat pundungan Umi juga ikut nurun ke kamu ya, hahahaha...”
Ini pertama kalinya Haidar tertawa lepas, berdua dengan Ibra. Anak lelaki itu memencak, tak sadar ia juga ikut tertawa karena omongan ayahnya.
“Kayaknya gak ada sifat Abi yang nurun ke Ibra.”
“Ada kok.”
“Apa?”
Haidar menjentik pelan kening putranya, “Berlagak sok kuat, terkadang kamu suka begitu, Ibra, persis kayak Abi.”
Senyuman Ibra seketika memudar, ucapan itu seolah mengetuk pintu hati nurani Ibra untuk menumpahkan semua rasa lelahnya kepada sang ayah.
“Abi, Ibra... boleh jujur gak?”
“Boleh, kenapa?”
Ibra mulai memposisikan tubuhnya tegap.
“Jujur aja, Ibra... suka iri sama Mina, Bi.”
Haidar menoleh kaget.
“Kayaknya Mina tuh benar-benar anak perempuan yang bisa di andalkan banyak orang, bahkan Abi sendiri juga kayaknya lebih sayang sama Mina daripada sama Ibra. sedangkan Ibra, entah kenapa di mata Abi... Ibra ini selalu salah. Ibra nih kayak anak nakal yang selalu buat ulah, padahal senakal-nakalnya Ibra... Ibra gak pernah terjerumus dengan hal-hal yang lebih buruk kayak ngerokok, pergaulan bebas bahkan nilai Ibra juga gak jelek-jelek amat.” “Terakhir aja kemarin waktu Ujian Nasional, Abi cuman muji ke Mina sedangkan ke Ibra, Abi bilang harus di pertahankan atau tingkatkan. Abi kayak nuntut Ibra buat jadi titisan Albert Einstein.”
“Abi juga bilang gitu sama Mina, nak.”
“Tapi Abi mujinya ke Mina doang, ke Ibra enggak. Ibra gak pernah dengar Abi panggil Ibra dengan sebutan 'anak sholeh Abi' atau 'anak pintar Abi' seperti yang Abi lakukan ke Mina, kalau nggak nama doang, ya nama lengkap kalau lagi marah.”
Haidar menghela nafas panjangnya, ternyata saya masih melakukan banyak kesalahan sebagai seorang ayah...
“Abi,” panggil Ibra lagi dengan suara bergetar.
“Ya, nak?” respon sang ayah.
“Emang menurut Abi, Ibra ini... anak yang nakal banget ya?”
Haidar mengusap wajahnya gusar, “Hah... bukan nak, begini ya, Ibra, mungkin cara Abi memperlakukan kamu dengan kakakmu itu sedikit berbeda karena Abi pikir kamu adalah anak lelaki yang harus di didik dengan cara laki-laki sedangkan Mina itu anak perempuan maka Abi harus mendidik Mina dengan kelembutan. Itu terlepas dari sifat kamu yang memang usil, dan sedikitpun di kepala Abi, tak pernah ada kata Ibra ini adalah anak nakal.” “Kamu itu anak Abi yang unik, hebat dan membanggakan.”
Haidar mengusap lagi rambut ikal Ibra dengan lembut, “Abi minta maaf kalau ada perilaku yang melukai hati kamu, nak. tapi kamu harus tahu satu hal, kalau Abi sangat sayang dengan kalian dan tak ada perbandingan sama sekali di antara kalian.” “Kalian semua anak-anak Abi yang membanggakan. Titik.”
Bukannya lega, justru tangisan Ibra pecah di pelukan sang ayah bahkan dia meraung kencang di dada Haidar.
“HUWAAAAA ABIII!!!”
“Eh jangan kencang-kencang nangisnya! Nanti abi diomelin sama umi kamu!”
“BIARIN, ABI KAN SUKA NGOMELIN IBRA, GANTIAN BIAR UMI YANG NGOMELIN ABII!! HUWEEEEE!!!”
Haidar menghempas nafasnya, “Hadeuh, dasar bocah tengil. Persis kayak umi kamu.”
Dalam tangisnya, Ibra menyempatkan membisik satu kalimat ajaib yang juga menyentuh hati Haidar...
“Abi... hiks...” “Ibra sayang banget sama Abi... Ibra sayang sama Abi, seluas alam semesta dan seisinya...”
Mereka saling menangis bersama menumpahkan kasih sayang yang selama ini mereka sembunyikan rapat-rapat.
Sedangkan di balik tembok sana, Anela juga ikut menangis terharu dengan momen antara ayah dan anak di taman belakang sana. Ia tak menyangka kalau putranya itu selama ini merasa tersisihkan. Ibra memang anak yang ceria, tapi persis seperti ayahnya, dia lebih suka memendam rasa sakitnya itu sendirian.