Kisah Lalu, Nafisa bagi Haidar
9 tahun yang lalu, Haidar masih berusia 16 tahun.
Laki-laki muda penuh ambisi, lurus nan kaku, baginya hidup adalah soal kualitas diri, dan mimpi. Haidar tidak pernah mau terusik dengan hal picisan seperti 'cinta monyet'.
Meskipun bersekolah di pesantren, dimana santriwan dan santriwatinya di pisahkan bukan berarti menghalangi jiwa anak muda untuk saling jatuh cinta. Terkadang ada satu momen mereka bisa saling bertukar pandangan sampai akhirnya bisa bertukar surat, Haidar tak pernah merasakannya, tapi ia malahan jadi perantara surat yang ditujukan kepada 2 kawan hitsnya, Aditya dan Marco.
“Dah! Ojo suruh-suruh aku antar suratmu lagi! Aku bukan tukang pos!“protes Haidar kesal, sambil melempar setumpuk surat di atas meja bundar rendah tepat di depan muka Aditya dan Marco
“Yee, Dar, sirik mah bilang”cicir Aditya terkekeh, di ikuti ketawa renyah khas Marco yang receh, Haidar hanya mendengus sebal sambil menarik bukunya pergi mendahului kedua kawannya itu
“Yah jangan ngambek, Dar!”
“Haidar, woy!”
Haidar tak menggubris, langkahnya semakin menghentak keras. Rasanya malas betul kalau sudah bahas cinta picisan yang terjadi di sekolah bak penjara ini, alias gak se-bebas sekolah lainnya, kontak antara laki-laki dengan perempuan benar-benar di babat habis, sangat terbatas bahkan sekalinya ada momen itu dijadikan sebagai kesempatan emas para remaja yang bergejolak itu untuk mengejar cintanya.
Menurut Haidar itu sangat konyol, cinta selewat di masa remaja ini hanyalah sebuah angin lalu nantinya, jadi untuk apa repot-repot melanggar peraturan demi meraih cinta sementara? Bukannya memberi kebahagiaan, malahan nambah kenangan pahit.
“Cinta yang berkualitas hanya untuk orang yang berkualitas, jadi lebih baik kita fokus meningkatkan kualitas diri, nanti juga cinta akan datang pada waktunya”
Itulah prinsip yang di pegang teguh Haidar,
Sampai akhirnya...
Haidar bertemu dengan dia, sosok gadis pendatang yang di kenal cantik nan meneduhkan, kecerdasannya dan suara merdunya ketika melantunkan Al-Qur'an...
Pertemuan mereka yang tak di sengaja pada saat acara pondoknya, menjadi awal mula Haidar mulai membuka hatinya untuk menyambut kisah cinta remajanya...
“Nafisa Nurul Habsyi...”
Aditya menoleh kaget, bersama Marco yang ikut tersontak begitu mendengar momen langka, dimana Haidar, si bocah kaku bak kanebo kering menggumamkan nama seorang gadis.
“Psst, psst, Marco!”
Marco mendongak, “Iya..!”
“Haidar nyebut nama Nafisa tadi?”
“Iya jir!”
“Woilah... kita pantau dia, bro.”
“Yoi.”
Tangan Haidar tengah menggores tiap bait puisi yang ia buat, meskipun tidak akan tersampaikan nanti kepada sang pujaan hati tapi setidaknya... buku ini sudah menjadi saksi cinta pertamanya seorang Haidar El Fatih.
Setelah ini, ia akan menjalani kehidupan remajanya seperti biasa.
“Surat untuk saya?”
Tiba-tiba ada seorang santriwati menghampirinya setelah acara selesai, dengan secarik kertas yang disodorkan untuk Haidar.
“Kamu beruntung, dari sekian banyak laki-laki yang kirim surat, cuman kamu yang dibales.”
“Tapi saya gak kirim surat?”
“Ojo nyangkal, Dar, jelas-jelas Nafisa dapet puisi dari kamu kemarin kok.”
Mata Haidar membulat sempurna, Sejak kapan saya kirim puisi ke Nafisa?! Saya kan cuman nulis di buku harian saya— owalah cok, pasti kerjaannya Aditya sama Marco ini! Bocah gembleng!
“Na-Nafisa responnya gimana?!”
“Mana aku tahu, lihat aja sendiri, nih!”
Haidar menerima surat itu gemetar, tak menyangka isi hatinya akan mendapat balasan secepat ini.
Terimanya aja udah gugup gak karuan gini, mana sanggup Haidar buka dan baca suratnya. Bisa-bisa tewas di tempat dia.
Tapi dengan bismillah, Haidar perlahan membuka suratnya itu dengan hati-hati...
Untuk, Haidar El Fatih
Terimakasih untuk puisinya, saya suka dengan tiap bait yang kamu tulis. Maaf sebelumnya, bagi saya, saat ini kita belum cukup umur untuk ke jenjang serius, alias, dalam menjalani hubungan pun saya masih belum bisa karena itu melanggar syariat bukan? tapi saya hargai perasaanmu, terima kasih ya, Haidar
Haidar meringis, “Siapa juga yang ngajak kamu menjalani hubungan?! Argh, awas aja nih Adit sama Marco!” “Saya udah gak ada muka lagi ini mah—”
Saya punya mimpi, Haidar...
Mata Haidar memencak.
Saya ingin melanjutkan pendidikan saya ke Kairo, tepatnya Universitas Al-Azhar, saya mau belajar Ilmu Fiqih lebih dalam disana...
Jadi maaf ya sekali lagi, saya tidak bisa membalas perasaanmu sekarang, tapi gak tahu nanti. Kalau kamu bersedia menunggu saya pulang dari Kairo, saya bisa pertimbangkan lebih lanjut soal hubungan kita... Karena saya juga jatuh cinta dengan puisi romantismu, Haidar
Dari situlah Haidar bertekad...
Ia harus menaklukkan kota Kairo.
Untuk Nafisa Nurul Habsyi
Baik kalau begitu,
Sampai ketemu nanti di Kairo, Nafisa Saya janji, begitu saya dapat Kairo di tangan saya, saya akan meminang kamu. Karena saya tidak main-main dengan perasaan saya.
Semesta seolah tak berpihak pada Haidar, pemuda itu dinyatakan tidak lolos seleksi masuk universitas yang ia mau, yakni Universitas Al-Azhar, bersama ribuan peserta lainnya yang dinyatakan gugur.
tapi Nafisa, Allah mengizinkan gadis itu berangkat kesana mengejar mimpinya.
Nafisa... saya minta maaf, sepertinya belum rejeki saya untuk pergi ke Kairo sekarang. Saya terpaksa harus kuliah di Indonesia, tapi bukan berarti saya menyerah disini. Tunggu S2 nanti, Nafisa, saya akan menyusul kamu dan saya benar-benar akan meminang kamu disana...
Rasa kecewa yang begitu dalam berkecamuk hebat di dada pemuda itu. Menggapai mimpi dan cinta dalam satu paket, tak jua jatuh di tangannya. Mungkin memang Haidar harus bersabar sedikit lagi, tapi rasanya sulit jika ia benar-benar harus terpisah beribu-ribu kilometer dengan sang wanita kasih.
Bertukar pesan seperti ini saja sudah membuat rindu menggerogoti jantungnya.
Nafisa : +20-2-xxxx-xxxx
Itu nomor waliku di Kairo, Dar, tapi kalau sewaktu-waktu mau hubungi boleh meskipun akan jarang aku angkat... setidaknya kalau ada kabar penting kamu boleh kabari aku lewat nomor itu Kita tetap komunikasi lewat surat seperti ini ya? Saya akan menunggu kamu di Kairo, sampai jumpa disana
Nafisa, saya benar-benar memegang janji saya, saya tetap mengejar cintamu ke negeri Kairo
Semua itu tetap dipegang teguh oleh sosok pemuda berparas eksotis itu, dengan ambisi dan ketekunannya yang berusaha mengejar negeri Piramida itu sampai akhirnya...
“Maaf, Haidar, aku sudah gak bisa menunggu kamu lagi disini”
Jantung Haidar pada saat itu rasanya seperti disambar petir, nafasnya tersekat di tengah kerongkongannya hingga laki-laki itu tak sanggup berkata-kata. Telepon yang ia terima dari sang pujaan hati seharusnya menjadi kabar gembira tapi ini justru... sebaliknya.
“Ke-Kenapa, Nafisa?”
“Saya... akan menikah dengan pria lain disini”
Menikah dengan pria lain? Nafisa, bukankah kamu janji akan menunggu saya? Kenapa kamu mengingkarinya?
“Terlalu lama saya menunggu kamu, Haidar, saya sudah gak sanggup menanti kamu dalam ketidakpastian”
“Saya memberimu kepastian, Nafisa, begitu saya sampai kesana, saya akan menikahi kamu”
“Tapi kapan, Haidar? Berapa lama lagi?”
“Bersabarlah, saya masih berusaha...”
“Maaf, Haidar, saya udah gak bisa bersabar lagi...” “Hati saya sudah berpindah ke lain hati yang lebih pasti...”
Sekujur tubuh Haidar lemas di tempat, entah kata-kata apalagi yang ingin ia utarakan selain rutukan terhadap semesta...
Hatinya hancur bukan main.
Nafisa, kamu adalah manusia terkejam dalam soal menyakiti. Pergi bersama janji lalu meninggalkan sepah janji tak bermakna, seharusnya Haidar tidak senaif itu untuk mempertahankan cinta yang memang akan menjadi kisah sementara.
Sebagaimana prinsipnya dulu dalam persoalan cinta masa remaja.
Ini tak ada bedanya dengan kisah cinta monyet yang akan menjadi angin lalu.
Sayangnya ini terlalu dalam untuk menjadi sekedar kisah cinta monyet.
Dan ini, adalah perpisahan kedua Haidar bersama wanita yang sangat ia cintai dalam hidupnya.
Pertama, Ibunya, kedua, Nafisa.
Oh, takdir yang sangat pahit.
Dosa apa yang Haidar buat hingga pantas menerima semua ini?
“Maaf dan terima kasih untuk semuanya, Haidar...” “Kamu tlah mengajarkan saya bahwa menunggu tak selamanya pahit, tapi bagi saya, bersamamu itu adalah memori yang indah...”
Haidar mengulum senyum pasi, “Dan kamu tlah mengajarkan saya, bahwa perpisahan bersama janji itu jauh lebih sakit daripada di campakkan tanpa rasa...” “Terima kasih, sudah membuat saya patah hati se-hebat ini, Nafisa, dan maaf... saya tidak bisa menjaga kamu dari dekat.”
Sejak saat itu pula, Haidar mulai menata hatinya sekali lagi dengan tetap mengejar mimpinya untuk kuliah di Kairo, kalau dulu ada Nafisa sebagai prioritas utama...
Sekarang hanyalah ambisi semata yang menjadi prioritasnya.
Sampai akhirnya Haidar bertemu kembali dengan sosok Anela Maryam, yang akan menjadi skenario takdir selanjutnya...