Haidar dan Langit Malam

Bulan purnama yang terang benderang seolah menutup semua cahaya bintang yang menghias langit malam kota Jakarta, tepatnya di tempat kediaman pemuda bersurai coklat legam itu.

Haidar kini tengah merenung dengan rindunya kepada sang Ayahanda.

“Abang sekarang kan udah 20 tahun... apa sudah ada gambaran untuk pernikahanmu nanti?”

Haidar yang masih seorang mahasiswa Aceh dan tengah pulang demi menikmati kopi senja bersama Abi, terkekeh begitu mendengar pertanyaan itu keluar dari mulut Abinya.

“Saya mau S2 dulu, Bi, belum ada pikiran kesana...”

“Lho? Memang kenapa kalau kamu mau S2? Kalau memang jalanmu akan pergi S2 pasti kamu akan pergi juga, Bang, tapi... kalau Allah menghendaki kamu untuk menikah dulu, kamu mau gimana?”

Haidar tertegun dengan ungkapan Abi, meskipun ia tak menolak, tapi karena pada saat itu dirinya masihlah seorang pemuda ambisius yang sangat bermimpi untuk mengenyam pendidikan di negeri Piramida, tepatnya kota Kairo.

“Enggak, Bi, saya tetap mau S2 dulu baru menikah. Itu sudah menjadi cita-cita saya sejak kecil.”

Abi hanya tertawa pelan, sambil meneguk habis langsung kopi susunya.

“Kalau begitu biarkan takdir yang berkata, Haidar, sebaik-baiknya manusia dalam menyusun rencana tetaplah Allah yang menentukan semuanya.” “Abi hanya berharap, seandainya hari pernikahanmu itu tiba... pertama, gadis yang akan kamu nikahi itu adalah seorang calon istri yang bisa membawamu ke syurga-Nya, dan kamu mencintai gadis itu dengan segenap hatimu karena Allah... yang kedua, Abi harap... Abi masih bisa mendampingi kamu, Bang.”

Haidar cepat menepik ucapan Abinya, “Abi..! Kenapa ngomongnya gitu?!”

“Kan takdir gak ada yang tahu, Haidar... Momen membahagiakan yang paling Abi nantikan adalah pernikahanmu, Bang...”

“Abi kan masih harus menikahkan Aisyah juga.”

Abi mengulum senyum simpul, “Pernikahan Aisyah... sepertinya akan menjadi tanggung jawabmu nanti, Bang...”

Haidar masih terlalu muda untuk paham, sehingga waktu berlalu dan membiarkan takdir yang mengungkap semuanya... ternyata yang terjadi hari inilah yang dimaksud Abinya.

Abi... saya tidak tahu kenapa Abi harus memberitahu saya hal itu 5 tahun yang lalu, dan saya juga tidak tahu kenapa saya bisa tidak begitu pekanya menyadari ungkapan Abi pada saat itu...

Besok saya sudah lamaran, Bi... jujur saja saya gugup, meskipun ini acara tertutup dan hanya sekedar perkenalan dengan orang tua Maryam tapi entah kenapa sejak tadi keringat dingin terus bercucuran dari dahi saya...

Abi benar, tidak ada yang tahu perihal takdir manusia. Kita hanya bisa membuat rencana bahkan serapih apapun rencana itu, tapi tetap Allah yang menentukan takdirnya...

Bahkan takdir saya saat ini, masih menjadi misteri. Entah kenapa akhirnya Allah menakdirkan Maryam hadir menjadi bagian dari hidup saya. ternyata hidup bisa selucu ini...

Abi, banyak hal yang ingin saya ceritakan sebenarnya.

Tapi saya tahu, mungkin Abi juga sudah melihat semuanya bersama Umi dari atas sana kan?

Doakan saya, Abi, Umi...

Doakan saya dan Maryam dari atas sana, agar kami bisa menjadi pasangan sehidup semati seperti Abi dan Umi...

Doakan kami pula... agar bisa beribadah bersama dalam satu ikatan pernikahan ini, dan meraih ridho Allah Azza Wa Jalla untuk mencapai syurga-Nya...

Bismillah...

“Bang Haidar?”

Haidar tersontak dengan kehadirannya Aisyah dengan satu toples kue kering yang dibawakan adiknya itu, “Ah, Aisyah kenapa belum tidur?”

“Yang harusnya nanya gitu aku, Bang, besok kan Abang lamaran!”

Haidar terkekeh dengan senyuman pasinya itu, “Ah... saya lagi cari angin aja, besok kan saya harus benar-benar siap—”

“Abang gugup ya?”

Pemuda itu cepat menepis ungkapan adiknya, “E-Enggak, saya gak gugup kok.”

Gadis berusia 15 tahun itu hanya menjawab oh ria penuh arti, “Oh... yaudah kalau gitu, Aisyah mau tidur duluan ya, Abang juga jangan malem-malem tidurnya!“Aisyah beranjak pergi dari tempatnya, meninggalkan laki-laki itu sendirian bersama waktu sunyinya. Aisyah paham kalau kakaknya masih perlu waktu berbenah diri untuk besok.

Abi, Umi... tolong doakan kebahagiaan Abang dari atas sana... Semoga kehadiran Kak Anela, bisa menjadi tempat pulang Abang dari beratnya beban yang dia pikul selama ini...