Sleman, Memori dan Kita

Kurang lebih 15 tahun yang lalu, kita pernah menguntai banyak kenangan disini. Kenangan manis dimana saya pertama kalinya bertemu dengan seorang gadis mungil, pita besar yang mengikat kuda rambutnya, berparas cantik dan sangat menggemaskan, saya sempat berpikir gadis itu adalah putri keraton yang sedang berkunjung ke pondok.

Ternyata gadis itu adalah kamu, Anela Haliza Maryam Soetomo.

“Selamat ya atas kelahiran cucunya, Pak Faqih...“sosok pria paruh baya yang menggandeng tangan gadis cantik itu memberikan satu bingkisan besar ke Abah. Pasti mahal banget tuh hadiahnya, enak banget sih Aisyah,pikir saya pada saat itu.

Kamu yang masih kecil pada saat itu tiba-tiba menggandeng tangan saya erat, “Kak, kata Eyang disini ada kebun ya? Anela mau kesana dong!”

Saya kembali bergumam dalam hati, meskipun saat itu kamu masih berusia 5 tahun, tapi nada bicara kamu itu sudah sangat bossy dan seenaknya. Pasti kamu hidup enak layaknya seorang putri sungguhan.

“Iya, ayo kita kesana...”

Tapi saya senang menemani kamu.

***

“Nama kamu Anela?”

“Iya!”

“Kok lucu? Artinya apa tuh?”

Kamu ikut terkekeh, “Kata Eyang, Anela itu artinya malaikat, terus kan nama aku Anela Haliza Maryam, Eyang bilang... Eyang memberi nama itu untuk aku agar kelak aku menjadi malaikat suci yang cakap dan membawa keberuntungan bagi orang di sekitarnya!”

Saya menjawab oh ria, namamu itu memang terdengar sangat indah bagi saya, tapi entah kenapa, saya ingin sekali memanggil namamu dengan sebutan yang lain dari orang-orang...

“Kakak suka nama Maryam”saya berucap pelan.

“Suka... apa?”

“Kakak mau panggil kamu Maryam, karena itu terdengar lebih bagus.”

Senyuman lebarmu itu, benar-benar menggambarkan arti dari nama Maryam yang kamu miliki. Senyuman yang hanya dimiliki hati murni nan suci, dan jujur saja, saya sangat suka senyuman itu.

“Kalo gitu, aku panggil Kakak apa dong? Nama Kakak gak asik soalnya!”

Saya tersinggung sih, tapi udah buta karena kamu sangat menggemaskan.

“Nama Haidar sudah cukup jadi kebanggaan kakak, Maryam.”


Berapa purnama kita tlah menghabiskan waktu bersama, Maryam? Tiap detik kebersamaan kita terasa sangat menyenangkan, saya sangat menikmatinya. Meskipun saya harus mengawasi tiap tingkah nakal kamu terhadap santri, ayam saya yang kamu tarik-tarik ekornya dan menenangkan tangisan kencang kamu karena susah dapetin cheesecake favoritmu, tapi yang jelas... hari-hari saya berwarna karena kamu.

Sehingga perpisahan kita saat itu benar-benar membekas dalam hati saya.

Tahun demi tahun saya lewati, kami sekeluarga pindah ke Jakarta dan disitu ada sedikit harapan bahwa saya bisa bertemu dengan kamu lagi...

Allah mendengar suara hati saya, tepat di pemakaman Abah, kamu datang lagi.

Saya terkejut, usia kamu yang mungkin pada saat itu sekitar 11-12 tahun, terlihat sangat cantik bahkan dewasa dibandingkan anak seusia kamu.

Tapi sayangnya kamu lupa dengan saya. Kamu tidak menyapa saya pada saat itu, saya juga gak mau nanggung malu sendirian, jadi saya ikut nengacuhkan kehadiran kamu.

Malam setelah pemakaman Abah, saya melihat kamu yang sedang memeluk adik saya dengan penuh kehangatan. Kamu membiarkan adik saya itu menangis di bahumu, membasahi gaun hitam mahal itu dengan sukarela...

Saya terhenyak,

Saya salah menilai tentang kamu selama ini, ternyata kamu memiliki satu sisi lembut yang sangat saya suka.

Jujur saja, saya jadi tidak sabar melihat kamu tumbuh menjadi wanita dewasa kelak. Pasti kamu akan menjadi sosok yang sangat mengagumkan.

Sampai akhirnya... Allah lagi-lagi mendengar suara hati saya.

Entah semesta menjalankan skenario seperti apa untuk saya dengan kamu, tiba-tiba kita kembali di pertemukan.

Tidak ada yang berubah dari kamu, Maryam.

Suara melengking penuh dengan derai kebahagiaan, gaya kamu yang centil khas itu, dan juga sifat terus terangnya itu... masih sama.

Hanya saja saya tidak suka gaya hidup kamu yang bebas.

Makanya saya berusaha menjaga jarak dan bersikap dingin sama kamu, agar kamu tahu bahwa kamu itu masih harus di bimbing oleh seorang imam yang baik.

Saat itu saya belum jatuh hati, hanya perasaan rindu terhadap kawan lama yang memiliki kesan bagi saya, karena hati saya masih terkait dengan masa lalu yang belum usai...

tapi siapa sangka? pertemuan kita kali ini yang menentukan garis takdir kita?

Saya gak pernah menyangka kalau selama ini Abah berhutang budi besar sekali dengan Eyang, sehingga Abah menginginkan saya yang membalas semua jasa Eyang dengan membimbing kamu dan melahirkan generasi Qur'ani bersama.

Saya berani bersumpah, tak ada perasaan terpaksa sedikitpun dari hati saya.

Dengan ikhlas dan senang hati, saya menerima perjodohan kita dan akan membimbing kamu dari awal menuju wanita syurga yang di ridhoi Allah.

Maryam...

Meski begitu, saya juga adalah seorang manusia yang tak luput dari kesalahan. Saya punya kelemahan. Bahu saya tidak sekuat yang orang kira.

Saya harap kamu bisa memapah saya ketika bahu ini mulai runtuh...

Karena saya yakin, hanya kamu orangnya yang bisa menjadi sosok itu untuk saya.

Tegurlah saya kalau saya buat salah.

Beritahu saya apa yang saya tidak ketahui.

Bismillah, semoga Allah menghendaki kita sebagai pasangan yang sakinah mawadah warahmah, Aamiin.

Haidar El Fatih Sleman, 16 April 2021