shinelyght

“Bel, selamat ulang tahun ya... semoga kamu bahagia selalu.”

Voice note yang dikirim Jonathan hanya di dengar selewat. Wajah Bella masih muram menatap foto masa kecilnya bersama orang yang ia rindukan, 4 tahun dan ini masih terus berjalan, sampai kapan Bella terus tersiksa dengan perasaan rindu?

Pip!

“Makasih, Kak Jo... Kakak juga sehat-sehat ya, jaga kesehatan juga, kak...”

Beberapa detik Bella mengirim voice note, dengan cepat Jonathan langsung menelpon Bella.

“Halo, Bel?”

“Halo, Kak?”

”... Apa kabar? Akhirnya kamu bales chat aku juga...”

Bella tersenyum kecut, “Yah, kakak kan ngirim ucapan ulang tahun masa aku gak bales?”

“Lama gak ketemu, kamu masih di Jakarta kan?”

“Iya masih.”

“Kapan terakhir kali ke Cimahi?”

“Keluarga aku gak di Cimahi lagi, tapi di Bandung.”

“Oh udah pindah ya...”

“Iya kak.”

Mereka bergeming cukup lama.

“Bel...”

“Ya?”

“Aku belum nikah lho.”

Mata Bella memencak, “O-Oh... kenapa gitu? Udah tua juga...”

“Hahaha nyeletuknya masih sama ya kayak dulu...” “Aku gak bisa nemuin perempuan sebaik kamu, Bel.”

Bella mendecih, “Mau ampe tahun jebot juga gak akan ketemu. Bella kan limited edition.”

“Hahaha gitu ya? Apa sekalian aku gak usah nikah aja, Bel?”

Jantung Bella tersentak.

“Kak, jangan gitu plis...”

“Bercanda, Bella... Aku emang belum nemu pendamping yang cocok aja... soalnya...” ”... Aku kangen sama kamu, Bel...”

Bella menghela nafasnya panjang, ia tak mau menjawab dan membiarkan Jonathan menambah lagi kalimatnya agar tak terdengar canggung.

“Maaf, Bel, aku lupa kalau sekarang kamu lagi nungguin Abi, hahaha...”

Bella mendelik, “Kabar Abi gimana, kak?”

“Udah lama aku gak ketemu dia, Bel, setelah aku lanjutin S2 di Amerika.” “Kalo ketemu Abi nanti aku kabarin kamu ya?”

Bella terdiam sejenak, “.... Makasih, kak.”

“Bel, aku ada jadwal operasi bentar lagi. Udahan dulu ya teleponnya, dah Bella...”

“Iya kak, Dah...”

“Assalamualaikum.”

“Waalaikumsalam...”

Bella menutup teleponnya.

Kini tatapan sendunya tertuju pada langit malam yang mengguyur hujan ke bumi. Kepalanya masih terbayang sosok pemuda yang dulunya membuat hari Bella berwarna, tiap inci fitur wajah pemuda itu terasa melekat di memorinya...

“Aku gak akan pergi ninggalin kamu, Bel...”

Ungkapan itu terus menggema di telinganya.

“Bohong kamu, Bi, dasar pembohong...”

“Wah...”

Bella terpukau dengan pemandangan bawah bukit yang tak pernah ia jumpai selama ia hidup di tempat tinggalnya.

“Keren kan pemandangannya? Padahal ini masih pagi, kalo malem nih, Bel, beuhh... Las Vegas jauh, Bel...“ujuk Abi besar kepala

“Gak Las Vegas juga sih, Bi, berlebihan itu.”

“Tapi serius, sebagus itu Bel. Sekarang aja lo kagum, ya kan?”

Bella mengulum senyum sambil mengangguk kepalanya.

“Bel.”

“Hm?”

“Masih galau?”

“Masih.”

Abi menghela nafas panjang, “Coba teriak.”

“Hah?”

“Teriakin uneg-uneg maneh disini.”

“Lo gila ya? Yang ada di plototin warga!”

“Nggak akan kedengeran, santai aja.”

“Beneran?”

“Iya, coba aja.”

Bella berdiri dari tempatnya, ia menangkup mulutnya dengan kedua tangan dan mulai berteriak...

“AAAAAAAAAKKKKKK!!! TUHANN, KENAPA HATI BELLA DI PATAHIN MULU SIHH??!! BELLA DOSA APAAA??!! KEMAREN SI COWOK JAKARTAAA, SEKARANG SAMA NATHANNN!!! KOK NGENES BANGET NASIB BELLAAA???!!!”

Abi tertawa terpingkal-pingkal, belum lagi lihat Bella yang menghembus nafasnya lega setelah teriak.

“Enak kan?“tanya Abi meyakinkan

“Enak banget, Bi!! Mau lagii!!”

“Sok atuh.”

Bella bersiap-siap teriak lagi, “YA ALLAH, BELLA JANJI BELLA JADI ANAK YANG BAIK TAPI KIRIMIN DONGG PANGERAN BAIK HATI YANG BAKAL JAGAIN BELLA DAN GAK BIKIN BELLA PATAH HATI LAGIII!!!” “Hah....”

Bella loncat kegirangan, ia lari memeluk erat tubuh Abi hingga tubuh lelaki itu terjungkal ke belakang.

“Seru banget! Makasih ya udah ajak Bella kesini!”

Abi tersenyum simpul, “Iya sama-sama, makanya udah gak usah sedih. Banyak yang sayang sama lo kok, Bel.” “Terutama gue, gue... sayang banget sama lo...”

Kalimat itu diungkapkan Abi dengan penuh perasaan. Bella tersenyum lebar sambil mencubit hidung mancung Abi gemas.

“Bella juga sayang sama Abi!”

Mata Abi memencak.

“Makanya kita terus sahabatan kayak gini selamanya ya?”

Ternyata oh ternyata, tetap saja harapan Abi yang melambung tinggi akhirnya jatuh juga.

Yaelah sebagai sahabat anjir... yaudah lah...

“Iya, Bel, selamanya kita kayak gini.”


Setelah Abi mengantar Bella pulang, akhirnya ia sampai ke rumah dengan perasaan campur aduk. Ia lega bisa membuat Bella kembali ceria tapi tetap ada rasa sesaknya karena Bella menginginkan persahabatan mereka berlangsung selamanya.

Ya sudahlah, biar waktu yang menjawab takdir mereka.

KRIINGG!!!

Telepon rumah Abi berdering panjang, dengan cepat Abi meraih telepon rumahnya dan mengangkat teleponnya.

“Halo, Assalamualaikum?”

“Waalaikumsalam, Abidzar, ya?! Ini Tante Fitri, sayang!”

Tante Fitri, rekan sesama perawat Mamanya Abi di rumah sakit.

“Oh iya, Tante, ada apa?”

“Maaf ya, nak, Tante bawa kabar kurang baik untuk kamu... Mama Abi... positif covid.”

Jantung Abi terasa seperti di sambar petir. Seluruh tubuhnya gemetar hebat dan Abi tak bisa berkata-kata.

“Terus... gimana, Tante?”

“Mama Abi sekarang koma... bantu doa ya biar Mama Abi cepat sembuh.”

“Abi gak bisa kesana?”

“Gak bisa, sayang... soalnya Mama Abi di rawar di ruangan isolasi...” “Mohon doanya ya, nak... Abi kuat ya?”

Abi terdiam lama, menahan air matanya yang hendak keluar namun ia berusaha tegar.

“Iya, Tante... makasih infonya...”

Ma... Mama gak mungkin ninggalin Abi kayak Papa kan?

“Sshhh... Aw!”

5 menit Naresh tak sadarkan diri di ruangan media, begitu ia sadar, Aisyah langsung membawa tubuh Naresh ke dalam ruangannya dan mengobati beberapa titik luka terutama di kening atas dan sudut bibirnya.

“Tenaga kamu gila ya, ngalahin algojo kayaknya,” cetus Naresh terus meringis kesakitan

“Ya-ya abisnya dokter ngapain sih di tempat gelap-gelap gitu! Kan saya mikir ada maling tadi!“balas Aisyah tak terima

“Ada urusan saya di ruangan media.”

“Ya kenapa harus ngendap-ngendap gitu?! Mana bajunya item-item gini kayak beneran maling!” “Untung saya gak bawa setruman, bisa-bisa Dokter saya buat tewas di tempat!”

Naresh mendecik lidahnya, “Kalo sampe kayak gitu mah kamu beneran ada dendam kesumat sama saya.” “Tadi kamu mukul saya sekalian ngelampiasin kecewa kamu sama saya ya?”

Aisyah memicing matanya sebal, ia sengaja memencet luka Naresh kencang bahkan memukulnya hingga Naresh merintih kesakitan lalu membereskan semua obat-obatan di kotak P3K-nya.

“Aduh... beneran di pukul...“rintih Naresh

“Udah, mending sekarang Dokter pulang ke rumah terus istirahat! Besok pagi kan harus praktek lagi!“seru Aisyah sambil mengambil menghentakkan kakinya ke bumi gemas. Iya, Naresh yang melihatnya gemas.

“Aisyah!”

Aisyah menoleh dengan wajah cemberutnya, “Apa?!”

Naresh tersenyum lebar, “Mulai sekarang, mohon bantuannya selama di tempat kerja ya!”

Aisyah memutar bola matanya malas, “Hm.”

Naresh terkekeh. Ia juga ikut berdiri dan keluar dari ruangannya.

Puk, puk

Naresh menepuk pucuk kepala Aisyah usil. Ia meninggalkan Aisyah diam mematung di belakangnya.

Naresh sukses membuat hati Aisyah jadi semakin berantakan.

Langkah kaki tegap pemuda jangkung berparas putih susu itu terhenti begitu melihat sosok gadis mungil berhijab biru seragam sedang melayani pasien dengan senyuman ramahnya. Hatinya sesak, percakapannya barusan membuat ia ingat bahwa takdir terkadamg tak selalu berpihak kepadanya.

Tak hanya Mama yang diambil, tapi cintanya juga di ambil.

“Aisyah... maafkan Kak Naresh yang payah ini...“gumam pemuda itu lirih

Ia bergegas mempercepat langkahnya menuju parkir mobil.

Pulangnya pun Naresh harus mengikuti skenario pahit yang di buat oleh Papa tirinya.


“Naresh jangan lupa kita akan mengundang Veronica ke rumah untuk membicarakan pernikahan kalian.” “Kalian udah tunangan hampir 4 tahun kenapa masih belum ada kemajuan sih kalau bukan Papa yang gerak?”

Naresh menarik nafasnya panjang, kalau bukan untuk keadilan Mamanya, Naresh tidak akan mengorbankan diri sampai sejauh ini.

“Naresh masih mau fokus karir, Pah, lagipula Veronica juga paham kondisi Naresh.”

“Tapi kalau tidak di segerakan pernikahan kalian, kamu gak bisa ambil alih perusahaannya Dimas yang sudah hampir collapse itu. Papa yakin kalau kamu yang kelola perusahaan itu, kamu bisa menciptakan keuntungan bermiliar-miliar dollar.”

Naresh mendecih, Gila otak lo emang cuman tentang duit ya, lihat aja gue akan mengungkap semua kebusukan lo. Namun lain dengan sikapnya, Naresh justru tersenyum pasi dan mengiyakan apa kata Papanya.

“Pah, kenapa kode akses rekam medis Mama di lock sama Papa?”

Jantung Rangga tersekat seketika, “Kamu masih cari-cari kebenaran tentang kematian Mama kamu?”

“Iya, emang kenapa?”

“Naresh, yang namanya dalam dunia medis itu ada yang namanya berhasil dan gagal dalam menyelamatkan nyawa pasien, karena hidup dan mati itu ada di tangan Tuhan.” “Operasi Mama kamu memang tidak berjalan lancar pada saat itu.”

“Terus kenapa Naresh gak bisa lihat rekam medis Mama? Sekarang aku bergelut di bidang yang sama dan ingin koreksi kesalahan yang di buat sama Papanya Veronica dulu.” “Jujur aja, kalau memang ini ada malpraktik... Naresh gak bisa biarin itu semua, Pah.”

DUAK!! Rangga menggebrak meja bundar di hadapan keduanya keras dan menatap murka putranya, “Jaga sikap kamu, Naresh! Dokter Dimas itu calon mertua kamu! Dia juga dokter senior yang jauh lebih berpengalaman dari kamu jadi kamu harus hormat sama dia!!” “Kamu cuman dokter muda, jangan belagu!!”

Naresh hanya memasang wajah datar dan membungkukkan tubuhnya di hadapan Papa tirinya, “Maaf kalau Naresh membuat kesalahan.”

Kepalan tangan Naresh mengepal kuat-kuat. Pemuda itu menyembunyikan gertakan giginya dari hadapan pria paruh baya berusia 57 tahun itu.

Masa jaya kalian gak akan lama, sebentar lagi gue akan menjatuhkan semuanya satu per satu dan merebut semua hak-hak Mama yang udah kalian rebut secara tak adil... Termasuk hak hidup gue yang udah lo rebut demi kekuasaan, Rangga...

Tangan besarnya itu meraih figura kayu kecil yang terpajang di meja kerja, Naresh menatap lekat senyuman cantik dari wajah seorang wanita paruh baya yang ia rangkul erat di foto itu.

“Mah, Naresh harus gimana sekarang?”

Naresh mengusap wajah Ibundanya lembut,

“Mama udah gak sakit lagi kan disana? Gapapa kalo memang itu yang terbaik untuk Mama, meskipun... Mama harus pergi dalam keadaan tidak adil. Naresh yakin ini semua ada udang di balik batu, Mah, izinkan Naresh usut semuanya sampai tuntas ya...”

Naresh kembali menatap beberapa lembar kertas yang berserakan di atas meja kerjanya, beberapa coretan pola tak menentu yang hanya di mengerti olehnya. Naresh menurunkan kacamatanya dan mengusap wajah frustasi.

Semua kasus yang hendak ia ungkap ini menjadi kompleks. Dari urusan masa lalunya hingga sekarang pun semuanya mengandung misteri hitam yang tak bisa ia biarkan lama.

Dan itu semua karena Papa tirinya, Rangga.

Tak ada yang tahu hubungan Rangga yang sebenarnya dengan Naresh. Orang-orang menganggap kedua pria itu adalah sepasang ayah dan anak, padahal tak ada aliran darah yang mengikat mereka.

Kemana Papa kandung Naresh? Entahlah, bahkan 29 tahun dia hidup, Naresh tak pernah menjumpai rupa Papa kandungnya.

“Seandainya Mama gak menikah dengan Om Rangga, semua ini gak akan terjadi, Mah...”

Flashback, beberapa tahun yang lalu...

“Kanker usus stadium akhir.”

Mata Naresh terbelelak lebar begitu dokter memvonis Mamanya terkena penyakit kanker usus stadium akhir.

“Di bagian sini tumornya sudah mulai membesar dan kalau tidak cepat di tangani, bisa berakibat fatal bahkan dapat menyebar cepat sampai ke otak”Dokter terus menjelaskan rincian penyakit yang di derita Mama Naresh, hati Naresh bergusar hebat.

“Jalan terbaiknya apa, Dok, untuk Mama saya?”

“Satu-satunya jalan untuk menuntaskan semuanya ya kita angkat tumornya, Res, sebelum terlambat.” “Kamu gak usah khawatir, persentase tindakan operasi ini berhasil cukup besar kok, jadi minta Papa kamu untuk segera menandatangani perizinan tindakan operasi agar bisa di tindak cepat juga penyakit Mamanya.”

Tangan lembut Mama Naresh menggenggam erat tangan putra semata wayangnya yang tak berhenti gemetar, lekukan senyum simpulnya memberi isyarat bahwa Mamanya itu akan baik-baik saja.

“Gapapa, sayang, nanti biar Mama yang bicara sama Papa...“tutur Mama Naresh

Naresh menggenggam erat ujung celananya, menahan perih yang merujam dadanya dan berusaha tersenyum juga di hadapan Mama tercintanya.

“Iya, Mah...” “Mama pokoknya harus sembuh, Mama harus lihat Naresh wisuda dan jadi dokter.”

Mama Naresh mengangguk sambil memeluk hangat putranya, “Mama akan selalu menjadi saksi di tiap perjalanan hidupmu, anakku...”

Harapan itu pupus seketika, pada saat penindakan operasi Mama Naresh yang berlangsung sekitar 2-3 jam, wajah muram sang dokter membawa kabar buruk bagi keluarga Naresh disana...

Pertama kalinya, Naresh menangis meraung-raung di hadapan Papa tirinya dan menunjukkan sisi lemahnya.

“DOKTER, DOKTER BILANG PERSENTASE KESEMBUHAN IBU SAYA ITU BESAR TAPI KENAPA BISA GAGAL??!!!”

“Saya minta maaf, Naresh...”

“KALO MEMANG GAK BISA MENJAMIN HIDUP DAN MATI MANUSIA, JANGAN PERNAH KASIH HARAPAN KE ORANG-ORANG YANG BUTUH HARAPAN HIDUP!!!!” “LO PIKIR GUA BEGO HAH?! GUA JUGA ANAK KEDOKTERAN, GUA TAHU SEMUA RESIKONYA, GAK SEGAMPANG ITU!!! HARUSNYA GUA GAK KASIH IZIN MAMA UNTUK DI OPERASI!!!”

“Maaf, Naresh, saya hanya melaksanakan apa yang harus saya lakukan sebagai dokter.” “Tolong tenangkan diri kamu karena banyak berkas yang harus kamu tanda tangani, salah satunya penandatanganan asuransi—”

“Denger ya, dokter gadungan, kalau sampai ada malpraktik atau apapun kesalahan yang buat Mama meninggal... HIDUP LO GAK AKAN GUE BUAT TENANG CATET ITUUU!!!!”

Pria berbaju hijau itu tak menggubris kecaman Naresh yang saat itu masih berusia 23 tahun. Disitu Naresh bersumpah akan terus mencari tahu semua kebenaran di balik kematian Mama tercintanya, belum lagi begitu Naresh mengetahui bahwa uang asuransi Mamanya yang secara mendadak lenyap mengatasnamakan sumbangan yayasan rumah sakit yang merupakan milik keluarga almarhumah Mamanya. Naresh semakin curiga ini semua ada tangan yang turut ikut campur.

“Tapi saya ada wasiat dari almarhumah Mama saya—”

“Mohon maaf, sumbangan ini juga sudah di tandatangani oleh ahli warisnya sendiri.”

“Mbak saya ada surat wasiat resminya—”

“Sekali lagi mohon maaf. Kami tidak bisa melayani permintaan Anda.”

Naresh mengepal tangannya kuat-kuat...

“Rangga brengsek...”


“Kenapa gejala Anela jadi kayak gini...”

Mata Naresh memencak lebar bahkan hatinya gelisah. Ia tak mau dugaannya menjadi kenyataan.

“Gue harus check lagi kondisinya, gue gak mau dugaan gue bener...” “Ah Aisyah ini, jadi perawat kok gak peka banget sih?! Yaudah gue aja yang pergi kesana!”

Naresh segera mengambil kunci mobilnya dan berlari kecil menyusuri lorong menuju parkiran mobilnya.

Ia harus menuntaskan semua kegelisahannya.

Aisyah tergopoh-gopoh memasuki kamar VIP nomor 12 itu dengan nafas tersengal-sengal. Ia lekas mendongak kepalanya, namun tatapan tajam Naresh sudah menyambut kehadirannya.

“Dari laporan Bu Tyas, beliau menghubungi kamu pukul 7.01 dan kamu baru sampai kesini pukul 7.20” “Apa yang mengharuskan kamu terlambat selama 19 menit?”

Nada tajam yang mengintrogasi itu sontak membuat Aisyah meneguk salivanya bulat-bulat, “U-Uh... tadi... saya nyasar...”

“Bukannya tadi kamu udah di ajak keliling sama Bu Tyas?”

“Udah, tapi saya belum sampai kesini...”

“Jadi saya harus negur kamu atau Bu Tyas?”

Aisyah mengatup mulutnya rapat-rapat, Duh habis deh gue di hari pertama...

“Kalau begitu setelah ini, kamu ke ruangan saya, tolong kamu pantau dulu kondisi pasien sampai efek obatnya bekerja. Saya mau lihat seberapa kuat efek obatnya sampai ke titik-titik syaraf tertentu. Catat ya pukul berapa dia minum obatnya, terus pukul berapa dia tertidur.” “Saya permisi dulu.”

Naresh pergi meninggalkan ruangan, menyisakan Aisyah yang diam mematung bersama pasien seorang pemuda beraura sultan disana. Pemuda itu sejak tadi tak melepas pandangannya dari Aisyah.

“Kayaknya tiap suster yang dampingin Dokter Naresh pada tegang semua mukanya”cicir pemuda itu, panggil dia Leon, pasien VIP yang berada di bawah tanganan Naresh

“Ya masnya bisa lihat sendiri tuh galaknya udah kayak apaan tau”lirih Aisyah sambil menghela nafas panjang.

Pemuda itu menaikkan satu alisnya, “Apa? Mas?”

Aisyah langsung gelagapan, “A-Ah maaf, maksud saya... Tuan...”

Leon langsung tertawa terpingkal-pingkal dengan reaksi Aisyah.

“Baru kali ini ada yang manggil saya Mas.”

“Maaf saya salah bicara—”

“Gapapa, saya suka kok.”

Leon memberi senyuman manisnya, dan Aisyah membalas senyuman itu dengan kikuk. Bagaimana tidak? Sekarang di ruangan itu hanya ada mereka berdua.

“Masnya udah minum obat?“tanya Aisyah lagi

“Barusan udah, sekarang nunggu efek obatnya bekerja kan?“jawab Leon cepat

“Iya... berarti saya harus nunggu disini sampai Masnya tidur.”

Dengan sigap, Leon menyeret kursi di samping ranjangnya dan mempersilahkan Aisyah duduk di sampingnya, “Silahkan duduk disini.”

“Ah gak usah, Mas! Saya disini aja—”

“Gapapa, temenin saya disini.”

Keringat dingin dari dahi gadis itu mulai bercucuran deras. Suasana canggung yang memenuhi ruangan itu membuat jantung Aisyah ingin copot rasanya.

Kalau Abangnya tahu situasi Aisyah sekarang, bisa-bisa dibuat kebakaran jenggot dan Naresh di protes habis-habisan oleh Abangnya.

“Nama kamu siapa?”

“A-Aisyah...”

“Aisyah? Cantik namanya. Kenalin, aku Leon.”

Jabatan tangan Leon di balas tangkupan tangan Aisyah menandakan salam-tak-langsung. Leon paham maksudnya.

“Aku baru lihat kamu, baru kerja disini ya?”

“Iya, Mas...”

“Pantesan, pake acara nyasar segala... hahaha...”

Pemuda itu ternyata tidak berniat macam-macam dengan Aisyah, akhirnya mereka tenggelam dengan percakapan kecil sebagai ungkapan perkenalan selama setengah jam sampai akhirnya Leon mulai merasakan efek obatnya dan tertidur pulas di ranjangnya.

“30 menit ya efek obatnya bekerja... oke deh, tinggal kasih laporannya ke Dokter Naresh— Alah... mampus deh aku...”


“30 menit obatnya bekerja?”

“I-Iya, Dok...”

Naresh bergeming panjang, “Harusnya kalau normal gak sampai selama itu ya... ya sudah jadi catatan baru ini.” “Kamu ngapain aja selama itu berduaan sama cowok?”

Nada bicaranya seperti meremehkan, tapi Aisyah gak bisa emosi lagi seperti dulu.

“Cuman ngobrol biasa... kebetulan pasiennya seumuran sama saya jadi ya banyak hal yang kita bicarakan...“jawab Aisyah ragu

“Kamu kan anak pesantren, harusnya tahu dong kalo tadi kamu berkhalwat dengan laki-laki bukan mahram kamu?“sarkas Naresh dengan tatapan sinisnya yang membuat Aisyah tersontak.

Ternyata benar, dia adalah Naresh yang Aisyah kenal selama ini.

“Do-Dokter beneran Kak Naresh?!”

“Di bilang ini tempat kerja, panggil saya Dokter Naresh! Kamu gak punya etika kerja ya?!”

Naresh berdiri dari tempatnya.

“Aisyah, saya senang kamu masih mengingat saya setelah kita gak ketemu selama 8 tahun tapi tolong tahu batasan. Kita ini rekan kerja sekarang.” “Jangan sampai cerita masa lalu itu membuat kamu lupa untuk bersikap profesional dengan saya.”

Hati Aisyah seperti di remas-remas. Ucapan Naresh yang sangat tajam itu benar-benar melukai perasaan gadis itu.

“Kita akan sering bertemu disini kedepannya jadi tolong kerjasamanya ya.” “Ah tadi saya mau negur kamu soal disiplin waktu, saya paling tidak bisa menoleransi keterlambatan, apapun alasannya bahkan satu menit lewat pun. Jadi mulai kedepannya tolong di perhatikan waktunya, karena kamu masih baru disini, saya maafkan.” “Silahkan keluar dari ruangan saya.”

Kalo boleh, ingin sekali kepalan tinju mungilnya itu mendarat tepat di wajah tampan dokter atasan di hadapannya ini tapi sayang Aisyah masih sadar diri.

Ia berharap dirinya ini segera enyah dari hadapan Naresh.

Jakarta, 2029...

Perempuan cantik berhijab biru pastel itu menyisipkan semua kertas-kertas penting yang berisi persyaratan kerjanya di dalam map plastik berwarna hijau. Ia mengulum senyum tipis, waktu berjalan cepat dan sekarang ia sudah pulang ke rumahnya sebagai wanita dewasa.

Dia Aisyah Izzati, 8 tahun sudah waktu berlalu.

Usianya yang sudah menginjak angka 24 itu sudah bukan lagi si Aisyah remaja kecil yang penuh enerjik.

“Aisyah, kamu mau naik motor aja ke tempat kerja barumu? Gak mau Abang antar aja pake mobil?“tawar Haidar yang kini sudah berusia 34 tahun, dengan secangkir kopi yang baru saja di hidangkan sang istri tercinta, “Ini kebetulan Kak Anela mau ke rumah sakit juga, dari kemarin maag nya kambuh terus.”

Aisyah menggeleng pelan, “Enggak, Bang, aku berangkat sendiri aja. Kasihan Kak Anela harus ke rumah sakit pagi-pagi gini, mending banyakin istirahat aja.”

Tak lama percakapan singkat itu, Aisyah melangkahkan kakinya mantap menuju motor vespa klasiknya yang sudah di modifikasi lebih modern dan canggih. Aisyah memutuskan untuk mempertahankan motor jadulnya karena itu merupakan peninggalan terakhir almarhum Abinya. Aisyah menancap gas kencang menuju tempat kerjanya antusias.

Semoga tempat kerja barunya saat ini dipenuhi oleh orang-orang ramah di sekelilingnya.


“Siapa yang kasih obat Attapulgite ke pasien VIP no 12?”

Dokter muda berbadan jangkung itu tengah mengintrogasi 3 suster muda yang saat ini berdiri menunduk di hadapannya.

“Saya bilang siapa?!”

“Ma-Maaf, Dok, soalnya pasien ngeluh semenjak minum obat yang di resepkan langsung mencret-mencret jadi saya kasih obat untuk diarenya...”

“Yang resepkan Attapulgite siapa?!”

“Ada dokter yang jaga di IGD—”

“PASIEN ALERGI OBAT ATTAPULGITE, MASA KAMU GAK TAHU?!”

Dia Naresh, dokter muda jenius yang dikenal sebagai monster bermulut tajam disana. Mungkin kalian gak akan menyangka kalau sosok Naresh ini lebih serius dibandingkan sebelumnya, tapi banyak hal yang dia lalui sehingga Naresh menjadi sosok yang lebih dingin, sinis dan kaku.

“Kamu suster magang kan?! Dari sekolah mana kamu?!”

“Da-dari AKPER Yayasan Cinta...”

“Woah, bisa-bisanya akademi perawat terbaik di Jakarta punya murid bodoh kayak kalian! Tahu gak, tindakan kalian itu udah lewat dari kata ceroboh tapi SANGAT BODOH!! Ngerti?!” “Saya gak mau lihat muka kalian lagi, sekarang kalian pergi dan balik aja ke sekolah kalian!! Belajar yang benar!!”

Ketiga perawat muda itu lari gemetar bahkan ingin menangis begitu di semprot habis-habisan oleh Dokter Naresh. Pemuda itu tak hentinya menghela nafas frustasi bahkan mengacak rambutnya kacau. Ia membuka jam tangannya, melihat jarum jam yang sudah menunjuk angka pukul 10 dan ia bergegas menuju ruangannya karena ada janji dengan pasiennya.

“Naresh!”

Suara bariton itu membuat Naresh mendelik di tempat. Laki-laki berkacamata yang usianya lebih tua 3 tahun dari Naresh itu langsung merangkul akrab juniornya yang ia kenal dari kuliah, “Siapa lagi yang udah ngacauin mood lo hari ini?”

Naresh memutar bola matanya malas, “Biasa. Suster magang yang gobloknya edan. Ini juga ada dokter IGD yang sok tahu kasih resep sembarangan ke pasien VIP no 12 itu!”

“Kapan?”

“Tadi, tiba-tiba pasien langsung pusing sama nyeri perut berlebihan, ternyata abis minum obat diare.” “Ah ya, gue ada janji kontrol nih sama pasien, Yud, lo kalo gabut bantuin aja tuh dokter IGD biar gak salah kasih resep lagi. Pusing gue abis ngurusin urusan tadi!”

Senior Naresh yang bernama Yudhis Tama itu, masih menyangkut tangannya di bahu Naresh yang lebih tinggi 2 cm darinya.

“Eh lo tau gak ada suster baru disini dari Bandung?”

Naresh mendecih, “Duh nambah lagi beban satu, kalo dia masih pemula gue gak mau kerja bareng sama dia.”

“Mukanya meyakinkan sih, adem-adem gimana gitu.”

“Yang dibutuhin tuh otak bukan muka.”

Yudhis mulai malas menambah kalimatnya, “Udah deh, ikut gue dulu! Telat 5 menit gak dosa kok!”

“Eh, Eh, Yud!!“Naresh cuman bisa pasrah dengan tangannya yang di tarik paksa seniornya itu.


Aisyah sekarang sedang ikut berkumpul bersama rekan ners lainnya. Disana ada Ibu Kepala Perawat yang menjadi mentornya selama penyesuaian disini satu minggu lamanya, dan juga perawat lainnya yang kini menatap intens gadis berjilbab bergo di hadapannya.

“Salam kenal semuanya, saya Aisyah Izzati dari Bandung. Sebelumnya saya menyelesaikan studi saya di STIKes Citra, Bandung dan training di salah satu rumah sakit swasta disana jadi mohon bantuannya selama disini...”

Semuanya menyambut kehadiran Aisyah dengan tepukan tangan antusias.

“Oke, sekarang karena kamu udah resmi jadi bagian dari kita... Saya mau bimbing kamu untuk bekerja disini.” “Kamu tahu sendiri, rumah sakit ini adalah salah satu rumah sakit terbaik di Jakarta dan sangat menjunjung tinggi yang namanya kualitas dari tenaga kesehatan. Baik dokter, suster bahkan staff administrasi disini.” “Jadi kamu harus bisa mengikuti aturan yang berlaku disini, paham sampai sini?”

Aisyah mengangguk semangat, “Paham!”

Bisa di lihat jelas pin nama Bu Tyas Ayudya di saku seragamnya. Aisyah mengikuti langkah Bu Tyas dari belakang, menatap tiap nama tempat yang dituliskan di papan kayu atas pintu putih berdiameter 52 cm itu, ternyata rumah sakit disini jauh lebih luas dibandingkan rumah sakit tempatnya dulu di Bandung. Dia tak henti mendecak kagum karena arsitektur rumah sakitnya yang modern dan memanjakan matanya.

“Bu Tyas!”

Sahutan bariton dari pria berparas tampan bak putra kerajaan itu lebih mengejutkan Aisyah. Kulit putih susu dan senyuman menawannya, wah, pasien kaum hawa bisa-bisa dibuat betah disini kalau dapet dokter model gini.

“Eh, Dokter Yudhis...”

“Siapa tuh dibelakang? Perawat baru yang dari Bandung itu ya?!”

Aisyah muncul dari belakang punggung Bu Tyas, “Ha-Halo, Dok... saya Aisyah, perawat baru disini”sapa gadis mungil itu kikuk

“Wah beneran adem ya mukanya, Naresh, nih lihat! Cewek kayak gini mah gak bakal jadi beban buat kita!“sahut Yudhis sambil menarik tangan Naresh, mata Aisyah memencak lebar-lebar bahkan mau copot dari tempatnya.

Naresh,

Dengan rupanya yang sama seperti dahulu, tepatnya 8 tahun setelah mereka tak lagi berjumpa...

Sekarang mereka bertemu lagi di situasi yang tak terduga ini.

“Ah maaf ya, dokter yang satu ini mukanya rada kusut belum di setrika! Abis ngomelin anak orang soalnya”celetuk Yudhis sambil lengannya itu tak berhenti menyikut Naresh.

Kedua insan itu saling bertatap mata, tersirat di dadanya Aisyah seperti ada gejolak yang membuat jantungnya berdebar. Bagaikan takdir, pertemuan ini membuat Aisyah jadi sedikit rindu dengan masa lalunya.

“Kak Naresh, lama gak ketemu ya! Hehehe...“akhirnya Aisyah yang menyapanya duluan, bukan membalas, malah lelaki itu menghempas ketawa sinisnya sambil menatap tajam Aisyah.

“Gak usah sok akrab, panggil saya Dokter Naresh.”

DHEG! Jantung Aisyah tersentak begitu mendapatkan sikap judes Naresh di pertemuan pertamanya setelah sekian lama.

Memanglah, yang namanya Naresh, selalu identik dengan memberikan kesan buruk di tiap pertemuan pertamanya. Bahkan ini bukan benar-benar pertemuan pertama.

Aisyah harus membenci laki-laki itu yang kedua kalinya.

“Bel ini serius kamu mau confess?”

“Iya serius, Abi tunggu disana aja liatin kita disini.”

Abi menghela nafas panjang, “Yaudah atuh, urang tungguan di situ ya.”

“Oki doki!”

Bella kembali mengepal tangannya gelisah, ia berdoa sejenak mengadah kedua tangannya dan berharap semoga bisa mendapat jawaban yang ia inginkan dari Nathan.

Sedangkan Abi, dari jauh dengan hati pilunya, jantungnya ikut berdesir tak karuan menanti kehadiran Nathan dari dalam rumahnya.

Krieett...

Sosok pemuda berjaket hoodie putih itu hadir tepat di depan Isabella.

“Eh, Bella?“sontak Nathan kaget

“Hehehe, halo, Nat!“sapa Bella girang seperti biasa

“Kesini sama siapa?”

“Sendiri! Hehehe...”

Nathan tahu Bella berbohong, tapi ia sendiri tak bisa menemukan keberadaan Abi yang bersembunyi di balik tembok bebatuan sana.

“Ada apa kamu sore-sore ke rumah?“tanya Nathan datar

Bella memejam matanya sejenak, ia menarik tangan Nathan perlahan dan menggenggamnya erat.

“Nathan... Bella suka sama Nathan...”

Jantung Abi terasa seperti di cabik-cabik. Melihat tangan Bella yang menggenggam erat tangan Nathan itu membuat harapan cintanya pupus, namun semakin terjerat dalam hatinya. Cinta bertepuk sebelah tangan yang menyakitkan ini, entah dosa apa Abi harus merasakannya.

Kenapa semesta tak memberi restu untuk cintanya?

“Nathan... Bella kaget banget pas tahu Nathan harus pindah ke Bandung, Bella sedih karena gak bisa ngundang makan Nathan lagi nanti... Bella janji kok nanti makanan buat Nathan gak pake keju—”

Nathan menyingkirkan tangan Bella dari pergelangan tangannya.

“Maaf, Bel...”

Mata Bella membulat sempurna, menampilkan bola matanya yang mulai berkaca-kaca, “A-Ah gapapa, kok, Nat! Bella gak maksud ngajak pacaran atau gimana! cuman... cuman mau nyatain aja perasaan Bella ke Nathan selama ini karena mau pisah...” “Nathan tenang aja, meskipun jauh pun, hati Bella tetep untuk Nathan—”

“Isabella...”

Tatapan mata sayu Nathan memberi isyarat buruk bagi Bella.

“Lupain gue, gue bukan cowok yang baik buat lo.”

Hati Bella tersayat lagi.

“Ma-Mana mungkin Bella lupa sama Nathan... Nathan tuh cinta pertama Bella...” “Kenapa Nathan nyuruh Bella lupain Nathan? Salah ya kalo Bella nyatain perasaan kayak gini ke Nathan? Kita kan masih bisa temenan, Nat...”

“Gak bisa, Bel. Situasinya udah beda.”

Jawaban lugas itu membuat hati Bella semakin hancur.

“Gue gak sebaik yang lo kira, lebih baik jaga hati lo untuk laki-laki yang pantas menerimanya, Bel.” “Tolong, lupain semua perasaan lo ke gue.”

Tanpa disadari, air mata Bella jatuh dari pelupuk matanya.

“Nat... kenapa kamu tega banget nyuruh aku lupain kamu...? Serisih itu kah kamu sama aku...?”

“Bukan risih, tapi perasaan lo membebani gue, Bel.”

Abi mengepal kepalan tinjunya keras-keras. Hatinya ikut sakit mendengar tiap kalimat Nathan yang terus menyayat hati gadis pujaan hatinya, kalau Abi gak ingat kondisi fisiknya Nathan, sudah di pastikan sahabatnya itu sekarat di tangannya.

“Bella minta maaf, Nat... kalo perasaan Bella membebani Nathan...”

Nathan membalik badan dan meninggalkan gadis itu menangis dalam tundukkan kepalanya. Ia masuk ke rumahnya membiarkan Bella menangis kencang di luar sana...

Begitu pintu kayu itu sudah tertutup rapat, giliran Nathan yang menangis meraung-raung mengutuk takdir.

Anak-anak tongkrongan Mang Yudi sudah menunggu di saung dengan aktivitas individu masing-masing. Abi dan Bella yang asik dengan dunianya, Satria yang lagi asik memulai PDKT dengan Prima si idaman sekolah, Agus dengan puluhan lagu galau indie yang menyumpal telinganya, juga Adisty dan Citra yang asik membicarakan cowok-cowok tampan dari Jakarta yang mereka temui di sosial media.

“Oi!”

Sahutan Nathan membuat wajah mereka sumringah. Dia membawa satu kantung plastik besar berisi makanan, “Bawain nih! Kita makan bareng-bareng!”

“Asik banget juragan satu ini!” — Satria

“Ada acara apaan lu traktir kita makan sebanyak ini, Nat?” — Citra

“Santunan berkelas kayak gini sih gak boleh kelewat, ya gak, Bi?!” — Agus

Abi cuman mengulum senyum pasi.

“Hmm, jadi gini guys... alasan gue ngajak kalian makan-makan kayak gini tuh sebenarnya...” “Karena minggu depan gue pindah ke Bandung.”

OHOK!! OHOK!! Satria dan Agus tersedak dengan makanannya, Adisty langsung menghentikan aktivitas makannya dan semuanya hanya bisa diam mematung.

“Ini acara perpisahan dari gue, hehe...”

Satria menghentak minumannya, “Alah siah, ulah bercanda kitu koplok!”

“Serius urang, Sat, urang rek pindah ke Bandung!“balas Nathan

“Dalam rangka apa maneh pindah? Nanggung banget pas mau naik kelas 12.”

Nathan cuman tersenyum cengir, “Ada urusan disana dan cukup lama, jadi harus benar-benar pindah ke Bandung.”

“Pindah sekolah juga?”

“Iya.”

“Kan pandemi gini mah gak usah pindah sekolah atuh, bisa jarak jauh ini.”

“Gak bisa, Cit, kudu pindah urang.”

Mata Bella langsung berkaca-kaca di tempat, “Nathan... kenapa dadakan gitu sih... pindahnya...”

“Maaf, Bel, karena emang dadakan juga urusannya...”

“Naha Bella nangis segala?” — Satria

“Sstt udah, lu gak tau apa-apa” — Abi

“NAON SIH, SERIUS KENAPA GALAU GINI?? KAN NTAR KITA LULUS BAKAL PINDAH-PINDAH OGE KENAPA KUDU MEWEK-MEWEKKAN??” “Bandung ge deket da! Nanti kita sering main aja ke tempatnya Nathan!” — Satria

“Kan corona, Sat.” — Agus

“Ya kalo udah gak corona, kasep...” — Satria

Nathan terkekeh, “Iya tenang aja, kalo kalian lagi main ke Bandung kabarin gue aja nanti lo main ke tempat gue.” “Udah, Bel, gak usah nangis...”

Bella nangis sesegukan dan tak berhenti menyeka air matanya yang mengalir deras. Kepalanya menyandar di bahu luas Abidzar, dada gadis itu terasa sesak begitu mendengar akan berpisah dengan pria pujaan hatinya.

Apakah jarak bisa membuat hati ini terus terjaga untuk Nathan?

“Bi...”

“Ya, Nat?”

“Ini mah beneran amanah dari urang...” “Tolong ya... jagain Bella, jangan buat Bella inget lagi sama urang, kalo bisa buat dia lupa sama perasaan dia sama urang. Pastiin dia bahagia terus ya... Jangan buat dia sedih.”

“Iya, Nat.”

Percakapan Abi-Nathan yang tersembunyi itu sudah menjadi ikrar mereka berdua...

Abi bersumpah akan terus menjaga Bella selamanya.

23 Juni 2025...

Fyuuh...

Gue meniup lilin sendiri, di hadapan kamera yang sedang menampilkan wajah gembira Papih Mamih.

“Selamat ulang tahun ya geulis... semangat kerjanya, jaga kesehatannya...”

Gue tersenyum kecut.

“Papih, Mamih...”

“Ya?”

“Abi nitip ucapan selamat ulang tahun untuk Bella gak ke kalian?”

Mereka saling beradu tatap nanar, “Belum, Bel... mungkin sibuk...”

Sibuknya sudah melewati 48 purnama, sesibuk apa si cecunguk sialan itu?

“Kalian gak ada kabar lagi tentang Abi?”

“Belum sayang, padahal lebaran tahun kemarin sempet ngasih hampers tapi gak di cantumin alamat sama nomor teleponnya..”

“Abi bisa tahu alamat rumah kita di Bandung berarti kalian pernah kasih alamatnya ke dia dong?”

“Enggak pernah justru, kan bisa aja dia cari alamat baru kita dari SMA kamu. Papih pernah nyantumin alamat lengkap kita kan ke Pak Dedi untuk kiriman berkas-berkas sekolah?” — Mamih

“Iya sih... bisa jadi dari situ...” — Papih

“Berarti Abi sempet balik ke Cimahi ya...”

Papih menghela nafas panjangnya, “Bella, kamu kangen banget sama Abi apa gimana sampe tiap kamu ulang tahun tuh nanyain dia terus?”

Gue cuman bisa mengulum senyum tipis,

“Bukan sekedar kangen, tapi Bella kehilangan Abi, Pih...”