Jakarta, 2029...
Perempuan cantik berhijab biru pastel itu menyisipkan semua kertas-kertas penting yang berisi persyaratan kerjanya di dalam map plastik berwarna hijau. Ia mengulum senyum tipis, waktu berjalan cepat dan sekarang ia sudah pulang ke rumahnya sebagai wanita dewasa.
Dia Aisyah Izzati, 8 tahun sudah waktu berlalu.
Usianya yang sudah menginjak angka 24 itu sudah bukan lagi si Aisyah remaja kecil yang penuh enerjik.
“Aisyah, kamu mau naik motor aja ke tempat kerja barumu? Gak mau Abang antar aja pake mobil?“tawar Haidar yang kini sudah berusia 34 tahun, dengan secangkir kopi yang baru saja di hidangkan sang istri tercinta, “Ini kebetulan Kak Anela mau ke rumah sakit juga, dari kemarin maag nya kambuh terus.”
Aisyah menggeleng pelan, “Enggak, Bang, aku berangkat sendiri aja. Kasihan Kak Anela harus ke rumah sakit pagi-pagi gini, mending banyakin istirahat aja.”
Tak lama percakapan singkat itu, Aisyah melangkahkan kakinya mantap menuju motor vespa klasiknya yang sudah di modifikasi lebih modern dan canggih. Aisyah memutuskan untuk mempertahankan motor jadulnya karena itu merupakan peninggalan terakhir almarhum Abinya. Aisyah menancap gas kencang menuju tempat kerjanya antusias.
Semoga tempat kerja barunya saat ini dipenuhi oleh orang-orang ramah di sekelilingnya.
“Siapa yang kasih obat Attapulgite ke pasien VIP no 12?”
Dokter muda berbadan jangkung itu tengah mengintrogasi 3 suster muda yang saat ini berdiri menunduk di hadapannya.
“Saya bilang siapa?!”
“Ma-Maaf, Dok, soalnya pasien ngeluh semenjak minum obat yang di resepkan langsung mencret-mencret jadi saya kasih obat untuk diarenya...”
“Yang resepkan Attapulgite siapa?!”
“Ada dokter yang jaga di IGD—”
“PASIEN ALERGI OBAT ATTAPULGITE, MASA KAMU GAK TAHU?!”
Dia Naresh, dokter muda jenius yang dikenal sebagai monster bermulut tajam disana. Mungkin kalian gak akan menyangka kalau sosok Naresh ini lebih serius dibandingkan sebelumnya, tapi banyak hal yang dia lalui sehingga Naresh menjadi sosok yang lebih dingin, sinis dan kaku.
“Kamu suster magang kan?! Dari sekolah mana kamu?!”
“Da-dari AKPER Yayasan Cinta...”
“Woah, bisa-bisanya akademi perawat terbaik di Jakarta punya murid bodoh kayak kalian! Tahu gak, tindakan kalian itu udah lewat dari kata ceroboh tapi SANGAT BODOH!! Ngerti?!”
“Saya gak mau lihat muka kalian lagi, sekarang kalian pergi dan balik aja ke sekolah kalian!! Belajar yang benar!!”
Ketiga perawat muda itu lari gemetar bahkan ingin menangis begitu di semprot habis-habisan oleh Dokter Naresh. Pemuda itu tak hentinya menghela nafas frustasi bahkan mengacak rambutnya kacau. Ia membuka jam tangannya, melihat jarum jam yang sudah menunjuk angka pukul 10 dan ia bergegas menuju ruangannya karena ada janji dengan pasiennya.
“Naresh!”
Suara bariton itu membuat Naresh mendelik di tempat. Laki-laki berkacamata yang usianya lebih tua 3 tahun dari Naresh itu langsung merangkul akrab juniornya yang ia kenal dari kuliah, “Siapa lagi yang udah ngacauin mood lo hari ini?”
Naresh memutar bola matanya malas, “Biasa. Suster magang yang gobloknya edan. Ini juga ada dokter IGD yang sok tahu kasih resep sembarangan ke pasien VIP no 12 itu!”
“Kapan?”
“Tadi, tiba-tiba pasien langsung pusing sama nyeri perut berlebihan, ternyata abis minum obat diare.”
“Ah ya, gue ada janji kontrol nih sama pasien, Yud, lo kalo gabut bantuin aja tuh dokter IGD biar gak salah kasih resep lagi. Pusing gue abis ngurusin urusan tadi!”
Senior Naresh yang bernama Yudhis Tama itu, masih menyangkut tangannya di bahu Naresh yang lebih tinggi 2 cm darinya.
“Eh lo tau gak ada suster baru disini dari Bandung?”
Naresh mendecih, “Duh nambah lagi beban satu, kalo dia masih pemula gue gak mau kerja bareng sama dia.”
“Mukanya meyakinkan sih, adem-adem gimana gitu.”
“Yang dibutuhin tuh otak bukan muka.”
Yudhis mulai malas menambah kalimatnya, “Udah deh, ikut gue dulu! Telat 5 menit gak dosa kok!”
“Eh, Eh, Yud!!“Naresh cuman bisa pasrah dengan tangannya yang di tarik paksa seniornya itu.
Aisyah sekarang sedang ikut berkumpul bersama rekan ners lainnya. Disana ada Ibu Kepala Perawat yang menjadi mentornya selama penyesuaian disini satu minggu lamanya, dan juga perawat lainnya yang kini menatap intens gadis berjilbab bergo di hadapannya.
“Salam kenal semuanya, saya Aisyah Izzati dari Bandung. Sebelumnya saya menyelesaikan studi saya di STIKes Citra, Bandung dan training di salah satu rumah sakit swasta disana jadi mohon bantuannya selama disini...”
Semuanya menyambut kehadiran Aisyah dengan tepukan tangan antusias.
“Oke, sekarang karena kamu udah resmi jadi bagian dari kita... Saya mau bimbing kamu untuk bekerja disini.”
“Kamu tahu sendiri, rumah sakit ini adalah salah satu rumah sakit terbaik di Jakarta dan sangat menjunjung tinggi yang namanya kualitas dari tenaga kesehatan. Baik dokter, suster bahkan staff administrasi disini.”
“Jadi kamu harus bisa mengikuti aturan yang berlaku disini, paham sampai sini?”
Aisyah mengangguk semangat, “Paham!”
Bisa di lihat jelas pin nama Bu Tyas Ayudya di saku seragamnya. Aisyah mengikuti langkah Bu Tyas dari belakang, menatap tiap nama tempat yang dituliskan di papan kayu atas pintu putih berdiameter 52 cm itu, ternyata rumah sakit disini jauh lebih luas dibandingkan rumah sakit tempatnya dulu di Bandung. Dia tak henti mendecak kagum karena arsitektur rumah sakitnya yang modern dan memanjakan matanya.
“Bu Tyas!”
Sahutan bariton dari pria berparas tampan bak putra kerajaan itu lebih mengejutkan Aisyah. Kulit putih susu dan senyuman menawannya, wah, pasien kaum hawa bisa-bisa dibuat betah disini kalau dapet dokter model gini.
“Eh, Dokter Yudhis...”
“Siapa tuh dibelakang? Perawat baru yang dari Bandung itu ya?!”
Aisyah muncul dari belakang punggung Bu Tyas, “Ha-Halo, Dok... saya Aisyah, perawat baru disini”sapa gadis mungil itu kikuk
“Wah beneran adem ya mukanya, Naresh, nih lihat! Cewek kayak gini mah gak bakal jadi beban buat kita!“sahut Yudhis sambil menarik tangan Naresh, mata Aisyah memencak lebar-lebar bahkan mau copot dari tempatnya.
Naresh,
Dengan rupanya yang sama seperti dahulu, tepatnya 8 tahun setelah mereka tak lagi berjumpa...
Sekarang mereka bertemu lagi di situasi yang tak terduga ini.
“Ah maaf ya, dokter yang satu ini mukanya rada kusut belum di setrika! Abis ngomelin anak orang soalnya”celetuk Yudhis sambil lengannya itu tak berhenti menyikut Naresh.
Kedua insan itu saling bertatap mata, tersirat di dadanya Aisyah seperti ada gejolak yang membuat jantungnya berdebar. Bagaikan takdir, pertemuan ini membuat Aisyah jadi sedikit rindu dengan masa lalunya.
“Kak Naresh, lama gak ketemu ya! Hehehe...“akhirnya Aisyah yang menyapanya duluan, bukan membalas, malah lelaki itu menghempas ketawa sinisnya sambil menatap tajam Aisyah.
“Gak usah sok akrab, panggil saya Dokter Naresh.”
DHEG! Jantung Aisyah tersentak begitu mendapatkan sikap judes Naresh di pertemuan pertamanya setelah sekian lama.
Memanglah, yang namanya Naresh, selalu identik dengan memberikan kesan buruk di tiap pertemuan pertamanya. Bahkan ini bukan benar-benar pertemuan pertama.
Aisyah harus membenci laki-laki itu yang kedua kalinya.