Bukit
“Wah...”
Bella terpukau dengan pemandangan bawah bukit yang tak pernah ia jumpai selama ia hidup di tempat tinggalnya.
“Keren kan pemandangannya? Padahal ini masih pagi, kalo malem nih, Bel, beuhh... Las Vegas jauh, Bel...“ujuk Abi besar kepala
“Gak Las Vegas juga sih, Bi, berlebihan itu.”
“Tapi serius, sebagus itu Bel. Sekarang aja lo kagum, ya kan?”
Bella mengulum senyum sambil mengangguk kepalanya.
“Bel.”
“Hm?”
“Masih galau?”
“Masih.”
Abi menghela nafas panjang, “Coba teriak.”
“Hah?”
“Teriakin uneg-uneg maneh disini.”
“Lo gila ya? Yang ada di plototin warga!”
“Nggak akan kedengeran, santai aja.”
“Beneran?”
“Iya, coba aja.”
Bella berdiri dari tempatnya, ia menangkup mulutnya dengan kedua tangan dan mulai berteriak...
“AAAAAAAAAKKKKKK!!! TUHANN, KENAPA HATI BELLA DI PATAHIN MULU SIHH??!! BELLA DOSA APAAA??!! KEMAREN SI COWOK JAKARTAAA, SEKARANG SAMA NATHANNN!!! KOK NGENES BANGET NASIB BELLAAA???!!!”
Abi tertawa terpingkal-pingkal, belum lagi lihat Bella yang menghembus nafasnya lega setelah teriak.
“Enak kan?“tanya Abi meyakinkan
“Enak banget, Bi!! Mau lagii!!”
“Sok atuh.”
Bella bersiap-siap teriak lagi, “YA ALLAH, BELLA JANJI BELLA JADI ANAK YANG BAIK TAPI KIRIMIN DONGG PANGERAN BAIK HATI YANG BAKAL JAGAIN BELLA DAN GAK BIKIN BELLA PATAH HATI LAGIII!!!” “Hah....”
Bella loncat kegirangan, ia lari memeluk erat tubuh Abi hingga tubuh lelaki itu terjungkal ke belakang.
“Seru banget! Makasih ya udah ajak Bella kesini!”
Abi tersenyum simpul, “Iya sama-sama, makanya udah gak usah sedih. Banyak yang sayang sama lo kok, Bel.” “Terutama gue, gue... sayang banget sama lo...”
Kalimat itu diungkapkan Abi dengan penuh perasaan. Bella tersenyum lebar sambil mencubit hidung mancung Abi gemas.
“Bella juga sayang sama Abi!”
Mata Abi memencak.
“Makanya kita terus sahabatan kayak gini selamanya ya?”
Ternyata oh ternyata, tetap saja harapan Abi yang melambung tinggi akhirnya jatuh juga.
Yaelah sebagai sahabat anjir... yaudah lah...
“Iya, Bel, selamanya kita kayak gini.”
Setelah Abi mengantar Bella pulang, akhirnya ia sampai ke rumah dengan perasaan campur aduk. Ia lega bisa membuat Bella kembali ceria tapi tetap ada rasa sesaknya karena Bella menginginkan persahabatan mereka berlangsung selamanya.
Ya sudahlah, biar waktu yang menjawab takdir mereka.
KRIINGG!!!
Telepon rumah Abi berdering panjang, dengan cepat Abi meraih telepon rumahnya dan mengangkat teleponnya.
“Halo, Assalamualaikum?”
“Waalaikumsalam, Abidzar, ya?! Ini Tante Fitri, sayang!”
Tante Fitri, rekan sesama perawat Mamanya Abi di rumah sakit.
“Oh iya, Tante, ada apa?”
“Maaf ya, nak, Tante bawa kabar kurang baik untuk kamu... Mama Abi... positif covid.”
Jantung Abi terasa seperti di sambar petir. Seluruh tubuhnya gemetar hebat dan Abi tak bisa berkata-kata.
“Terus... gimana, Tante?”
“Mama Abi sekarang koma... bantu doa ya biar Mama Abi cepat sembuh.”
“Abi gak bisa kesana?”
“Gak bisa, sayang... soalnya Mama Abi di rawar di ruangan isolasi...” “Mohon doanya ya, nak... Abi kuat ya?”
Abi terdiam lama, menahan air matanya yang hendak keluar namun ia berusaha tegar.
“Iya, Tante... makasih infonya...”
Ma... Mama gak mungkin ninggalin Abi kayak Papa kan?