Cold-Prince
Aisyah tergopoh-gopoh memasuki kamar VIP nomor 12 itu dengan nafas tersengal-sengal. Ia lekas mendongak kepalanya, namun tatapan tajam Naresh sudah menyambut kehadirannya.
“Dari laporan Bu Tyas, beliau menghubungi kamu pukul 7.01 dan kamu baru sampai kesini pukul 7.20” “Apa yang mengharuskan kamu terlambat selama 19 menit?”
Nada tajam yang mengintrogasi itu sontak membuat Aisyah meneguk salivanya bulat-bulat, “U-Uh... tadi... saya nyasar...”
“Bukannya tadi kamu udah di ajak keliling sama Bu Tyas?”
“Udah, tapi saya belum sampai kesini...”
“Jadi saya harus negur kamu atau Bu Tyas?”
Aisyah mengatup mulutnya rapat-rapat, Duh habis deh gue di hari pertama...
“Kalau begitu setelah ini, kamu ke ruangan saya, tolong kamu pantau dulu kondisi pasien sampai efek obatnya bekerja. Saya mau lihat seberapa kuat efek obatnya sampai ke titik-titik syaraf tertentu. Catat ya pukul berapa dia minum obatnya, terus pukul berapa dia tertidur.” “Saya permisi dulu.”
Naresh pergi meninggalkan ruangan, menyisakan Aisyah yang diam mematung bersama pasien seorang pemuda beraura sultan disana. Pemuda itu sejak tadi tak melepas pandangannya dari Aisyah.
“Kayaknya tiap suster yang dampingin Dokter Naresh pada tegang semua mukanya”cicir pemuda itu, panggil dia Leon, pasien VIP yang berada di bawah tanganan Naresh
“Ya masnya bisa lihat sendiri tuh galaknya udah kayak apaan tau”lirih Aisyah sambil menghela nafas panjang.
Pemuda itu menaikkan satu alisnya, “Apa? Mas?”
Aisyah langsung gelagapan, “A-Ah maaf, maksud saya... Tuan...”
Leon langsung tertawa terpingkal-pingkal dengan reaksi Aisyah.
“Baru kali ini ada yang manggil saya Mas.”
“Maaf saya salah bicara—”
“Gapapa, saya suka kok.”
Leon memberi senyuman manisnya, dan Aisyah membalas senyuman itu dengan kikuk. Bagaimana tidak? Sekarang di ruangan itu hanya ada mereka berdua.
“Masnya udah minum obat?“tanya Aisyah lagi
“Barusan udah, sekarang nunggu efek obatnya bekerja kan?“jawab Leon cepat
“Iya... berarti saya harus nunggu disini sampai Masnya tidur.”
Dengan sigap, Leon menyeret kursi di samping ranjangnya dan mempersilahkan Aisyah duduk di sampingnya, “Silahkan duduk disini.”
“Ah gak usah, Mas! Saya disini aja—”
“Gapapa, temenin saya disini.”
Keringat dingin dari dahi gadis itu mulai bercucuran deras. Suasana canggung yang memenuhi ruangan itu membuat jantung Aisyah ingin copot rasanya.
Kalau Abangnya tahu situasi Aisyah sekarang, bisa-bisa dibuat kebakaran jenggot dan Naresh di protes habis-habisan oleh Abangnya.
“Nama kamu siapa?”
“A-Aisyah...”
“Aisyah? Cantik namanya. Kenalin, aku Leon.”
Jabatan tangan Leon di balas tangkupan tangan Aisyah menandakan salam-tak-langsung. Leon paham maksudnya.
“Aku baru lihat kamu, baru kerja disini ya?”
“Iya, Mas...”
“Pantesan, pake acara nyasar segala... hahaha...”
Pemuda itu ternyata tidak berniat macam-macam dengan Aisyah, akhirnya mereka tenggelam dengan percakapan kecil sebagai ungkapan perkenalan selama setengah jam sampai akhirnya Leon mulai merasakan efek obatnya dan tertidur pulas di ranjangnya.
“30 menit ya efek obatnya bekerja... oke deh, tinggal kasih laporannya ke Dokter Naresh— Alah... mampus deh aku...”
“30 menit obatnya bekerja?”
“I-Iya, Dok...”
Naresh bergeming panjang, “Harusnya kalau normal gak sampai selama itu ya... ya sudah jadi catatan baru ini.” “Kamu ngapain aja selama itu berduaan sama cowok?”
Nada bicaranya seperti meremehkan, tapi Aisyah gak bisa emosi lagi seperti dulu.
“Cuman ngobrol biasa... kebetulan pasiennya seumuran sama saya jadi ya banyak hal yang kita bicarakan...“jawab Aisyah ragu
“Kamu kan anak pesantren, harusnya tahu dong kalo tadi kamu berkhalwat dengan laki-laki bukan mahram kamu?“sarkas Naresh dengan tatapan sinisnya yang membuat Aisyah tersontak.
Ternyata benar, dia adalah Naresh yang Aisyah kenal selama ini.
“Do-Dokter beneran Kak Naresh?!”
“Di bilang ini tempat kerja, panggil saya Dokter Naresh! Kamu gak punya etika kerja ya?!”
Naresh berdiri dari tempatnya.
“Aisyah, saya senang kamu masih mengingat saya setelah kita gak ketemu selama 8 tahun tapi tolong tahu batasan. Kita ini rekan kerja sekarang.” “Jangan sampai cerita masa lalu itu membuat kamu lupa untuk bersikap profesional dengan saya.”
Hati Aisyah seperti di remas-remas. Ucapan Naresh yang sangat tajam itu benar-benar melukai perasaan gadis itu.
“Kita akan sering bertemu disini kedepannya jadi tolong kerjasamanya ya.” “Ah tadi saya mau negur kamu soal disiplin waktu, saya paling tidak bisa menoleransi keterlambatan, apapun alasannya bahkan satu menit lewat pun. Jadi mulai kedepannya tolong di perhatikan waktunya, karena kamu masih baru disini, saya maafkan.” “Silahkan keluar dari ruangan saya.”
Kalo boleh, ingin sekali kepalan tinju mungilnya itu mendarat tepat di wajah tampan dokter atasan di hadapannya ini tapi sayang Aisyah masih sadar diri.
Ia berharap dirinya ini segera enyah dari hadapan Naresh.